Kamis, 19 Januari 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU DI BARAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-6 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan.[1]
Pada awal perkembangannya, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi pergeseran paradigma. Filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat satu kesatuan dengan agama (dogma gereja). Renaissance pada abad ke-15 dan Aufklaerung pada abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat, yaitu filsafat memisahkan diri dari agama. Orang mulai bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut dihukum gereja. Sebagai kelanjutan dari zaman renaissance, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai ‘anak-anak’ filsafat berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada abad ke-20.[2]
Untuk memudahkan memahami perkembangan ilmu di Barat perlu dibuat periodesasi. Periodesasi ini didasarkan atas ciri pemikiran yang dominan pada waktu itu. Periodesasi tersebut dikelompokan menjadi empat,[3] yaitu: Pertama, Zaman Yunani kuno yang corak filsafatnya kosmosentris. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya. Kedua, Zaman Abad Pertengahan dengan corak filsafatnya teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran untuk memperkuat dogma-dogma gereja. Ketiga, Zaman Abad Modern dengan corak antroposentris. Para filosof pada zaman ini memusatkan analisis filsafatnya pada manusia. Keempat, Zaman Kontemporer dengan corak logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus para filosof.
Untuk memahami lebih lanjut tentang latar belakang kelahiran, ciri-ciri pemikiran dan tokoh-tokoh filosof pada masing-masing periodesasi tersebut, maka penulis akan menjelaskan lebih rinci dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan ilmu di Barat dari zaman Yunani Kuno sampai kontemporer?
2.      Bagaimana perkembangan teori-teori tentang kebenaran ilmu?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui perkembangan ilmu di Barat dari zaman Yunani Kuno sampai zaman kontemporer beserta para tokohnya.
2.      Untuk mengetahui perkembangan berbagai teori tentang kebenaran ilmu.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Ilmu Di Barat
1.      Zaman Yunani Kuno (Abad 6 SM-6 M)
Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 SM yang ditandai dengan runtuhnya mitos dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia sudah mulai meninggalkan mitos-mitos yang bersifat irasional menuju pada pemikiran yang rasional, atau dalam bahasa lain disebut zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa itu sering diceritakan bahwa alam semesta dan kejadian didalamnya terjadi berkat kuasa-kuasa gaib adikodrati, atau kuasa dari para dewa-dewi.[4]
Pada periode Yunani Kuno ilmuwan merangkap sebagai seorang filsuf. Pada saat itu belum ada batas yang tegas antara ilmu dan filsafat. Berbeda dengan masa Pra-Yunani, masa Yunani  Kuno memiliki ciri-ciri antara lain: Tidak percaya pada mitos, kebebasan berpendapat, tidak menerima pengalaman secara mutlak, tetapi menyelidiki sesuatu secara kritis.[5]
Persoalan filsafat yang diajukan pada zaman ini adalah tentang keberadaan alam semesta, termasuk apa yang menjadi asal muasal alam raya ini. Tokoh pertama yang tercatat mempersoalkan adalah Thales (625-545 SM), diikuti oleh Anaximander (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM)[6], dan Phytagoras (580-500 SM). Hasil pemikiran mereka sangat sederhana untuk ukuran saat ini. Walaupun demikian, untuk sampai pada kesimpulan tersebut masing-masing filsuf melakukan kontemplasi yang tidak singkat. Dari hasil perenungan yang mendalam itulah, Thales menyimpulkan bahwa asal muasal (inti) dari alam ini adalah air, Anaximander menyimpulkan apeiron, yakni suatu zat yang tidak terbatas sifatnya, Anaximanes menyimpulkan udara, sedangkan Phytagoras menyimpulkan bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda maupun dasar pokok dari sifat-sifat benda.[7]
Zaman keemasan Yunani diawali oleh tokoh pemikir Socrates (470-399 SM), yang kemudian diikuti Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Masa Socrates ini, mulai ada pergeseran fokus penyelidikan. Fokus penyelidikan tidak lagi pada alam, tetapi fokus kepada manusia. Karena filsafat alam dirasa tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan.[8] Socrates tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis, ia langsung menerapkan metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Metode berfilsafat yang diuraikannya disebut ‘dialektika’ yang berarti bercakap-cakap, disebut demikian karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki dalam filsafat Socrates. Socrates menyebutkan sendiri metode berfilsafatnya itu sebagai ‘maieutike tekhne’ (seni kebidanan), artinya fungsi filosof hanya membidani lahirnya pengetahuan.
Socrates tidak meninggalkan tulisan apapun. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar darinya hanya dapat diketahui dari tulisan-tulisan muridnya, yaitu Plato. Dalam dialog-dialog Plato, Socrates hampir selalu menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah apakah pandangan yang dinisbatkan kepada Socrates adalah benar-benar pandangannya atau pandangan Plato sendiri.
Socrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Socrates menurunkan filsafat dari langit lalu mengantarkan ke kota-kota, dan kemudian memperkenalkan ke rumah-rumah. Karena itu dia didakwa ‘memperkenalkan dewa-dewi baru dan merusak kaum muda’, dan karenanya Socrates dibawa ke pengadilan Athena. Dewan juri menyatakan bersalah, meskipun sesungguhnya Socrates dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan Athena. Namun, tetap setia pada hati nuraninya dan memilih minum racun (sebagai vonis baginya) dihadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.[9]
