A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat
Mesir pada abad 19 sebagaimana digambarkan oleh
Sayyid Quthb merupakan masyarakat
yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, dan mengabaikan peran akal
dalam memahami syariat Allah. Mereka telah merasa
berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup pada masa
kebekuan akal (jumud) dan berlandaskan
khurafat.[1]
Pada saat yang bersamaan, di Eropa tengah hidup masyarakat yang mendewakan
akal. Semangat renaissance membawa Eropa kepada kemajuan yang
mengagumkan. Bukan dalam bidang politik saja, melainkan juga dalam bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi serta militernya.
Dari kebekuan akal tersebut berdampak pada semua lini kehidupan di Mesir.
Universitas yang seharusnya mengajarkan optimalisasi rasio juga tidak luput
dari kebekuan akal tersebut. Mereka dalam mengajarkan tafsir Al-Quran
mengharuskan mahasiswanya untuk mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa
mengantarkannya kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan, serta tidak menghiraukan perbedaan kondisi sosial
yang ada. Para ulama memandang bahwa penafsiran ulama terdahulu terhadap Al
Quran merupakan produk akhir yang sudah tidak perlu diperbaharui lagi.
Kitab-kitab tafsir yang berkembang di Mesir dari era klasik sampai kurun
waktu tersebut diantaranya adalah Tafsir Ma’ani Al-Quran karya Abu
Ja’far An-Nahas (w. 338 H), Al-Istighna fi ‘Ulum al-Quran karya Abu Bakr
Al-Adfawi (w. 388 H), Al-Zamakhsari karya Imam Al-Zamakhsari (w. 537 H),
Tafsir Jalalain karya bersama Imam Al-Mahalli (w. 864 H) dan Imam
As-Suyuti (w. 911 H), Al-Siraj al-Munir fi al-I’anah ‘ala Ma’rifah ba’d
Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir karya Al-Khatib Al-Sharbini (w. 977
H), Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi (w. 1371 H), dsb.[2]
Selain kitab-kitab tersebut, Jami’ al Bayan fii Tafsir al-Qur’an karya Ath-Thabari (w. 310 H), Al-Jami’ Lil Ahkam al-Quran karya Imam
Al Qurthubi (w. 571 H), dan Jami’u Ta’wil karya Abu Muslim Al-Asfahani
(w. 322 H) juga dipelajari di Mesir.
Jika dilihat dari karya-karya tafsir tersebut, sejak
fase al-Nahas hingga al-Sharbini hampir
semuanya menggunakan
pendekatan kebahasaan atau berorientasi pada al-dirayah. Dengan kata lain, tafsir-tafsir Mesir yang muncul pada kurun waktu tersebut lebih bercorak lughawi.[3]
Ditengah kondisi Mesir yang sedang dilanda kebekuan
akal dan tertutupnya pintu ijtihad tersebut, muncullah sosok pembaharu dalam dunia tafsir yaitu Muhammad Abduh[4]
dan muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridha dengan mengedepankan corak tafsir baru, yaitu metode analitis (tahlili) yang mengoptimalkan kerja akal dengan pendekatan sosial
kemasyarakatan atau yang sering disebut bercorak adabi al-ijtima’i.
Penafsiran-penafsiran Abduh disampaikan dalam kajiannya di Masjid Al-Azhar
Kairo dalam bentuk ceramah. Abduh berasumsi bahwa menjelaskan tafsir melalui
ceramah jauh lebih mudah diterima daripada melalui tulisan. Peserta ajar bisa
memahami 80% dari apa yang dimaksudkan oleh pengajar.[5]
M. Rasyid Ridha mencatat point-point penting ceramah yang disampaikan Abduh dan
kemudian dikembangkannya. Catatan Rasyid Ridha tersebut kemudian dimuat dalam
majalah Al-Manar sesuai permintaan dari para pembaca majalah tersebut. Dan
kemudian pada perkembangannya tafsir tersebut diterbitkan dalam bentuk buku
yang diberi judul Tafsir al-Quran al-Hakim. Namun para pembaca lebih
akrab dengan sebutan Tafsir Al-Manar. [6]
Fokus kajian yang dilakukan peneliti (Quraish Shihab) diantaranya adalah mengkaji penulis tafsir itu sendiri, metodologi penafsirannya,
dan karakteristik tafsirnya. Selain itu peneliti juga
mengkaji kelebihan dan kekurangan tafsir tersebut serta berbagai factor yang mempengaruhinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, agar pembahasan lebih terarah maka perlu
adanya rumusan masalah yaitu:
1.
Bagaimana
metode dan prinsip-prinsip penafsiran
Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar?
2.
Bagaimana perbedaan antara penafsiran Muhammad Abduh
dan Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar?
3.
Bagaimana pandangan M. Rasyid Ridha terhadap mufassir-mufassir sebelumnya?
C. Telaah Pustaka
Kajian yang membahas tentang rasionalitas al-Quran menurut M. Abduh
diantaranya: Pertama, Harun Nasution dalam karyanya “Muhammad Abduh
dan Teologi Rasional Mu’tazilah”.[7]
Karya tersebut merupakan hasil disertasinya di Universitas McGill, Montreal,
Canada. Judul aslinya “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact
on His Theological System and View” (Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad
Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat-Pendapat Teologinya). Penelitian
tersebut merupakan perbandingan teologi. Tujuan penelitian tersebut adalah
untuk mengetahui corak teologi M. Abduh, apakah teologinya sama dengan
Mu’tazilah, Asy’ariyah, atau Maturidiah. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pemikiran teologi M. Abduh banyak persamaannya dengan teologi Mu’tazilah.
