Jumat, 23 September 2016

RUANG KELAS SEBAGAI SUATU SISTEM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di dalam kelas  terdapat kumpulan individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984).
Di dalam ruang kelas, terdapat individu-individu yang menempatinya dengan karakteristik yang berbeda. Banyak yang beranggapan bahwa ruang kelas hanya sebatas sebagai tempat belajar saja, namun sebenarnya disana terdapat system social serta interaksi yang lambat laun, sadar ataupun tidak akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter individu tersebut. Oleh sebab itu,  Ruang kelas sebagai tempat mereka bernaung hendaknya harus mampu berperan dalam pembentukan karakter yang tentu akan berguna untuk kehidupannya mendatang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Ruang Kelas itu?
2.      Apakah Pengertian Sistem itu?
3.      Bagaimana Peran Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial?
4.      Bagaimana Peran Ruang Kelas dalam Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian ruang kelas
2.      Mengetahui pengertian system
3.      Mengetahui peran ruang kelas sebagai system.
4.      Mengetahui peran ruang kelas dalam pemeliharaan ketertiban serta disiplin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kelas
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu.[1]
Menurut Damsar, ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini, yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya. Dalam ruang kelas terdapat dinamika yang terjadi di dalamnya yang merupakan gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi serta peran yang kompleks dalam pendidikan.[2]
Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelas pada pengertian pertama, yakni ruang tempat berjalannya proses pendidikan.

B.     Pengertian Sistem
Sistem sosial terdiri dari dua suku kata yaitu sistem dan sosial, dimana secara etimologis sistem merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani systema/systematos yang berasal dari kata synistani yang berarti menempatkan bersama.
Secara terminologis sistem dapat diartikan sebagai suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara saling ketergantungan (interdependen) dan konstan. Sedangkan kata sosial secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu socio yang artinya menjadikan teman dan secara terminologis sosial dapat dimengerti sebagai sesuatu yang dihubungkan, diakitkan dengan teman, atau masyarakat. Dan sistem sosial itu sendiri dapat dipahami sebagai saling keterkaitan yang teratur antar individu sehingga membentuk totalitas.[3]

C.    Peran Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Ruang kelas sebagai system terdiri dari 3 sistem yaitu:
1.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah. Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran.
Dalam suatu ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing mementuk suatu jaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan budaya.
2.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[4]
Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena hubungan guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat disebut sebagai sistem interaksi sosial.
Guru dan murid akan mengadakan interaksi sesuai dengan status dan perannya. Dalam aktivitas kelas, guru berperan sebagai orang tua dan murid sebagai anak yang menjadi penghuni kelas permanen.[5]
Didalam suatu interaksi antara guru dan murid terdiri dari dua pihak yang terikat pada suatu ikatan moral dan etika profesi kependidikan. Sebelum mereka membentuk hubungan guru-murid, sebagai individu masing-masing memiliki motif, keinginan, kebutuhan dan orientasi sendiri tentang berbagai hal berkaitan dengan pendidikan.
Dalam pola hubungan ini berisi berbagai kesepakatan-kesepakatan, misalnya kedisiplinan, dan kebersihan. Pola hubungan ini menjadi pengontrol masing-masing dan juga hubungan ini disebut sebagai system interaksi.
Ruang kelas sebagai system interaksi meletakkan actor yang terlibat, baik guru maupun murid sebagai mahluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya dalam hal ini berhubungan dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai system interaksi dipenuhi oleh fenomena situasi, interpretasi realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan yang dihadapi.
3.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Pertukaran
Ruang kelas dipandang terdiri dari bagian-bagian (individu atau kelompok) yang saling ketergantungan dalam suatu pertukaran yang terpola. Atau dengan kata lain bagian atau unsur memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus-menerus dan ajeg.
Didalam system pertukaran kelas manusia dipandang sebagai mahluk yang rasional, apabila memberikan keuntungan dia akan mengulanginya lagi perbuatannya, dan jika rugi dia akan meninggalkannya. Teori pertukaran George Caspar-Homans menjelaskan ruang kelas sebagai suatu system pertukaran. Homans mengembangkan beberapa proporsi untuk memahami kenyataan social dari sudut pandang teori pertukaran:[6]
a.       Proporsi Sukses
“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh, misalnya seorang anak dipuji karena penampilannya yag menarik, maka ia akan cenderung berpenampilan menarik lagi diwaktu-waktu berikutnya.
b.      Proporsi Stimulus
“Bila kejadian dimasa lalu stimulus tertentu atau seperangkat stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli dimasa lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.” Sebagai contoh, seorang pemancing yang melemparkan kalinya kedalam kolam yang keruh dan selalu berhasil menangkap ikan, maka pemancing tersebut akan lebih sering memncing dikolam yang keruh kembali.
c.       Proporsi Nilai
“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh misalnya, mana yang lebih berharga menonton konser grup band favorit yang telah lama diimpikan atau untuk belajar demi menghadapi ujian mid keesokan paginya? Jadi, seseorang harus memilih nonton konser yang berarti mengabaikan belajar, atau memilih belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang seumur hidup belum mungkin akan bertemu lagi. Hal itu berarti orang tersebut melakukan tindakan berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.
d.      Proporsi Deprivasi-Situasi
“Semakin sering seseorang menerima hadiah tertentu dimasa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya setiap ahdiah berikutnya.” Proporsi mengingatkan kemungkinan terjadinya kejenuhan sesuatu.
e.       Proporsi Agresi-Persetujuan
Proporsi A: “bila tindakan seseorang tidak memperoleh hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia harapkan, ia akan marah, besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku agresif dan akibatnya perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi B: “Bila tindakan seseorang memperoleh hadiah yang diharapkannya, terutama hadiah yang lebih besar dari yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan merasa senang, ia makin besar kemungkinannya melaksanakan perilaku yang disetujui dan hasil dari tindakan seperti ini akan menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi berlapis dua ini berkaitan dengan keadaan mental-emosional manusia. Sebagai contoh, seseorang yang tadi ingin menonton konser, ternyata tiketnya sudah habis, maka ia akan sangat merasa kecewa dan marah. Sebaliknya, jika ternyata dia bisa mendapatkan tiket, maka dia akan merasa senang.
f.       Proporsi Rasionalitas
“Dalam memilih diantara berbagai tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya yang dianggap saat itu memiliki nilai, sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.”

D.    Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin
Belajar dan masalah ketertiban saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hammersley berpendapat, “Kemampuan member jawaban atas pertanyaan guru memerlukan pengetahuan tentang konvensi-konvensi yang mengatur suatu jenis cara mengajar tertentu dan kemampuan untuk membaca tanda-tanda dalam cara guru menyusun pelajaran yang diberikannya” (1971, hlm 82)[7]
Pemeliharaan ketertiban dan disiplin memiliki keterkaitan yang sangat erat, yang berkaitan dengan kemampuan diri untuk menjadi tertib sesuai dengan kontruksi social dan hokum yang ada, dan juga kemampuan diri untuk taat, patuh dan berkomitmen untuk sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh masyarakat.
Oleh sebab itu orang yang memiliki disiplin akan cenderung memelihara ketertiban, misalnya murid yang disiplin akan terlihat dari usahanya untuk cenderung menciptakan ruangan kelas yang tertib. Disiplin merupakan sebuah proses internalisasi nilai pada diri individu, yang dilakukan secara sadar untuk taat pada aturan yang berlaku.
Ketika ruang kelas tidak tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini  dapat disebabkan karena persiapan peran sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer. Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan hukuman.[8]
Sementara pada sisi mahasiswa, terjadi karena persiapan peran yang tidak memadai dan tarikan kelompok rujukan, sehingga terdapat tarik menarik antara nilai yang diajarkan dengan yang tidak diajarkan. Ketidaktertiban ini tercipta karena adanya perbenturan antara kebutuhan subkultur siswa dengan nilai budaya ideal dalam masyarakat. Misalnya “anak gaul itu identik dengan dugem” memunculkan perilaku bebas dan kehidupan postmodern.[9]


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sistem adalah suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara interdependen (saling ketergantungan dan konstan). Ruang kelas sebagai system di kelompokan menjadi tiga yaitu system social, system interaksi dan system pertukaran. George Caspar Homans menjelaskan ruang kelas sebagai suatu system pertukaran dan membaginya menjadi beberapa proporsi untuk memahami kenyataan social dari sudut pandang teori pertukaran, yaitu: proporsi sukses, proporsi stimulus, proporsi nilai, proporsi deprivasi-satiasi, proporsi agresi-persetujuan, dan proporsi rasionalitas.
Pemeliharaan ketertiban dan kedisiplinan merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan aturan yang ada, sedangkan disiplin merupakan kemampuan diri untuk patuh, taat, dan berkomitmen untuk sesuai dengan apa yang dipandang baik dan benar dalam kehidupan social.
Sikap tertib dan disiplin yang terdapat dalam diri seorang individu bukanlah suatu sikap yang dibawa dari lahir, melainkan melalui proses internalisasi. Jika terdapat suatu kelas yang memiliki kebiasaan tidak tertib dan disiplin, ada dua pihak yang terkait dengan kondisi tersebut, yaitu guru dan peserta didik. Dalam hal ini guru dianggap dalam sosialisasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau tidak adanya dukungan dari lembaga sekolah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.
Mahmud, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Padil, Muhammad dan Triyo Supriyanto, Sosiologi Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

Robinson, Philips, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Grafikatama Offset, 1986.



[1] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 171
[2] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal 93.
[3] Ibid, hal 96.
[4] Ibid
[5] Mohammad Padil dan Triyo Supriyanto, Sosiologi Pendidikan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 163.
[6] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal 101-103.
[7] Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Grafikatama Offset, 1986), hlm. 155.

Sabtu, 10 September 2016

ISLAM KOSMOPOLITAN

        BAB I      
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Begitu banyak pemikiran-pemikiran tentang Islam. Dan salah satunya pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam Kosmopolitan. Dalam Islam Kosmopolitan ini  umat Islam diajak untuk senantiasa berpegang teguh terhadap nilai-nilai universal agama, nasionalisme dan menjunjng tinggi keterbukaan akan segala kemungkinan menerima perbedaan.[1]
Sebagai umat Islam harus mampu menerapkan pemikiran Gus Dus tersebut. Tujuannya supaya umat Islam bisa memiliki pemikiran yang luas sehingga akan menjadi masyarakat yang maju. Dan Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil’alamin.
Islam yang ada di tangan Gus Dur, adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan kepada umat agama lain.

B.       Rumusan masalah:
1.    Bagaimana biografi dari KH. Abdurrahman Wahid?
2.    Apa pengertian dari  islam kosmopolitan?
3.    Bagaimana ciri-ciri dari islam  kosmopolitan?
4.    Bagaimana apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam kosmopolitan?

C.       Tujuan
1.    Mengetahui biografi dari KH. Abdurrahman Wahid.
2.    Mengetahui pengertiaan dari islam kosmopolitan.
3.    Mengetahui ciri-ciri islam kosmopolitan.
4.    Mengetahui apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam kosmopolitan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur adalah panggilan akrab dari KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur.
Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.
Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya, Jombang, menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963.
Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.
Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual  muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun, hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono[2].
Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan orang lain.[3] Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.[4]
Gus Dur merupakan seorang intelektual. Beliau telah menulis gagasan dan pemikiran yang kreatif. Tema dalam gagasan tersebut beragam pula. Ada tujuh tema pokok yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini. Tujuh hal yang dimaksud adalah:[5]
1.      Pandangan dunia pesantren.
2.      Pribumisasi Islam.
3.      Keharusan demokratis.
4.      Finalitas, negara-negara pancasila.
5.      Pluralisme agama.
6.      Humanitarinisme universal.
7.      Antropologi Kiai.

B.       Pengertian Islam Kosmopolitan
Pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur merupakan salah satu indikasi adanya kelompok kecil yang mengambil peran dalam mewarnai corak sistem di masyarakat menuju sistem dan tatanan yang lebih baik. Pandangan Islam kosmopolitan adalah suatu pandangan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual, dan etika sosial guna merespons hak-hak dasar universal menghormati agama, idieologi dan kultural lain serta menyerap sisi-sisi positif yang ditawarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam kosmopolitan menuntut adanya sikap inklusif, pengakuan adanya pluralisme budaya dan heterogenitas politik sehingga umat Islam dapat berdialog dengan peradaban global, memunculkan sikap kritis, dan mengoreksi budaya sendiri.
Pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur lebih memberikan perhatian pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal  dan menghindari simbolisme serta formalisasi Islam dalam melawan kekuatan yang datang dari luar Islam. Konsep ini berakar pada ajaran universal islam sebagaimana termaktub dalam lima jaminan dasar berikut ini : Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum  (hifdzu an- nafs), Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-adin), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).[6]

C.       Ciri-ciri Islam Kosmopolitan
Islam kosmopolitan bermakna bahwa islam yang memiliki pandangan atau wawasan luas. Dengan artian orang yang beragama islam itu hendaknya mempunyai wawasan dan pandangan luas terhadap segala hal yang di hadapinya. Selanjutnya islam kosmopolitan mempunyai ciri atau visual dalam keseharian.
Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Dalam konteks inilah, warisan nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam. Tak salah kemudian kalau Robert N Bellah, sosiolog Barat terkemuka, menyebut Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu. Karena kondisi sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak salah juga kalau sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban Islam sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu diantara enam belas oikumene yang menguasai dunia.[7]
Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk pencerahan di dunia Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di Barat. Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia, mencari ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung. Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang mencipta ragam keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan sebagainya. Uniknya, disamping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, para intelegensi muslim juga menjadi agamawan yang hafat al-Quran & al-Hadits, ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf. Lihat disana ada al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya.
Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa. Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak kosmopolitis tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban. Dalam spirit inilah, kita bisa merujuk ulang spirit buku Gus Dur, “ Islamku, Islam Anda, Islam Kita“, sehingga lahir sebuah pemahaman baru yang kritis, progresif, dan visioner. Dari pemahaman inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif. Kaum minoritas kreatif inilah, lanjut Toynbee, yang nantinya bisa mengubah jarum sejarah peradaban dunia.[8]
Watak kosmopolitanisme dan universalisme ini digunakan Gus Dur untuk melakukan pengembangan terhadap teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah (Aswaja) dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan masyarakat. Jika selama ini paham Aswaja, terutama di lingkungan NU, hanya terkait dengan masalah teologi, fiqih, dan tasawuf, bagi Gus Dur, pengenalan Aswaja harus diperluas cakupannya meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Tanpa melakukan pengembangan itu, maka Aswaja akan sekedar menjadi muatan doktrin yang yang tidak mempunyai relevansi sosial. Dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dimaksud Gus Dur adalah 1) pandangan manusia dan tempatnya dalam kehidupan; 2) pandangan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi; 3) pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat; 4) pandangan hubungaan individu dan masyarakat; 5) pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui pranata hukum, pendidikan, politik dan budaya; 6) pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat; 7) pandangan tentang asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin formal yang dapat diterima saat ini. Dengan kerangka pengembangan Aswaja yang diajukan Gus Dur ini terlihat sekali upayanya agar Aswaja tidak menjadi doktrin yang baku dan beku, tapi doktrin yang dinamis. Gus Dur seolah ingin mengatakan kalau Aswaja ingin menjadi doktrin yang hidup, tidak ada pilihan lain kecuali dia harus mau berinteraksi secara terbuka dengan perkembangsan realitas sosial.[9]
Jadi dari beberapa paragraf dalam bab ciri-ciri kosmopolitanisme peradaban islam dapat kita ambil bagian demi bagian yang merupakan menjadi ciri islam kosmopolitan yaitu umat islam yang berkehidupan agama secara elektik, watak islam yang terbuka, toleran, moderat, menghargai keragaman umat manusia, keterbukaan lintas peradaban, kritis progresif dan visioner.
D.    Apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam kosmopolitan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukanlah Gus Dur bila dalam berbicara tidak kontroversial, nyeleneh, nyentrik dan menyelipkan kritik. Maka tak heran bila dalam tulisannya kita temukan kritik-kritik yang tajam, mulai mengkritik pemerintah, politisi hingga kelompoknya sendiri. Namun dibalik sikap kontroversinya, kenyelenehan dan kenyentrikannya selalu menjadi angin segar terhadap perkembagan Islam di Indonesia.
Gus Dur telah dikenal banyak kalangan. Beliau terkadang tampil sebagai sosok pemikir, penulis, sastrawan, budayawan bahkan menjadi seorang politisi Islam Indonesia.
Sebagai salah satu tokoh pejuang demokrasi hak asasi manusia (HAM) dan anti kekerasan, Gus Dur mampu memberikan warna tersendiri terhadap pandangan-pandangan ke-Islaman, budaya, sosial, ekonomi dan politik, khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu, beliau juga telah mendapat pengakuan dari dunia bahwa komitmen dan perjuangan Gus Dur menegakkan demokrasi, HAM, membela kaum minoritas dan toleransi, sudah diakui luas. (Baca: Umaruddin Masdar hal. 159).
Bahkan dalam kelompoknya sendiri, tokoh NU seperti KH M. Cholil Bisri dan KH Muchith Muzadi mengakui, Gus Dur disebut sebagai azimat atau jimatnya NU. Karena Gus Dur hadir ke tengah-tengah NU di saat ormas itu dalam kondisi lemah. Sehingga dengan kehadiran Gus Dur di NU, mampu menyelematkan NU menjadi ormas keagamaan yang berpengaruh dan menjadikan organisasi terbesar di Indonesia.
Jadi hal yang digagas Gus Dur selama ini tidak lepas dari lima konsep dan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang dianut NU, yakni tawasuth, ta'adul, tasamuh, tawazun, dan amar ma'ruf nahi mungkar. Melalui konsep inilah, Gus Dur mampu mengimplementasikan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya melalui teks saja, tapi dengan "tafsirul kitab bil kitub" (Menafsir kitab dengan buku yang lain). Karena kalau hanya berhenti di teks, maka kita bisa jadi penyembah huruf-huruf. Pemikiran ke-Islaman Gus Dur adalah Islam yang membawa kedamaian, kesejukan, ketenteraman, dan Islam yang bisa berdialog dengan lingkungannya.
Membaca pemikiran dan gagasan Gus Dur tidak bisa didekati dengan satu sudut pandang saja. Karena beliau ibarat membaca sebuah teks yang multitafsir dan ketika membacanya sulit dipahami. Inilah salah satu sepak terjang Gus Dur, ketika melihat fenomena sosial yang terjadi di Indonesia.
Buku berjudul “Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan” merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang dianggap aktual sejak 1980 hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun nasional.
Ada beberapa pemikiran dan gagasan Gus Dur yang menarik dalam buku ini yakni mengenai "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam". Dalam tulisannya, Gus Dur menggaris bawahi tentang ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik pada perorangan maupun kelompok.[10] Kelima jaminan dasar tersebut seperti yang telah disebutkan di atas.
Menurut Gus Dur, jika dari lima jaminan dasar di atas itu tampil sebagai pandangan hidup, maka tidak mustahil negara akan bisa dikelola oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya persamaan derajat dan sikap tegang rasa terhadap perbedaan pandangan. Di samping itu, secara fungsional, misi Islam terhadap perbaikan sosial akan secara efektif bisa dikendalikan yang pada akhirnya terciptalah budaya toleransi, keterbukaan sikap, peduli terhadap kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan umat Islam sendiri.
Dengan demikian, Islam seperti itulah yang selama ini diperjuangkan Gus Dur. Islam yang ada di tangan Gus Dur, adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan kepada umat agama lain.
Terlepas dari kekurangan buku yang merupakan kumpulan tulisan dan kerap terjadi pengulangan, sehingga dikatakan kurang sistematis, buku ini tetaplah layak dan menarik untuk dijadikan bahan bacaan, referensi, dan penyelamatan "Islam Kita" dari pemaksaan pemahaman yang selama ini sering menyerang kita semua. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya dipahami secara tekstual aja, melainkan dengan dengan konteks yang saat ini terjadi.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan Gus Dur, merupakan tokoh pemikiran islam yang hebat. Salah satu pemikiran beliau tentang islam yaitu “Islam Kosmopolitan”. Sedangkan ciri-ciri kosmopolitanisme peradaban islam dapat kita ambil bagian demi bagian yang merupakan menjadi ciri islam kosmopolitan yaitu umat islam yang berkehidupan agama secara elektik, watak islam yang terbuka, toleran, moderat, menghargai keragaman umat manusia, keterbukaan lintas peradaban, kritis progresif dan visioner.
                                  

DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, Muhammad , Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid): biografi singkat 1940-2009, Yogyakarta: Garasi House of book, 2012.
Sani, Abdul, Lintas Sejarah Pemikiran Perkebangan Modern Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998.
Wahid, Abdurrahman , Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Pianda, Jondra, 2010, http://jondrapianda.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-pemikiran-dan.html diunduh tanggal 18 Desember 2013 pukul 11:43.
Profil Abdurrahman Wahid _ merdeka.com.htm
Solopos, di unduh hari rabu 18 Desember 2013 pukul 10:21.
Wisata buku.com, di unduh 18 Desember 2013 pukul 10:44.              
                                                                                     



[1] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. Xiii.
[2] Profil Abdurrahman Wahid _ merdeka.com.htm
[3] Muhammad Rifa’i, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid): biografi singkat 1940-2009, (Yogyakarta: Garasi House of book, 2012), hal. 48.
[4] Profil Abdurrahman Wahid _ merdeka.com.htm
[5]Jondra Pianda, 2010, http://jondrapianda.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-pemikiran-dan.html diunduh tanggal 18 Desember 2013 pukul 11:43.

[6]Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta:The wahid Instituti, 2007), hal. 3-5.

[7] Abdurrahman Wahid, Islam kosmopolitan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 9.
[8] Solopos, diunduh hari rabu 18 Desember 2013 jam 10:21.
[9] Wisata buku.com, di unduh 18 Desember 2013 ,pukul 10:44.     
[10] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. xxi