Yang mau dituju Socrates dalam setiap pembicaraan dengan partner bicaranya adalah paham-paham atau definisi-definisi mendalam dan tahan uji tentang keutamaan etis. Untuk itu, ia memulai pembicaraannya dari hal-hal yang bersifat khusus-partikular tentang suatu keutamaan. Dari situ kemudian mengupayakan pengertian umum-universal mengenainya. Metode berfikir tersebut dikenal dengan metode berfikir indukif, yaitu dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya khusus ke pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.
Dialog Socrates dimulai dengan contoh-contoh. Contohnya, ‘tindakan ini’ disini dan ‘tindakan itu’ disana disebut tindakan keutamaan. Jadi ini dan itu merupakan contoh-contoh khusus dan partikular dari tindakan keutamaan. Lantas Socrates bertanya, Apa yang merupakan kesamaan dari semua itu?, Adakah ‘yang umum’ yang merupakan hakikat dari tindakan keutamaan itu?. Dalam mengajukan pertanyaan ini, dia mengetahui bahwa jawaban final dan tuntas atas pertanyaan ini sebenarnya tidak dapat ia ketahui. Meskipun demikian, ia tetap saja melontarkannya untuk mendapatkan tanggapan dari partner-nya. Kesadaran ketidaktahuan ini disebut Ironi Socrates.[10]
Jasa besar Socrates lainnya bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elenchus, yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, ia dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.[11]
Tokoh besar lainnya pada zaman ini adalah Plato (428-348 SM), ia merupakan murid dan pengagum Socrates. Maka tidak heran kalau pandangan filsafat-filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya tersebut. Kendatipun demikian, ia lebih rajin daripada gurunya dalam segi menulis. Dia sangat rajin menulis buku dengan gaya sastra yang tinggi. Kebiasaan menulisnya ini terus dilakukan sampai akhir wafatnya. Terbukti dengan karangannya yang terahir yaitu Nomoi (undang-undang) yang belum selesai ia tulis sampai ia menghembusan nafas terakhirnya ketika berumur 80 tahun.
Plato menyumbangkan ajaran tentang ‘idea’. Dengan ajarannya tersebut Plato tidak hanya berhasil menciptakan suatu sistem filsafat yang merangkum dan merangkul berbagai persoalan filosofis sebelumnya, melainkan juga membangun suatu kerangka pemikiran yang pengaruhnya luar biasa besar pada pemikiran filosofis di Barat berabad abad setelah wafatnya.
Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia rasional), dan dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca indera kita (dunia inderawi). Dalam dunia rasional tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada dalam dunia inderawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.[12]
Ide-ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata daripada objek-objek material yang terlihat oleh mata. Keberadan bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan berahir. Adaun ide tentang bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya tidak akan berubah dan kekal adanya. Karena itu, hanya ide yang merupakan realitas yang sesungguhnya dan abadi. Dunia inderawi adalah suatu realitas yang tidak tetap dan berubah-ubah. Adapun dunia ide adalah suatu realitas yang tidak bisa dilihat, dirasa, dan didengar, dunia yang benar-benar objektif dan berada diluar pengamatan manusia. Apa yang disebut pengetahuan sebenarnya hanya merupakan ingatan terhadap apa yang telah diketahuinya di dunia ide, konon sebelum berada di dunia inderawi, manusia pernah berdiam di dunia ide.[13]
Ide tentang dua dunia tersebut membawa Plato pada pandangannya mengenai pra-eksistensi dan pasca-eksistensi jiwa. Menurutnya, sebelum berada dalam badan, jiwa sudah mengalami pra-eksistensi dimana ia menatap ide-ide. Namun kemudia ia mengalami inkarnasi dan masuk kedalam tubuh. Ia mengungkakan keadaan ini dengan dua kata Yunani yaitu soma-sema, maksudnya badan (soma) adalah kuburan (sema) bagijiwa. Kerinduan dan tujuan manusia sesudah kehidupannya didunia adalah terbebas dari penjara tubuh agar dapat kembali memasuki keadaan aslinya yakni pulang ke kerajaan ide-ide. Untuk mencapai tujuan itu, rasio mempunyai peranan besar. Kalimat terakhir ini mengantar kita memasuki ajaran Plato tentang etika, yakni tentang bagaimana mencapai hidup yang baik.[14]
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato yang bernama Aristoteles.[15] Ia merupakan filosof pertama yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem meliputi: logika, filsafat alam, ilmu jiwa, metafisika (sebab pertama), etika, dan ilmu politik.[16] Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab.
Menurutnya tiap kejadian mempunyai empat sebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami segala sesuatu. Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah:[17]
1.      Penyebab material (material cause): inilah bahan darimana benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.
2.      Penyebab formal (formal cause): inilah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
3.      Penyebab efisien (efficient cause): inilah sumber kejadian, factor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat sendiri sebuah kursi.
4.      Penyebab final (final cause): inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat supaya orang dapat duduk diatasnya.
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut induktif dan deduktif. Induksi ialah menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Sedangkan deduktif ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman itu.[18] Salah satu dari contoh deduksi adalah silogisme, yakni pengambilan kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya:

Semua manusia akan mati
Sokrates adalah seorang manusia
Maka: Socrates akan mati

Dalam silogisme diatas, pernyataan pertama adalah premis umum atau mayor, pernyataan kedua adalah premis khusus atau minor, dan pernyataan ketiga adalah kesimpulan.
Sama seperti gurunya, Aristoteles juga senang menulis. Tulisan-tulisan Aristoteles cenderung lebih kaku, kering, seperti ensiklopedi. Apa yang ditulis pada umumnya merupakan hasil telaah lapangan. Tulisan-tulisan yang sampai kepada kita kebanyakan berupa naskah-naskah perkuliahan yang ia pergunakan di sekolahnya.[19] Dari tulisan-tulisan inilah, berasal apa yang dikenal sebagai Corpus Aristotelicium, yakni kumpulan karangan Aristoteles mengenai organon (yang kemudian dikenal dengan istilah logika), tulisan mengenai ilmu pengetahuan alam, metafisika, berbagai tulisan tentang etika, dan buku-buku mengenai estetika. Maka tidak heran jika kemudian hari dia dikenal sebagai pelopor, penemu, atau bapa logika, kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum ada logika.
Aristoteles membagi filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi lima, yaitu:
1.      Logika: tentang bentuk susunan pikiran
2.      Filosofia teoritika yang diperinci lagi menjadi:
a.       Fisika                 : tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya)
b.      Matematika        : tentang barang menurut kualitasnya
c.       Metafisika          : tantang ‘ada’
3.      Filosofia praktika: tentang kehidupan kesusilaan yang diperinci menjadi:
a.       Etika                  : tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan.
b.      Ekonomia           : tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan
c.       Politika               : tentang kesusilaan dalam hidup kenegaran
4.      Filosofia poetika/ aktiva (pencipta)
5.      Filsafat kesenian

Sesudah Aristoteles meninggal, ajarannya diteruskan oleh murid-muridnya yang kemudian termasuk dalam apa yang disebut sebagai madzhab Paripatetik.[20] Dilihat dari sudut dampak pemikirannya terhadap sejarah filsafat, Aristoteles memang bersaing dengan Plato. Pada abad pertengahan, filsafat Aristoteles menjadi fundamental bagi ajaran Skolastik. Pada zaman ini,karya-karya filsafat Aristoteles diangap sebagai ‘tidak mungkin sesat’. Namun angapan ini kelak didobrak pada zaman modern dengan munculnya seorang filosof Jerman yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) yang dijuluki sebagai der Alleszermalmer (sang penghancur segala sesuatu).

2.      Zaman Pertengahan (Abad 6-16 M)
Abad pertengahan dimulai setelah runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke 5 M dinyatakan sebagai abad pertengahan karena zaman ini berada di tengah-tengah antara dua zaman, yaitu zaman kuno dan zaman modern.[21] Zaman Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Filosof Yunani yang berpengaaruh pada abad pertengahan adalah Plato dan Aristoteles. Plato menampakkan pengaruhnya pada Agustinus, sedangkan Plato pada Thomas Aquinas.[22]
Namun dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran, bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran. Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja. Gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.[23]
Pada zama Kristiani ini mencapai dua kali periode keemasan yaitu zaman Patristik dan Skolastik,[24] yaitu :
a.       Zaman Patristik
Patristik dalam bahasa latin disebut Patres (Bapa bapa Gereja). Ajaran-ajaran filsafat dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Merek berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir.
Zaman Patristik dibagi atas Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik Yunani antara lain Clemens dari Alexandria, Origenes, Gregorius dari Nazianze, Basilius, Gregorius dari Nizza, dan Dionysios Areopagita. Sedangkan tokoh-tokog dari Patristik Latin yaitu Hilarius, Ambrosius, Hieronymus, dan Augustinus.
b.      Zaman Skolastik
Skolastik dalam bahasa latin disebut scholasticus yang berarti guru. Disebut skolastik karena dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajaran meraka yaitu hubungan antara iman dan akal budi, adanya hakikat Tuhan, antropologi, etika, dan politik. Tokoh-tokoh dari zaman Skolastik ini antara lain Albertus Magnus, Thomas Aquino, Bonaventura, dan Yohanes Duns Scotus.

Zaman Renaissans (14-16 M)
Peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan zaman Renaissans. Periode ini terjadi sekitar tahun 1400-1600 masehi.[25] Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat.
Zaman renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas. Pada zaman renaissans manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dan mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.[26]
Pada zaman ini, manusia disebut sebagai animal rationale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis sejak zaman Renaissans. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Copernicus, Johannes Keppler, dan Galileo Galilei.
Copernicus adalah seorang tokoh gerejani yang ortodoks. Dia mengemukakan bahwa matahari berada di pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teori ini disebut “heliosentrisme” dimana matahari adalah pusat jagad raya. Teori Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta terutama astronomi.[27] Pendapat ini berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hipparahus dan Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (goesentrisme).[28]
Pemikiran yang revolusioner dari Copernicus ini juga terjadi dalam dunia hukum yakni terkait dengan hukum internasional dan hukum tata Negara. Tokoh utama yang terkenal dalam bidang ini adalah Hugo de Groot. Di samping itu, revolusi lebih lanjut di bidang sains dikemukakan pula oleh Francis Bacon. Sebagai perintis filsafat ilmu, Bacon memperkenalkan metode baru yang kemudian berkembang dan diterapkan  untuk ilmu-ilmu empiris yaitu logika induktif. [29] Gagasan Bacon tentang metode ilmiah terkenal dengan nama induksi Baconian. Metodenya dijelaskan secara rinci dalam bukunya yang berjudul Novum Organum. Dalam bukunya ini ia secara positif hendak membengun kembali ilmu yang baru melalui metode ilmiah. Selain itu, Bacon menolak menggunakan silogisme berdasarkan pandangan bahwa inudksi harus bertumpu pada observasi tentang benda-benda, fakta atau peristiwa khusus, dan harus dilaksanakan seluas mungkin.[30]
Galileo Galilei membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam astronomi. Ia melihat bahwa planet Venus dan Merkurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari.[31]
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti : pengamatan (observation), penyingkiran (elimination) segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif atas peristiwa tersebut, peramalan (prediction), pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.[32]
Sedangkan Johannes Keppler menemukan tiga buah hukum, yaitu : (1) Bahwa gerak benda angkasa itu ternyata bukan bergerak mengikuti lintasan cirde, namun gerak itu mengikuti lintasan elips. Orbit semua planet berbentuk elips. (2) Dalam waktu yang sama, garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang yang luasnya sama. (3) Dalam perhitungan matematika terbukti bahwa bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2 : Q2 , X3 : Y3.[33]

3.      Zaman Modern (Abad 17-19 M)
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.[34] Dengan demikian, filsafat pada zaman modern memilki corak yang berbeda dengan periode filsafat zaman pertengahan. Perbedaan tersebut terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri.
Filsafat zaman modern ini bercorak “antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan filsafat. Semua filsuf pada zaman ini menyelidiki segi-segi subjek manusiawi, “aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan.[35]
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Eropa sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut Slamet Santoso sebenarnya mempunyai tiga sumber yaitu :[36]
1.      Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjungan Iberia dengan negara-negara Prancis. Para pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol,, kemudian mereka inilah yang menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu di lembaga-lembaga pendidikan di Perancis.
2.      Perang Salib yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara masing-masing.
3.      Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa Turki, sehungga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir bagi  perkembangan ilmu di Eropa.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Rennaisans. Seperti Rene Descrates, tokoh yang terkenal sebagai bapak filsafat modern. Tokoh-tokoh yang muncul di era modern ini adalah:
1.         Rene Descrates juga seorang ahli ilmu pasti. Bagi Descrates tidak dapat menerima apapun  sebagai hal yang benar, kecuali jika diyakini bahwa itu memang benar. Untuk memudahkan penyelesaian masalah, maka perlu dipilah-pilah menjadi bagian kecil. Berfikir runtut dari hal yang sederhana menuju hal yang rumit. Pemeriksaan menyeluruh setelah mengerjakan sesuatu supaya tidak ada yang terlupakan.
2.         Isaac Newton dengan temuannya teori Gravitasi, Calculus, dan Optika. Munculnya teori gravitasi kelanjutan dari teori gerak yang dimunculkan oleh Galileo dan Keppler. Jika Galileo, gerakan itu lurus, Keppler berbentuk elips tanpa menjelaskan sebabnya, maka Newton membuat teori gravitasi, bahwa keelipsan lintasan itu karena ada daya tarik antara dua benda yang berdekatan.
3.         Charles Darwin dengan teorinya yang paling popular adalah struggle for life (perjuangan untuk hidup), yang kemudian melahirkan teori evolusi bahwa manusia berasal dari monyet.
4.         J.J. Thompson dengan temuannya elektron, yang meruntuhkan teori yang mengatakan bahwa materi yang paling kecil adalah atom. Penemuan ini penting bagi pengembangan fisika-nuklir yang mampu mengubah atom menjadi energi lain.[37]
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke 17 adalah persoalan epistimologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistimologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri.[38] Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam filsafat abad 17 ini muncullah beberapa aliran yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Beberapa aliran tersebut adalah :
1.      Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yng mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.[39] Tokoh yang mempelopori aliran ini adalah Rene Descrates. Descrates berpendapat bahwa agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan suatu metode yang baik, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya atau keragu-raguan. Menurutnya, suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal adalah corgito ego sum yang artinya aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang jelas dan tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperoleh hasil yang sahih dalam metodenya, Descrates mengemukakan empat hal, sebagai berikut:[40]
a.       Tidak menerima suatu apapun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mempu merobohkannya.
b.      Pecahkan setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
c.       Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai hal-hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
d.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungn-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yankinbahwa tidak ada satupun yang mengabaikan atau tertinggal dalam penjelajahan itu.
Sebagai aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengatahuan dan kebenaran, rasionalisme selalu berpendapat bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan. Dan menurut rasonalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum “sebab-akibat” karena peristiwa yang tak terhingga dalam kejadian ala mini tidak mungkin dapat diobservasi.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan  akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.[41]
2.      Empirisisme
Istilah empiris berasal dari kata emperia (Yunani) yang berarti pengalaman inderawi. Empirisisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/pengindraan. Karena itu, empirisisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman bathiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.[42]
Salah satu tokoh terkemuka aliran ini adalah David Hume, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Hume yakin bahwa pengenala inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Ada dua hal yang dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa cirri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedangkan gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan.
Sedangkan tentang kausalitas, Hume berpandangan bahwa jika gejala tertentu diikuti oelh gejala lainnya, lalu dari berbagai gejala tersebut diambil kesimpulan maka kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya member urutan gejala, tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Karena itulah Hume menolak kausalitas.[43]
Pada hakikatnya pemikiran Hume bersifat analtis, kritis, dan skeptic. Ia berpangkal pada suatu keyakinan bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas, dan tidak dapat diragukan. Berdasarkan pendapatnya, Hume sampai pada kesimpulan bahwa “aku” termasuk dalam dunia khayalan. Sebab bagi Hume dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara objektif sistematis, karena tidak ada hubungan sebab akibat di antara kesan-kesan.[44]
3.      Kritisisme
Seorang filsuf besar Jerman yang bernama Immanuel Kant telah melakukan usaha untuk menjembatani pendangan-pandangan yang saling bertentangan, yaitu antara rasionalisme dan empirisisme. Filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant ini adalah filsafat kritisisme. Kant mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sepihak empirisisme. Menurut aliran ini, baik rasionalisme maupun empirisisme keduanya berat sebelah. Pengalaman manusia merupakan paduan antar sintesa unsure-unsur aspriori (terlepas dari pengalaman) dengan unsure-unsur aposteriori (berasal dari pengalaman).[45]
Kant mencoba untuk mempersatukan rasionalisme dan empirisisme, mengatakan bahwa dengan hanya mementingkan salah satu dari kedua aspek sumber pengetahuan, tidak akan diperoleh pengetahuan yang kebenarannya bersifat universal sekaligus dapat memberikan informasi baru. Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang bersifat universal, tetapi tidak memberikan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan empiris dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal.
Dengan filasafat kritisnya Immanuel Kant telah menunjukkan jasanya yang besar, karena berdasarkan atas penglihatannya yang begitu jelas mengenai keadaan yang saling mempengaruhi di antara subyek pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ia telah memberikan pembetulan terhadap sikap berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut rasionalisme dan empirisisme, sehingga ia telah membuka jalan bagi perkembangan filsafat.[46]

4.      Zaman Kontemporer (Abad ke-20 sampai seterusnya)
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring  dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya.
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer dalam konteks ini adalah era-era tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sebagai kelanjutan mata rantai sejarah perkembangan ilmu, beberapa hal baru yang ditemukan dapat kita amati di era kontemporer, tidak lepas dari berbagai penemuan dan dasar-dasar ilmu yang telah ada dan diciptakan oleh para penemu, pakar, atau filosof di masa-masa sebelumnya.[47]
Perkembangan ilmu pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat cepat. masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dengan berbagai macam penemuan-penemuannya. Dalam bidang kedokteran terjadi perubahan besar. Dahulu madzhab Hippokrates melihat kedokteran secara holistis: individu diamati secara utuh dalam lingkungannya, sebagai bagian dari alam. Tetapi sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia harus menguasai alam : materi dan jiwa harus dipisahkan.
Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan guna semakin menajamkan daya analisis terhadap fenomena yang ditelitinya. Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika dianggap memiliki perkembangan yang sangat spektakuler. Salah seorang fisikawan termashur abad ke-20 adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak berhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.
Selain itu, zaman kontemporer ini juga terjadi penemuan-penemuan teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Selanjutnya dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Penyebaran informasi melonjak dengan luar biasa. Perkembangan teknologi juga ditandai dengan makin meluasnya penggunaan teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari dan semakin lama mencapai skala massal.[48]
Perkembangan filsafat pada zaman kontemporer juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat yang kebanyakan aliran tersebut merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern, seperti: neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan sebagainya. Namun ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain, seperti: fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan postmodernisme.[49]
a.       Fenomenologi
Fenomenologi merupakan suatu aliran filsafat yang lebih mengedepankan metode. Fenomenologi berasal dari kata fenomenom/fenomena/gejala dan fenomena tidak hanya ditangkap oleh kemampuan panca indra manusia, tetapi dapat juga ditangkap melalui intuisi manusia.[50]
Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran “a way of looking at this”. Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Edmund Husserl. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argument-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. Kembali pada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kira membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistimologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan.[51]
b.      Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist yang berarti keluar. Eksistensialisme adalah faham filsafat yang menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Tokohnya adalah Jean Paul Sartre. Ia berpendapat bahwa rasio  dialektika berbeda dengan rasio analisis. Rasio analisis dijalankan dalam ilmu pengetahuan dialektika harus digunakan jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Karl Jaspewrs mengtakan bahwa eksistensi adalah ada yang ada di dalam mite disebut jiwa, yiatu titik pangkal dari mana kita berpikir dan berbuat. Jika keberadaan segala sesuatu adalah terletak pada eksistensi jiwanya. Jiwa merupakan substansi dari yang ada.[52]
Ekistensialisme adalah alran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segalah yang ada. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.[53]
c.       Pragmatisme
Pragmatism adalah gerakan filsafat Amerika dan merupakan suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Pragmatisme merupakan aliran filsafat etika yang menyatakan bahwa yang bernilai adalah yang bermanfaat saat sekarang ini. Tokohnya yang terkenal adalah dokter ahli psikologi agama. James membedakan dua bentuk pengetahuan yakni pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan dan pengetahuan yang tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian.[54] 
d.      Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis model linguistik Saussure. Strukturalisme bertujuan untuk mendeskripsikan kesluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa. Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur social atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche, bagi Marx strukturnya adalah ekonomi, dan bagi Saussure strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.[55]
Strukturalisme merupakan aliran filsafat  yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Disini metode struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan serta hubungan antara kebudayaan dan alam. Oleh karena itu strukturalisme juga dianggap sebagai metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik. Tokoh yang brpengaruh dalam dalam filsafat strukturalisme adalah Michel Foucault.[56]
e.       Post Modernism
Post modernisme adalah tren pemikiran abad 20 yang merambah ke berbagai bidang disiplin filsafat dan dunia ilmu pengetahuan. Post modernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme atau merupakan koreksi terhadap paham filsafat modernisme yang dinilai humanis. Era ini juga dikenal sebagai neo-modernisme, yang dimaksud adalah pembaharuan kembali pemikiran modern dengan era sebelumnya yang tradisionalisme. Ide yang terpokok adalah adanya hal-hal yang spiritualis dalam kehidupan materialis. Pola ini juga bisa dianggap sebagai neo-kritik terhadap perkembangan ilmu. Tokoh yang mempelopori era ini adalah Francois Lyotarl.[57]

B.     Teori-Teori tentang Kebenaran Ilmu
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Pendekatan silogisme adalah satu-satunya metode yang efektif dalam cara berfikir pada zaman Yunani Romawi hingga zaman renaissance. Pada abad pertengahan banyak pemikiran secara silogisme, sehingga banyak pemikir yang tanpa memperhatikan kenyataan atau data empiris yang ada. Mereka tidak mengindahkan pemikiran yang nyata, yang dapat diobservasi melalui penelitian. Aristoteles pun sepertinya melakukan kesalahan yang sama. Sampai pada zaman renaissance, ajaran Aristoteles dianggap benar dan relevan. Hal ini mengakibatkan derajat ilmu kembali pada lubang kesalahan yang nisbi.
Pada abad ke-17, Francis Bacon melakukan pemberontakan dari cara berfikir tersebut. Ia berpendapat bahwa para ilmuan akan setuju pada suatu kesimpulan setelah melakukan tendensi satu dengan yang lain. Yang dimaksud tendensi disini, ketika para ilmuan menyampaikan argumennya dan melalui perdebatan maka kesimpulan itu akan diambil dari hal-hal yang utama, tidak dipungkiri lagi hal-hal yang sebenarnya benar akan terabaikan. Sehingga logika saja tidak cukup untuk mengambil sebuah kesimpulan ilmu. Hal ini karena logika merupakan teori ataupun anggapan yang sudah jadi, sehingga terkadang tidak sesuai dengan realitas.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunnyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan?. Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan indra?. Yang jelas bagi seorang skeptis pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.[58]
Definisi kebenaran secara terminology berkembang dalam sejarah filsafat. Dalam aliran filsafat masing-masing aliran mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebenaran, hal ini tergantung dari sudut mana mereka memandang. Secara garis besarnya paham-paham tersebut antara lain:
1.      Paham idealisme, memberikan pengertian bahwa ‘kebenaran’ adalah merupakan soal yang hanya mengenai seseorang yang bersangutan. Kebenaran itu hanya ide, materi itu hanya ide, hanya dalam tanggapan. Demikian dikatakan Goerge Berkeley (1685-1757).[59]
2.      Paham realisme, berpendapat bahwa ‘kebenaran’ adalah kesesuaiaan antara pengetahuan dan kentaan.[60] Karena pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata, gambaran yang ada dalam akal adalah salinan dari yang asli yang terdapat di luar akal. Aliran ini dipelopori oleh Herbert Spencer (1820-1903).
3.      Kaum pragmatis, memberikan definisi ‘kebenaran’ sebagai sesuatu proporsi itu berlaku atau memuaskan. Peletak dasar paham ini adalah C.S.Peiree (1839-1914) William James menambahkannya behwa kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide.[61]
4.      Faham penomenologi, berpendapat bahwa ‘kebenaran’ itu adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat nyata yang merupakan norma kebenaran. Mereka menganggap bahwa fenomena itu adalah data dalam kesadaran dan inilah yang harus diselidiki, supaya hakikatnya ditemukan dan tertangkap oleh kita.[62]
Dari defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka maksudkan dengan kebenaran adalah segala yang bersumber dari akal (rasio), pengalaman serta kegunaan yang dapat dibuktikan dengan realita yang ada. Dengan kata lain sebagai kebenaran ilmiah. Tapi ada kebenaran yang tak perlu dibuktikan  atau dicari pembutiannya, cukup kita terima dan yakin bahwa itu adalah suatu kebenaran.
Syarat-syarat yang menjadi tolak ukur kebenaran:
1.      Pernyataan tersebut dapat dikatakan benar jika kita tahu arti pernyataan, maksudnya dapat dimengerti.
2.      Kita tahu bagaimana menguji kebenarannya.
3.      Mempunyai cukup bukti yang memadai untuk mempercayai dan menerimanya.
Beberapa macam teori kebenaran antara lain:[63]
1.      Teori kebenaran Korespondensi
Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam teori tersebut berkorespondensi sesuai dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut atau dengan kata lain sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut.
2.      Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini mendasarkan diri pada konsistensi suatu argumentasi. Apabila ada konsistensi dalam alur berfikir, maka kesimpulan yang diambil adalah benar. Sebaliknya jika argument yang ada tidak konsisten, maka kesimpulan yang diambil adalah salah. Secara keseluruhan argument yang bersifat konsisten tersebut juga harus bersifat koheren untuk dapat disebut benar.
3.      Teori Kebenaran Pragmatis
Teori ini berpandangan suatu teori dikatakan benar bila teori keilmuan mampu menjelaskan, menggambarkan, mengontrol dan menjawab suatu gejala. Pada intinya suatu dikatakan benar jika bermanfaat memecahkan masalah.
4.      Teori Kebenaran Sintaksis
Menurut teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar apabila pernyataan-pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis yang berlaku atau syarat yang berlaku.
5.      Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori ini, suatu pernyataan memiliki kebenaran bila memiliki arti dan makna. Teori ini menguak kesyahan proporsi dalam referensi. Arti disini menunjukan dengan jelas cirri khas dari sesuatu yang ada.
6.      Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori ini menyatakan bahwa pernyataan dikatakan benar apabila pernyataan ini memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
7.      Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Menurut teori ini problema kebenaran hanyamerupakan kekacauan bahasa saja dan dapat mengakibatkan pemborosan, karena pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logic yang sama.  
Kebenaran ilmiah ada dari hasil dari penelitian ilmiah. Suatu kebenaran tidak akan muncul tanpa adanya prosedur-prosedur yang dilalui. Prosedur itu melalui tahap-tahap metode ilmiah yang berbentuk teori. Kebenaran dalam ilmu bukanlah subjekif, melainkan objektif yang berarti bahwa kebenaran teori ataupun sebuah paradigma harus didukung fakta-fakta dan kenyataan yang objektif.  Kebenaran ilmiah memiliki struktur yang diskurisif atau rasional, empiris, dan sekuler.


BAB III
KESIMPULAN

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidaklah berlangsung secara mendadak akan tetapi melalui proses bertahap. Karena itu, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan klasifikasi secara periodik. Dalam setiap periode sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan terbagi menjadi empat periode yaitu zaman Yunani Kuno, zaman Pertengahan, zaman Modern, dan zaman Kontemporer.
Zaman Yunani Kuno merupakan zaman filsafat karena pada zaman ini para filsuf tidak menerima pengalaman yang berdasarkan pada sikap. Zaman Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama.
Zaman Renaissans merupakan peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern. Zaman renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir. Pada zaman renaissans manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dan mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pada zaman modern para filsuf menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Kemudian pada zaman kontemporer ilmu berkembang dengan sangat cepat. masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dengan berbagai macam penemuan-penemuannya.
Teori-teori tentang kebenaran ilmu yang berkembang diantaranya: teori kebenaran korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis, semantic, non-deskripsi, dan logic yang berlebihan.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Bernadien, Win Usuludin, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Ermi, Suhasti, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Prajna Media, 2003.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat II, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Ghazali, Bachri, dkk., Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2005.

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke DUnia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Hasan, Erliana, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2012.

Mukhtar, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Muntasyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Nasiwan, Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik, Yogyakarta: Prima Print, 2014.

Nasution, Harun, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Nur, Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Fakutas Syariah dan Hukum Press, 2013.

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, Jakarta : Bumi Aksara, 2011.
Titus, dkk, Living Issues in Philosophy, terj. H.M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.








[1]Mukhtar, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 45.
[2] Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 56.
[3]Terdapat beberapa perbedaan dalam pengelompokan periodesasi ini, baik pengelompokan zaman ataupun masanya. Dalam beberapa referensi misalnya dalam Win Usuludin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) periodesasi ini dibagi menjadi 4 yaitu zaman Yunani (600-400 SM), zaman Patristik dan skolastik (300-1500 M), zaman modern (1500-1800 M), dan zaman sekarang (1800 M-sekarang). Dalam Suhasti Ermi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Prajna Media, 2003) diklasifikasikan menjadi lima periode yaitu: Yunani (15 SM-2 M), Abad Tengah (2-14 M), Renaisance (14-17 M), Modern (17-19M), dan Kontemporer (20-sekarang). Dalam Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), diklasifikasikan menjadi empat perode yaitu: periode kuno (600 SM-400 M), Abad Pertengahan (400-1500 M), Zaman Modern (1500-1800 M), dan zaman sekarang (setelah 1800M). Sedangkan dalam Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) juga diklasifikasikan menjadi empat yaitu: zaman Yunani kuno (abad 6 SM-6 M), Zaman Pertengahan (6-16 M), Zaman Renaissance (14-16 M), zaman modern (17-19 M) dan zaman kontemporer (abad 20 dan seterusnya). Dari berbagai versi periodesasi tersebut, penulis mengambil periodesasi yang terdapat dari buku  Rizal Muntasyir dan Misnal Munir yang menurut hemat penulis lebih mudah untuk dipahami.
[4] Dalam mitos penciptaan dari zaman Homeros misalnya, diceritakan terjadinya alam semesta sebagai berikut: Pada mulanya adalah Eurynome, dewi segala sesuatu. Dengan telanjang ia muncul dari dalam kekacauan. Namun ia tidak menemukan sesuatu pun yang mantap sebagai tempat pijakan kakinya. Dia lantas memisahkan laut dari langit dan menari sendirian diatas gelombang itu. Eurynome bersetubuh dengan Ophion, sang ular besar, lalu mengambil rupa seekor burung merpati dan hinggap diatas gelombang lautan dan menghasilkan pada saatnya telur bakal dunia. Atas perintah Eurynome, Ophion memutari telur bakal dunia ini sebanyak tujuh kali sampai telur itu menjadi masak tererami dan pecah. Dari telur yang pecah itulah muncul segala sesuatu yang ada seperti matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, bumi dengan pegunungan dan sungai-sungai, pepohonan, rerumputan dan makhluk hidup. Lihat Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17.
[5] Suhasti Ermi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Prajna Media, 2003), hlm. 35.
[6] Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 47. Terkait masa hidup para filsuf ini di berbagai sumber terdapat perbedaan. Dalam Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), masa hidup Thales (624-546 SM), Anaximander (611-546 SM), dan Anximenes (585-525 SM). Sedangkan dalam Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) masa hidup Thales (640-550 SM), Anaximander (611-545 SM), dan Anaximenes (588-524 SM).
[7]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 31.
[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 187.
[9] Win Usuludin Bernadien,  Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 110-111.
[10] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual…, hlm. 39.
[11] Nasiwan, Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik, (Yogyakarta: Prima Print, 2014), hlm. 11.
[12] Ibid, hlm. 50.
[13] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 103.
[14] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual…, hlm. 55.
[15] Aristoteles dilahirkan di Stagira (sekarang wilayah Yunani utara, daerah Makedonia). Ia berguru kepada Plato sekitar 20 tahun. Aristoteles juga merupakan guru dari Alexander Agung. Setelah Alexander Agung wafat, ia dikejar-kejar oleh pihak yang memusuhi partai Makedonia. Ia nyaris dihukum mati karena tuduhan penghujatan kepada para dewa. Kemudian ia melarikan diri dari kota tersebut dan tinggal di Khalkis hingga akhir hayatnya pada usia 62 tahun.
[16] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat…, hlm. 190.
[17] Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 64-65.
[18] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat…, hlm. 104.
[19] Aristoteles mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Lykeion, tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada Dewa Apollo Lykeios.
[20] Paripatetik berasal dari kata Yunani peripatos yang berarti ruang atau tempat berjalan-jalan. Ruang ini dipakai Aristoteles semasa hidupnya dan kemudia dipakai juga oleh para muridnya.
[21]Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 51.
[22] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,……hlm. 67.
[23] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN, 2005), hlm. 27.
[24] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke DUnia Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2008), hlm. 55.
[25] Ibid., hlm. 57.
[26] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 69.
[27] Ibid, hlm. 70.
[28] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm. 204.
[29] Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian…, hlm. 52.
[30] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 120.
[31] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu…, hlm. 205.
[32] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 63.
[33] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu…, hlm. 205.
[34] Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat…, hlm. 125.
[35] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 72.
[36] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 64.
[37] Muhammad Nur, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Fakutas Syariah dan Hukum Press, 2013), hlm. 19.
[38] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 73.
[39] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu..., hlm. 150.
[40] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hlm. 37.
[41] Ali Maksum, Pengantar Filsafat…, hlm. 359.
[42] Ibid…, hlm. 357.
[43] Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat…, hlm. 128.
[44] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 80.
[45] Susanto, Filsafat Ilmu…, hlm. 39.
[46] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 82.
[47] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 69.
[48] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu…, hlm. 210-213
[49] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 90.
[50] Erliana Hasan,  Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian…, hlm 56
[51] Ali Maksum, Pengantar Filsafat…, hlm. 369.
[52] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 36.
[53] Ali Maksum, Pengantar Filsafat..., hlm. 364.
[54] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 37.
[55] Ali Maksum, Pengantar Filsafat…, hlm. 380.
[56] Bachri Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 36.
[57] Ibid, hlm. 37.
[58] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 57-58.
[59]Titus, dkk, Living Issues in Philosophy, terj. H.M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 318-319.
[60] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 8.
[61] Titus, dkk, Living Issues in Philosophy…, hlm. 341.
[62] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 30-31.
[63] Nasiwan, Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik…, hlm. 26-28.