Kajian selanjutnya oleh Adams dalam bukunya “Islam and Modernisme in
Egypt”, dan Usman Amin dalam bukunya “Muhammad Abduh Essai Sur Ses Idees
Philoshipiques et Religieuses”. Dalam buku tersebut hanya menyebutkan
pokok-pokok pikiran Abduh disertai dengan komentar penulis sendiri. Sedangkan
Hourani dalam “Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939” hanya
menyebutkan dua halaman untuk pemikiran teologi Abduh. Dalam penelitian
tersebut Adams menyimpulkan ajaran teologi Abduh termasuk dalam teologi
Ahlusunnah. Hourani menyimpulkan teologi Abduh mempunyai corak ekletik yang
didalamnya terdapat pengaruh Ahlusunnah terutama Al Ghazali dan Al Maturidi,
serta pengaruh Mu’tazilah. Sedangkan Usman Amin menyimpulkan sebagian pemikiran
Abduh bercorak Mu’tazilah.[8]
Setelah kajian-kajian tersebut, muncul banyak sekali karya yang
membicarakan Abduh diantaranya: Rif’at Syauqi Nawawi “Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat”.[9] Nawawi merumuskan
masalah, bagaimana corak rasional tafsir Muhammad Abduh, khususnya dalam akidah
dan ibadat. Jenis penelitiannya adalah
studi pustaka (library research), disini menggunakan Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Juz ‘Amma,
kemudian dideskripsikan dan dianalisa hingga menarik kesimpulan.
Dalam kajian tersebut dijelaskan Muhammad Abduh
merupakan seorang mufasir mandiri (al-mufassir al-munfarid), dengan
corak pemikiran yang mengedepankan metode ilmiah (l-manhaj al-‘ilm) dan
kebebasan akal (hurriyat al-‘aql) dalam menafsirkan al-Qur’an. Dapat
terlihat bahwa penafsiran Abduh dalam bidang akidah ternyata sarat dengan
pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan (bukan makna harfi’ahnya
tapi makna metaforismenya), yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional,
sedangkan dalam bidang ibadat yaitu sarat dengan uraian-uraian tentang hikmah
dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syariat ibadat.
Selanjutnya adalah karya A.
Athaillah “Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid
Ridha: Konsep
Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar”.[10] Rumusan masalah yang dibahas adalah tentang bagaimana sebenarnya
pemikiran teologi Islam dari Rasyid Ridha. Pendekatan yang digunakan yaitu kajian
kepustakaan (library research), dengan metode analisa komparatif
analisis kritis (perbadingan dengan aliran-aliran teologi Islam lain) dan
menuangkannya dengan deskriptif kritis analisis sebagai upaya untuk menarik kesimpulan.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bahwa Rasyid
Ridha di suatu sisi pemikirannya identik atau sejalan dengan pendirian kaum
Salafiyah di sisi lain juga sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan
pendiri Maturudiyah. Corak pemikiran teologi Islam Rasyid Ridha bercirikan dan
bercorak rasional (dibuktikan dengan pengakuannya terhadap kemampuan akal dalam
mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan meskipun wahyu belum turun
menjelaskannya dan rasul Allah belum datang menyampaikannya, kebebasan manusia
dalam berkehendak dan berbuat, keniscayaan sunnatullah atau
hukum kausalitas dan keberaniannya dalam menakwilkan nash-nash dengan pengertian
majasi apabila terdapat kesan pertentangan antara lahir nash dengan akal atau
apabila terdapat kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nash) meskipun tidak
setingkat dengan rasional Mu’tazillah.
D. Metodologi
Jenis penelitian yang dilakukan oleh M. Quraisy Shihab merupakan
penelitian tafsir. Penelitian tafsir adalah penelitian yang berusaha untuk
memberikan penjelasan, pemahaman dan perincian atas kitab suci, sehingga isi
pesan kitab suci dapat dipahami sebagaimana dikehendaki Tuhan.[11] Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandinagn (Comparative Approach) yaitu
mengkaji bidang keilmuan dengan membandingkan beberapa pendapat, hasil
pemikiran, maupaun aliran untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya.[12]
Dengan pendekatan tersebut, penulis dapat menemukan sebuah karakteristik metodologi penafsiran penulis
al - Manar terhadap al-Qur’an, yang
bisa jadi berbeda, bahkan sama dengan metodologi penafsiran para mufassir lain. Untuk
dapat menemukan kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir ini, M. Quraisy
Shihab menggunakan metode komparasi dalam menganalisis kitab tafsir ini.
Analisis komparatif adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui
perbedaan dan persamaan dari obyek yang diteliti.[13] Analisis
komparatif ini dilakukan meliputi perbandingan diantara para penulis tafsir al-Manar
yaitu, M. Abduh dan Rasyid Ridha, meliputi:
pendidikan, lingkungan, pemikiran, karya-karya
yang dihasilkan oleh kedua dan corak penafsiran keduanya terhadap al-Quran.
Selain itu, analisis ini juga digunakan terhadap penulis tafsir al-Manar
dengan para mufassir lainnya, sehingga dapat diketahui perbedaan dan persamaan
kitab tafsir ini dengan kitab tafsir lainnya, serta bagaimana penulis tafsir al-Manar
menyikapi perbedaan dan persamaan terhadap para mufassir lainnya.
E. Ruang Lingkup
Penelitian
Sebelum membahas metode dan prinsip-prinsip penafsiran Abduh dan Rasyid
Ridha perlu kiranya diuraikan terlebih dahulu biografi keduanya.
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahikan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhirah,
Mesir tahun 1849. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan
pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka member pertolongan. Ia hidup dalam keluarga petani di
pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali
Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.[14]
Awal studinya ia mulai dari baca tulis di rumah orang tuanya, kemudian pindah
pada sekolah hifdzil quran. Pada awalnya ia membaca al-Quran sendirian,
kemudian mengulanginya hingga ia mampu menyelesaikan hafalannya dalam masa dua
tahun.[15]
Kemudian ia kembali ke desanya dan dinikahkan oleh ayahnya.
Walaupun sudah menikah ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar.
Namun Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia melarikan diri ke desa
Sybral Khit, dimana banyak paman dari pihak ayahnya yang menetap disana. Di
tempat inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwis Khidr, salah seorang pamannya
yang mempunyai pengetahuan mengenai al-quran dan menganut paham tasawuf
Al-Syadziliyah. Pamannya kemudian berhasil mengubah Abduh dari yang benci ilmu
menjadi pribadi yang menggemarinya. Ia sangat dipengaruhi oleh cara dan paham
sufi yang ditanamkan oleh pamannya tersebut.
Februari 1866 M. Abduh menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Namun
pengajaran disana kurang disukai hatinya. Tahun 1871 Jamaluddin Al Afgani tiba
di Mesir, kehadirannya disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan
ilmiahnya. Hubungan keduanya berdampak pada perubahan Abduh dari tasawuf dalam
arti sempit dan dari cara berpakaian serta dzikir, kepada tasawuf dalam arti
yang lain yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dalam membimbing
mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin Al Afgani terjadi
perubahan yang drastis pada diri Abduh. Dia mulai menulis kitab-kitab
karangannya dalam beberapa bidang diantaranya aliran filsafat, teologi dan
tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggap salah.[16]
M. Rasyid Ridha
Rasyid Rida hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan
sepertiga awal abad ke-20.[17]
Ia dilahirkan di Qalmun, suatu kampunh sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon pada
27 Jumadil ‘Ula 1282 H/ 18 Oktober 1865 M. Ia adalah seorang bangsawan Arab
yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali Bin
Abi Thalib dan Fatimah, putri Rasulullah SAW.
Setelah selesai belajar di kuttab didesanya, Rasyid Ridha dikirim
oleh orang tuanya ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyyah
al-Rusydiyyah yang mengajarkan ilmu nahwu, ilmu sharaf, Aqidah, Fiqh,
Berhitung, dan Ilmu Bumi. Tujuan madrasah ini untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang akan dipegawaikan pemerintah Turki Usmani. Karena Rasyid enggan
menjadi pegawai pemerintah Turki, setelah satu tahun belajar disana, ia keluar
dari madrasah tersebut. Selanjutnya tahun 1299 atau 1300 H, ia memasuki Madrasah
Wathaniyyah Islamiyyah yang didirikan dan dipimpin oleh Syaikh Husayn
al-Jisr, ulama besar Lebanon yang telah dipengaruhi oleh Jamaluddin Al Afgani
dan M. Abduh.[18]
Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh Al-Jisr memberikan kepada Rasyid Ridha ijazah
dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Disamping guru tersebut, ia
juga belajar pada guru-guru lain walaupun pengaruhnya tidak sebesar Syaikh
Al-Jisr tersebut.
Saat Ridha mulai berjuang di kampong halamannya, Majalah al-Urwatul
Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al Afgani dan M. Abduh di Paris
yang tersebar keseluh dunia Islam ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha. Majalah
tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jiwanya, sehingga
mengubah sikapnya yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh
semangat. Ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin
untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun Negara
dengan ilmu pengetahuan dan industri.[19]
Rasyid Ridha bertemu Abduh untuk
pertama kalinya ketika Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya.
Rasyid Ridha sempat bertanya kepada Abduh tentang kitab tafsir yang terbaik
menurutnya, ia menjawab kitab Al-Kasyaf karya Zamaksyari. Pertemuan
keduanya juga terjadi di Tripoli tahun 1894 M. Kali ini Ridha menemui Abduh
sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan Ridha untuk menanyakan segala
sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan keduanya, baru tangal 18 jJanuari 1898
terjadi pertemuan ketiga di Kairo. Sebulan setelah pertemuannya, Ridha
menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah
masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Setelah mengalami beberapa kali
penolakan, akhirnya Abduh merestui keinginannya tersebut dan memilih nama
Al-Manar dari sekian nama yang diajukan Rasyid Ridha. Al-Manar terbit perdana
pada 17 Maret 1898, terbit mingguan sebanyak 8 halaman dan mendapat apresiasi
dar para pembacanya.
1.
Metode
dan Prinsip-Prinsip Penafsiran
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh yang
hidup ditengah-tengah masyarakat yang kaku bermaksud dalam setiap penuangan
pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu
mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan
Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam
memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu
hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi
tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah.
Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan
hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya
dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan
kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:[20]
Pertama, penggunaan akal
secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi
oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah
keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika,
sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami
akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.
Kedua, dikalangan ulama
tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran
yang bercorak Adabi-Ijtima’i[21](sastra
dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan
dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan
pembangunan.
Secara umum sebenarnya
metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab
tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili[22]
dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya
terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara
nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya.
Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh
murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi[23]
dan Amin Khuli.[24]
Tafsir al-Manar merupakan karya
bersama antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Menurut Quraisy Shihab bahwa karya al-Manar tersebut
lebih bisa dinisbatkan
kepada Muhammad Rasyid Ridha dengan alasan Rasyid Ridha lebih banyak menulis
baik dari sisi jumlah ayat maupun jumlah halaman dan pendapat yang masuk ke
tafsir. Namun
demikian terdapat banyak kesamaan ciri-ciri tafsir antara kedua tokoh tersebut
yang akhirnya menjadi ciri pokok Tafsir al-Manar sebagaimana ditulis Quraisy
Shihab dalam buku Studi Kritis Tafsir Al-Manar, yaitu:[25]
a.
Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
Keserasian ayat-ayat bukanlah gagasan baru. Hal ini
pertama kali diperkenalkan oleh al-Naisaburi dan para ulama sesudahnya.[26]
Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain
dalam satu surat. Menurut Abduh pengertian satu kata atau kalimat harus
berkaitan erat dengan tujuan surat tersebut secara keseluruha. Sebab mustahil
al-Quran tidak memiliki relevansi dalam ayat dan suratnya. Prinsip ini
bertujuan untuk membuktikan keagungan al-Quran. Disamping itu juga menolak
sebagian pendapat kaum orientalis yang mencela susunan ayat al-Quran yang
menurut mereka tidak sistematis, karena tidak disusun menurut topic-topik
tertentu, tidak relevan antara satu dengan lainnya, bahkan idak sesuai dengan
metode ilmiah.[27]
b. Ayat-ayat Al-Quran bersifat umum
Ciri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk ayat-ayat
al-Quran berkesinambungan, idak dibatas oleh suatu masa dan tidak pula
ditujukan kepada orang-orang tertentu. Walaupun ini sejalan dengan kaidah ilmu
tafsir yang berbunyi العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب yang maknanya “Pemahaman arti suatu ayat
berdasarkan kepada redaksinya yang umum bukan pada sebab turunnya yang khusus”.
Namun Abduh sangat memperluas kaidah ini, sehingga selama satu ayat dinilainya
bersifat umum, maka keumuman itu dinyatakannya, walaupun terkadang bertentangan
dengan kaidah-kaidah bahasa.
c. Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum
Ciri ini menjelaskan bahwa al-Quran lah yang menjadi
segala sumber madzhab, bukan sebaliknya ayat-ayat al-Quran dijadikan legitimasi
madzhab. Dari sini Abduh menyatakan bahwa para pemikir Islam terdahulu telah
berjasa dalam usaha mereka, tapi itu bukan berarti bahwa kita harus
mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita
pahami dari ayat-ayat al-quran. Karena itu pula ia mengecam mufassir yan
menyatakan bahwa ada ayat-ayat al-Quran yang musykil / susah dipahami hanya
karena ayat-ayat tersebut tidak sejalan dengan pandangan madzhab mereka.
d. Penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut
Abduh wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan. Maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami/ menafsirkan
ayat-ayat al-Quran.
Abduh menjelaskan hakikat malaikat, kejadian Adam, dan
sihir. Makna malaikat sebagai mahkhluk yang dibebani dengan tugas-tugas
tertentu seperti menumbuhkan tanaman, menjaga manusia dan sebagainya adalah ruh
ilahi. Karena pertumbuhan dalam hal ini tidak akan berlangsung kecuali adanya
ruh ini. Bagi orang yang tidak stuju dengan istilah ruh maka ia disebut ‘hukum
alam’. Selain itu, Abduh juga menyebutkan istilah malaikat dengan pikiran.
Mengenai kejadian Adam, Abduh menafsirkan kisah
penciptaan Adam, dialog Tuhan dengan
malaikat, keengganan iblis untuk sujud merupakan ‘kisah simbolik’ bukan cerita
yang terjadi sebenarnya. Sedangkan Rasyid Ridha memahami bahwa perintah sujud malaikat kepada Adam
merupakan perintah penugasan (amr taklif) dan dapat juga merupakan
perintah pengadaan (amr takwin).
Mengenai sihir, Abduh berpendapat sihir yang
dijelaskan Allah dalam al-Quran ialah pengelabuhan yang menipu mata sehingga
terlihat apa yang sebenarnya tidak ada menjadi ada. Ketika Abduh menjelaskan
QS. Al-Baqarah ayat 102 yang berbunyi:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى
مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ
هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ
بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ....
“Dan
mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang
kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya…” (Q.S. Al Baqarah: 102)
Kata يعلمون الناس السحر menurut Abduh mengisaratkan bahwa sihir
bisa dipelajari. Sehingga dengan demikian disimpulkan bahwa sihir tidak lain
tipu daya dan atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan dketahui oleh sementara
orang, kemudian orang tersebut dinamai penyihir, karena apa yang dilakukannya
tidak diketahui rahasianya oleh orang lain. Adapun sihir yang dlakukan oleh
penyihir-penyihir pada masa Musa, maka itu adalah dengan jalan meletakkan air
raksa (Hg) pada tongkat dan tali-tali mereka sehingga tongkat dan tali tersebut
dapat bergerak.[28]
Dari uraian diatas tampak bahwa Abduh menolak adanya sihir.
Atas dasar pemahaman tersebut, Abduh menolak hadist-hadis
yang menerangkan Rasulullah pernah disihir. Menurutnya, jika Rasulullah benar
disihir, maka ini membenarkan tuduhan kaum musyrikin yang menyatakan
sebagaimana diinformasikan dalam al-quran ان تتبعون
الارجلا مسخورا (Kamu sekalian tidak mengikuti kecuali
seorang yang disihir). Abduh menambahkan jika benar Rasulullah disihir maka
akan menimbulkan anggapan bahwa akal pikiran Rasul berubah sehingga bisa jadi
beliau menyampakan sesuatu yang bukan wahyu tetapi dianggapnya sebagai wahyu.
Sementara menurut Rasyid Ridha, hadist yang
diriwayatkan Bukhari menyangkut disihirnya Nabi ditolak oleh sementara ulama
karena yang meriwayatkan adalah Hisyam dari ayahnya kemudian dari Aisyah.
Sedangkan Hisyam tersebut mendapat sorotan dari ulama Al-Jarh wa al-Ta’dhil.
Disini terlihat jelas bahwa Ridha dalam menolak hadis tidak hanya berdasarkan
akal semata, tetapi juga berdasarkan tolak ukur disiplin ilmu hadist.
Mengenai jin, Ridha menolak pandangan ulama-ulama
yang menyatakan firman Allah tentang jin dalam surah al-A’raf ayat 27 sebagai berikut:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Hai anak Adam,
janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.”
Setelah melihat
penjelasan mutakalimin tentang jin, Ridha mengutarakan pandangannya,
bahwa orang yang mengaku melihat jin, itu hanyalah khayalan semata. Kemudian
Ridha menganggap bahwa ‘bakteri’ yang tak terlihat dan hanya mampu terlihat
menggunakan microskop merupakan bagian dari jin karena telah terbukti
bakteri-bakteri merupakan penyebab banyak penyakit.
Menurut Quraish Shihab ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi terkait penafsiran-penafsiran tersebut:[29]
1)
M. Abduh tidak mempersamakan semua malaikat, karena disatu pihak ia
menamakan ‘hukum-hukum alam’ atau natural power sebagai malaikat. Menjadikan
bisikan hati nurani sama dengan malaikat tentu tidak dapat diterima untuk
diartikan terhadap malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah kepada Rasulullah
SAW. Sebab pengertian ini menjadikan wahyu-wahyu Allah itu sebagai bisikan hati
nurani Nabi. Pengertian semacam itu tidak bisa diterima oleh kaum muslimin yang
menyatakn bahwa al-quran adalah firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan lafaldz dan maknanya. Menjadikan arti malaikat sebagai
bisikan hati nurani dapat menimbulkan kesimpansiuran nilai karena hati nurani
manusia dibentuk oleh pendidikan, pengalaman, dan lingkungan, sehingga dua
orang akan mempunyai system nilai yang berbeda akibat perbedaan tersebut,
walaupun tingkat keikhlasan mereka sama.
2)
Ketika Abduh menafsirkan QS. Al-Infithar ayat 11: كراما
كاتبين ia mengatakan bahwa malaikat yang menulis
pekerjaan kita yang baik maupun yang buruk wajib kita percayai sebagai
makhluk-makhluk yang disucikan Tuhan dari maksud-maksud tertentu atau dari
sifat lupa, dan kita tidak perlu membahas hakekat pekerjaan mereka dalam
pemeliharaan dan penulisan itu, dan seterusnya.
3)
Terkait sihir, jika dinyatakan bahwa tali-tali mereka bergerak karena air
raksa (Hg), maka hal tersebut bukan lagi suatu ‘pengelabuhan mata’ tetapi
merupakan suatu gerak riil.
4)
Hadis-hadis yang dilemahkan oleh Abduh adalah hadis-hadis yang dinilai oleh
ulama-ulama hadis sebagai hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
Muslim, dan sebagainya.
5)
Agaknya Abduh dalam pendapatnya menyangkutsihir terpengaruh oleh pendapat
Mu’tazilah yang mengingkari adanya sihir dan hal ini dianutnya dalam rangka
usaha beliau memberikan gambaran logis, ilmiah, dan rasional khususnya
dihadapan orientalis dan oran-orang Barat. Tetapi sayangnya ia lupa bahwa dalam
hidup ini disamping hal-hal yang irasional, adapula hal-hal yang rasional, dan
suprarasional.
e.
Menentang dan memberantas taqlid
Abduh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk
membuktikan bahwa al-Quran memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal mereka,
serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat
tersebut dikemukakan oleh orang-orang yang seyogyanya paling diohormati dan
dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti hujjag-hujag yang menguatkan pendapat
tersebut. Terkadang karena dorongan dan keinginannya yang meluap-luap untuk
memberantas taqlid, Abduh juga melancarkan kecaman tindakan taklid ini dalam
ayat-ayat yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan taqlid.
Quraih Shihab berpendapat apa yang dikemukakan Abduh
jelas merupakan suatu cara yang terbaik guna mendapatkan hokum-hukum atau
ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan petunjuk al-Quran sekaligus sejalan
dengan perkembangan masyarakat. Namun sikapnya mengecam taqlid melalui ayat-ayat
yang tidak mengandung kecaman tersebut bukanlah sesuatu yang wajar untuk
ditiru.
f.
Tidak memberi persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak
jelas), atau sepintas lalu oleh al-Quran.
Dalam merinci persoalan yang hanya disinggung sepintas
seperti ‘sapi’ dalam al-Baqarah 67, Abduh tidak menempuh cara-cara seperti para
mufassir sebelumnya, karena ia berpendapat bahwa tujuan utama dari diuraikannya
ayat-ayat yang menyinggung hal-hal tersebut dapat dicapai tanpa harus merinci
dan menjelaskan ati lafadz/ redaksi tersebut.
g. Sangat kritis dalam
menerima hadits-hadits nabi saw.
Sikap
Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang
meriwayatkan/pengantar suatu teks) belum tentu di pertanggung jawabkan. Dapat kita lihat
pengantar Syaikh Mustafa Abdur Razik dalam majalah al-Urwah al-Wusqa “Sumber ajaran agama menurut Abduh adalah Al-Qur’an dan sedikit
dari sunnah yang bersifat ‘amaliah”. Abduh mengajak bahwa manusia harus berpedoman
(berimam) kepada al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Disini
terlihat bahwa Abduh tidak menghiraukan segi-segi ma’tsur (riwayat), tidak pula
memperhatikan cara pen-tarjih-an, serta sejarah yang menyangkut al-Qur’an.
Didalam tafsirnya, banyak hadits --yang dinilai oleh ulama terknal sebagai hadits-hadits
shahih– ditolak atau diabaikan oleh abduh karena dinilainya tidak sesuai dengan
pemikiran logis atau tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebaliknya, yang
dianggap oleh ulama dha’if (lemah) justru dikukuhkan oleh
Abduh, hanya karena kandungannya (redaksi matan) dinilai dengan pemikiran
logis. Seperti misalnya penolakan terhadap hadis Bukhari dan Muslim terkait
wahyu pertama turun (iqra’), dan pengukuhannya terhadap riwayat dha’if yang dinisbahkan kepada Ali bin
Abi Thalib yang menyatakan al-Fatihah adalah wahyu pertama.
Sikap kehati-hatian ini juga ditujukan oleh Rasyid
Ridha. Ia menolak beberapa hadist yang menurutnya
bertentangan denga al-Quran, diantaranya ia
menolak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang penciptaan alam
semesta (kosmologi) yang berlangsung selama tujuh hari, sedangkan Allah
berfirman al-A’raf 54 menciptakan dalam waktu أَيَّامٍ
سِتَّةِ فِي
(enam hari). Selain beralasan karena bertentangan dengan al-quran ia juga menyatakan
bahwa sanad hadist tersebut yaitu Hallaj bin Muhamad al-A’war dari Ibn Juraij,
mereka telah pikun ketika meriwayatkannya. Ia telah terbukti meriwayatkan hadis
tersebut setelah ia pikun di akhir usianya sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib
Al-Tahdzib dan lain-lain.
h.
Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat.
Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat, apalagi
jika pendapat sahabat tersebut berbeda satu dengan yang lain. Abduh mengatakan
Allah tidak menanyakan kepada kita dihari kemudian tentang ucapan-ucapan orang
atau apa yang mereka pahami , tetapi Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban
atas kitab-Nya yang diturunkan sebagai pembimbing dan penuntun, serta sunnah
nabi yang menjelaskan apa yang diturunkan kepada kita itu.
i.
Mengaitkan
penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama
menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang
bercorak adâbi ijtimâ’i (budaya dan kemasyarakatan). Ayat-ayat yang
ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha
mendorong kearah kemajuan dan pembangunan. Selain itu, mengarahkan pada perbaikan gaya bahasa Arab -kemampuan bahasa bukan
dinilai dari pengetahuan tata bahasa atau istilah-istilah ilmu bahasa, tetapi
dinilai dari ‘rasa bahasa’ yang telah meresap kedalam jiwa seseorang-- hal ini yang kemudian
akan menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi bahkan mengasah
penalaran.
2.
Perbedaan Penafsiran Abduh dan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha dalam
penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan dengan Syaikh Muhammad Abduh.
Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-perbedaan penafsiran kedua tokoh diatas,
diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:
a.
Keluasan pembahasan
menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam menafsirkan al-Quran, Ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis
nabi, riwayat para sahabat dan tabi’in, yang dinilainya shahih. Penilaianya
lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut
tidak hanya terbatas pada isi kandungan riwayat,tetapi juga sisi transmisi
periwayatnya. Perbedaan ini menunjukan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang
ilmu-ilmu hadis, dan sekaligus menutupi kekurangan gurunya tersebut.
b. Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan
masyarakat berupa bidang hukum, bidang perbandingan agama, bidang sunnatullah,
perkembangan ilmu pengetahuan.
Terkait sunnatullah,
kita temui beberapa hal dalam tafsir nya:
1) Sunatullah yang menyangkut ciptaan Allah yang tidak berubah, ia
mengungkapkannya dalam menafsirkan QS. Annisa ayat 34.
2) Sunatullah yang berlaku untuk kebahagiaan dan kesengsaraan, ia
mengungkapkannya dalam QS. Al-An’am ayat 125
3) Sunatullah yang menyangkut kehancuran bangsa, ia mengungkapkan tafsirnya
dalam QS. Al-An’am ayat 131 dan Al-A’raf ayat 4
4) Sunatullah yang berhubungan dengan perjuangan hidup, ia mengungkapkannya
dalam menafsirkan QS. Al-Anam ayat 123, juga dihubungkan dengan Al-Fathir ayat
42 dan An-Naml ayat 50. Penjelasan yang terakhir ini berhubungan dengan teori
evolusi. Untuk mendukung gagasannya ini, ia menggunakan dalil surat Al-Rad ayat
17.[30]
c.
Keluasan pembahasan tentang
penafsiran ayat dengan ayat.
Salah satu pengaruh tafsir ibnu katsir terhadap Muhammad Rasyid adalah
usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan ayat-ayat lainya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling
tepat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
d.
Keluasan pembahasan
kosa-kata dan ketellitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan
pengertian-pengertian yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya
yang berbeda dengan redaksi ayat yang lain yang juga berbicara tentang
persoalan yang sama.
3. Pandangan Rasyid Ridha
terhadap para Mufassir terdahulu
Kritik
yang pertama beliau tujukan terhadap
gurunya sendiri. Melalui karyanya Tarikh al-Ustadz al-Imam, Ridha menyatakan secara
tegas kekagumannya terhadap Muhammad
Abduh, baik menyangkut Ilmu pengetahuan, sikap, budi pekerti, dan keteguhan beragamanya. Kekaguman Ridha terhadap gurunya, tidak sedikitpun mengurangi sikap
kritisnya. Ia memandang Abduh tidak cukup kompeten dalam
bidang ‘ulumul hadist dari segi riwayat, hafalan, kritik, dan al-jahr
wa ath-ta’dil sebagaimana halnya dengan ulama-ilama Al Azhar pada umumnya.
Terhadap Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H) pengarang
tafsir Jami’ al Bayan fii
tafsiir al-Qur’an, Ridha mengakui Ath-Thabari sebagai
seorang ahli di bidang at-tafsir bi al-ma’sur. Namun Ridha mengkritik
dengan pedas terhadap beberapa tafsir yang dikemukakan At-Thabari, diantaranya ketika ia menyatakan
bahwa setan telah membuat Nabi Zakaria as ragu terhadap panggilan malaikat dengan
membisikan dalam jiwanya bahwa hal tersebut dari setan, sehingga Nabi Zakaria
bermohon kepada Tuhan untuk diberi tanda kebenaran (Ali-Imran: 41). Ridha
menanggapi tafsiran At-Thabari tersebut dengan
pernyataan “Dari kebodohan
sementara mufasir yang telah kami singgung sebelum ini ialah menganggap mereka bahwa
Nabi Zakaria as tidak dapat membedakan
antara wahyu dan panggilan malaikat dengan panggilan setan, dan karena itu dia
bertanya dengan pertanyaan yang mengandung rasa takjub kemudian dian meminta
pembuktian”.
Sikapnya
terhadap Fakharuddin ar-Razi (554-606H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib, ar-Razi
menjadi mufasir yang banyak
disoroti oleh Ridha seperti yang di tulisnya dalam al-Manar sebagai berikut; “Ketahuilah bahwa
Fakhruddin ar-Razi adalah imam (pemimpin) para ahli fikir, muttakalim (teolog)
Ushuluddin pada masanya hingga mereka mengakui kepemimpinannya tersebut sesudah
wafatnya. Namun, dia termasuk salah seorang diantara mereka yang paling kurang pengetahuannya
menyangkut as-Sunnah, pendapat-pendapat sahabat, pendapat tabi’in serta
tokoh-tokoh salaf dibidang tafsir dan hadits”[31]
Sikapnya terhadap
al-Baidhawi (658 H) pengarang tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, kritiknya
terhadap tafsir surah al-Maidah ayat 51, Baidhawi mengartikan al-wilayah adalah
persahabatan, perlakuan baik, serta mempekerjakan orang-orang yang tidak
seagama dengan alasan hadis (kedua api tidak saling melihat). Ridha
berkesimpulan tentang ayat 51 surah al-Maidah yaitu dikarenakan orang-orang
Yahudi dan Nasrani memusuhi/ memerangi kaum muslim, bukan disebabkan perbedaan
agama. Ini terbukti bahwa nabi saw, ketika mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi, beliau
mencantumkan kata-kata “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum
Muslim agama mereka”
Sikap
terhadap Mahmud al-Alusi (1217-1270 H) pengarang tafsir Ruh al-ma’ani, Ridha mengakui keluasan
pengetahuan al-Alusi, namun Ridha menuduhnya sebagai penjiplak pendapat
redaksi-redaksi ulama-ulama terdahulu, bahkan tanpa menyebutkan sumber
rujukan dan mengubah redaksi yang di jiplaknya.
Sikap
terhadap Jalaluddin as-Suyuthi (849-991 H) pengarang tafsir ad-Duur al-Mantsuur, beliau banyak pula disoroti
oleh Rasyid Ridha, Ridha mengungkapkan bahwa as-Suyuthi telah men-tarjih-kan
suatu riwayat menyangkut usia dunia ini yang menurutnya mencapai 7000 tahun
(saja) dan bahwa umat Islam tidak akan mencapai usia 1500 tahun. Dan Ridha pula
menuduh as-Suyuthi
sebagai fanatik buta yang menyoroti terhadap hadits ziarah rasul saw ke makam
ibunda beliau yang dianggap olehnya sebagai ma’lul.[32]
F. Sumbangan dalam
Keilmuan
Melalui
tafsir al-Manar buah karya Syeikh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, dan juga tafsir Juz ‘Amma, Muhammad ‘Abduh secara
langsung memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia penafsiran al-Qur’an. Terutama dalam
mewarnai penafsiran al-Qur’an dengan kemampuan kerja akal pikiran (rasionalitas)
dengan pendekatan yang digunakan budaya kemasyarakatan (‘adabi ijtima’i). Paradigma tafsir yang
digunakan oleh kedua tokoh diatas dapat digolongkan sebagai corak penafsiran
baru diluar pakem kebiasaan para mufassir terdahulu.
Dari
kajian yang mendalam oleh Quraish Shihab sesungguhnya menginformasikan tafsir
al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha memiliki paradigma petunjuk al-Qur’an
yaitu memposisikan al-Qur’an sebagai sumber utama sebagai petunjuk yang dapat
di pahami oleh masyarakat masa kini (dinamis) sehingga mampu mengerakan laku
masyarakat untuk kebaikan didunia maupun diakhirat nantinya. Dengan kata lain,
tafsir ini mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan sosial kemasyarakatan,
kehidupan kekinian serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan
abadi, sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap zamannya.
Muhammad
‘Abduh memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ilmu tafsir, berkat
kedalaman ilmunya, jasa-jasanya dalam memperbaharui interprestasi ajaran Islam.
Terbukti bahwa metode penafsiran Muhammad ‘Abduh kini diikuti dan diterapkan
oleh sekian banyak mufasir sesudahnya, sepeti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad
dan Ahmad Mustafa al-Maraghi, Abdullah Darraz, Abdul Zalil Isa dan sebagainya.
G. Kesimpulan
Metode dan prinsip-prinsip penafsiran M. Abduh dan Rasyid Ridha dalam
tafsir al-Manar adalah: memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi, ayat-ayat al-Quran bersifat umum, al-Quran adalah sumber akidah
dan hokum, penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Quran,
menentang dan memberantas taqlid, tidak memerinci persoalan-persoalan yang
disinggung secara mubham atau sepintas lalu oleh al-Quran, sangat kritis dalam
menerima hadist-hadist, sangat kritis terhadap pendapat-pendapat para sahabat
dan menolak israiliyat, srta mengaitkan penafsiran al-Quran dengan kehidupan
sosial.
Perbedaan penafsiran M. Abduh dengan M. Rasyid Ridha adalah: keluasan pembahasan
tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi, keluasan pembahasan
tentang penafsiran ayat dengan ayat, penyisipan pembahasan yang luas tentang
hal-hal yang sangat dibutuhkan masyarakat pada masanya, dan keluasan pembahasan
tentang mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama
dalam bidang tersebut.
Pandangannya terhadap mufassir sebelumnya diantaranya: ia mengkritik Ibnu Jarir ath-Thabari tentang pandangannya tentang setan yang telah membuat nabi
Zakaria as ragu terhadap panggilan malaikat. Ia mengkritik Fakharuddin
ar-Razi sebagai ulama yang kurang pengetahuan tentang sunnah,
walaupun disisi lain ia memuji sebagai teolog dan ahli pikir di masanya.
Pandangannya tentang al-Alusi, Ridha mengakui
keluasan pengetahuan al-Alusi, namun Ridha menuduhnya sebagai penjiplak
pendapat redaksi-redaksi ulama-ulama terdahulu, bahkan tanpa menyebutkan sumber
rujukan dan mengubah redaksi yang di jiplaknya. Pandangannya terhadap as-Suyuti, Ridha
pula menuduh as-Suyuthi sebagai fanatik buta yang menyoroti terhadap
hadits ziarah rasul saw ke makam ibunda beliau yang dianggap olehnya sebagai ma’lul.
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar,
Jakarta: Erlangga, 2006.
Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Anwar, Rosihan, Samudera
Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika
Qur’an, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Khon, Abdul
Majid, Ulumul Hadis,
Jakarta: Amzah, 2010.
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur’an dan Hadist (Teori dan Aplikasi), Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, Jakarta:
UI Press, 1987.
Nata, Abudin, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Nawawi, Rif’at
Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian
Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002.
Nirwana, Dzikri, Peta Tafsir di Mesir: Melacak Perkembangan Tafsir
Al-Quran dari Abad Klasik Hingga Modern, Jurnal Falasifa, Vol. 1. No. 1.
Maret 2010.
Ridho, Muhammad, Islam, Tafsir dan Dinamika Sosial: Ikhtiar Memahami
Ajaran Islam, Yogyakarta: Teras, 2010.
Shihab, Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar: Karya M. Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994.
Sudijono, Anas, Pengantar
Statistik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS,
Yogyakarta: Teras, 2009.
[1] Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar: Karya M. Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), hlm. 17.
[2] Dzikri Nirwana, Peta Tafsir di Mesir: Melacak Perkembangan Tafsir
Al-Quran dari Abad Klasik Hingga Modern, (Jurnal Falasifa, Vol. 1. No. 1.
Maret 2010), hlm. 31-38.
[3]Hal tersebut mungkin dilatarbelakangi oleh kondisi Mesir dengan segala potensinya yang subur, menjadi wilayah favorit
persinggahan para ulama dari berbagai penjuru dunia ketika itu. Dan tidak mustahil terjadi sharing berbagai ilmu
pengetahuan keislaman di sana, termasuk kajian bahasa. Selain itu, rihlah ‘ilmiyyah yang dilakukan oleh para ulama Mesir ke berbagai
wilayah dalam rangka menimba ilmu juga menjadi faktor penting tumbuh suburnya
kajian-kajian bahasa.
[4] Muhammad Abduh yang sejak usia muda mendapat bimbingan
dan pengajaran tasawuf dari Syaikh Darwisy dan mengagumi beberapa ulama yang
mengajarkan logika dan filsafat, serta gagasan-gagasan perbaikan masyarakat
menyadari kondisi ketertinggalan peradaban yang tengah terjadi. Abduh kemudian
gencar melontarkan kritikan terhadap tafsir yang dilakukan para mufassir
sebelumnya. Abduh menilai tafsir selama ini sangat gersang dan kaku,
penafsirnya hanya mengarahkan pada pengertian kata-kata atau kedudukan
kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis
kebahasaan, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Quran.
Berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual terhadap
interpretasi Al-Quran dan suasana belajar yang dialaminya yang cenderung
doktriner, kemudian
menggugah keinginan Abduh untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks
zaman yang dialaminya. Abduh berkeinginan
menafsirkan al-Qur’an dengan mengoptimalkan kerja
akal (rasio) dan mempertimbangkan kondisi sosial sebagai
jalan untuk mencari petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
[5] Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur’an dan Hadist (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 101.
[6] Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh
Islam, yaitu Jamaluddin Al Afgani, M. Abduh, dan Rasyid Ridha. Al Afgani
menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada Abduh, Abduh menerima,
mengolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Al Quran yang
disampaikan antara lain kepada Rasyid Ridha, dan kemudian oleh Ridha ditulis
dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Sebelum wafatnya, Abduh dengan
ceramahnya baru menjelaskan uraian tafsir dari
Surah al-Fatihah sampai Surah an-Nisa’ ayat 126 atau hampir lima juz pertama dari al-Quran.
Kemudian Rasyid Ridha meneruskannya
sampai ia meninggal dan baru menyelesaikan tafsirnya sampai surat Yusuf ayat
101. Namun Tafsir Al-Manar yang diterbitkan dalam bentuk buku hanya memuat
penafsiran Ridha sampai QS. Yusuf ayat 52. Bahjat al-Bithar teman Rasyid Ridha
dari Syria kemudian berinisiatif untuk menerbitkan secara utuh QS. Yusuf sampai
ayat terakhir. Dia menerbitkannya dengan mengatasnamakan Rasyid Ridha walaupun
ia sendiri yang menyusunnya. Dari segi jumlah ayatnya, tafsir ini lebih wajar
jika dinisbatkan kepada Rasyid Ridha daripada Abduh. Abduh hanya menafsirkan kurang
lebih 5 jilid atau 413 ayat, sedangkan
Rasyid Ridha 7 jilid atau 930 ayat.
[7] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, (Jakarta:
UI Press, 1987).
[8] Lihat selengkapnya dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Mu’tazilah…, hlm. 2-3.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian
Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002).
[10]A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar,
(Jakarta: Erlangga,
2006).
[11] Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 214.
[12] Ibid., hlm. 90.
[13] Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), hlm. 261.
[14] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 11.
[15] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode
Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 251.
[16] Quraish Shihab, Studi Kritis Atas Tafsir Al Manar…, hlm. 14.
[17] Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam
sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun-kurun waktu sebelumnya.
Sebab saat itu kaum imperialis Barat telah bersekutu dengan kaum zionis
internasional untuk memecah belah umat Islam, membagi-bagi mereka, dan merampas
harta kekayaan mereka.
[18] A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar…, hlm. 27.
[19] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 63.
[20] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 260.
[21]Menurut Adz-Dzahabi, Corak tafsir ini mampu mengungkapkan segi balaghah
Al-Quran dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang
dituju oleh Al-Quran, mengungkapkan hokum-hukum alam yang agung dan
tatanan-tananan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika
ummat Islah khususnya dan umat manusia pada umumnya, dengan mengedepankan
petunjujk-petunjuk Al-Quran dan ajaran-ajaran yang dengannya dapat diperoleh
kebahagiaan dunia akherat, memadkan antara Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang
benar, menegaskan pada manusia bahwa Al-Quran kitab yang mampu mengikuti
perkembangan zaman, menolak dugaan yang salah terhadap Al-Quran dengan
argument-argumen yang kuat yang mampu menunduka dan menolak kebatilan. Lihat
Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), hlm. 71-72.
[22] Dalam metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh
al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam
mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian, kosa kata, konotasi, kalimatnya, latar belakang
turun ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat),
dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat maupun
para tabi’in dan ahli tafsir lainnya. Lihat Nashruddin Baidan, Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), hlm. 69.
[23] Bahkan ada yang menyatakan bahwa
tafsir al-Maraghi merupakan
penyempurnaan dari Tafsir al-Manar. Bagi para
pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir
yang pertama kali memisahkan antara uraian global dan rinci, dengan kombinasi
pendekatan al-riwayah dan al-dirayah. Sehingga
dalam penafsiran yang bersumber dari riwayat, al-Maraghi mengambil
riwayat yang sahih dan didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Ketika menafsirkan
ayat pun disebutkan sebab nuzul-nya (jika ada) dan dianggap sahih menurut standarnya. Selain itu,
dia juga berusaha menghindari penjelasan yang bertele-tele, istilah atau teori
ilmu pengetahuan yang sulit untuk dipahami. Penjelasan ayat-ayat tersebut
dikemas dalam bahasa yang singkat, padat, dan mudah dipahami.
[24] Fachruddin
Faiz, Hermeneutika Qur’an,
(Yogyakarta:
Qalam, 2002),
hlm. 71.
[25] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 26.
[26] Mohammad Ridho, Islam, Tafsir dan Dinamika Sosial: Ikhtiar Memahami
Ajaran Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 75.
[27] Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta:
Teras, 2009), hlm. 300.
[28] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 39.
[29] Ibid., hlm. 41-44.
[30] Mohammad Ridho, Islam, Tafsir…,hlm. 81.
[31] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 123,
[32] Ma’lul adalah hadis
yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat kesahihan
hadis, padahal lahirnya selamat dari padanya. Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar