BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran merupakan pedoman hidup yang didalamnya terkandung berbagai
petunjuk untuk kehidupan manusia. Petunjuk yang terkandung dalam al-Quran
sangat kompleks, meliputi segala bidang dan lini kehidupan manusia, termasuk
didalamnya tentang pendidikan. Banyak petunjuk dalam al-Quran tentang
komponen-komponen pendidikan, yang salah satunya tentang metode pendidikan.
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit
untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun faktanya, masih
banyak guru yang kesulitan untuk menggunakan metode yang tepat dalam
pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Tafsir tentang kurang tepatnya
penggunaan metode ini patut menjadi renungan bersama. Beliau mengatakan pertama,
banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu materi pelajaran,
kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan
materi yang rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan mengangap remeh
mata pelajaran tertentu.[1]
Hal diatas menunjukan bahwa metode merupakan salah satu faktor dominan
dalam kegiatan belajar mengajar. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin
lebih jauh meneliti tentang penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang
berdimensi pendidikan, khususnya QS. Al-Maidah ayat 67 dan QS. An-Nahl ayat 125
tentang metode pendidikan dan relevansinya dengan pendidikan saat ini, dengan
harapan semoga metode yang ditawarkan al-Quran mampu memberikan solusi atas
permasalahan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, dapat dirumuskan menjadi beberapa rumusan
yaitu:
1. Bagaimana tafsir QS. Al-Maidah ayat 67 dan relevansinya dengan pendidikan
Islam?
2. Bagaimana tafsir QS. An-Nahl ayat 125 dan relevansinya dengan pendidikan
Islam?
C.
Tujuan
1. Mengetahui tafsir QS. Al-Maidah ayat 67 dan relevansinya dengan
pendidikan Islam.
2. Mengetahui tafsir QS. An-Nahl ayat 125 dan relevansinya dengan pendidikan
Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an dalam
mengarahkan pendidikan selalu berorientasi kepada pembentukan dan pengembangan
manusia seutuhnya. Karenanya materi-materi yang disajikan dalam al-Qur’an
selalu menyentuh jiwa, akal dan raga manusia. Demikian luas dan dalamnya makna
yang tersirat pada ayat-ayat pendidikan dalam al-Qur’an, memberi kesan bahwa
setiap ayat pendidikan itu memiliki metode tersendiri. Dengan begitu, upaya
untuk mencermati metode pendidikan dalam al-Qur’an menjadi suatu keharusan,
agar ditemukan rumusan-rumusan metode pendidikan dalam al-Qur’an yang dapat
dijadikan rujukan atau dasar metode pendidikan dalam Islam, dan pada akhirnya
diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan metode pendidikan
yang terus mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan umat manusia.
Sebelum
membahas lebih jauh, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu tentang definisi
metode. Dalam bahasa arab istilah metode disebut dengan thariq atau manhaj.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “metode” mengandung pengertian cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud, suatu perangkat
dalam mengajar yang mempunyai tujuan dan didasarkan atas teori.[2]
Ada beberapa istilah yang terkait dengan metode seperti pendekatan (approach), strategi, metode, teknik dan taktik.
Dalam bahasa Arab dikenal pula dengan istilah nahiyah (pendekatan), manhaj
(strategi), uslub (metode), thariqah (teknik), dan syahilah
(taktik).
Dalam
pendidikan Islam, metode pendidikan Islam adalah seperangkat cara, jalan, dan
teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah dirumuskan atau menguasai kopetensi menuju
terwujudnya kepribadian muslim.[3]
Dalam al-Quran, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang
kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi dengan melaksanakan
pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi
baik rohaniah maupun jasmaniah. Ada sekian ayat dalam al-Quran yang membahas
tentang metode pendidikan, diantaranya adalah Surat al-Maidah ayat 67 dan Surat
An-Nahl ayat 125.
A.
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 67
يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ
اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ
Artinya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah
diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan
itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari
(gangguan) manusia. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir”.[4]
Surat Al-Maidah merupakan surat ke-5 dalam Al-Quran. Terdiri
dari 120 ayat. Surat ini termasuk surat Madaniyah (yang diturunkan di Madinah)
berdasarkan ijma’. Diriwayatkan bahwa surat ini diturunkan sekembalinya
Rasulullah SAW dari Hudaibiyah.[5]
Terdapat beberapa riwayat tentang asbabul nuzul/
turunnya surat al-Maidah ayat 67 ini, diantaranya dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah
telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku
karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah
memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan
menyiksaku.”
Maka turunlah ayat tersebut yang mempertegas perintah penyampaian
risalah disertai jaminan akan keselamatannya.[6]
Hal tersebut sejalan dengan penafsiran Imam Syafi’i,
beliau mengatakan dalam riwayat disebutkan, Jibril datang menemui Rasulullah
SAW atas perintah Allah agar beliau menyampaikan wahyu yang telah diterimanya
kepada umat manusia, menyeru mereka agar beriman kepada-Nya. Tugas ini begitu
berat bagi Nabi. Beliau khawatir umatnya mendustakan dan mencacinya, lalu
turunlah ayat tersebut. Jibril menjelaskan Allah akan melindungimu dari upaya
pembunuhan, ketika menyampaikan apa yang diperintahkan kepadamu.[7]
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW
biasanya mendapat pengawalan, dan tiap-tiap hari Abu Thalib pun mengirimkan
pengawal-pengawalnya dari Bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini
Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan pengawalnya:
“Wahai pamanku, sesungguhnya Allah telah menjamin keselamatan jiwaku dari
perbuatan jin dan manusia”.[8]
Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah mengutip
pendapat Fakhrudin ar-Razi mengenai ayat tersebut, menurut ar-Razi, ayat tersebut
merupakan janji dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW bahwa ia akan dipelihara
Allah dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Thahir bin
‘Asyur menambahkan bahwa, ayat ini mengingatkan Rasul agar menyampaikan ajaran
agama kepada ahli kitab tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka. Berbagai
teguran keras yang disampaikan kepada ahli kitab itulah dihadapkan pada
kecenderungan sikap lemah lembut Nabi SAW yang merupakan hal khusus, dan
mengantar kepada turunnya peringatan tentang kewajiban menyampaikan risalah
disertai jaminan keamanan beliau.[9]
Dalam ayat ini Allah telah memerintahkan kepada
nabi-Nya SAW agar menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya. Allah memberikan
kesaksian untuknya mengenai pelaksanaan perintah tersebut dalam banyak ayat
seperti: QS. Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu”, QS. An-Nur: “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan amanat Allah”, QS. Al-Ahzab ayat 37: “Sedang kamu
menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut
kpada manusia sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”[10]
Dalam ayat tersebut tersirat makna bahwa menyampaikan
risalah merupakan perintah Alloh. Alloh memerintahkan Nabi Muhammad untuk
menyampaikan risalah kenabiannya kepada umatnya. Jika nabi tidak menyampaikan
risalah tersebut maka termasuk orang yang tidak menyampaikan amanat.
Dalam ayat tersebut redaksi yang digunakan adalah kata
balligh. Kata balligh dalam bahasa Arab merupakan pernyataan yang
sangat jelas apalagi bentuknya fi’il amar. Dalam tafsir Jalalain lafadz
baligh terselip kandungan jami’ yang berarti seluruhnya.[11]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan hal yang sama yaitu menyampaikan
seluruh yang diterima dari Allah SWT. Berarti kata balligh dalam ayat
tersebut berarti menyampaikan semua risalah yang telah Allah turunkan kepada
Rasululloh SAW, nabi tidak boleh menyembunyikan sedikitpun dari risalahnya.
Arti baligh menurut Imam Al-Qurthubi lebih
menampakan pada proses penyampaian amanah kepada masyarakat. Karena diawal
penyebaran agama Islam nabi khawatir kepada orang-orang musyrik Makah. Kemudian
Allah memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya
ayat ini. Dan Allah memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga
keselamatannya. Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan
risalah dan amanat tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang kadzab,
berdusta.[12]
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai
sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata baligh berarti
fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena
itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip
komunikasi yang efektif.[13] Komunikasi yang efektif
dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran
menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii
anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal
yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta
didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus.[14] Tidak jarang di sela
khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan yang hadir
untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh makna
(jawami’ al kalim) sehingga menyentuh dalam setiap sanubari pendengarnya.
Menyampaikan risalah kenabian bagi Rasululloh SAW sangatlah
berat, karena hal tersebut menjadi tanggungjawab dunia akherat. Sehingga Nabi
menegaskan kembali tentang tugas beliau yang telah dipikulkan kepadanya ketika
haji wada’ sebagai sebuah pertanggungjawaban perintah. Ini artinya sebuah
perintah harus dipertanggungjawabkan. Bagi seorang guru pada akhir tugas
pembelajaran harus ada pertanggungjawaban sehingga hasilnya dapat diketahui
oleh wali murid, publik atau masyarakat umum.
Implementasi metode tabligh dalam konteks
pendidikan diantaranya adalah bahwa guru harus menyampaikan ilmunya kepada
siswa sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak boleh ada materi-materi yang
seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru seyogyanya selalu
meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari yang pada ujungnya
keilmuan tersebut diajarkan atau disampaikan kepada siswa-siswanya.
Untuk dapat mengimplementasikan metode tabligh,
guru dituntut untuk mengetahui dan menguasai metode atau strategi dalam menyampaikan
materi. Karena sebaik apapun materi kalau disampaikan menggunakan metode yang
kurang tepat maka pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan bisa tidak
utuh atau bahkan bisa keliru. Penyampaian materi juga harus humanis, artinya
guru harus menghargai hak-hak siswanya, memperlakukan siswanya sebagai manusia
yang punya potensi untuk dikembangkan. Selain itu guru juga harus punya
kesadaran dan komitmen dalam dirinya bahwa ilmu yang mereka miliki adalah
sebuah amanah Tuhan untuk disampaikan dan dipertanggungjawabkan kelak.
B. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang
baik dan berdebatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah
yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”[15]
Surat An-Nahl merupakan surat ke-16 dalam
Al-Quran. Terdiri dari 128 ayat dan merupakan surat Makiyyah, kecuali tiga ayat
yang terakhir merupakan surat Madaniyyah. Surat ini diturunkan setelah surat Al
Kahfi.[16]
Penulis tidak menemukan asbabun nuzul ayat ini,
akan tetapi penulis menemukan asbabun nuzul pada ayat setelahnya, yaitu Surat
An-Nahl ayat 126. Adapun asbabun nuzul surat An-Nahl ayat 126 menurut Imam Jalalain yaitu, “Ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi
orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang.”[17] Hidung
dan telinga beliau dipotong, perutnya dibelah, jantungnya diambil lalu
dikunyah. Ketika Nabi SAW melihat kesudahan yang sangat mengerikan itu, beliau
bersabda, “Semoga rahmat Allah tercurah padamu. Sesungguhnya engkau banyak
sekali melakukan kebajikan, serta selalu bersilaturahim. Seandainya Shafiyah
tidak bersedih, niscaya engkau kubiarkan agar engkau dibangkitkan Allah dalam
rongga sekian banyak (makhluk-Nya). Demi Allah, kalau aku berhasil mengalahkan mereka
(kaum musyrikin yang memperlakukan Sayyidina Hamzah dengan kejam), niscaya aku
akan membalas keguguranmu dengan menewaskan tujuh puluh orang diantara mereka.
”Sementara sahabat menambah, “kita melakukan lebih daripada apa yang mereka
lakukan.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi melalui Ubay Ibnu Ka’ab).
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah
Rasululloh SAW, sehingga dalam ayat tersebut kalimat yang digunakan menggunakan
fiil amar ud’u (asal kata dari da’a, yad’u, da’watan) yang
artinya mengajak, menyeru, memanggil.[18]
Ayat ini punya hubungan (munasabat)
dengan ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah SWT menjelaskan
tentang Nabi Ibrahim sebagai pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia, penganut
agama tauhid dan penegak ketauhidan. Kemudian Allah menjelaskan perintah kepada
Nabi Muhammad SAW agar mengikuti agama Ibrahim dengan perantaraan wahyu-Nya.
Maka dalam ayat-ayat lain, Allah SWT memberikan tuntutan kepada nbi untuk
mengajak manusia kepada agama tauhid, agama Nabi Ibrahim, yang pribadinya
diakui oleh penduduk jazirah Arab, Yahudi, dan Nashrani.[19]
Maksud ayat diatas adalah Allah berfirman
kepada Nabi Muhammad SAW, “Serulah Wahai Muhammad, orang yang kepada mereka
Tuhanmu mengutusmu, untuk mengajaknya menaati Allah. الى
سبيل ربك “kepada jalan
Tuhanmu” adalah kepada syariat Tuhanmu yang ditetapkannya bagi makhluk-Nya,
yaitu Islam. با لحكمة “dengan hikmah” adalah dengan wahyu Allah yang disampaikan-Nya
kepadamu, dan dengan kitab-Nya yang diturunkan kepadamu. والموعظة الحسنه “dan pelajaran yang baik” adalah dengan
pelajaran yang baik, yang dijadikan Allah sebagai argumen terhadap mereka
didalam kitab-Nya, dan peringatan bagi mereka didalam wahyu-Nya. وجد لهم با التى هي احسن “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” adalah bantahla
dengan bantahan yang lebih baik dari selainnya, yaitu memanfaatkan tindakan
mereka yang menodai kehormatanmu, dan jangan menentang Allah dalam menjalankan
kewajibanmu untuk menyampaikan risalah Tuhanmu kepada mereka.[20]
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek
(maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang
memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm). Dari segi siapa yang
berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَب yang menjadi patokan adalah keumuman
ungkapan, bukan kekhususan makna.
Sedangkan Jalaluddin Asy-Suyuti dan Jalaluddin
Al-Mahalli menafsirkan ayat ini dengan:
ادع} الناس يا محمد صلى الله
عليه وسلم {إلى سَبِيلِ رَبّكَ} دينه {بالحكمة} بالقرآن {والموعظة الحسنة} مواعظة
أو القول الرقيق {وجادلهم بالتى} أي المجادلة التي {هِىَ أَحْسَنُ} كالدعاء
إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه {إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ} أي عالم {بِمَن
ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين} فيجازيهم، وهذا قبل الأمر بالقتال
. ونزل لما قتل حمزة
Artinya: “(Serulah) manusia, wahai Muhammad
(ke jalan Tuhanmu) yaitu, agama-Nya (dengan hikmah) dengan al-Quran dan
(nasihat yang baik) yakni nasihat-nasihat atau perkataan yang halus (dan
debatlah mereka dengan) debat (yang terbaik) seperti menyeru manusia kepada
Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah.[21]
Ayat ini mengajak Rasulullah SAW dan seluruh
pendidikan dan ilmuwan Islam agar menggunakan cara yang tepat dalam mengajak
manusia menuju kebenaran. Karena semua orang tidak dapat diajak lewat
satu cara saja. Artinya, hendaknya berbicara kepada orang lain sesuai dengan
kemampuan dan informasi yang dimilikinya. Oleh karenanya, ketika menghadapi
ilmuwan dan orang yang berpendidikan hendaknya menggunakan argumentasi yang
kuat. Menghadapi orang awam atau masyarakat kebanyakan hendaknya memberikan
pelajaran atau nasihat yang baik. Sementara membantah atau berdialog dua arah
dengan mereka yang keras kepala harus dilakukan dengan cara yang baik dan
berpengaruh.[22]
Karena ayat tersebut sejatinya membahas tentang
dakwah bukan tentang pendidikan, maka agar tidak terjadi salah persepsi dalam
mengkontekstualisasikan makna yang tersirat dalam Surat An-Nahl ayat 125 dengan
konteks pendidikan, maka perlu terlebih dahulu untuk memahami dan mempertemukan
makna dakwah dan pendidikan berdasarkan definisinya.
Taufiq al-Wa’i menjelaskan, dakwah ialah
mengumpulkan manusia dalam kebaikan, menunjukkan mereka jalan yang benar dengan
cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan
amalan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, membimbing
mereka kepada siratal mustaqim dan bersabar menghadapi ujian yang
menghadang diperjalanan.[23] Dakwah menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah
adalah sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah, dengan
mengajak kepada kebaikan (amru bil ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar), dan
mengajak untuk beriman (tu’minuna
billah) guna terwujudnya umat
yang sebaik-baiknya.[24]
Al-Syaibani menjelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya sebagai bagian dari kehidupan mayarakat dan kehidupan alam
sekitarnya.[25]
Dari beberapa definisi mengenai dakwah dan
pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses dakwah dan pendidikan
terdapat kesamaan dalam masing-masing komponennya. Sehingga metode yang menjadi
sarana dakwah ini juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan.
Kesamaan tersebut yang pertama, yaitu
adanya subjek. Dalam konteks dakwah disebut da’i,
sedangkan dalam konteks pendidikan disebut pendidik atau guru.
Kedua, adanya objek. Dalam perspektif dakwah disebut
mad’u, sedangkan dalam perspektif pendidikan disebut siswa/ murid.
Ketiga adalah
adanya materi. Hanya saja materi dakwah lebih terfokus pada ilmu agama.
Sedangkan materi pendidikan lebih luas dari itu, tidak hanya menyangkut ilmu
agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain, seperti ekonomi,
kewarganegaraan, fisika dan lain sebagainya.
Adapun komponen keempat, yaitu adanya tujuan
yang hendak dicapai, yaitu perubahan ke arah yang positif (perubahan jasmani
maupun rohani) terhadap objek (mad’u atau
peserta didik) sasarannya, melalui transformasi ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang disampaikan melalui aktifitas dan prosesnya
masing-masing. Sehingga objek (mad’u atau
peserta didik) tersebut menjadi manusia yang lebih baik dan sempurna serta
bertakwa kepada Allah.
Adanya kesamaan komponen
dakwah dan komponen pendidikan tersebut, maka ayat ini dapat dijadikan
referensi dalam dunia pendidikan, diantaranya adalah referensi tentang metode
pendidikan. Diantara metode pendidikan yang dapat kita ambil dari ayat tersebut
adalah: al-Hikmah, Mau’idah Hasanah, dan mujadalah. Untuk lebih
jelaskan akan penulis jabarkan dibawah ini.
1.
Al-Hikmah
Dalam Kamus Al Munawwir,
hikmah berasal dari kata hakama,
yang berarti hikmah, kebijaksanaan.[26] Menurut Quraish Shihab, kata hikmah antara lain berarti yang paling
utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau
tindakan yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu
yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan
yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau
kesulitan yang besar atau lebih besar.[27]
Menurut Ibnu Manzur hikmah
ialah ungkapan tentang pengetahuan sesuatu yang paling utama. Dinamakan ahli hikmah (seorang ‘arif bijaksana) bagi orang yang memahami
secara bagus dan mahir tentang seluk beluk pekerjaan).[28]
Sedangkan menurut Muhammad Abduh, Hikmah ialah mengetahui rahasia dan
faidah didalam tiap- tiap hal, juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit
lafadz akan tetapi banyak maknanya atau diartikan meletakkan sesuatu pada
tempat semestinya.”[29]
Hikmah kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat.
Padahal ia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat
dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat
logikanya. Sedangkan hikmah dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya
dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan
saja dengan ucapan mulut, melainkan juga termasuk dengan tindakan dan sikap
hidup. Terkadang lebih berhikmat “diam” daripada “berkata”.[30]
Untuk memudahkan memahami berbagai pendapat
mufassir tentang kata hikmah, lihat matrik berikut:
No
|
KitabTafsir
|
Metode Hikmah
|
1.
|
Tafsir
Ibnu Katsir
|
Apa yang
telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.
|
2.
|
Al Mannar
|
Mengetahui rahasia dan faidah
didalam tiap- tiap hal, juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadz
akan tetapi banyak maknanya atau diartikan meletakkan sesuatu pada tempat
semestinya
|
3.
|
Tafsir
At-Thabari
|
Al-Qur’an
|
4.
|
Tafsir
Al-Azhar
|
Metode yang
dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah
oleh orang yang lebih pintar. Hikmah juga bukan sekedar ucapan dari mulut,
tetapi juga termasuk tindakan dan sikap hidup.
|
5.
|
Tafsir Fi
Zhilālil Qur’ān
|
Menguasai
keadaan dan kondisi peserta didik serta batasan-batasan dalam menyampaikan
materi sehingga tidak memberatkan atau menyulitkannya.
|
6.
|
Ibnu
Manzur
|
Ungkapan tentang pengetahuan
sesuatu yang paling utama.
|
7.
|
Tafsir
al-Qurthuby
|
Menggunakan
perkataan yang lembut, (talathuf) serta layyin.
|
8.
|
Tafsir
Al-Misbah
|
Sesuatu
yang jika digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar
atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharatan atau kesulitan yang
besar atau lebih besar kepadanya.
|
Dengan demikian bila diaplikasikan ke dalam
pendidikan Islam, maka hikmah dapat digunakan sebagai salah satu metode
pendidikan agama Islam. Dari penafsiran mufasir di atas, dapat disimpulkan
bahwa hikmah mengandung arti pengetahuan yang dalam yang menjelaskan kebenaran
serta menghilangkan kesalahpahaman melalui tutur kata yang tegas dan benar serta
mempengaruhi jiwa, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih.
Aplikasi metode hikmah dalam pendidikan Islam mengindikasikan
adanya tanggung jawab pendidik. Dengan pengetahuan yang dalam, akal budi yang
mulia, perkataan yang tepat dan benar, serta sikap yang proporsional dari
pendidik, maka tujuan pendidikan dapat terwujudkan.
Metode hikmah mewujudkan suasana kondusif yang
memungkinkan terjadinya interaksi edukatif yang menyentuh siswa untuk dapat
menerima dan memahami serta mendorong semangat belajar, melalui terwujudnya
komunikasi baik antara pendidik dan peserta didik. Dimana pembinaan karakter
peserta didik dan kewibawaan pendidik tetap terjaga.
Implikasi dari metode hikmah dalam pendidikan
islam diantaranya adalah seorang guru harus bijak dalam menyikapi perbedaan
potensi atau kemampuan siswanya. Guru tidak boleh menganggap sama dan
memperlakukan sama terhadap semua murid. Misalnya ketika guru menerangkan
materi zakat yang didalamnya banyak ketentuan dan perhitungannya, sangat
mungkin daya tangkap siswa terhadap penjelasan guru berbeda. Ada siswa yang
sekali dijelaskan langsung paham, dan ada juga yang harus beberapa kali baru
paham. Dalam kaitannya dengan pernyataan di atas, pendidik harus mampu menciptakan
suatu interaksi yang kondusif dalam proses pendidikan sehingga tercipta suatu
komunikasi yang arif dan bijaksana yang tentunya akan memberikan kesan mendalam
kepada peserta didik sehingga teacher
oriented akan berubah menjadi student
oriented. Karena pendidik yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan
kesempatan kapada peserta didikya untuk berkembang.
2.
Mau’idhah Hasanah
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi
terdapat perbedaan makna antara istilah ‘ibrah dan mau’idhah hasanah.
‘Ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada
intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan menggunakan nalar, yang
menyebabkan hati mengakuinya. Adapun kata mau’idhah ialah nasihat yang
lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala dan ancamannya.[31]
Menurut Quraish Shihab mau’izhah adalah memberikan nasihat dan
perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan objeknya yang
sederhana. Kata al-mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati
yang mengantar kepada kebaikan. Mau’izhah hendaknya disampaikan dengan hasanah/ baik. Adapun mau’izhah menurut Quraish
Shihab maka akan mengenai hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu
disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah,
inilah yang bersifat hasanah.[32]
Untuk memudahkan memahami
bebagai pendapat para mufassir tentang makna mau’idzah, lihat kolom berikut:
No
|
KitabTafsir
|
Metode Mau’idzah
|
1.
|
Abdurrahman
An Nahlawi
|
Nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara
menjelaskan pahala dan ancamannya
|
2.
|
Tafsir
Al-Azhar
|
Pendidikan
yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan dengan nasihat.
|
3.
|
Tafsir
Ibnu Katsir
|
Memberikan
nasihat yang baik yaitu yang terkandung dalam al-Qur’an yang berupa
peringatan dan realitas-realitas manusia.
|
4.
|
Tafsir Fi
Zhilālil Qur’ān
|
Nasihat atau
perkataan yang baik yang dapat menembus hati manusia dengan lembut dan
diserap oleh hati nurani yang halus.
|
5.
|
TafsirAl-Qurthuby
|
Tidak
bersikap kasar (muhasanah) dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif)
|
6.
|
Tafsir
Al-Misbah
|
Memberikan
nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf
pengetahuanpeserta didik yang sederhana.
|
7.
|
Tafsir
At-Thabari
|
Peringatan/pelajaran
yang indah, yang Allah jadikan hujjah atas mereka di dalam al-Qur’an.
|
Berkaitan dengan metode mau’idzah,
al-Quran menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia
kepada jalan yang benar, inilah yang kemudian dikenal dengan nama nasehat.
Tetapi nasehat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan atau
teladan dari si pemberi nasihat itu. Hal ini menunjukan bahwa antara satu
metode (yakni nasehat) dengan metode lain (ketelaanan) bersifat saling
melengkapi.
Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat
memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Dalam menggunakan
metode pendidikan Islam perlu diperhatikan dasar-dasar sebagai beikut:
a.
Dasar Agamis
Pelaksanaan
metode pendidikan Islam harus memperhatikan nilai-nilai yang berasal dari
sumber utama Islam, yakni al-Quran dan al-Hadis. Setiap metode yang digunakan,
proses pelaksanaan metode dan teknik-teknik pembelajaran yang diterapkan harus
mencerminkan nilai-nilai Islam.
b.
Dasar biologis
Dalam
penggunaan metode, pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik,
kebutuhan-kebutuhan jasmani, dan tahap kematangan peserta didiknya. Seperti
peserta didik yang cacat dan normal tentunya perlakuaanya berbeda.
c.
Dasar psikologis
Setiap
manusia memiliki kondisi psikologi yang berbeda-beda. Seperti motif, rohani,
kecerdasan, emosi, minat, keinginan, bakat-bakat, kematangan, perbedaan, dll.
Oleh karena itu pendidik dala menggunakan metode, harus memperhatikan kondisi
psokologis peserta didiknya sehingga dapat menempatkannya secara tepat dan
bermakna. Diantara kebutuhan-kebutuhan jiwa yang layak diperhatikan ialah
kebutuhan kepada kenyamanan, kecintaan, penghargaan, keamanan, aktualisasi diri
(self ectualization), dan kebebasan.
d.
Dasar Sosial
Setiap
peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pada hakikatnya manusia
itu dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi. Maka interaksi yang terjadi
antara sesama peserta didik dan interaksi antara pendidik dan peserta didik
merupakan interaksi timbal balik yang kedua belah pihak akan saling memberikan
dampak positif atau negative. Oleh karena itu dalam memilih metode pendidikan
Islam, harus memperhatikan kondisi sosial, nilai-nilai masyarakat yang
berkembang, dan tradisi-tradisi yang baik yang dialami peserta didiknya.[33]
Mau’idzah hasanah diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:[34]
a.
Nasihat atau petuah
b.
Bimbingan, pengajaran
(pendidikan)
c.
Kisah-kisah
d.
Kabar gembira dan peringatan
e.
Wasiat (pesan-pesan positif)
Aplikasi dari metode mau’idhah
hasanah dalam konteks pendidkan adalah guru dalam menyampaikan materi harus
dengan kata-kata yang sopan, halus, dan tidak melukai hati siswanya. Guru juga
dituntut untuk menjadi teladan bagi siswa-siswanya, sesuai dengan falsafah jawa
“digugu lan ditiru”, karena bagaimanapun juga secara psikis siswa akan
mencontoh apapun dari gurunya.
Implementasinya misalnya guru
memberikan kisah kepada siswa tentang tokoh-tokoh hebat baik tokoh islam
ataupun barat dengan menggunakan kata-kata yang mampu menyentuh hati mereka dan
akhirnya mereka terinspirasi serta termotivasi dengan kisah tersebut. Guru
dalam menyampaikan tidak boeh sedikitpun menggunakan bahasa yang kasar,
menyakitkan hati siswa. Jika hati siswa sudah tersakiti ia menjadi tidak senang
dengan gurunya, dan juga pada akhirnya tidak senang dengan pelajaran yang
disampaikan. Kalau sudah begitu dapat dipastikan siswa tidak akan paham dengan
pelajaran yang disampaikan.
3.
Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari
kata jadala yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan. Dalam konteks
dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi. Menurut al Baidhowi
mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiah yang baik dengan
cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan
hasilnya diserahkan kepada Alloh SWT.[35]
Berkenaan dengan
pengertian jadala, para ulama mengartikan jadala dengan
bertukar pikiran (berdialog), termasuk dengan cara saling mengalahkan
argumentasi lawan. Dengan demikian asumsi sementara bila di dalam Al-Qur'an
terdapat dialog dan ada usaha saling mematahkan lawan dan bersifat keras, maka
dialog tersebut sebagai jadal atau mujadalah. Jadal juga
bermakna sampaikan argumentasi kepada mereka dengan argumentasi yang sifatnya
baik, meyakinkan dan dengan lembut, serta santun, dan berbicara dengan
kata-kata yang sejuk, memaafkan orang yang berbuat buruk, dan tanggapilah
keburukan dengan kebaikan, dan perdebatan harus dimaksudkan untuk mencapai
kebenaran, tanpa mengeraskan suara, mencaci, mencela, atau meremehkan dan
melecehkan.[36]
Mengenai mujadalah atau jidal, M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa jidal terdiri dari tiga
macam. Pertama, jidal buruk yakni yang disampaikan dengan
kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan dalih-dalih yang
tidak benar. Kedua, jidal baik yakni yang disampaikan
dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui
oleh lawan. Ketiga, jidal terbaik yakni yang disampaikan dengan
baik dan dengan argumen yang benar lagi membungkam lawan.”[37]
Dalam membantah harus memperhatikan orang yang diajak berdebat, misalnya
seorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka
hatinya ia mengeluarkan celaan dan cacian kepada Islam karena bodohnya. Orang
ini wajib dibantah dengan cara yang sevaik-baiknya, disadarkan dan diajak
kepada jalan fikiran yang benar sehingga ia menerima. Tetapi kalau terlebih
dahulu hatinya disakiti karena cara kita membantah yang salah, mungkin ia
enggan menerima kebenaran meskipun hati keilnya mengakui, karena hatinya telah
disakitkan.[38]
Dalam penyebutan urutan ketiga macam metode itu menurut beliau sungguh
serasi. Dimulai dengan hikmah yang dalam penyampaiannya tanpa
adanya syarat, kemudian disusul dengan mau’izhah dengan
syarat hasanah karena memang ia terdiri dari dua macam,
yakni; mau’izhah yang baik dan mau’izhah yang
buruk dan yang terakhir adalah jidal yang terdiri dari tiga
macam, yakni: buruk, baik, dan terbaik,
sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.[39]
Untuk memudahkan pendapat para mufassir tentang makna mujadalah/jidal,
lihat matrik berikut:
No
|
KitabTafsir
|
Metode Mujadalah
|
1.
|
Tafsir Fî
Zhilālil Qur’ān
|
Berdebat
dengan cara terbaik, tanpa bertindak dzalim, meremehkan atau melecehkan lawan
bicara yang dapat menjatuhkan wibawa, kehormatan dan eksistensi lawan bicara.
|
2.
|
Tafsir Al
Baidhawi
|
Menggunakan metode diskusi ilmiah yang baik dengan cara lemah lembut
serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan
kepada Alloh SWT
|
3.
|
Tafsir
At-Thabari
|
Perdebatan
atau bantahan yang terbaik sebagai upaya untuk menghindari prilaku yang tidak
baik dari lawan debat.
|
4.
|
Tafsir
Al-Azhar
|
Bantahan yang
baik yakni bantahan yang tetap objektif, yaitu tidak memandang siapa yang
diajak berdebat tetapi tetap fokus pada pokok permasalahan
|
5.
|
Tafsir Al
Wasith
|
sampaikan
argumentasi kepada mereka dengan argumentasi yang sifatnya baik, meyakinkan
dan dengan lembut, serta santun, dan berbicara dengan kata-kata yang sejuk,
memaafkan orang yang berbuat buruk, dan tanggapilah keburukan dengan
kebaikan, dan perdebatan harus dimaksudkan untuk mencapai kebenaran, tanpa
mengeraskan suara, mencaci, mencela, atau meremehkan dan melecehkan
|
6.
|
Tafsir
Ibnu Katsir
|
Perdebatan
dengan cara yang terbaik, yaitu dengan bantahan yang tetap bersahabat, lembut
dan perkataan yang baik.
|
7.
|
Tafsir
al-Qurthuby
|
Berdebat
tanpa menggunakan kekerasan (ta’nif).
|
8.
|
Tafsir
Al-Misbah
|
Perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Diskusi atau bukti-bukti yang
mematahkan alasanatau dalih mitra diskusi (peserta didik) dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik
yangdipaparkan itu
diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara (peserta didik)
|
Berdasarkan penafsiran para mufassir, dapat
diketahui bahwa mujadalah bi al-lati hiya ahsan, mengandung arti
sebagai berikut:
a. Bantahan yang lebih baik, dengan memberi manfaat, bersikap lemah lembut,
perkataan yang baik, bersikap tenang dan hati-hati, menahan amarah serta lapang
dada.
b. Percakapan dan perdebatan untuk memuaskan penantang.
c. Perdebatan yang baik, yaitu membawa mereka berpikir untuk menemukan
kebenaran, menciptakan suasana yang nyaman dan santai serta saling menghormati
d. Perbantahan atau pertukaran pikiran dengan baik yaitu tidak menyakiti
hati dan menggunakan akal yang sehat.
Dalam proses pendidikan,
jidal/ mujadalah bi al-lati hiya ahsan secara esensial adalah metode
diskusi/ dialog yang dilaksanakan dengan baik sesuai dengan nilai Islami.
Proses diskusi bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok
permasalahan. Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang
lain, memahami tema pembahasan, antusias, mengungkapkan dengan baik, dengan
santun, dapat mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai
kebenaran serta memuaskan semua pihak.
Contoh penerapan
konkritnya, ketika guru menjelaskan materi tentang poligami. Guru membagi kelas
menjadi dua kelompok, kelompok A pro dengan poligami, sedangkan kelompok B
kontra. Guru mendampingi debat kedua kelompok tersebut agar tetap kondusif.
Kedua kelompok dipersilahkan untuk menyampaikan pendapat dan argumennya secara
sopan, dan tidak menyakiti perasaan kelompok lawannya. Konsep mujadalah tidak
harus berdebat melalui lisan saja, tetapi bisa menggunakan media lain, misalnya
buku, media elektronik, dsb. Yang terpenting tulisan-tulisan tersebut harus
sopan, bahasanya tidak mencaci, dan tetap menghormati hasil karya atau pendapat
orang lain.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mujadalah di sini
mengandung makna sebagai proses penyampaian materi melalui diskusi atau
perdebatan, bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan santun,
saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan.
Diskusi memberikan sumbangan yang berharga pada siswa dalam rangka
belajar, diantaranya:[40]
a. Membantu siswa untuk mengambil keputusan yang lebih baik daripada
memutuskan sendiri.
b. Siswa tidak terjebak jalan pemikiran sendiri, yang kadang-kadang
salah, penuh prasangka dan ssempit.
c. Member motivasi terhadap berfikir dan meningkatkan perhatian kelas
terhadap apa yang sedang dipelajari.
d. Membantu mengerahkan atau mendekatkan hubungan antara kegiatan kelas
dengan tingkat perhatian dan derajat pengertian dari anggota kelas.
e. Mencari keputusan suatu masalah.
f. Melatih siswa untuk merumuskan pikirannya secara sistematis sehingga
dapat diterima orang lain.
g. Membiasakan siswa mendengarkan pendapat orang lain, walaupun berbeda
dengan pendapatnya, hal ini akan membangun toleransi yang baik.
Apabila diskusi
dilaksanakan dengan cermat, maka metode belajar ini akan menyenangkan dan
merangsang pengalaman siswa. Karena dengan diskusi ini siswa dapat menyampaikan
ide-ide, uneg-uneg, dan pendalaman wawasan mengenai sesuatu sehingga dapat
mengurangi ketegangan-ketegangan batin dan mencairkan atau membentuk iklim
kelas yang kondusif.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:
QS. Al-Maidah ayat 67 berisi tentang perintah Allah kepada Muhammad
untuk tabligh/ menyampaikan semua risalah kepada ummatnya. Implementasi metode tabligh
dalam konteks pendidikan diantaranya adalah bahwa guru harus menyampaikan
ilmunya kepada siswa sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak boleh ada
materi-materi yang seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru
seyogyanya selalu meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari
yang pada ujungnya keilmuan tersebut diajarkan atau disampaikan kepada
siswa-siswanya.
QS. An-Nahl ayat 125 berisi tentang metode dakwah Rasululloh. Ada
kesamaan komponen-komponen dakwah dengan komponen-komponen dalam pendidikan,
sehingga ayat tersebut dapat dijadikan referensi oleh penggiat pendidikan.
Ada tiga metode pendidikan islam yang dapat diambil dari QS. An-Nahl
ayat 125 yaitu: al-hikmah, mau’idzal hasanah, dan mujadah.
Aplikasi metode hikmah dalam pendidikan Islam,
mengindikasikan adanya tanggung jawab pendidik. Dengan pengetahuan yang dalam,
akal budi yang mulia, perkataan yang tepat dan benar, serta sikap yang
proporsional dari pendidik, maka tujuan pendidikan dapat terwujudkan.
Aplikasi dari metode mau’idhah
hasanah dalam konteks pendidkan adalah guru dalam menyampaikan materi harus
dengan kata-kata yang sopan, halus, dan tidak melukai hati siswanya. Guru juga
dituntut untuk menjadi teladan bagi siswa-siswanya, sesuai dengan falsafah jawa
“digugu lan ditiru”.
Sedangkan aplikasi dari metode mujadalah adalah
diskusi kritis yang sopan, menghormati pendapat orang lain, bersikap dingin
dalam berdebat, dan tidak menyakiti lawan yang didebat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli,
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, Surabaya: Maktabah Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah Indonesia, 1414.
Al Quran al-Karim, Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan: Tafsir
Al-Quan dengan Al-Quran, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir
Ath Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Amin, Masyhur, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.
An-Nabhani, Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah Bekal
Perjuangan Para Da’i, Jakarta: Amzah, 2008.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al Wasith, Jakarta:
Gema Insani, 2012.
Baharuddin, Pendidikan Humanistik Konsep, Teori,
dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan), Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2011.
Gunawan, Heri, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis
dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Rosdakarya, 2014.
HAMKA, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Panjimas,
1986.
Indonesia, Departemen Agama Republik, Al-Quran dan Tafsirnya,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Ismail, Faisal, Dakwah Pembangunan: Metodologi
Dakwah, Yogyakarta: Prop. DIY, 1992.
Izzan, Ahmad, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat
Berdimensi Pendidikan. Banten: Pustaka Aufa Media, 2012.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2016.
Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Munir, M, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2003.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003.
Shaleh, Qamarudin, dkk, Asbabun
Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, Bandung: CV.
Diponegoro, 1982.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta:
Lentera Hati, 2009.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Zuhairini,
dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, Solo: Ramadhan, 1983.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 131.
[2] Baharuddin, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi
Praktis dalam Dunia Pendidikan), (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011), hlm
196.
[3] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 223.
[4] Al Quran al-Karim, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema,
2010), hlm. 119.
[5] Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), hlm. 72.
[6]
Qamarudin Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Al-Quran, (Bandung: Diponegoro, 1982), hlm. 189.
[7] Ahmad Mustafa Al Farran, Tafsir al-Imam Asy Syafi’i, (Jakarta:
Almahira, 2007), hlm. 383.
[8]
Lebih lengkapnya baca Qamarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm.
189-191. Dalam buku tersebut dijelaskan berbagai riwayat yang menjelaskan
asbabun nuzul ayat tersebut beserta versinya. Termasuk diantaranya dikemukakan
bahwa para sahabat pernah meningalkan Rasulullah SAW berhenti didalam perjalanan,
dan dan berteduh dibawah pohon yang besar. Ketika itu beliau menggantungkan
pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki-laki dan mengambil pedang
Rasul sambil berkata, “Siapa yang menghalangi engkau daripadaku Wahai
Muhammad?”, sabda Rasulullah SAW: “Allah yang akan melindungiku daripadamu,
letakkanlah pedang itu!”. Ketika itu pedang dletakkan kembali, maka turunlah
ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan usil
manusia.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 152.
[10] Asy Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan: Tafsir Al-Quan dengan Al-Quran,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 172.
[11] Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan.
(Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm. 220.
[12] Ibid, hlm. 222.
[13] Ada
beberapa istilah komunikasi dalam al-Quran sebagai salah satu metode
pembelajaran, diantaranya: Qaulan syadiidan (QS. 4: 9), Qaulan
Masyruran (QS. 17:28), Qaulan Layinan (QS. 20: 44), Qaulan
Kariman (QS. 17: 23), Qaulan Ma’rufan (QS. 4: 5), dan Qaulan
Balighan (QS. 4: 63).
[14] Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan.
(Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm 223.
[15]Al Quran al-Karim, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema,
2010), hlm 281.
[16]Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 1009.
[17]Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2000),
hlm. 1117.
[18]Faisal Ismail, Dakwah Pembangunan: Metodologi Dakwah,
(Yogyakarta: Prop. DIY, 1992), hlm. 199.
[19]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 500.
[20] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath Thabari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 389.
[21] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, (Surabaya: Maktabah Dar Ihya’
al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1414 H), hlm. 226.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah..., hlm. 774-745.
[23]Fathul
Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan
Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 21.
[24]Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003),
hlm. 9-10.
[25]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 8.
[26] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 287.
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah..., hlm. 775.
[28] Masyhur
Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997). hlm. 21.
[29] M.
Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2003). hlm. 9.
[30] HAMKA, Tafsir AlAzhar, (Jakarta: Panjimas, 1986), hlm. 321.
[31] Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh,
(Bandung: Rosdakarya, 2014), hlm. 270.
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah..., hlm. 776.
[33] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global…, hlm. 225-226.
[34] M, Munir, Metode Dakwah…, hlm. 17.
[35] Imam al Baidhowi dalam Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat
Berdimensi Pendidikan. (Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm. 229.
[36] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir Al Wasith, (Jakarta: Gema Insani,
2012), hlm. 348.
[37] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah..., hlm. 776
[38] HAMKA, Tafsir Al Azhar…, hlm. 322.
[39] Ibid, hlm.
777.
[40]
Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhan, 1983),
hlm. 89-90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar