A.
LATAR BELAKANG PEMILIHAN OBJEK
Pada tanggal 2 Oktober 2009, batik disahkan sebagai warisan budaya
tak benda oleh UNESCO[1].
Indonesia patut berbangga karena bertambah lagi warisan budaya bangsa yang
diakui oleh UNESCO, sehingga keberadaan masyarakat tidak hanya diapresiasi oleh
masyarakat Indonesia saja, tapi juga oleh masyarakat dunia. Kini batik tidak
hanya dikenakan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, melainkan telah merambah
ke dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja di kampus, sekolah, mall, dan tempat
umum lainnya, banyak orang yang kini suka mengenakan batik.
Sayangnya, meski kini telah banyak orang yang mengenakan batik,
masih banyak juga yang tidak mengetahui seperti apa sejarah batik dan proses
dibalik terciptanya kain batik.
“Tak kenal maka tak sayang”, semboyan tersebut memberikan
inspiratif kepada penulis untuk memberikan gambaran tentang sejarah dan proses
pembuatan batik, dengan harapan agar para pembaca semakin mengenal dan cinta
dengan produk asli Indonesia. Penulis juga berharap agar generasi-generasi muda
bangsa mau untuk mengembangkan dan melestarikan warisan budaya ini.
Museum Batik dan Sulam Yogyakarta penulis pilih sebagai objek kunjungan
budaya ini, karena museum tersebut merupakan museum batik tertua di Yogyakarta
yang banyak menyimpan koleksi-koleksi batik dari berbagai tempat dan dari zaman
ke zaman.
B.
WAKTU KUNJUNGAN
Hari : Senin, 30 Maret 2015
Pukul
: 10.00-11.30 WIB
Tiket : Rp20.000,00/orang
C.
OBJEK KAJIAN
a.
Sejarah Museum Batik Yogyakarta
Museum Batik Yogyakarta merupakan Museum Batik pertama di
Yogyakarta.
Beralamat di Jl. Dr. Sutomo No 13 A
Yogyakarta (dari stasiun Lempuyangan ke selatan sekitar 1 km). Museum tersebut
diresmikan pada tanggal 12 Mei 1977 oleh Kanwil P & K Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta atas prakarsa keluarga Hadi Nugroho.
Pada awalnya, Hadi Nugroho merasa
gundah melihat banyak kain batik lawas berkualitas yang dipotong untuk
keperluan garmen dan ekspor luar negeri. Ia dan sang istri, Dewi Sukaningsih
pun mulai berkomitmen untuk mendirikan museum batik. Hadi Nugroho mulai memburu
batik tanpa terkecuali batik koleksi kerabat mereka.
Pada tahun 2000, Museum Rekor
Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada Museum Batik Yogyakarta atas
karya sulaman terbesar berupa batik berukuran 90 x 400 cm2. Satu tahun
kemudian, Museum Rekor Indonesia (MURI) kembali memberikan penghargaan sebagai
pemrakarsa berdirinya museum sulaman yang pertama di Indonesia. Kini, Museum
Batik Yogyakarta menyimpan sekitar 1700 koleksi perbatikan yang meliputi
batik cap, batik tulis, wajan, aneka canting dari generasi ke generasi, dan
aneka ragam bentuk cap.
b.
Koleksi Museum
Museum tersebut menyimpan lebih dari
1.200 koleksi perbatikan yang terdiri dari 500 lembar kain batik
tulis, 560 batik cap, 124 canting (alat pembatik), dan 35 wajan serta bahan pewarna, termasuk malam[2].
Koleksi museum
ini terdiri berbagai batik gaya Yogyakarta, Solo/Surakarta, Pekalongan, dan
gaya tradisional lainnya dalam bentuk kain panjang, sarung, dan sebagainya.
Motifnya kebanyakan berupa motif pesisiran, pinggiran, terang bulan, dan motif
esuk-sore.
Motif pesisiran cirinya diantaranya:
warna cerah dan mencolok, motifnya bunga-bunga/ boketan (pengaruh dari
Belanda), dan colour full (pngaruh dari China). Motif esuk sore
dilatarbelakangi karena setelah Perang Dunia II kain sangat langka, sehingga
dalam satu kain dibuat dua motif.
Beberapa jenis canting diantaranya:
canting cecek (untuk membuat titik-titik), canting klowong (untuk
membuat motif utama), dll.
Beberapa koleksinya yang terkenal
antara lain: Kain Panjang Soga Jawa (1950-1960), Kain Panjang Soga Ergan Lama
(tahun tidak tercatat), Sarung Isen-isen Antik (1880-1890), Sarung Isen-isen
Antik (kelengan) (1880-1890) buatan Nyonya Belanda EV. Zeuylen dari Pekalongan, dan Sarung Panjang Soga Jawa (1920-1930) buatan Nyonya Lie Djing
Kiem dari Yogyakarta. Semua koleksi yang ada dalam museum ini diperoleh dari
keluarga pendiri Museum Batik Yogyakarta. Koleksi tertuanya adalah batik buatan
tahun 1730.
Sedangkan, ratusan koleksi lainnya
adalah hasil karya sendiri pemilik museum dan juga dari hibah beberapa orang
misalnya Ang Dji Kiat dll. Beberapa koleksi sulaman diantaranya: gambar
Presiden RI pertama Soekarno, mantan Presiden Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Hamengkubuwono
IX. Selain itu ada juga potret wajah pahlawan Imam
Bonjol dan Pangeran Diponegoro. Ada pula sulaman wajah Paus Yohanes Paulus II dan Bunda Teresa
dari India.
c.
Cara membatik
Berikut ini urutan membatik:
1. Ngemplong
Ngemplong
merupakan tahap paling awal atau pendahuluan, diawali dengan mencuci kain mori.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan kanji. Kemudian dilanjutkan dengan
pengeloyoran, yaitu memasukkan kain mori ke minyak jarak atau minyak kacang
yang sudah ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak
agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi.
2.
Nyorek atau
Memola
Nyorek atau
memola adalah proses menjiplak atau membuat pola di atas kain mori dengan cara
meniru pola motif yang sudah ada, atau biasa disebut dengan ngeblat. Pola
biasanya dibuat di atas kertas roti terlebih dahulu, baru dijiplak sesuai pola
di atas kain mori.
Tahapan ini
dapat dilakukan secara langsung di atas kain atau menjiplaknya dengan
menggunakan pensil atau canting. Namun agar proses pewarnaan bisa berhasil
dengan baik, tidak pecah, dan sempurna, maka proses batikannya perlu diulang
pada sisi kain di baliknya. Proses ini disebut ganggang.
3.
Mbathik
Mbathik
merupakan tahap berikutnya, dengan cara menorehkan malam batik ke kain mori,
dimulai dari nglowong (menggambar garis-garis di luar pola) dan isen-isen
(mengisi pola dengan berbagai macam bentuk). Di dalam proses isen-isen terdapat
istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam pola yang sudah dibuat dengan cara
memberi titik-titik (nitik). Ada pula istilah nruntum, yang hampir sama dengan
isen-isen, tetapi lebih rumit.
4.
Nembok
Nembok adalah
proses menutupi bagian-bagian yang tidak boleh terkena warna dasar, dalam hal
ini warna biru, dengan menggunakan malam. Bagian tersebut ditutup dengan
lapisan malam yang tebal seolah-olah merupakan tembok penahan.
5.
Medel
Medel adalah
proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan warna secara berulang-ulang
sehingga mendapatkan warna yang diinginkan.
6.
Ngerok dan
Mbirah
Pada proses
ini, malam pada kain dikerok secara hati-hati dengan menggunakan lempengan
logam, kemudian kain dibilas dengan air bersih. Setelah itu, kain
diangin-anginkan.
7.
Mbironi
Mbironi adalah
menutupi warna biru dan isen-isen pola yang berupa cecek atau titik dengan
menggunakan malam. Selain itu, ada juga proses ngrining, yaitu proses mengisi
bagian yang belum diwarnai dengan motif tertentu. Biasanya, ngrining dilakukan
setelah proses pewarnaan dilakukan.
8.
Menyoga
Menyoga berasal
dari kata soga, yaitu sejenis kayu yang digunakan untuk mendapatkan warna
cokelat. Adapun caranya adalah dengan mencelupkan kain ke dalam campuran warna
cokelat tersebut.
9.
Nglorod
Nglorod
merupakan tahapan akhir dalam proses pembuatan sehelai kain batik tulis maupun
batik cap yang menggunakan perintang warna (malam). Dalam tahap ini, pembatik
melepaskan seluruh malam (lilin) dengan cara memasukkan kain yang sudah cukup
tua warnanya ke dalam air mendidih.
Setelah
diangkat, kain dibilas dengan air bersih dan kemudian diangin-arginkan hingga
kering. Proses membuat batik memang cukup lama. Proses awal hingga proses akhir
bisa melibatkan beberapa orang, dan penyelesaian suatu tahapan proses juga
memakan waktu. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kain batik tulis berharga
cukup tinggi.
d.
Nilai-Nilai
Pendidikan
Banyak sekali
pelajaran yang dapat diambil dari warisan budaya ini, diantaranya:
a.
Ketekunan,
Keuletan, Ketelitian serta Kesabaran
Dalam pembuatan sebuah batik tulis yang penuh nilai estetik
tidaklah mudah, diperlukan ketekunan, ketelitian serta kesabaran yang tinggi.
Ini memberikan pelajaran pada kita bahwa untuk mencapai sebuah cita-cita yang
tinggi diperlukan usaha-usaha yang tinggi juga, tidak ada sebuah cita-cita yang
pencapaiannya secara instan tanpa usaha.
b.
Tidak
perlu khawatir dan takut
Seharusnya kita tak perlu khawatir dan takut, apabila batik tulis
kita ditiru atau diproduksi oleh negara lain. Melukis di atas kain, dapat dilakukan
oleh siapa saja di penjuru dunia, di negara mana saja. Sudah dapat dipastikan,
hasil karya batik akan mempunyai sentuhan seni, motif dan ragam hias yang
berbeda. Teknik pembuatan batik tulis dan teknik pewarnaannya tentu tidak sama
di setiap negara. Bukankah budaya kita terkenal “kuat” serta “tahan uji” dan
tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun? Bukankah budaya kita merupakan budaya
yang besar, adiluhung, berbadan samudra yang tidak mudah terombang-ambing oleh
pengaruh budaya lain? Budaya batik tulis yang telah mengakar pada kehidupan
sampai pelosok perdesaan, takkan mudah lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh
jaman.
Bukankah kita justru bangga, bila hasil karya budaya batik tulis
kita diperagakan di negara lain yang sebenarnya merupakan promosi kekayaan
budaya asli dari bumi persada Indonesia? Apabila kita merasa takut kehilangan
sosok budaya batik tulis, seharusnya kita berlomba melakukan tindakan untuk
saling memperkuat dan mempertahankan khasanah dan ragam budaya yang telah kita
miliki.
c.
Konsep
fitrah
Dari perspektif Islam batik punya makna filosofis, diantaranya: Batik
yang beragam motif dan corak, bahan dasarnya adalah mori yang berwarna putih.
Ini memberikan pelajaran bahwa diri manusia pada dasarnya bersih, lingkunganlah
yang memberikan sentuhan motif dan corak pada diri manusia tersebut.
Implementasi pendidikannya, sebagai calon guru dan calon orang tua, kita harus
memberikan sesuatu yang terbaik untuk mendukung terbentuknya pribadi yang baik,
luhur, berakhlak dan dapat menjadi insane kamil.
d.
Cintailah
budaya local
Sebagai manusia yang tidak dapat terlepas dari budaya, kita harus
mencintai dan merasa memiliki berbagai budaya yang ada di daerah kita. Nabi pun memberikan apresiasi terhadap budaya local, salah
satunya tentang pakaian. Nabi sebagai penyempurna akhlak, tentunya
jika berkehendak untuk membuat pakaian khas umat islam sangatlah mungkin,
tetapi apa yang dilakukan beliau?, beliau tidak melakukan itu, justru malah
tetap menggunakan pakaian yang sudah ada dan menjadi budaya bangsa Arab. Kita
yang hidup di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, pakaian khas orang Yogyakarta
adalah batik, maka kalau kita mengaku ittiba
rosul maka pakaian yang kita gunakan adalah pakaian batik juga, sesuai
dengan pakaian yang ada di daerah dimana kita tinggal tersebut.
D.
TUGAS DAN PERAN PENULIS
Penulis berkunjung bersama kelompok
kami sejumlah 10 anak. Disana kami dipandu oleh Mbak Lia, Mba Bunga, dan Bapak
Prayogo yang sudah disediakan oleh pengelola museum tersebut. Kami mengelilingi
museum tersebut melihat, mengamati dan belajar tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan batik. Pengelola museum menawari kami untuk kursus membatik
disana, karena keterbatasan waktu kami belum bisa belajar langsung proses
membatiknya, hanya mlihat beberapa orang yang sedang membatik disana. Kami
bertanya kepada pemandu tentang berbagai hal yang berhubungan dengan batik dan
museum tersebut, dan data yang kami proleh seperti apa yang telah kami laporkan
di atas.