Kamis, 08 Desember 2016

METODE KISAH DALAM AL-QURAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM


Salah satu metode yang digunakan al-Qur’an untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan cerita (kisah). Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah, terutama yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau. Muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan ke dalam tiga bagian; pertama, kisah faktual yang menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa tertentu; kedua, cerita faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia, agar manusia bisa mencontoh seperti pelaku yang disebutkan tersebut; ketiga, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan disaat apapun.[1]
Jenis pertama misalnya cerita tentang nabi-nabi dan orang-orang yang mengingkarinya serta segala hal yang mereka alami akibat pengingkaran itu. Cerita tersebut menyebutkan nama-nama pelaku, tempat-tempat kejadian, peristiwa-peristiwa secara jelas, seperti kisah Musa dan Fir’aun, Isa dan Bani Israil, Salih dan Tsamud, Hud dan ‘Ad, Nuh dan kaumnya, dsb. Jenis kedua misalnya kisah anak Adam dalam Surat Al Maidah 27-30. Sedangkan jenis ketiga misalnya Surat Al Kahfi ayat 32-43.
Dalam menyampaikan kisahnya, Al-Quran terkadang tidak hanya menyebutkan satu kali saja, melainkan mengulang-ulang kisah tersebut dalam beberapa surat lainnya. Kisah Musa misalnya, Al-Quran mengulangi kisahnya dalam 124 ayat, dan rangkaian kisahnya tersebar dalam 30 surat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan Al-Quran mengulang-ulang kisah tersebut?. Menurut Sayyid Qutub, tujuannya adalah untuk menancapkan pemikiran yang kuat tentang kisah-kisah tersebut pada manusia, bahwa kisah tersebut sungguh menyimpan value yang besar untuk diambil ibrahnya.[2] Sedangkan menurut M. Khalafullah alasan logis kenapa kisah Nabi Musa diulang-ulang dalam Al Quran adalah karena Nabi Musa adalah nabi bangsa Yahudi, yang saat itu kepercayaan agama mereka mendominasi jazirah Arab. Al Quran memilih materi-materi kisah dengan memprioritaskan unsure-unsur yang telah tumbuh di lingkungan Arab saat itu. Hal ini dimaksudkan agar kisah tersebut punya daya pengaruh yang lebih kuat.[3]
Secara garis besar orang atau tokoh yang dikisahkan dalam al-Quran adalah orang yang sholeh ataupun orang yang dzalim. Orang yang shaleh misalnya Lukman al- Hakim, sedangkan yang dzalim misalnya Fir’aun. Kisah dengan menampilkan tokoh yang shaleh bertujuan agar para pembaca meneladani tokoh tersebut dalam keshalehannya. Dan kisah yang menampilkan tokoh yang dzalim bertujuan pula agar para pembaca menjauhi sikap dan perbuatan tokoh tersebut.[4] Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam sebuah ayat yang menggambarkan nilai pedagogis sekaligus sebagai salah satu landasan metode bercerita dalam al-Quran sebagai berikut:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf ayat 3)

