Kamis, 05 Januari 2017

MODEL PENELITIAN TAFSIR RASIONALITAS AL-QURAN: STUDI KRITIS ATAS TAFSIR AL MANAR KARYA M. ABDUH DAN M. RASYID RIDHA (QURAISH SHIHAB)


A.    Latar Belakang Masalah
Masyarakat Mesir pada abad 19 sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Quthb merupakan masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, dan mengabaikan peran akal dalam memahami syariat Allah. Mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup pada masa kebekuan akal (jumud) dan berlandaskan khurafat.[1]
Pada saat yang bersamaan, di Eropa tengah hidup masyarakat yang mendewakan akal. Semangat renaissance membawa Eropa kepada kemajuan yang mengagumkan. Bukan dalam bidang politik saja, melainkan juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta militernya.
Dari kebekuan akal tersebut berdampak pada semua lini kehidupan di Mesir. Universitas yang seharusnya mengajarkan optimalisasi rasio juga tidak luput dari kebekuan akal tersebut. Mereka dalam mengajarkan tafsir Al-Quran mengharuskan mahasiswanya untuk mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa mengantarkannya kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan, serta tidak menghiraukan perbedaan kondisi sosial yang ada. Para ulama memandang bahwa penafsiran ulama terdahulu terhadap Al Quran merupakan produk akhir yang sudah tidak perlu diperbaharui lagi.
Kitab-kitab tafsir yang berkembang di Mesir dari era klasik sampai kurun waktu tersebut diantaranya adalah Tafsir Ma’ani Al-Quran karya Abu Ja’far An-Nahas (w. 338 H), Al-Istighna fi ‘Ulum al-Quran karya Abu Bakr Al-Adfawi (w. 388 H), Al-Zamakhsari karya Imam Al-Zamakhsari (w. 537 H), Tafsir Jalalain karya bersama Imam Al-Mahalli (w. 864 H) dan Imam As-Suyuti (w. 911 H), Al-Siraj al-Munir fi al-I’anah ‘ala Ma’rifah ba’d Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir karya Al-Khatib Al-Sharbini (w. 977 H), Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi (w. 1371 H), dsb.[2] Selain kitab-kitab tersebut, Jami’ al Bayan fii Tafsir al-Qur’an karya Ath-Thabari (w. 310 H), Al-Jami’ Lil Ahkam al-Quran karya Imam Al Qurthubi (w. 571 H), dan Jami’u Ta’wil karya Abu Muslim Al-Asfahani (w. 322 H)  juga dipelajari di Mesir.  
Jika dilihat dari karya-karya tafsir tersebut, sejak fase al-Nahas hingga al-Sharbini hampir semuanya menggunakan pendekatan kebahasaan atau berorientasi pada al-dirayah. Dengan kata lain, tafsir-tafsir Mesir yang muncul pada kurun waktu tersebut lebih bercorak lughawi.[3]
Ditengah kondisi Mesir yang sedang dilanda kebekuan akal dan tertutupnya pintu ijtihad tersebut, muncullah sosok pembaharu dalam dunia tafsir yaitu Muhammad Abduh[4] dan muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridha dengan mengedepankan corak tafsir baru, yaitu  metode analitis (tahlili) yang mengoptimalkan kerja akal dengan pendekatan sosial kemasyarakatan atau yang sering disebut bercorak adabi al-ijtima’i.
Penafsiran-penafsiran Abduh disampaikan dalam kajiannya di Masjid Al-Azhar Kairo dalam bentuk ceramah. Abduh berasumsi bahwa menjelaskan tafsir melalui ceramah jauh lebih mudah diterima daripada melalui tulisan. Peserta ajar bisa memahami 80% dari apa yang dimaksudkan oleh pengajar.[5] M. Rasyid Ridha mencatat point-point penting ceramah yang disampaikan Abduh dan kemudian dikembangkannya. Catatan Rasyid Ridha tersebut kemudian dimuat dalam majalah Al-Manar sesuai permintaan dari para pembaca majalah tersebut. Dan kemudian pada perkembangannya tafsir tersebut diterbitkan dalam bentuk buku yang diberi judul Tafsir al-Quran al-Hakim. Namun para pembaca lebih akrab dengan sebutan Tafsir Al-Manar. [6]
Fokus kajian yang dilakukan peneliti (Quraish Shihab) diantaranya adalah mengkaji penulis tafsir itu sendiri, metodologi penafsirannya, dan karakteristik tafsirnya. Selain itu peneliti juga mengkaji kelebihan dan kekurangan tafsir tersebut serta berbagai factor yang mempengaruhinya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, agar pembahasan lebih terarah maka perlu adanya rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana metode dan prinsip-prinsip penafsiran Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar?
2.      Bagaimana perbedaan antara penafsiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar?
3.      Bagaimana pandangan M. Rasyid Ridha terhadap mufassir-mufassir sebelumnya?

