Kamis, 03 Desember 2015

KESULITAN BELAJAR BAGI SISWA KELAS V/VI


A.      Deskripsi Data
Dalam penelitian ini saya mengambil sampel dua anak/siswa masing-masing kelas V dan VI dari SD N 1 Logede, Pejagoan, Kebumen. Yang pertama: Irfa’i Yahya, siswa kelas VI.
Kebetulan ia masih family dengan saya yaitu anak paman saya. Kedekatan saya dengannya sangat baik, sehingga memudahkan saya dalam mengambil data/ informasi darinya. Ia terlahir dengan fisik yang normal. Anak bungsu dari dua bersaudara. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya. Kedua orang tuanya merantau ke Bogor untuk mencari nafkah disana.        
Rutinitas sehari-harinya adalah sekolah, pulang, bermain, dan belajar di malam hari. Rutinitas yang cenderung sama dengan anak-anak seusianya. Jarak sekolah dari rumahnya tidak terlalu jauh, sekitar satu kilometer. Sedangkan tempat bermainnya biasa dilakukan di sekitar rumah.
Di lingkungan sekolah, kondisi infrastruktur secara keseluruhan dapat dikatakan baik. Hanya saja, didekat sekolah tersebut terdapat bengkel bubut yang suara mesinnya kadang terdengar sangat keras dari sekolah. Kebetulan letak SD N 1 Logede tempat sekolahnya berada persis didepan rumah saya, sehingga memudahkan saya dalam melihat kondisi riil lapangan.
Fasilitas belajar dirumahnya bisa dikatakan cukup memadai. Ruang belajar, tempat belajar, buku-buku pelajaran dan alat-alat penunjang belajar lainnya tersedia dirumahnya.
Ia termasuk anak yang biasa-biasa saja, tidak menonjol hasil belajarnya di kelas. “Nilai raportnya dari kelas 1-6 hampir tidak mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan kadang ada nilai yang dibawah KKM”, hasil wawancara saya dengan neneknya.
Sedangkan sampel yang kedua, saya mengambil data/ informasi dari Hidayat, siswa kelas V SD dari SD yang sama dengan sampel yang pertama.
Dayat, begitulah panggilan akrabnya. Anak ke 4 dari 5 bersaudara dari keluarga yang kondisi ekonominya bisa dikatakan pas-pasan. Ayahnya meninggal dunia ketika Dayat masih kelas 3 SD. Ia tinggal ber 4 dengan ibu, kakak dan adiknya, sedangkan kedua kakaknya yang tertua merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib.
Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan mengakibatkan minimnya fasilitas belajar. Ruang/tempat belajar buku-buku pelajaran, dan alat-alat penunjang belajar lainnya sangat terbatas. Bahkan untuk makan saja hanya seadanya, hasil wawancara saya dengan ibunya (Daisah 46 tahun).
Ia tergolong siswa yang cukup berprestasi, selalu masuk peringkat sepuluh besar di kelasnya. Dayat lebih suka membaca dan belajar dirumah dibanding menyimak materi yang dipaparkan oleh guru di kelas. Katanya, “Saya selalu merasa bosan dan jenuh jika hanya berdiam diri di kelas sambil mendengarkan penjelasan guru”. Ia sering meminjam buku di perpustakaan sekolah ataupun buku temannya untuk dibawa pulang ke rumahnaya.
 Rutinitas kesehariannya juga cenderung sama dengan anak-anak seusianya, yaitu: sekolah, pulang, bermain, mengaji dan belajar. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar satu kilometer. Dayat lebih senang berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki bersama teman-teman yang kebetulan rumahnya berdekatan.

B.       Analisis/Pembahasan
Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi.
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik/prestasi belajarnya. Namun kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehaviour) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah dan sering minggat dari sekolah.
Dari data hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar, misalnya kurangnya perhatian orang tua, lingkungan sekolah yang kurang kondusif, model pembelajaran yang membosankan dan sebagainya.
Secara garis besar, factor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yaitu:[1]
1.      Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
2.      Faktor ekstern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang dating dari luar diri siswa.
Pada kasus yang pertama, yang dapat kita pahami walaupun sarana prasarana, fasilitas belajar, dan kondisi ekonomi keluarga yang serba kecukupan tidak menjamin kesuksesan belajar anak-anak. Karena ia hanya tinggal bertiga dengan kakek dan neneknya, mungkin motivasi belajar, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kurang sehingga anak kehilangan kesemangatannya untuk belajar.
Perhatian orang tua yang tidak memadai akan menyebabkan anak merasa kecewa dan mungkin frustasi melihat orang tuanya yang tidak pernah memperhatikannya. Anak merasa seolah-olah tidak memiliki orangtua sebagai tempat menggantungkan harapan, sebagai tempat bertanya bila ada pelajaran yang tidak mengerti, dan sebagainya. Kerawanan hubungan orangtua dengan anak ini menyebabkan masalah psikologis dalam belajar anak di sekolah.[2]
Kekecewaan bahkan frustasi anak ini menyebabkan matinya semangat belajar anak yang pada akhirnya anak akan terbelenggu dalam kemalasan sehingga menghambat cita-citanya. Cita-cita merupakan suatu pendorong yang besar pengaruhnya dalam belajar anak-anak. Cita-cita merupakan pusat dari bermacam-macam kebutuhan, artinya kebutuhan-kebutuhan biasanya disentralisasikan disekitar cita-cita sehingga dorongan tersebut mampu memobilisasikan energy psikis untuk belajar.[3] Ini membutuhkan peran besar orang tua untuk memberikan tujuan-tujuan sementara yang dekat sebagai cita-cita sementara supaya menjadi pendorong yang kuat bagi belajar anak.
Pada sampel yang kedua bisa ditarik kesimpulan bahwa permasalahannya terletak pada kebosanan siswa belajar dikelas. Guru seharusnya mampu memberikan sajian materi yang menyenangkan peserta didiknya, bukan malah mematikan kreativitas siswa.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang setiap hari anak didik datangi tentu saja mempunyai dampak yang besar bagi anak didik. Kenyamanan dan ketenangan anak didik dalam belajar akan ditentukan sampai sejauh mana kondisi dan sistem social disekolah dalam menyediakan lingkungan yang kondusif dan kreatif. Bila tidak demikian, maka sekolah ikut terlibat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik. Maka wajarlah jika bermunculan anak didik yang mengalami kesulitan dalam belajar.
Kondisi ekonomi keluarga juga ikut berpengaruh besar dalam menciptakan suasana belajar anak. Misalnya anak yang tidak mempunyai ruang/tempat belajar yang khusus di rumah. Karena tidak memiliki ruang belajar, maka anak belajar kemana-mana; bisa di ruang tamu, dapur, atau belajar ditempat tidur. Anak yang tidak mempunyai tempat belajar berupa kursi/meja terpaksa memanfaatkan meja dan kursi tamu untuk belajar. Akibatnya bila ada tamu yang datang dia menjauh entah kemana, mungkin ke dapur karena tidak ada pilihan lain.
Selain itu, kondisi lingkungan sekitar sekolah juga berpengaruh terhadap konsentrasi belajar siswa. Suasana yang bising sangat mengganggu kenyamanan belajar siswa. Sehingga perlu adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan sekolah, begitu juga sebaliknya.

C.      Kesimpulan
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam belajar.
Diagnostik kesulitan belajar sebagai suatu upaya untuk memahai jenis dan karateristik serta latar belakang kesulitan-kesulitan belajar dengan menghimpun dan mempergunakan berbagai data seobjektif mungkin sehingga memungkinkan untuk mengambil kesimpulan dan keputusan serta mencari alternatif kemungkinan pemecahannya.
Faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yaitu:
1.      Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
2.      Faktor ekstern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, seperti: yang bersifat kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa), dan psikomotorik (ranah karsa).
Faktor ekstern siswa meliputi: factor anak didik, sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar.


DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syaiful, Djamarah. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumardi. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.






[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 1995, hlm. 170.
[2] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta), 2011, hlm. 242.
[3] Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja GrafindoPersada), 2007, hlm. 254 

Rabu, 30 September 2015

PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN USIA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
A.   PENGANTAR
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private). Metode pendidikan pada usia ini ditekankan pada permainan yang dapat merangsang kecerdasan anak dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. Pada masa kanak-kanak, orang yang paling berperan pada pendidikan adalah orang tua terutama seorang ibu, sehingga harus mempersiapkan metode yang tepat dalam mendidik amalnya sesuai dengan perkembangan psikisnya dan perkembangan keberagamaan pada usia anak tersebut.
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dari anak-anak?
2.      Bagaimana perkembangan keberagamaan pada usia anak?
3.      Bagaimana sifat-sifat agama pada anak?

C.   TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui penfertian atau definisi usia anak
2.      Mengetahui perkembangan keberagamaan pada usia anak
3.      Mengetahui sifat-sifat agama pada anak

D.   TEORI-TEORI PERTUMBUHAN AGAMA PADA ANAK

Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukan sebagai makhluk yang religious, ia tak ubahnya seperti makhluk lainnya. Selain itu juga terdapat pendapat para ahli yang mengatakan bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Pendapat pertama lebih memandang manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan.[1]
Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
1.      Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.      Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.[2]

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ANAK-ANAK
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Elizabeth B. Hurlock tahap perkembangan manusia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1.      Masa prenatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.      Masa neonates, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.      Masa bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.      Masa kanak-kanak awal, umur 2-6 tahun.
5.      Masa kanak-kanak akhir, umur 6-10 atau 11 tahun.
6.      Masa pubertas (pra adolescence), umur 11-13 tahun.
7.      Masa remaja awal, umur 13-17 tahun.
8.      Masa remaja akhir, umur 17-21 tahun.
9.      Masa dewasa awal, umur 21-40 tahun.
10.  Masa setengah baya, umur 40-60 tahun.
11.  Masa tua, umur 60 tahun keatas.[3]
Dalam makalah ini hanya akan membahas masa anak-anak. Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan segingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang memerlukan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.[4]
Semua uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak-anak adalah masa perkembangan manusia sebelum berumur 12 tahun. Anak merupakan makhluk social yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, Anak juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).

B.     PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN PADA USIA ANAK
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.      The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Konsep mengenai tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan fantasi. Seorang anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Fase ini biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun.
2.      The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul  melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan  atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan: Pertama konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas. Kedua, Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, Konsep Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[5]
Nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelun bersekolah, akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak, pada masa kecil hingga ia menjadi dewasa. Mengapa banyak terjadi gejala negative misalnya, dalam kehidupan anak dan orang muda tidak berdisiplin, sikap menentang orang tua menimbulkan berbagai kesulitan disekolah dan sebagainya. Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi sumber utama ialah karena orang tua telah melalaikan pendidikan rohani bagi kehidupan anak itu. Pada masa kecil mereka tidak diberi pendidikan supaya mengenal Tuhan.[6]
 Pengalaman anak tentang Tuhan, pertama kali melalui orangtua dan lingkungan keluarganya. Kata-kata, sikap dan tindakan orangtua, sangat mempengaruhi perkembangan pada anak. Uswatun Hasanah yang ditampilkan orangtua berpengaruh signifikan pada kesadaran perkembangan anak, yang selanjutnya berimplikasi pada sikapnya dalam beragama. Dalam fase ini si anak hanya menstransfer dalam dirinya, apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Proses pemasukan data pengalaman ini, meraka lakukan secara alami, tanpa ada reserve sama sekali si anak tidak memiliki kemampuan untuk memikirkannya.
Pengalamana empiris tersebut selanjutnya akan berpengaruh pada sikap keagamannya, apakah anak akan menjadi penganut agama yang taat atau tidak. Asumsi ini diperkuat oleh James, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Berdasarkan gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan keberagaman anak adalah bagian dari proses perkembangan anak untuk bertuhan. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pengalaman-pengalaman yang dilalui terutama pada terutama pada masa-masa pertumbuhan. Pengalaman yang telah mengendap dalam bawah sadar tersebut, membentuk pola pikir yang selanjutnya teraktualisasikan dalam tindakan keberagamannya.
Perkembangan agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena pengaruh lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan agama kepada anak. Prof. Dr. Zakiah Darajat dalam buku Ilmu Jiwa Agama menjelaskan, guru agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang tidak ringan dalam pengembangan agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu kelas membawa sikap sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman agama yang diajarkan di rumah.
Selanjutnya guru disekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa keagamaan kepada anak secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan agamanya baik menjadi lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.
Sedangkan menurut Imam Bawani, perkembangan keagamaan pada anak-anak beliau membagi menjadi empat bagian (fase), yaitu:
1.      Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Alloh meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas Tuhannya, sebagaimana firman Alloh:
واد اخد ربك من بنى ادم من ظهور هم ذريتهم واشهد هم على انفسهم الست بربكم قا لوا بلى شهدنا ان تقولوا يوم القيامة انا كنا عن هذا غا فلين              
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka, dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab: “Betul” (Engkau Tuhan Kami), “kami menjadi saksi (kami melakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan.          QS.Al-A’raf: 172.
2.      Fase Bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti memperdengarkan adzan dan iqomah saat kelahiran anak.
3.      Fase Kanak-Kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru. Tindakan demikian sangat penting guna perkembangan agama pada masa selanjutnya.
4.      Masa Anak Sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnnya perkembangan agama juga menunjukan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.[7]
Masa sekolah yaitu dimana anak sudah mulai dianggap matang untuk mengikuti pelajaran di sekolah dasar, kalau anak tersebut perkembangannya normal. Adapun tanda-tanda kematangan itu antara lain:
a.       Ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan dan berkesanggupan untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh orang lain kepadanya walaupun sebenarnya dia tidak menyukainya.
b.      Perasaan social kemasyarakatan sudah mulai tumbuh dan berkembang, dimana hal ini dapat dilihat dalam pergaulan anak dengan teman-temannya dan saling bekerja sama.
c.       Telah memiliki perkembangan jasmani yang cukup kuat didalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
d.      Telah memiliki perkembangan intelek yang cukup besar, hingga memiliki minat, kecekatan serta pengetahuan.[8]

C.    SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK
Agama masa kanak-kanak membawa cirri masa kanak-kanak dan menampakan pasang surut kognitif, afektif, dan volisional, khas pada pergulatan awal yang tercakup dalam proses pemisahan dari rahim ibu dan pembebasan menjadi pribadi mandiri. Dengan kelahiran, bayi direnggut dari keberadaan yang aman dan memulai perjalanan hidup yang panjang dan tidak selalu aman. Perkembangan religious dalam diri anak merupakan bagian dari paket perjuangan untuk memperkembangkan pribadi nyata dengan namanya dan wataknya sendiri di tengah-tengah lingkungan yang kerap mengancam untuk menelan dan menghancurkan identitas personal.[9]
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sifat agama anak mengikuti pola ideas concept on authority, artinya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran  untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan contoh tentang hal itu :
“Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan  mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesuburan.
5.      Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
6.      Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan  yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
Ringkasnya penjelasan diatas, masa kanak-kanak merupakan periode yang dinamis secara psikologis bagi perkembangan religius.  Anak-anak mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk meniru perilaku orang dewasa, dan agama beserta lembaga-lembaganya seyogyanya menyediakan model-model cara hidup dan perilaku yang anak-anak dapat menirunya. Peniruan anak atas gagasan dan perbuatan orang dewasa berharha. Tetapi pengalaman religious anak yang lebih penting dan bertahan lama terjadi pada tingkat yang lebih mendalam dan personal, dan mempunyai cirri masa kanak-kanak sendiri yaitu egosentrisitas, antropomorfisme konkret, dan eksperimentasi atau percobaan yang dapat aneh.[10]


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Anak-anak adalah masa perkembangan manusia sebelum berumur 12 tahun. Anak merupakan makhluk social yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, Anak juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).
Perkembangan keberagamaan anak melalui beberapa fase (tingkatan), menurut Ernest Harms: the fairy tale stage (tingkat dongeng), the realistic stage (tingkat kenyataan), dan the individual stage (tingkat individu). Sedangkan menurut Imam Bawami adalah: fase dalam kandungan, fase bayi, fase kanak-kanak, dan fase masa anak sekolah.
Sifat-sifat keagamaan pada anak yaitu: unreflective (tidak mendalam), egosentris, antromorphis, verbalis dan ritualis, serta imitative.


DAFTAR PUSTAKA

Sururin, 2004. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Jalaluddin, 2012. Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Robbert W. Crapps, 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Kanisius.
Hafi Anshari, 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya: Usaha Nasional.

[1] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 48.
[2] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 65-66.
[3] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 46.
[4] http://dunia psikologi-dagdigdug.com/2008/11/19/
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 66-67.
[6] Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 73.
[7] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 55-57
[8] Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 69-70.
[9] Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Kanisius, 1994), hlm. 15-16
[10] Ibid, hlm. 22.