Kata yang menggambarkan secara langsung pada metode bercerita adalah naqushshu yang berarti Kami menceritakan. Naqushshu berasal dari kata qashsha-yaqhushshu yang berarti menceritakan. Dalam ayat diatas tampak secara jelas bahwa terdapat guru yang mengajarkan yaitu Allah SWT sendiri, guru memberikan isi cerita yang terbaik ‘ahsanal qashash’ sebagai materi pembelajaran. kata al-qashash menurut Qurais Syihab adalah bentuk jamak dari qishash/kisah. Ia terambil dari kata qashsha yang pada mulanya berarti mengikuti jejak. Kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode.[5]
Kata ahsanal qashshah berarti kisah yang paling baik. Sebagaimana digambarkan dalam Syamil al-Quran Miracle The Reference adalah kisah Nabi Yusuf as. Kisah Nabi Yusuf adalah sebaik-baik kisah dalam perjalanan hidup manusia. Nabi Yusuf adalah salah seorang nabi yang banyak dikisahkan dalam al-Quran. Nyaris seluruh bagian surat Yusuf, salah satu yang terpanjang didalam al-Quran, mengisahkan kehidupan dan keluarganya. Pada awal surat ini Allah mengungkapkan bahwa kisah hidupnya mengandung tanda-tanda, bukti-bukti, dan hikmah yang penting. “Sesungguhnya ada tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya” (QS. Yusuf ayat 7). Sebagaimana halnya dengan nabi-nabi lainnya, orang yang beriman yang membaca kisah nabi Yusuf akan menemukan banyak hal yang menentramkan dan mendapatkan banyak pelajaran.[6]
Pada akhir ayat tersebut menggunakan kata al-ghafiliin. Menurut Quraisy Shihab, kata al-ghafiliin terambil dari kata ghafala yang makna dasarnya berkisar pada ketertutupan. Tanah yang tidak dikenal karena tanpa tanda-tanda disebut ghulf, dan  karena ketiadaan tanda itulah maka orang tidak mengetahuinya. Kata ghafil biasanya juga diartikan lengah, yang tidak mngetahui bukan karena kepicikan akal, akan tetapi karena kurangnya perhatian.[7] Apabila kata naqushshu dikaitkan dengan kata al-ghafilin artinya orang-orang yang belum mengetahui, hal itu menggambarkan adanya proses pembelajaran untuk mengajari manusia yang belum mengetahui dengan materi kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Quran menggunakan metode cerita. Kata al-ghafiliin diujung ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia sebelum mendapatkan cerita yang bersumber dari apa yang diwahyukan oleh Allah tidak memiliki pengetahuan.
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa cerita mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap manusia. Secara sifat alamiah manusia juga mempunyai kesenangan terhadap cerita. Oleh sebab itu sangat wajar jika cerita dijadikan salah satu metode dalam pendidikan Islam. Metode cerita ini sangat penting dalam pendidikan karena ia bersifat mengasah intelektualitas dan amat berpengaruh dalam menanamkan nilai-nilai moralitas serta humanisme yang benar.[8]
Dalam dunia pendidikan, metode cerita ini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Dalam usia anak-anak misalnya, guru bisa memberikan cerita dengan mendongeng. Materi dongeng bisa mengambil cerita-cerita faktual para nabi dan rasul ataupun orang-orang shaleh. Selain itu guru juga bisa membuat cerita fiktif sendiri dengan mempertimbangan perkembangan keagamaan anak. Sesuai hasil penelitian Ernest Harms, pada usia anak-anak konsep mengenai sesuatu lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Kehidupan pada masa ini banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun masih menggunakan konsep fantastis yang meliputi dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.[9]
Metode cerita dalam dunia pendidikan harus memperhatikan situasi kapan metode ini cocok digunakan, tentunya juga dengan memperhatikan tujuan pembelajaran tersebut. Hal tersebut untuk menjadikan metode cerita yang digunakan tepat sasaan dan dapat menjadikan materi pembelajaran tersampaikan dengan baik. Situasi penggunaan metode cerita dalam pendidikan daintaranya:[10]
1.      Mendidik keteladanan
Guru harus jeli melihat materi yang akan diajarkan pada peserta didik. Apabila materi yang akan diajarkan memang untuk menggiring peserta didik pada penguasaan akhlak dan moral, maka metode ini sangat tepat digunakan. Sebab dengan menceritakan sebuah kisah peserta didik biasanya akan lebih terikat dan mengikuti ide cerita sembari membandingkan dengan dirinya hari ini. Bila demikian halnya, maka keteladanan yang ada dalam cerita diharapkan dapat diresapi oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Menarik perhatian dan merangsang otak
Kisah-kisah yang mengandung hikmah sangat efektif untuk menarik perhatian dan merangsang otak. Dengan mendengarkan cerita peserta didik akan merasa senang sekaligus menyerap nilai-nilai pendidikan islam tanpa merasa dipaksakan. Hal ini juga telah dicontohkan Rasulullah, beliau sering bercerita tentang kaum-kaum terdahulu agar mengambil hikmah dan pelajaran darinya.
3.      Menanamkan nilai akhlak dan emosional
Metode bercerita dapat mengungkapkan peristiwa yang mengandung nilai-nilai pendidikan moral, rohani, dan social untuk peserta didik, baik cerita bersifat kebaikan, kedzaliman, atau cerita tentang ketimpangan jasmani-rohani, material-spiritual yang dapat melumpuhkan semangat manusia. Dengan mendengarkan suatu cerita, kepekaan jiwa dan perasaan anak didik dapat tergugah pe,berian stimulus pada peserta didik dengan bercerita secara otomatis mendorong anak didik untuk berbuat kebaikan, dan dapat membentuk akhlak mulia serta membina rohani.
4.      Anak usia pra sekolah
Orang tua memberikan cerita dari hal-hal yang sederhana. Menurut Muhammad Quthb dengan cerita, anak mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan dan mempunyai pengaruh terhadap jiwa anak.
5.      Peserta didik yang mempunyai kecerdasan verbal-linguistik
Peserta didik yang memiliki kecerdasan verbal linguistic cenderung mempunyai kemampuan retoris bahasa atau kemampuan untuk meyakinkan orang lain dari serangkaian tindakan, potensi dalam mengingat bahasa, atau kemampuan untuk mengingat bahasa. Oleh karena kecerdasan linguistik ada pada pengolahan kata-kata atau berbicara, maka dengan mendengarkan cerita peserta didik akan memiliki banyak perbendaharaan kata dan dapat mengambil hikmah dari isi cerita tersebut.