C.    Telaah Pustaka
Kajian yang membahas tentang rasionalitas al-Quran menurut M. Abduh diantaranya: Pertama, Harun Nasution dalam karyanya “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah”.[7] Karya tersebut merupakan hasil disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Canada. Judul aslinya “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on His Theological System and View” (Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat-Pendapat Teologinya). Penelitian tersebut merupakan perbandingan teologi. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui corak teologi M. Abduh, apakah teologinya sama dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah, atau Maturidiah. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemikiran teologi M. Abduh banyak persamaannya dengan teologi Mu’tazilah.
Kajian selanjutnya oleh Adams dalam bukunya “Islam and Modernisme in Egypt”, dan Usman Amin dalam bukunya “Muhammad Abduh Essai Sur Ses Idees Philoshipiques et Religieuses”. Dalam buku tersebut hanya menyebutkan pokok-pokok pikiran Abduh disertai dengan komentar penulis sendiri. Sedangkan Hourani dalam “Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939” hanya menyebutkan dua halaman untuk pemikiran teologi Abduh. Dalam penelitian tersebut Adams menyimpulkan ajaran teologi Abduh termasuk dalam teologi Ahlusunnah. Hourani menyimpulkan teologi Abduh mempunyai corak ekletik yang didalamnya terdapat pengaruh Ahlusunnah terutama Al Ghazali dan Al Maturidi, serta pengaruh Mu’tazilah. Sedangkan Usman Amin menyimpulkan sebagian pemikiran Abduh bercorak Mu’tazilah.[8]
Setelah kajian-kajian tersebut, muncul banyak sekali karya yang membicarakan Abduh diantaranya: Rif’at Syauqi Nawawi “Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat”.[9] Nawawi merumuskan masalah, bagaimana corak rasional tafsir Muhammad Abduh, khususnya dalam akidah dan ibadat. Jenis penelitiannya adalah studi pustaka (library research), disini menggunakan Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Juz ‘Amma, kemudian dideskripsikan dan dianalisa hingga menarik kesimpulan.
Dalam kajian tersebut dijelaskan Muhammad Abduh merupakan seorang mufasir mandiri (al-mufassir al-munfarid), dengan corak pemikiran yang mengedepankan metode ilmiah (l-manhaj al-‘ilm) dan kebebasan akal (hurriyat al-‘aql) dalam menafsirkan al-Qur’an. Dapat terlihat bahwa penafsiran Abduh dalam bidang akidah ternyata sarat dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan (bukan makna harfi’ahnya tapi makna metaforismenya), yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional, sedangkan dalam bidang ibadat yaitu sarat dengan uraian-uraian tentang hikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syariat ibadat.
Selanjutnya adalah karya A. Athaillah Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar”.[10] Rumusan masalah yang dibahas adalah tentang bagaimana sebenarnya pemikiran teologi Islam dari Rasyid Ridha. Pendekatan yang digunakan yaitu kajian kepustakaan (library research), dengan metode analisa komparatif analisis kritis (perbadingan dengan aliran-aliran teologi Islam lain) dan menuangkannya dengan deskriptif kritis analisis sebagai upaya untuk menarik kesimpulan.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bahwa Rasyid Ridha di suatu sisi pemikirannya identik atau sejalan dengan pendirian kaum Salafiyah di sisi lain juga sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan pendiri Maturudiyah. Corak pemikiran teologi Islam Rasyid Ridha bercirikan dan bercorak rasional (dibuktikan dengan pengakuannya terhadap kemampuan akal dalam mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan meskipun wahyu belum turun menjelaskannya dan rasul Allah belum datang menyampaikannya, kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat, keniscayaan sunnatullah atau hukum kausalitas dan keberaniannya dalam menakwilkan nash-nash dengan pengertian majasi apabila terdapat kesan pertentangan antara lahir nash dengan akal atau apabila terdapat kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nash) meskipun tidak setingkat dengan rasional Mu’tazillah.

D.    Metodologi
Jenis penelitian yang dilakukan oleh M. Quraisy Shihab merupakan penelitian tafsir. Penelitian tafsir adalah penelitian yang berusaha untuk memberikan penjelasan, pemahaman dan perincian atas kitab suci, sehingga isi pesan kitab suci dapat dipahami sebagaimana dikehendaki Tuhan.[11] Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandinagn (Comparative Approach) yaitu mengkaji bidang keilmuan dengan membandingkan beberapa pendapat, hasil pemikiran, maupaun aliran untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya.[12] Dengan pendekatan tersebut, penulis dapat menemukan sebuah karakteristik metodologi penafsiran penulis al - Manar terhadap al-Qur’an, yang bisa jadi berbeda, bahkan sama dengan metodologi penafsiran para mufassir lain. Untuk dapat menemukan kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir ini, M. Quraisy Shihab menggunakan metode komparasi dalam menganalisis kitab tafsir ini. Analisis komparatif adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari obyek yang diteliti.[13] Analisis komparatif ini dilakukan meliputi perbandingan diantara para penulis tafsir al-Manar yaitu, M. Abduh dan Rasyid Ridha, meliputi: pendidikan, lingkungan, pemikiran, karya-karya yang dihasilkan oleh kedua dan corak penafsiran keduanya terhadap al-Quran. Selain itu, analisis ini juga digunakan terhadap penulis tafsir al-Manar dengan para mufassir lainnya, sehingga dapat diketahui perbedaan dan persamaan kitab tafsir ini dengan kitab tafsir lainnya, serta bagaimana penulis tafsir al-Manar menyikapi perbedaan dan persamaan terhadap para mufassir lainnya.

E.     Ruang Lingkup Penelitian
Sebelum membahas metode dan prinsip-prinsip penafsiran Abduh dan Rasyid Ridha perlu kiranya diuraikan terlebih dahulu biografi keduanya.

Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahikan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhirah, Mesir tahun 1849. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan. Ia hidup dalam keluarga petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.[14]
Awal studinya ia mulai dari baca tulis di rumah orang tuanya, kemudian pindah pada sekolah hifdzil quran. Pada awalnya ia membaca al-Quran sendirian, kemudian mengulanginya hingga ia mampu menyelesaikan hafalannya dalam masa dua tahun.[15] Kemudian ia kembali ke desanya dan dinikahkan oleh ayahnya.
Walaupun sudah menikah ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia melarikan diri ke desa Sybral Khit, dimana banyak paman dari pihak ayahnya yang menetap disana. Di tempat inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwis Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-quran dan menganut paham tasawuf Al-Syadziliyah. Pamannya kemudian berhasil mengubah Abduh dari yang benci ilmu menjadi pribadi yang menggemarinya. Ia sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh pamannya tersebut.
Februari 1866 M. Abduh menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Namun pengajaran disana kurang disukai hatinya. Tahun 1871 Jamaluddin Al Afgani tiba di Mesir, kehadirannya disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya. Hubungan keduanya berdampak pada perubahan Abduh dari tasawuf dalam arti sempit dan dari cara berpakaian serta dzikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dalam membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin Al Afgani terjadi perubahan yang drastis pada diri Abduh. Dia mulai menulis kitab-kitab karangannya dalam beberapa bidang diantaranya aliran filsafat, teologi dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggap salah.[16]

M. Rasyid Ridha
Rasyid Rida hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20.[17] Ia dilahirkan di Qalmun, suatu kampunh sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H/ 18 Oktober 1865 M. Ia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah, putri Rasulullah SAW.
Setelah selesai belajar di kuttab didesanya, Rasyid Ridha dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyyah al-Rusydiyyah yang mengajarkan ilmu nahwu, ilmu sharaf, Aqidah, Fiqh, Berhitung, dan Ilmu Bumi. Tujuan madrasah ini untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan dipegawaikan pemerintah Turki Usmani. Karena Rasyid enggan menjadi pegawai pemerintah Turki, setelah satu tahun belajar disana, ia keluar dari madrasah tersebut. Selanjutnya tahun 1299 atau 1300 H, ia memasuki Madrasah Wathaniyyah Islamiyyah yang didirikan dan dipimpin oleh Syaikh Husayn al-Jisr, ulama besar Lebanon yang telah dipengaruhi oleh Jamaluddin Al Afgani dan M. Abduh.[18] Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh Al-Jisr memberikan kepada Rasyid Ridha ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Disamping guru tersebut, ia juga belajar pada guru-guru lain walaupun pengaruhnya tidak sebesar Syaikh Al-Jisr tersebut.
Saat Ridha mulai berjuang di kampong halamannya, Majalah al-Urwatul Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al Afgani dan M. Abduh di Paris yang tersebar keseluh dunia Islam ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha. Majalah tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jiwanya, sehingga mengubah sikapnya yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat. Ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun Negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.[19]
 Rasyid Ridha bertemu Abduh untuk pertama kalinya ketika Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya. Rasyid Ridha sempat bertanya kepada Abduh tentang kitab tafsir yang terbaik menurutnya, ia menjawab kitab Al-Kasyaf karya Zamaksyari. Pertemuan keduanya juga terjadi di Tripoli tahun 1894 M. Kali ini Ridha menemui Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan Ridha untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan keduanya, baru tangal 18 jJanuari 1898 terjadi pertemuan ketiga di Kairo. Sebulan setelah pertemuannya, Ridha menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Setelah mengalami beberapa kali penolakan, akhirnya Abduh merestui keinginannya tersebut dan memilih nama Al-Manar dari sekian nama yang diajukan Rasyid Ridha. Al-Manar terbit perdana pada 17 Maret 1898, terbit mingguan sebanyak 8 halaman dan mendapat apresiasi dar para pembacanya.

1.      Metode dan Prinsip-Prinsip Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang kaku bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:[20]
Pertama, penggunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.
Kedua, dikalangan ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i[21](sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili[22] dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi[23] dan Amin Khuli.[24]
Tafsir al-Manar merupakan karya bersama antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Menurut Quraisy Shihab bahwa karya al-Manar tersebut lebih bisa dinisbatkan kepada Muhammad Rasyid Ridha dengan alasan Rasyid Ridha lebih banyak menulis baik dari sisi jumlah ayat maupun jumlah halaman dan pendapat yang masuk ke tafsir. Namun demikian terdapat banyak kesamaan ciri-ciri tafsir antara kedua tokoh tersebut yang akhirnya menjadi ciri pokok Tafsir al-Manar sebagaimana ditulis Quraisy Shihab dalam buku Studi Kritis Tafsir Al-Manar, yaitu:[25]
a.       Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
Keserasian ayat-ayat bukanlah gagasan baru. Hal ini pertama kali diperkenalkan oleh al-Naisaburi dan para ulama sesudahnya.[26] Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat. Menurut Abduh pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat tersebut secara keseluruha. Sebab mustahil al-Quran tidak memiliki relevansi dalam ayat dan suratnya. Prinsip ini bertujuan untuk membuktikan keagungan al-Quran. Disamping itu juga menolak sebagian pendapat kaum orientalis yang mencela susunan ayat al-Quran yang menurut mereka tidak sistematis, karena tidak disusun menurut topic-topik tertentu, tidak relevan antara satu dengan lainnya, bahkan idak sesuai dengan metode ilmiah.[27]  
b.      Ayat-ayat Al-Quran bersifat umum
Ciri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk ayat-ayat al-Quran berkesinambungan, idak dibatas oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu. Walaupun ini sejalan dengan kaidah ilmu tafsir yang berbunyi العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب yang maknanya “Pemahaman arti suatu ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum bukan pada sebab turunnya yang khusus”. Namun Abduh sangat memperluas kaidah ini, sehingga selama satu ayat dinilainya bersifat umum, maka keumuman itu dinyatakannya, walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa.
c.       Al-Quran adalah sumber akidah dan hukum
Ciri ini menjelaskan bahwa al-Quran lah yang menjadi segala sumber madzhab, bukan sebaliknya ayat-ayat al-Quran dijadikan legitimasi madzhab. Dari sini Abduh menyatakan bahwa para pemikir Islam terdahulu telah berjasa dalam usaha mereka, tapi itu bukan berarti bahwa kita harus mendahulukan pendapat-pendapat mereka ketimbang petunjuk-petunjuk yang kita pahami dari ayat-ayat al-quran. Karena itu pula ia mengecam mufassir yan menyatakan bahwa ada ayat-ayat al-Quran yang musykil / susah dipahami hanya karena ayat-ayat tersebut tidak sejalan dengan pandangan madzhab mereka.
d.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Abduh wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan. Maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami/ menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Abduh menjelaskan hakikat malaikat, kejadian Adam, dan sihir. Makna malaikat sebagai mahkhluk yang dibebani dengan tugas-tugas tertentu seperti menumbuhkan tanaman, menjaga manusia dan sebagainya adalah ruh ilahi. Karena pertumbuhan dalam hal ini tidak akan berlangsung kecuali adanya ruh ini. Bagi orang yang tidak stuju dengan istilah ruh maka ia disebut ‘hukum alam’. Selain itu, Abduh juga menyebutkan istilah malaikat dengan pikiran.
Mengenai kejadian Adam, Abduh menafsirkan kisah penciptaan Adam, dialog Tuhan dengan malaikat, keengganan iblis untuk sujud merupakan ‘kisah simbolik’ bukan cerita yang terjadi sebenarnya. Sedangkan Rasyid Ridha memahami bahwa perintah sujud malaikat kepada Adam merupakan perintah penugasan (amr taklif) dan dapat juga merupakan perintah pengadaan (amr takwin).
Mengenai sihir, Abduh berpendapat sihir yang dijelaskan Allah dalam al-Quran ialah pengelabuhan yang menipu mata sehingga terlihat apa yang sebenarnya tidak ada menjadi ada. Ketika Abduh menjelaskan QS. Al-Baqarah ayat 102 yang berbunyi:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ....                 

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya…” (Q.S. Al Baqarah: 102)
               
Kata يعلمون الناس السحر menurut Abduh mengisaratkan bahwa sihir bisa dipelajari. Sehingga dengan demikian disimpulkan bahwa sihir tidak lain tipu daya dan atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan dketahui oleh sementara orang, kemudian orang tersebut dinamai penyihir, karena apa yang dilakukannya tidak diketahui rahasianya oleh orang lain. Adapun sihir yang dlakukan oleh penyihir-penyihir pada masa Musa, maka itu adalah dengan jalan meletakkan air raksa (Hg) pada tongkat dan tali-tali mereka sehingga tongkat dan tali tersebut dapat bergerak.[28] Dari uraian diatas tampak bahwa Abduh menolak adanya sihir.
Atas dasar pemahaman tersebut, Abduh menolak hadist-hadis yang menerangkan Rasulullah pernah disihir. Menurutnya, jika Rasulullah benar disihir, maka ini membenarkan tuduhan kaum musyrikin yang menyatakan sebagaimana diinformasikan dalam al-quran ان تتبعون الارجلا مسخورا  (Kamu sekalian tidak mengikuti kecuali seorang yang disihir). Abduh menambahkan jika benar Rasulullah disihir maka akan menimbulkan anggapan bahwa akal pikiran Rasul berubah sehingga bisa jadi beliau menyampakan sesuatu yang bukan wahyu tetapi dianggapnya sebagai wahyu.
Sementara menurut Rasyid Ridha, hadist yang diriwayatkan Bukhari menyangkut disihirnya Nabi ditolak oleh sementara ulama karena yang meriwayatkan adalah Hisyam dari ayahnya kemudian dari Aisyah. Sedangkan Hisyam tersebut mendapat sorotan dari ulama Al-Jarh wa al-Ta’dhil. Disini terlihat jelas bahwa Ridha dalam menolak hadis tidak hanya berdasarkan akal semata, tetapi juga berdasarkan tolak ukur disiplin ilmu hadist.
Mengenai jin, Ridha menolak pandangan ulama-ulama yang menyatakan firman Allah tentang jin dalam surah al-A’raf ayat 27 sebagai berikut:

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Setelah melihat penjelasan mutakalimin tentang jin, Ridha mengutarakan pandangannya, bahwa orang yang mengaku melihat jin, itu hanyalah khayalan semata. Kemudian Ridha menganggap bahwa ‘bakteri’ yang tak terlihat dan hanya mampu terlihat menggunakan microskop merupakan bagian dari jin karena telah terbukti bakteri-bakteri merupakan penyebab banyak penyakit.
Menurut Quraish Shihab ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait penafsiran-penafsiran tersebut:[29]
1)      M. Abduh tidak mempersamakan semua malaikat, karena disatu pihak ia menamakan ‘hukum-hukum alam’ atau natural power sebagai malaikat. Menjadikan bisikan hati nurani sama dengan malaikat tentu tidak dapat diterima untuk diartikan terhadap malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah kepada Rasulullah SAW. Sebab pengertian ini menjadikan wahyu-wahyu Allah itu sebagai bisikan hati nurani Nabi. Pengertian semacam itu tidak bisa diterima oleh kaum muslimin yang menyatakn bahwa al-quran adalah firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafaldz dan maknanya. Menjadikan arti malaikat sebagai bisikan hati nurani dapat menimbulkan kesimpansiuran nilai karena hati nurani manusia dibentuk oleh pendidikan, pengalaman, dan lingkungan, sehingga dua orang akan mempunyai system nilai yang berbeda akibat perbedaan tersebut, walaupun tingkat keikhlasan mereka sama.
2)      Ketika Abduh menafsirkan QS. Al-Infithar ayat 11: كراما كاتبين  ia mengatakan bahwa malaikat yang menulis pekerjaan kita yang baik maupun yang buruk wajib kita percayai sebagai makhluk-makhluk yang disucikan Tuhan dari maksud-maksud tertentu atau dari sifat lupa, dan kita tidak perlu membahas hakekat pekerjaan mereka dalam pemeliharaan dan penulisan itu, dan seterusnya.
3)      Terkait sihir, jika dinyatakan bahwa tali-tali mereka bergerak karena air raksa (Hg), maka hal tersebut bukan lagi suatu ‘pengelabuhan mata’ tetapi merupakan suatu gerak riil.
4)      Hadis-hadis yang dilemahkan oleh Abduh adalah hadis-hadis yang dinilai oleh ulama-ulama hadis sebagai hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan sebagainya.
5)      Agaknya Abduh dalam pendapatnya menyangkutsihir terpengaruh oleh pendapat Mu’tazilah yang mengingkari adanya sihir dan hal ini dianutnya dalam rangka usaha beliau memberikan gambaran logis, ilmiah, dan rasional khususnya dihadapan orientalis dan oran-orang Barat. Tetapi sayangnya ia lupa bahwa dalam hidup ini disamping hal-hal yang irasional, adapula hal-hal yang rasional, dan suprarasional.
e.       Menentang dan memberantas taqlid
Abduh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membuktikan bahwa al-Quran memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan oleh orang-orang yang seyogyanya paling diohormati dan dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti hujjag-hujag yang menguatkan pendapat tersebut. Terkadang karena dorongan dan keinginannya yang meluap-luap untuk memberantas taqlid, Abduh juga melancarkan kecaman tindakan taklid ini dalam ayat-ayat yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan taqlid.
Quraih Shihab berpendapat apa yang dikemukakan Abduh jelas merupakan suatu cara yang terbaik guna mendapatkan hokum-hukum atau ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan petunjuk al-Quran sekaligus sejalan dengan perkembangan masyarakat. Namun sikapnya mengecam taqlid melalui ayat-ayat yang tidak mengandung kecaman tersebut bukanlah sesuatu yang wajar untuk ditiru.
f.       Tidak memberi persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas), atau sepintas lalu oleh al-Quran.
Dalam merinci persoalan yang hanya disinggung sepintas seperti ‘sapi’ dalam al-Baqarah 67, Abduh tidak menempuh cara-cara seperti para mufassir sebelumnya, karena ia berpendapat bahwa tujuan utama dari diuraikannya ayat-ayat yang menyinggung hal-hal tersebut dapat dicapai tanpa harus merinci dan menjelaskan ati lafadz/ redaksi tersebut.
g.      Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits nabi saw.
Sikap Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang meriwayatkan/pengantar suatu teks) belum tentu di pertanggung jawabkan. Dapat kita lihat pengantar Syaikh Mustafa Abdur Razik dalam majalah al-Urwah al-Wusqa “Sumber ajaran agama menurut Abduh adalah Al-Qur’an dan sedikit dari sunnah yang bersifat ‘amaliah”. Abduh mengajak bahwa manusia harus berpedoman (berimam) kepada al-Qur’an dan hadits mutawatir. 
Disini terlihat bahwa Abduh tidak menghiraukan segi-segi ma’tsur (riwayat), tidak pula memperhatikan cara pen-tarjih-an, serta sejarah yang menyangkut al-Qur’an. Didalam tafsirnya, banyak hadits --yang dinilai oleh ulama terknal sebagai hadits-hadits shahih– ditolak atau diabaikan oleh abduh karena dinilainya tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebaliknya, yang dianggap oleh ulama dha’if (lemah) justru dikukuhkan oleh Abduh, hanya karena kandungannya (redaksi matan) dinilai dengan pemikiran logis. Seperti misalnya penolakan terhadap hadis Bukhari dan Muslim terkait wahyu pertama turun (iqra’), dan pengukuhannya terhadap riwayat dha’if yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan al-Fatihah adalah wahyu pertama.
Sikap kehati-hatian ini juga ditujukan oleh Rasyid Ridha. Ia menolak beberapa hadist yang menurutnya bertentangan denga al-Quran, diantaranya ia menolak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang penciptaan alam semesta (kosmologi)  yang berlangsung selama tujuh hari, sedangkan Allah berfirman al-A’raf 54 menciptakan dalam waktu أَيَّامٍ سِتَّةِ فِي   (enam hari). Selain beralasan karena bertentangan dengan al-quran ia juga menyatakan bahwa sanad hadist tersebut yaitu Hallaj bin Muhamad al-A’war dari Ibn Juraij, mereka telah pikun ketika meriwayatkannya. Ia telah terbukti meriwayatkan hadis tersebut setelah ia pikun di akhir usianya sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib Al-Tahdzib dan lain-lain. 
h.      Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat.
Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat, apalagi jika pendapat sahabat tersebut berbeda satu dengan yang lain. Abduh mengatakan Allah tidak menanyakan kepada kita dihari kemudian tentang ucapan-ucapan orang atau apa yang mereka pahami , tetapi Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban atas kitab-Nya yang diturunkan sebagai pembimbing dan penuntun, serta sunnah nabi yang menjelaskan apa yang diturunkan kepada kita itu.
i.        Mengaitkan penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang bercorak adâbi ijtimâ’i (budaya dan kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong kearah kemajuan dan pembangunan. Selain itu, mengarahkan pada perbaikan gaya bahasa Arab -kemampuan bahasa bukan dinilai dari pengetahuan tata bahasa atau istilah-istilah ilmu bahasa, tetapi dinilai dari ‘rasa bahasa’ yang telah meresap kedalam jiwa seseorang-- hal ini yang kemudian akan menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi bahkan mengasah penalaran.

2.      Perbedaan Penafsiran Abduh dan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha dalam penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan dengan Syaikh Muhammad Abduh. Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-perbedaan penafsiran kedua tokoh diatas, diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:
a.       Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam menafsirkan al-Quran, Ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis nabi, riwayat para sahabat dan tabi’in, yang dinilainya shahih. Penilaianya lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada isi kandungan riwayat,tetapi juga sisi transmisi periwayatnya. Perbedaan ini menunjukan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang ilmu-ilmu hadis, dan sekaligus menutupi kekurangan gurunya tersebut.
b.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat berupa bidang hukum, bidang perbandingan agama, bidang sunnatullah, perkembangan ilmu pengetahuan.
Terkait sunnatullah, kita temui beberapa hal dalam tafsir nya:
1)      Sunatullah yang menyangkut ciptaan Allah yang tidak berubah, ia mengungkapkannya dalam menafsirkan QS. Annisa ayat 34.
2)      Sunatullah yang berlaku untuk kebahagiaan dan kesengsaraan, ia mengungkapkannya dalam QS. Al-An’am ayat 125
3)      Sunatullah yang menyangkut kehancuran bangsa, ia mengungkapkan tafsirnya dalam QS. Al-An’am ayat 131 dan Al-A’raf ayat 4
4)      Sunatullah yang berhubungan dengan perjuangan hidup, ia mengungkapkannya dalam menafsirkan QS. Al-Anam ayat 123, juga dihubungkan dengan Al-Fathir ayat 42 dan An-Naml ayat 50. Penjelasan yang terakhir ini berhubungan dengan teori evolusi. Untuk mendukung gagasannya ini, ia menggunakan dalil surat Al-Rad ayat 17.[30]
c.       Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
Salah satu pengaruh tafsir ibnu katsir terhadap Muhammad Rasyid adalah usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat lainya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
d.      Keluasan pembahasan kosa-kata dan ketellitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat yang lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.

3.      Pandangan Rasyid Ridha terhadap para Mufassir terdahulu
Kritik yang pertama beliau tujukan terhadap gurunya sendiri. Melalui karyanya Tarikh al-Ustadz al-Imam, Ridha menyatakan secara tegas kekagumannya terhadap Muhammad Abduh, baik menyangkut Ilmu pengetahuan, sikap, budi pekerti, dan keteguhan beragamanya. Kekaguman Ridha terhadap gurunya, tidak sedikitpun mengurangi sikap kritisnya. Ia memandang Abduh tidak cukup kompeten dalam bidang ‘ulumul hadist dari segi riwayat, hafalan, kritik, dan al-jahr wa ath-ta’dil sebagaimana halnya dengan ulama-ilama Al Azhar pada umumnya.
Terhadap Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H) pengarang tafsir Jami’ al Bayan fii tafsiir al-Qur’an, Ridha mengakui Ath-Thabari sebagai seorang ahli di bidang at-tafsir bi al-ma’sur. Namun Ridha mengkritik dengan pedas terhadap beberapa tafsir yang dikemukakan At-Thabari, diantaranya ketika ia menyatakan bahwa setan telah membuat Nabi Zakaria as ragu terhadap panggilan malaikat dengan membisikan dalam jiwanya bahwa hal tersebut dari setan, sehingga Nabi Zakaria bermohon kepada Tuhan untuk diberi tanda kebenaran (Ali-Imran: 41). Ridha menanggapi tafsiran At-Thabari tersebut dengan pernyataan Dari kebodohan sementara mufasir yang telah kami singgung sebelum ini ialah menganggap mereka bahwa Nabi Zakaria as tidak dapat membedakan antara wahyu dan panggilan malaikat dengan panggilan setan, dan karena itu dia bertanya dengan pertanyaan yang mengandung rasa takjub kemudian dian meminta pembuktian”.
Sikapnya terhadap Fakharuddin ar-Razi (554-606H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib, ar-Razi menjadi mufasir yang banyak disoroti oleh Ridha seperti yang di tulisnya dalam al-Manar sebagai berikut; Ketahuilah bahwa Fakhruddin ar-Razi adalah imam (pemimpin) para ahli fikir, muttakalim (teolog) Ushuluddin pada masanya hingga mereka mengakui kepemimpinannya tersebut sesudah wafatnya. Namun, dia termasuk  salah seorang diantara mereka yang paling kurang pengetahuannya menyangkut as-Sunnah, pendapat-pendapat sahabat, pendapat tabi’in serta tokoh-tokoh salaf dibidang tafsir dan hadits”[31]
Sikapnya terhadap al-Baidhawi (658 H) pengarang tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, kritiknya terhadap tafsir surah al-Maidah ayat 51, Baidhawi mengartikan al-wilayah adalah persahabatan, perlakuan baik, serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama dengan alasan hadis (kedua api tidak saling melihat). Ridha berkesimpulan tentang ayat 51 surah al-Maidah yaitu dikarenakan orang-orang Yahudi dan Nasrani memusuhi/ memerangi kaum muslim, bukan disebabkan perbedaan agama. Ini terbukti bahwa nabi saw, ketika mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi, beliau mencantumkan kata-kata “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim agama mereka”
Sikap terhadap Mahmud al-Alusi (1217-1270 H) pengarang tafsir Ruh al-ma’ani, Ridha mengakui keluasan pengetahuan al-Alusi, namun Ridha menuduhnya sebagai penjiplak pendapat redaksi-redaksi ulama-ulama terdahulu, bahkan tanpa menyebutkan sumber rujukan  dan mengubah redaksi yang di jiplaknya.
Sikap terhadap Jalaluddin as-Suyuthi (849-991 H) pengarang tafsir ad-Duur al-Mantsuur, beliau banyak pula disoroti oleh Rasyid Ridha, Ridha mengungkapkan bahwa as-Suyuthi telah men-tarjih-kan suatu riwayat menyangkut usia dunia ini yang menurutnya mencapai 7000 tahun (saja) dan bahwa umat Islam tidak akan mencapai usia 1500 tahun. Dan Ridha pula menuduh as-Suyuthi sebagai fanatik buta yang menyoroti terhadap hadits ziarah rasul saw ke makam ibunda beliau yang dianggap olehnya sebagai ma’lul.[32]

F.     Sumbangan dalam Keilmuan
Melalui tafsir al-Manar buah karya Syeikh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan juga tafsir Juz ‘Amma, Muhammad ‘Abduh secara langsung memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia penafsiran al-Qur’an. Terutama dalam mewarnai penafsiran al-Qur’an dengan kemampuan kerja akal pikiran (rasionalitas) dengan pendekatan yang digunakan budaya kemasyarakatan (‘adabi ijtima’i). Paradigma tafsir yang digunakan oleh kedua tokoh diatas dapat digolongkan sebagai corak penafsiran baru diluar pakem kebiasaan para mufassir terdahulu.
Dari kajian yang mendalam oleh Quraish Shihab sesungguhnya menginformasikan tafsir al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha memiliki paradigma petunjuk al-Qur’an yaitu memposisikan al-Qur’an sebagai sumber utama sebagai petunjuk yang dapat di pahami oleh masyarakat masa kini (dinamis) sehingga mampu mengerakan laku masyarakat untuk kebaikan didunia maupun diakhirat nantinya. Dengan kata lain, tafsir ini mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan sosial kemasyarakatan, kehidupan kekinian serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap zamannya.
Muhammad ‘Abduh memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ilmu tafsir, berkat kedalaman ilmunya, jasa-jasanya dalam memperbaharui interprestasi ajaran Islam. Terbukti bahwa metode penafsiran Muhammad ‘Abduh kini diikuti dan diterapkan oleh sekian banyak mufasir sesudahnya, sepeti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Maraghi, Abdullah Darraz, Abdul Zalil Isa dan sebagainya.

G.    Kesimpulan
Metode dan prinsip-prinsip penafsiran M. Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar adalah: memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi, ayat-ayat al-Quran bersifat umum, al-Quran adalah sumber akidah dan hokum, penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Quran, menentang dan memberantas taqlid, tidak memerinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham atau sepintas lalu oleh al-Quran, sangat kritis dalam menerima hadist-hadist, sangat kritis terhadap pendapat-pendapat para sahabat dan menolak israiliyat, srta mengaitkan penafsiran al-Quran dengan kehidupan sosial.
Perbedaan penafsiran M. Abduh dengan M. Rasyid Ridha adalah: keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi, keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat, penyisipan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan masyarakat pada masanya, dan keluasan pembahasan tentang mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
Pandangannya terhadap mufassir sebelumnya diantaranya: ia mengkritik Ibnu Jarir ath-Thabari tentang pandangannya tentang setan yang telah membuat nabi Zakaria as ragu terhadap panggilan malaikat. Ia mengkritik Fakharuddin ar-Razi sebagai ulama yang kurang pengetahuan tentang sunnah, walaupun disisi lain ia memuji sebagai teolog dan ahli pikir di masanya. Pandangannya tentang al-Alusi, Ridha mengakui keluasan pengetahuan al-Alusi, namun Ridha menuduhnya sebagai penjiplak pendapat redaksi-redaksi ulama-ulama terdahulu, bahkan tanpa menyebutkan sumber rujukan  dan mengubah redaksi yang di jiplaknya. Pandangannya terhadap as-Suyuti, Ridha pula menuduh as-Suyuthi sebagai fanatik buta yang menyoroti terhadap hadits ziarah rasul saw ke makam ibunda beliau yang dianggap olehnya sebagai ma’lul.


DAFTAR PUSTAKA

A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.

Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Anwar, Rosihan, Samudera Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, 2002.

Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2010.

Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadist (Teori dan Aplikasi), Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002.

Nirwana, Dzikri, Peta Tafsir di Mesir: Melacak Perkembangan Tafsir Al-Quran dari Abad Klasik Hingga Modern, Jurnal Falasifa, Vol. 1. No. 1. Maret 2010.

Ridho, Muhammad, Islam, Tafsir dan Dinamika Sosial: Ikhtiar Memahami Ajaran Islam, Yogyakarta: Teras, 2010.

Shihab, Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar: Karya M. Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, Yogyakarta: Teras, 2009.











[1] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar: Karya M. Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17.
[2] Dzikri Nirwana, Peta Tafsir di Mesir: Melacak Perkembangan Tafsir Al-Quran dari Abad Klasik Hingga Modern, (Jurnal Falasifa, Vol. 1. No. 1. Maret 2010), hlm. 31-38.
[3]Hal tersebut mungkin dilatarbelakangi oleh kondisi Mesir dengan segala potensinya yang subur, menjadi wilayah favorit persinggahan para ulama dari berbagai penjuru dunia ketika itu. Dan tidak  mustahil terjadi sharing berbagai ilmu pengetahuan keislaman di sana, termasuk kajian bahasa. Selain itu, rihlah ‘ilmiyyah yang dilakukan oleh para ulama Mesir ke berbagai wilayah dalam rangka menimba ilmu juga menjadi faktor penting tumbuh suburnya kajian-kajian bahasa.
[4] Muhammad Abduh yang sejak usia muda mendapat bimbingan dan pengajaran tasawuf dari Syaikh Darwisy dan mengagumi beberapa ulama yang mengajarkan logika dan filsafat, serta gagasan-gagasan perbaikan masyarakat menyadari kondisi ketertinggalan peradaban yang tengah terjadi. Abduh kemudian gencar melontarkan kritikan terhadap tafsir yang dilakukan para mufassir sebelumnya. Abduh menilai tafsir selama ini sangat gersang dan kaku, penafsirnya hanya mengarahkan pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Quran.
Berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual terhadap interpretasi Al-Quran dan suasana belajar yang dialaminya yang cenderung doktriner, kemudian menggugah keinginan Abduh untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman yang dialaminya. Abduh berkeinginan menafsirkan al-Qur’an dengan mengoptimalkan kerja akal (rasio) dan mempertimbangkan kondisi sosial sebagai jalan untuk mencari petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
[5] Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadist (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 101.
[6] Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Jamaluddin Al Afgani, M. Abduh, dan Rasyid Ridha. Al Afgani menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada Abduh, Abduh menerima, mengolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Al Quran yang disampaikan antara lain kepada Rasyid Ridha, dan kemudian oleh Ridha ditulis dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Sebelum wafatnya, Abduh dengan ceramahnya baru menjelaskan uraian tafsir dari Surah al-Fatihah sampai Surah an-Nisa’ ayat 126 atau hampir lima juz pertama dari al-Quran. Kemudian Rasyid Ridha meneruskannya sampai ia meninggal dan baru menyelesaikan tafsirnya sampai surat Yusuf ayat 101. Namun Tafsir Al-Manar yang diterbitkan dalam bentuk buku hanya memuat penafsiran Ridha sampai QS. Yusuf ayat 52. Bahjat al-Bithar teman Rasyid Ridha dari Syria kemudian berinisiatif untuk menerbitkan secara utuh QS. Yusuf sampai ayat terakhir. Dia menerbitkannya dengan mengatasnamakan Rasyid Ridha walaupun ia sendiri yang menyusunnya. Dari segi jumlah ayatnya, tafsir ini lebih wajar jika dinisbatkan kepada Rasyid Ridha daripada Abduh. Abduh hanya menafsirkan kurang lebih 5 jilid atau  413 ayat, sedangkan Rasyid Ridha 7 jilid atau 930 ayat. 
[7] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987).
[8] Lihat selengkapnya dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah…, hlm. 2-3.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002).
[10]A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006).
[11] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 214.
[12] Ibid., hlm. 90.
[13] Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),  hlm.  261.
[14] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 11.
[15] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 251.
[16] Quraish Shihab, Studi Kritis Atas Tafsir Al Manar…, hlm. 14.
[17] Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Sebab saat itu kaum imperialis Barat telah bersekutu dengan kaum zionis internasional untuk memecah belah umat Islam, membagi-bagi mereka, dan merampas harta kekayaan mereka.
[18] A. Athaillah, Ulama & Cendekiawan Muslim Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar…, hlm. 27.
[19] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 63.
[20] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 260.
[21]Menurut Adz-Dzahabi, Corak tafsir ini mampu mengungkapkan segi balaghah Al-Quran dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh Al-Quran, mengungkapkan hokum-hukum alam yang agung dan tatanan-tananan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika ummat Islah khususnya dan umat manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjujk-petunjuk Al-Quran dan ajaran-ajaran yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia akherat, memadkan antara Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar, menegaskan pada manusia bahwa Al-Quran kitab yang mampu mengikuti perkembangan zaman, menolak dugaan yang salah terhadap Al-Quran dengan argument-argumen yang kuat yang mampu menunduka dan menolak kebatilan. Lihat Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 71-72.
[22] Dalam metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosa kata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainnya. Lihat  Nashruddin Baidan,  Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), hlm. 69.
[23] Bahkan ada yang menyatakan bahwa tafsir al-Maraghi merupakan penyempurnaan dari Tafsir al-Manar. Bagi para pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memisahkan antara uraian global dan rinci, dengan kombinasi pendekatan al-riwayah dan al-dirayah. Sehingga dalam penafsiran yang bersumber dari riwayat, al-Maraghi mengambil riwayat yang sahih dan didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Ketika menafsirkan ayat pun disebutkan sebab nuzul-nya (jika ada) dan dianggap sahih menurut standarnya. Selain itu, dia juga berusaha menghindari penjelasan yang bertele-tele, istilah atau teori ilmu pengetahuan yang sulit untuk dipahami. Penjelasan ayat-ayat tersebut dikemas dalam bahasa yang singkat, padat, dan mudah dipahami.
[24] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 71.
[25] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm.  26.
[26] Mohammad Ridho, Islam, Tafsir dan Dinamika Sosial: Ikhtiar Memahami Ajaran Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.  75.
[27] Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 300.
[28] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 39.
[29] Ibid., hlm. 41-44.
[30] Mohammad Ridho, Islam, Tafsir…,hlm. 81.
[31] Quraish Shihab, Studi Kritis…, hlm. 123,
[32] Ma’lul adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat kesahihan hadis, padahal lahirnya selamat dari padanya. Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar