Kamis, 08 Desember 2016

METODE KISAH DALAM AL-QURAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM


Salah satu metode yang digunakan al-Qur’an untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan cerita (kisah). Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah, terutama yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau. Muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan ke dalam tiga bagian; pertama, kisah faktual yang menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa tertentu; kedua, cerita faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia, agar manusia bisa mencontoh seperti pelaku yang disebutkan tersebut; ketiga, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan disaat apapun.[1]
Jenis pertama misalnya cerita tentang nabi-nabi dan orang-orang yang mengingkarinya serta segala hal yang mereka alami akibat pengingkaran itu. Cerita tersebut menyebutkan nama-nama pelaku, tempat-tempat kejadian, peristiwa-peristiwa secara jelas, seperti kisah Musa dan Fir’aun, Isa dan Bani Israil, Salih dan Tsamud, Hud dan ‘Ad, Nuh dan kaumnya, dsb. Jenis kedua misalnya kisah anak Adam dalam Surat Al Maidah 27-30. Sedangkan jenis ketiga misalnya Surat Al Kahfi ayat 32-43.
Dalam menyampaikan kisahnya, Al-Quran terkadang tidak hanya menyebutkan satu kali saja, melainkan mengulang-ulang kisah tersebut dalam beberapa surat lainnya. Kisah Musa misalnya, Al-Quran mengulangi kisahnya dalam 124 ayat, dan rangkaian kisahnya tersebar dalam 30 surat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan Al-Quran mengulang-ulang kisah tersebut?. Menurut Sayyid Qutub, tujuannya adalah untuk menancapkan pemikiran yang kuat tentang kisah-kisah tersebut pada manusia, bahwa kisah tersebut sungguh menyimpan value yang besar untuk diambil ibrahnya.[2] Sedangkan menurut M. Khalafullah alasan logis kenapa kisah Nabi Musa diulang-ulang dalam Al Quran adalah karena Nabi Musa adalah nabi bangsa Yahudi, yang saat itu kepercayaan agama mereka mendominasi jazirah Arab. Al Quran memilih materi-materi kisah dengan memprioritaskan unsure-unsur yang telah tumbuh di lingkungan Arab saat itu. Hal ini dimaksudkan agar kisah tersebut punya daya pengaruh yang lebih kuat.[3]
Secara garis besar orang atau tokoh yang dikisahkan dalam al-Quran adalah orang yang sholeh ataupun orang yang dzalim. Orang yang shaleh misalnya Lukman al- Hakim, sedangkan yang dzalim misalnya Fir’aun. Kisah dengan menampilkan tokoh yang shaleh bertujuan agar para pembaca meneladani tokoh tersebut dalam keshalehannya. Dan kisah yang menampilkan tokoh yang dzalim bertujuan pula agar para pembaca menjauhi sikap dan perbuatan tokoh tersebut.[4] Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam sebuah ayat yang menggambarkan nilai pedagogis sekaligus sebagai salah satu landasan metode bercerita dalam al-Quran sebagai berikut:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf ayat 3)

Kata yang menggambarkan secara langsung pada metode bercerita adalah naqushshu yang berarti Kami menceritakan. Naqushshu berasal dari kata qashsha-yaqhushshu yang berarti menceritakan. Dalam ayat diatas tampak secara jelas bahwa terdapat guru yang mengajarkan yaitu Allah SWT sendiri, guru memberikan isi cerita yang terbaik ‘ahsanal qashash’ sebagai materi pembelajaran. kata al-qashash menurut Qurais Syihab adalah bentuk jamak dari qishash/kisah. Ia terambil dari kata qashsha yang pada mulanya berarti mengikuti jejak. Kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode.[5]
Kata ahsanal qashshah berarti kisah yang paling baik. Sebagaimana digambarkan dalam Syamil al-Quran Miracle The Reference adalah kisah Nabi Yusuf as. Kisah Nabi Yusuf adalah sebaik-baik kisah dalam perjalanan hidup manusia. Nabi Yusuf adalah salah seorang nabi yang banyak dikisahkan dalam al-Quran. Nyaris seluruh bagian surat Yusuf, salah satu yang terpanjang didalam al-Quran, mengisahkan kehidupan dan keluarganya. Pada awal surat ini Allah mengungkapkan bahwa kisah hidupnya mengandung tanda-tanda, bukti-bukti, dan hikmah yang penting. “Sesungguhnya ada tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya” (QS. Yusuf ayat 7). Sebagaimana halnya dengan nabi-nabi lainnya, orang yang beriman yang membaca kisah nabi Yusuf akan menemukan banyak hal yang menentramkan dan mendapatkan banyak pelajaran.[6]
Pada akhir ayat tersebut menggunakan kata al-ghafiliin. Menurut Quraisy Shihab, kata al-ghafiliin terambil dari kata ghafala yang makna dasarnya berkisar pada ketertutupan. Tanah yang tidak dikenal karena tanpa tanda-tanda disebut ghulf, dan  karena ketiadaan tanda itulah maka orang tidak mengetahuinya. Kata ghafil biasanya juga diartikan lengah, yang tidak mngetahui bukan karena kepicikan akal, akan tetapi karena kurangnya perhatian.[7] Apabila kata naqushshu dikaitkan dengan kata al-ghafilin artinya orang-orang yang belum mengetahui, hal itu menggambarkan adanya proses pembelajaran untuk mengajari manusia yang belum mengetahui dengan materi kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Quran menggunakan metode cerita. Kata al-ghafiliin diujung ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia sebelum mendapatkan cerita yang bersumber dari apa yang diwahyukan oleh Allah tidak memiliki pengetahuan.
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa cerita mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap manusia. Secara sifat alamiah manusia juga mempunyai kesenangan terhadap cerita. Oleh sebab itu sangat wajar jika cerita dijadikan salah satu metode dalam pendidikan Islam. Metode cerita ini sangat penting dalam pendidikan karena ia bersifat mengasah intelektualitas dan amat berpengaruh dalam menanamkan nilai-nilai moralitas serta humanisme yang benar.[8]
Dalam dunia pendidikan, metode cerita ini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Dalam usia anak-anak misalnya, guru bisa memberikan cerita dengan mendongeng. Materi dongeng bisa mengambil cerita-cerita faktual para nabi dan rasul ataupun orang-orang shaleh. Selain itu guru juga bisa membuat cerita fiktif sendiri dengan mempertimbangan perkembangan keagamaan anak. Sesuai hasil penelitian Ernest Harms, pada usia anak-anak konsep mengenai sesuatu lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Kehidupan pada masa ini banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun masih menggunakan konsep fantastis yang meliputi dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.[9]
Metode cerita dalam dunia pendidikan harus memperhatikan situasi kapan metode ini cocok digunakan, tentunya juga dengan memperhatikan tujuan pembelajaran tersebut. Hal tersebut untuk menjadikan metode cerita yang digunakan tepat sasaan dan dapat menjadikan materi pembelajaran tersampaikan dengan baik. Situasi penggunaan metode cerita dalam pendidikan daintaranya:[10]
1.      Mendidik keteladanan
Guru harus jeli melihat materi yang akan diajarkan pada peserta didik. Apabila materi yang akan diajarkan memang untuk menggiring peserta didik pada penguasaan akhlak dan moral, maka metode ini sangat tepat digunakan. Sebab dengan menceritakan sebuah kisah peserta didik biasanya akan lebih terikat dan mengikuti ide cerita sembari membandingkan dengan dirinya hari ini. Bila demikian halnya, maka keteladanan yang ada dalam cerita diharapkan dapat diresapi oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Menarik perhatian dan merangsang otak
Kisah-kisah yang mengandung hikmah sangat efektif untuk menarik perhatian dan merangsang otak. Dengan mendengarkan cerita peserta didik akan merasa senang sekaligus menyerap nilai-nilai pendidikan islam tanpa merasa dipaksakan. Hal ini juga telah dicontohkan Rasulullah, beliau sering bercerita tentang kaum-kaum terdahulu agar mengambil hikmah dan pelajaran darinya.
3.      Menanamkan nilai akhlak dan emosional
Metode bercerita dapat mengungkapkan peristiwa yang mengandung nilai-nilai pendidikan moral, rohani, dan social untuk peserta didik, baik cerita bersifat kebaikan, kedzaliman, atau cerita tentang ketimpangan jasmani-rohani, material-spiritual yang dapat melumpuhkan semangat manusia. Dengan mendengarkan suatu cerita, kepekaan jiwa dan perasaan anak didik dapat tergugah pe,berian stimulus pada peserta didik dengan bercerita secara otomatis mendorong anak didik untuk berbuat kebaikan, dan dapat membentuk akhlak mulia serta membina rohani.
4.      Anak usia pra sekolah
Orang tua memberikan cerita dari hal-hal yang sederhana. Menurut Muhammad Quthb dengan cerita, anak mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan dan mempunyai pengaruh terhadap jiwa anak.
5.      Peserta didik yang mempunyai kecerdasan verbal-linguistik
Peserta didik yang memiliki kecerdasan verbal linguistic cenderung mempunyai kemampuan retoris bahasa atau kemampuan untuk meyakinkan orang lain dari serangkaian tindakan, potensi dalam mengingat bahasa, atau kemampuan untuk mengingat bahasa. Oleh karena kecerdasan linguistik ada pada pengolahan kata-kata atau berbicara, maka dengan mendengarkan cerita peserta didik akan memiliki banyak perbendaharaan kata dan dapat mengambil hikmah dari isi cerita tersebut.

Menurut Abduddin Nata, Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita yang pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh sebab itu perlu adanya desain metode cerita ini dalam pembelajaran agar guru dengan mudah menerapkannya hingga pembelajaran menarik dan sampai pada tujuan maksimal. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:[11]
1.      Menetapkan tujuan
Agar pembelajaran dapat terlaksana dan mencapai sasaran maka perlu ditetapkan tujuannya. Penetapan tujuan dalam pembelajaran tidak lepas dari indicator-indikator yang telah ditetapkan.
2.      Memilih jenis cerita
Jenis cerita terkadang memang guru yang menentukan, namun disisi lain bila memang indikator pembelajaran menceritakan kisah Nabi Ibrahim misalnya, maka tidak dapat tidak seorang guru harus menyesuaikan dengan indicator tersebut hingga tidak ada alasan lain untuk memilih jenis cerita yang sesuai.
3.      Menyiapkan alat peraga
Guru harus mempersiapkan alat peraga yang dibutuhkan dalam bercerita jika memang cerita tersebut membutuhkan alat peraga, tetapi jika tidak berarti guru hanya menyiapkan suara yang baik dan stamina yang cukup.
4.      Memperhatikan posisi duduk peserta didik
Posisi yang baik dalam bercerita adalah siswa mengelilingi guru dengan posisi setengah lingkaran atau mendekati setengah lingkaran. Untuk mengawali bercerita sebaiknya guru memulainya dengan berdiri agar menarik perhatian siswa.
5.      Menarik perhatian peserta didik dalam penyimakan
Guru harus pandai-pandai melihat situasi peserta didiknya agar mereka tetap focus memperhatikan apa yang sedang disampaikan guru melalui ceritanya.
6.      Menceritakan isi cerita denga lengkap
Guru dalam menyampaikan cerita harus dengan alur yang jelas dan runtut, dengan tutur kata serta bahasa sederhana yang mudah diteima oleh peserta didiknya. Gaya bercerita, intonasi, ekspresi, gerakan, dan pelafalan harus diperhatikan guru agar siswa tidak bosan dengan cerita yang disampaikan.

7.      Menyimpulkan isi cerita
Guru dan murid secara bersama-sama membuat kesimpulan dari cerita yang telah disampaikan guru. Hal ini penting agar siswa diberi kesempatan menyampaikan pemahamannya terhadap cerita yang disampaikan, selain itu juga agar semua siswa mempunyai pemahaman yang tidak keliru terhadap cerita tersebut.
8.      Mengadakan evaluasi
Tujuannya untuk mengetahui seberapa tingkat pemahaman siswa, dan juga seberapa berhasilkah metode cerita ini digunakan guru. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan dua hal yaitu bisa langsung secara lisan, atau bias secara tertulis.
9.      Tindak lanjut
Tindak lanjut ini dapat dilakukan melalui hasil evaluasi dari kedua hal diatas. Bila memang ada siswa yang kurang dalam penguasaan materi maka guru harus mencai penyebab dan harus segera dilakukan perbaikan dengan cepat untuk pembelajaran berikutnya dengan metode bercerita tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Jalaludin, Psikologii Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Laksana, Indra, Syamil Al-Quran Miracle The Reference, Bandung: Sygma Publishing, 2010.

M. Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah, Jakarta: Paramadina, 2002.

Qutbh, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1993.

Shihab, Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Tambak, Syahraini, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Qutb, Sayyid, Al-Tashwir al-Fanni Fil Quran, Kairo, Darul Ma’arif.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah, 2013.





                                                                                                                        



[1] Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam , (Bandung: Al Ma’arif, 1993), hlm. 348.
[2] Sayyid Qutub, Al-Tashwir al-Fanni Fil Quran, (Kairo, Darul Ma’arif, tt), hlm. 122.
[3] M. Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 343.
[4] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 122.
[5] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 12.
[6] Indra Laksana, Syamil Al-Quran Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing, 2010), hlm. 468.
[7] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 12.
[8] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 48.
[9] Dalam penelitiannya Ernest Harms menyimpulkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga tingkatan. Pertama the fairy tale stage (tingkat dongeng), kemudian the realistic stage (tingkat kenyataan), dan terakhir the individual stage (tingkat individu).  Lihat Jalaludin, Psikologii Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 66.
[10] Syahraini Tambak, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 163-165.
[11] Ibid, hlm. 172-184.