Menurut Abduddin Nata, Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita yang pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh sebab itu perlu adanya desain metode cerita ini dalam pembelajaran agar guru dengan mudah menerapkannya hingga pembelajaran menarik dan sampai pada tujuan maksimal. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:[11]
1.      Menetapkan tujuan
Agar pembelajaran dapat terlaksana dan mencapai sasaran maka perlu ditetapkan tujuannya. Penetapan tujuan dalam pembelajaran tidak lepas dari indicator-indikator yang telah ditetapkan.
2.      Memilih jenis cerita
Jenis cerita terkadang memang guru yang menentukan, namun disisi lain bila memang indikator pembelajaran menceritakan kisah Nabi Ibrahim misalnya, maka tidak dapat tidak seorang guru harus menyesuaikan dengan indicator tersebut hingga tidak ada alasan lain untuk memilih jenis cerita yang sesuai.
3.      Menyiapkan alat peraga
Guru harus mempersiapkan alat peraga yang dibutuhkan dalam bercerita jika memang cerita tersebut membutuhkan alat peraga, tetapi jika tidak berarti guru hanya menyiapkan suara yang baik dan stamina yang cukup.
4.      Memperhatikan posisi duduk peserta didik
Posisi yang baik dalam bercerita adalah siswa mengelilingi guru dengan posisi setengah lingkaran atau mendekati setengah lingkaran. Untuk mengawali bercerita sebaiknya guru memulainya dengan berdiri agar menarik perhatian siswa.
5.      Menarik perhatian peserta didik dalam penyimakan
Guru harus pandai-pandai melihat situasi peserta didiknya agar mereka tetap focus memperhatikan apa yang sedang disampaikan guru melalui ceritanya.
6.      Menceritakan isi cerita denga lengkap
Guru dalam menyampaikan cerita harus dengan alur yang jelas dan runtut, dengan tutur kata serta bahasa sederhana yang mudah diteima oleh peserta didiknya. Gaya bercerita, intonasi, ekspresi, gerakan, dan pelafalan harus diperhatikan guru agar siswa tidak bosan dengan cerita yang disampaikan.

7.      Menyimpulkan isi cerita
Guru dan murid secara bersama-sama membuat kesimpulan dari cerita yang telah disampaikan guru. Hal ini penting agar siswa diberi kesempatan menyampaikan pemahamannya terhadap cerita yang disampaikan, selain itu juga agar semua siswa mempunyai pemahaman yang tidak keliru terhadap cerita tersebut.
8.      Mengadakan evaluasi
Tujuannya untuk mengetahui seberapa tingkat pemahaman siswa, dan juga seberapa berhasilkah metode cerita ini digunakan guru. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan dua hal yaitu bisa langsung secara lisan, atau bias secara tertulis.
9.      Tindak lanjut
Tindak lanjut ini dapat dilakukan melalui hasil evaluasi dari kedua hal diatas. Bila memang ada siswa yang kurang dalam penguasaan materi maka guru harus mencai penyebab dan harus segera dilakukan perbaikan dengan cepat untuk pembelajaran berikutnya dengan metode bercerita tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Jalaludin, Psikologii Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Laksana, Indra, Syamil Al-Quran Miracle The Reference, Bandung: Sygma Publishing, 2010.

M. Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah, Jakarta: Paramadina, 2002.

Qutbh, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1993.

Shihab, Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Tambak, Syahraini, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Qutb, Sayyid, Al-Tashwir al-Fanni Fil Quran, Kairo, Darul Ma’arif.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah, 2013.





                                                                                                                        



[1] Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam , (Bandung: Al Ma’arif, 1993), hlm. 348.
[2] Sayyid Qutub, Al-Tashwir al-Fanni Fil Quran, (Kairo, Darul Ma’arif, tt), hlm. 122.
[3] M. Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 343.
[4] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 122.
[5] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 12.
[6] Indra Laksana, Syamil Al-Quran Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing, 2010), hlm. 468.
[7] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 12.
[8] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 48.
[9] Dalam penelitiannya Ernest Harms menyimpulkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga tingkatan. Pertama the fairy tale stage (tingkat dongeng), kemudian the realistic stage (tingkat kenyataan), dan terakhir the individual stage (tingkat individu).  Lihat Jalaludin, Psikologii Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 66.
[10] Syahraini Tambak, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 163-165.
[11] Ibid, hlm. 172-184.

Rabu, 19 Oktober 2016

PERKEMBANGAN DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI PESANTREN

A.    PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu sekitar abad kedua belas Masehi. Salah satu statemen yang sulit di sangkal, bahwa Islam sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Pendidikan Islam yang dimulai semenjak Islamisasi wilayah Nusantara masih eksis hingga sekarang. Penyelenggaraan pendidikan mengalami perkembangan dengan mengaadaptasi tuntutan modernisasi dan mengalami proses formalisasi. Kementrian Agama bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan Islam melalui institusi pendidikan Islam (Haidar Putra Daulay, 2007 : 3).
Sejak mulai masuk Islam ke tanah Aceh (1290 M) pendidikan dan pengajaran mulai lahir dan tumbuh dengan amat suburnya. Terutama setelah berdiri kerajaan Islam di Pasai dan banyak Ulama Islam yang mendirikan pesantren seperti Tengku di Geuredong, Tengku Cut Maplam (Mahmud Yunus, 1984 : 171).
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pada awal permulaan masih dilaksanakan secara tradisional belum tersusun kurikulum seperti saat ini. Baik itu pendidikan di surau maupun pesantren. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia sangat di perlukan. Modernisasi pendidikan Islam diakui tidaklah bersumber dari kalangan Muslim sendiri, melainkan diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial belanda pada awal abad 19.
Menurut Abuddin Nata Pendidikan Islam baik itu kelembagaan dan pemikiran haruslah dimodernisasi, mempertahankan kelembagaan Islam tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern (Abuddin Nata, 2004 : 185).
 Azyumardi Azra juga mengemukakan hal yang sama, yaitu bahwa modernisasi pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik modernisasi Islam secara keseluruhan adalah modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan persyarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern (Azyumardi Azra, 1990 : 97).
Yang menarik di era modern seperti sekarang ini, lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren masih mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren diharapkan mampu menjadi alternatif dalam mengembangkan karakter ditengah persoalan yang membelit bangsa. Sejalan dengan pernyataan tersebut, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama mampu memainkan peran dan menjawab tantangan masyarakat.
Apabila ditelaah secara historis, pendidikan Islam meluas ke segala penjuru Nusantara  pada abad ke-17. Situasi sosial intelektual pada masa tersebut mampu mempengaruhi corak keagamaan dan penyelenggaraan pendidikan Islam hingga saat ini. Oleh karena itu menarik untuk mengkaji institusi pendidikan Islam pada masa awal perkembangannya sampai dengan berbagai kemajuan serta pembaharuannya.
Dalam makalah ini, penulis mengerucutkan pembahasan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu:
a.       Apa pengertian pondok pesantren?
b.      Bagaimana sejarah perkembangan dan pembaharuan pondok pesantren?
c.       Apa saja tantangan pesantren di era modern/ abad 20?
d.      Bagaimana model pembaharuan system pendidikan pesantren?

B.     Pembahasan
a.      Pengertian Pesantren
Pesantren secara ketatabahasaan berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an, yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam sebuah pesantren terdapat lima elemen penting antara lain: pondok, masjid, kyai, santri, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Zamakhsyari Dhofier, 1983: 44-60).
Menurut Departemen Agama RI, pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren. Tempat dimana para santri menetap di lingkungan pesantren, disebut dengan istilah pondok. Dari sinilah timbul istilah pondok pesantren (Departemen Agama RI, 2003 : 1).
M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Mujammil Qomar (2005 : 2) memberikan defenisi pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari Leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independent dalam segala hal.
Lembaga Research Islam (pesantren luhur), sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qamar, mendefenisikan pesantren sebagai “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya”. Dalam penelitian ini, Mujamil Qamar memberikan defenisi pesantren yang lebih singkat, yaitu “suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen” (Mujammil Qomar, 2005 : 2).
Jadi, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.



b.      Sejarah Perkembangan dan Pembaharuan Pondok Pesantren
1.      Sejarah Perkembangan
Sejarah munculnya pesantren tidak bisa dipisahkan dari dakwah Walisongo. Walisongo mengembangkan dakwah islam melalui usahanya mengembangkan pendidikan model dukuh, asrama, dan padepokan dalam bentuk pesantren-pesantren, pesulukan-pesulukan, peguron-peguron, juga model pendidikan masyarakat yang terbuka lewat langgar, tajuk, masjid-masjid, dan permainan anak-anak. Menurut Zaini Ahmad Syis dalam buku berjudul Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (1984) yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, konteks pendidikan pesantren yang representative mencitrakan system pendidikan Islam di Nusantara, pada dasarnya adalah pengambilalihan bentuk lembaga pendidikan system biara dan asrama yang dipakai oleh para pendeta dan bhiksu mengajar dan belajar. Itu sebabnya sebagian pondok pesantren dikatakan berasal dari mandala Hindhu-Budha. Clifford Greet sebagaimana dikutip oleh Agus Sunyoto menandaskan bahwa sekalipun dalam beberapa hal, pondok pesantren mengingatkan orang pada biara, tetapi santri bukanlah para pendeta (Agus Sunyoto, 2014 : 128).
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani (Muchtarom, 1988 : 6-7).
Di Indonesia, pendidikan Islam sebelum tahun 1900 masih bersifat halaqoh (nonklasikal). Selain itu madrasah-madrasah tidak besar, sehingga kita tidak menemukan sisa-sisanya. Salah satu pesantren yang berdiri sebelum tahun 1900 yaitu pesantren Tebuireng yang didirikan K.H Hasyim Asy’ari.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mendirikan pesantren merupakan Alumni-alumni dari Mekkah . Mereka bersamaan naik haji dan tinggal beberapa tahun untuk belajar mendalami ilmu agama setelah tamat mereka kembali ke Indonesia membawa warna baru bagi pendidikan Islam. Tokoh tersebutlah yang mendirikan pesantren seperti pesantren Tebuireng yang dirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pesantren Al-Mushatafiyah Purba baru Tapanuli selatan yang dirikan oleh Syaik Mustafa Husein tahun 1913.
Metodologi pengajaran masih didominasi oleh system sorogan, dimana guru membaca buku yang berbahasa Arab dan menerangkan dengan bahasa daerah kemudian murid-murid mendengarkan. Selain itu evaluasi belajar sangat kurang diperhatikan, hal ini didiga karena tujuan belajarnya lillahi ta’ala.
Secara umum kurikulum lembaga pendidikan Islam tahun 1930 meliputi ilmu-ilmu bahasa Arab dengan tata bahasanya, fiqh, akidah, akhlak dan pendidikan. Sarana pendidikan yang dipergunakan masjid dan madrasah (kelas). Kelas tidak diukur dari hasil evaluasi tapi kelas menurut tahun masuk atau periodisasi. Tidak ada istilah kenaikan kelas, begitu 6 tahun atau 7 tahun mereka dianggap sudah tamat dan berhak untuk mengajar (Abuddin Nata, 2004 : 195).
Bahwa pendidikan pada masa sebelum tahun 1900 merupakan masa tradisional dalam system pendidikan Islam di Indonesia. Masa tersebut belum adanya pembaharuan tentang system pendidikan baik pada kurikulum, kitab-kitab yang masih banyak menggunakan tulisan tangan manusia dan metode pengajaran yang mengunkan system bandungan dan halaqah dalam proses belajar mengajar.
Menurut Mahmud Yunus dimana dimulainya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia di mulai dari tahun 1931 lembaga pendidikan Islam Indonesia memasuki warna baru. Pembaharuan pendidikan Islam Indonesia di rintis oleh para alumni-alumni yang belajar di negara timur tengah khususnya Mekkah.
Pengaruh pendidikan modern sangat mendapat respon positif, karena banyak lembaga pendidikan yang menganut system modern seperti Kulliah Mu’allimin Islamiyah yang berdiri pada tahun 1931 Pimpinan Mahmud yunus. Selain itu Pondok Modern Darussalam Gontor ponorogo pimpinan K.H Imam Zarkasyi sudah mengikuti kurikulum dan system pendidikan Normal sebelumnya masih secar tradisional.
Selain pengetahuan umum sebagai pembaharuan dalam periode ini, selain itu juga pembaharuan dalam bidang metodologi misalnya Mahmud Yunus menerapkan tariqah al-mubasyirah dalam belajar bahasa Arab, dan metodologi pengajaran setiap bidang studi sangat variatif. Adapun evaluasi sudah menjadi alat ukur keberhasilan siswa.

2.      Pembaharuan Pondok Pesantren di Indonesia
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19 (Azyumardi Azra, 1990 : 98). Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Point penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan kelembagaan pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyrakat muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan pengalaman histories yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk mempu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system pendidikan Islam tradisional seperti suaru (Minangkabau) dan Pesantren (Jawa) terhadap modernisasi pendidikan Islam menurut Karel Steenbrink dalam kontek surau tradisional menyebutnya sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek pesantren sebagai menolak sambil mengikuti. Untuk itu , tak bisa lain dalam pandangan mereka, surau harus mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan modern yang telah diterapkan oleh kaum reformis, khususnya system klasikal dan penjejangan, tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas pesantren menolak asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti mengikuti langka kaum reformis . karena memiliki manfaat bagi para santri, seperti system penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan system klasikal. Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren Mambahul ‘Ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah (Adabiah School) di Padang. Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang (daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School (Madrasah Diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915 (Mahmud Yunus, 1984 : 66).

c.       Tantangan Pesantren di Era Modern abad 20
Dalam perjalanananya di dunia pendidikan yang berabad-abad, lembaga pendidikan pasti selalu menghadapi tantangan, hambatan dalam menghadapi budaya serta perkembangan teknologi yang tidak dapat diperkirakan dampaknya kepada seluruh umat manusia yang menjadi subjek dan objek pendidikan serta berbagai media yang merupakan sarana prasarana pendidikan.
Pesantren saat ini menghadapi multi tantangan. Dari berbagai multi tantangan itu, setidaknya ada empat tantangan besar yang harus dihadapi oleh pesantren. Pertama; pesantren sebagai basis pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab untuk melahirkan para ulama/kyai baru. Hal ini perlu dilakukan pesantren mengingat saat ini Indonesia semakin krisis ulama dengan kemampuan kelimuan yang luas. Tantangan kedua yang dihadapi pesantren adalah berkurangnya minat masyarakat untuk menjadikan pondok pesantren sebagai pusat pendidikan. Tantangan ketiga terkait dengan adanya tuntutan para alumni pondok pesantren yang menginginkan agar para lulusan pondok pesantren dapat sejajar dengan lulusan sekolah atau perguruan tinggi umum lainnya. Tantangan keempat adalah terkait dengan lambatnya pesantren dalam merespon tuntutan inovasi kurikulum yang sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga pondok pesantren dinilai stagnan.

d.      Model Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren
Banyak gagasan yang menopang bagi perkembangan pesantren pada umumnya, setidaknya ada 2 pola yang bisa diupayakan yaitu pola vertikal dan horizontal. Secara vertikal pesantren selayaknya berusaha untuk semakin mengembangkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang memberikan pembinaan secara lebih khusus terhadap moralitas dan spiritual santri.    Bidang ini merupakan muatan pragmatis, yaitu perhatian terhadap hubungan dengan masalah-masalah kebutuhan moral dan spiritual masyarakat modern yang dihadapkan kepada masalah-masalah kontemporer. Penekanan di bidang ini dilaksanakan melalui penciptaan kondisi penghayatan keagamaan yang kuat dan indah, sehingga tercipta hubungan hakiki yang terus menerus. Dengan pengembangan ini diharapkan nilai-nilai moral dan spiritual itu dapat “dibumikan” dalam kehidupan nyata dalam kebutuhan dunia modern.
Pola pembaharuan kedua yang bisa diupayakan dilakukan di pesantren adalah yang bersifat horizontal. Pembaharuan ini meliputi sistem pendidikan dan sistem manajemen pesantren, yaitu dengan memasukan jenis pendidikan lain di samping pendidikan agama seperti pendidikan akademik yang bersifat formal ataupun non-formal. Pesantren tidak boleh alergi dengan teknologi, tetapi justru harus memanfaatkan dan memaksimalkan teknologi tersebut untuk pengembangan kualitas para santrinya.
Kaum santri pada umumnya kini sudah mendengar bahwa UU Sisdiknas baru, telah mengadopsi model pesantren sebagai bagian integral dalam system pendidikan nasional. Ini bisa dimaknai angin segar bagi model pendidikan yang merasa terpinggirkan seperti pesantren selama ini (Sulthon Masyhud dan Khusnul Ridho, 2003 : 95).
Kini saatnya generasi bangsa untuk memperbaharui system pendidikan pesantren kita agar tidak ketinggalan, dan membuktikan bahwa kaum muslimin juga mampu menjadi cendekia dalam bidang ilmu pendidikan, baik agama maupun umum. Karena bagaimanapun pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan agama islam yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain, selain itu peran pesantren dalam sejarah Indonesia sangat berpengaruh, sehingga eksistensi dan kiprahnya harus terus dijaga. 

C.    Kesimpulan
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam, mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan pendidikan islam di indonesia.
Pesantren mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lain, yaitu memiliki beberapa unsur yang sangat penting diantaranya pondok, masjid, santri, kyai dan kitab-kitab islam klasik.
Pendidikan Islam di Indonesia mengalamai dua priodesasi dalam perkembangan yaitu periode sebelum tahun 1900 merupakan pendidikan Islam secara tradisional. Sedangkan priode setelah tahun 1900 atau awal abad 20 merupakan awal pembaharuan pendidikan Islam Indonesia.
Perintis perubahan atau pembaharuan pendidikan Islam Indonesia menuju modernisasi pedidikan Islam yang modern; pertama datang dari pemerintahan Belanda yang mendirikan sekolah rakyat dan kedua datang dari para reformis muslim yang merupakan para pelajar-pelajar Indonesia kembali dari di Mekah yang belajar disana.
Lembaga pendidikan Islam baik itu Pesantren maupun Surau pada awal permulaan masih dilaksanakan dengan system tradisional tidak adanya klasikal setelah adanya serangan dari para reformis Muslim lambat laun menerima dengan respon yang baik dan masih ada sebagian lembaga pendidikan Islam yang masih tetap melaksanakan secara tradisional.