BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
bertujuan untuk membentuk pribadi yang berkualitas, baik jasmani maupun rohani.
Secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak
didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill,
kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan
mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembankan diri
berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi
pribadi shaleh, pribadi berkulitas secara skill, kognitif, dan
spiritual.[1]
Pada
kenyataannya, pendidikan belum mampu mencapai tujuan yang diinginkan.
Perilaku-perilaku tidak terpuji masih banyak terjadi di masyarakat, dari mulai
merebaknya penggunaan narkoba, asusila, pelangaran HAM, pembunuhan, penganiayaan,
minimnya kejujuran, dan lain sebagainya.
Etika
atau akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara. Dengan etika, watak bangsa yang berkarakter dan
memiliki jati diri akan terbentuk, pada endingnya negara tersebut akan
dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun di dunia ini.
Islam
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap etika atau akhlak. Hal ini
dapat dilihat secara historis maupun teologis dalam ajaran Islam itu sendiri.
Begitu banyak intelektual muslim yang telah membahas akhlak secara filosofis,
diantaranya adalah Abu Bakar Ar-Razi, Ibnu Miskawaih, Al Ghazali,[2]
dan lain sebagainya.
Filosof
Islam terbesar yang memberikan perhatian khusus mengenai filsafat etika adalah
Ibnu Miskawaih, walaupun menurut para ahli filsafatnya itu merupakan sintesis
dari berbagai pandangan, terutama dari filsafat etika Yunani (Plato,
Aristoteles, dan Gulen) dan unsus-unsur etika Islam.[3] Walaupun
demikian, usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran
filsafat dan pemikiran Islam, terutama dalam bidang akhlak sampai beliau
dijuluki sebagai Bapak Etika Islam. Ia juga dijuluki sebagai guru ketiga (al-Mu’allim
al-Tsalits) setelah Al Farabi yang dijuluki Guru Kedua (al-Mu’allim
al-Tsani), dan Aristoteles sebagai Guru Pertama (al-Mu’allim al-Awal).[4]
Dari
hal tersebut penulis terdorong untuk meneliti lebih lanjut tentang konsep
pendidikan akhlaknya dan merelevansikannya dengan pendidikan modern saat ini. Dengan
harapan semoga konsepnya mampu menginspirasi dunia pendidikan saat ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.
Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih?
2.
Bagaimana konsep pemikiran pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih?
3.
Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih
dengan pendidikan saat ini?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui biografi Ibnu Miskawaih
2.
Mengetahui konsep pemikiran pendidikan ahlak menurut Ibnu
Miskawaih.
3.
Mengetahui relevansi pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih
dengan pendidikan saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih adalah filosof Muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/ 94-1030 M.[5]
Nama lengkapnya Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Miskawaih. Ia lahir di Ray dan
mengais ilmu di Baghdad, dan wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai
macam ilmu pengetahuan, ia akhirnya memusatkan diri pada kajian sejarah dan
etika.[6] Ia
belajar sejarah, terutama Tarikh Ath-Thabari kepada Abu Bakr Ahmad ibn
Kamil Al-Qadhi (350 H/ 960 M). Belajar ilmu-ilmu filsafat kepada Ibn
Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, dan belajar kimia dari
Abu Al-Thayyib al-Razi.[7]
Dilihat
dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman
keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa
dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh
kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Miskawaih
muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga.Tetapi disamping
itu, ada hal yan tidak menyenangkan hatinya yaitu kemerosotan moral yang
melanda masyarakat. Oleh karena itu, agaknya ia lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.[8]
Ibnu
Miskawaih seorang penganut Syiah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya
kepada sultan dan wazir-wazir Syiah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi
(320-448 H).[9]
Ketika Sultan Ahmad ‘Adud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki
jabatan yang penting seperti diangkat menjadi Khazin, penjaga perpustakaan yang
besar dan bendahara Negara.[10]
Riwayat
pendidikan Ibnu Miskawaih tidak diketahui dengan jelas. Ia tidak menulis
otobiografinya, dan para penulis riwayat hidupnyapun tidak memberikan gambaran
yang jelas mengenai hal ini. Namun demikian, dapat diduga ia tidak berbeda dari
kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran bahwa
pendidikan anak pada zaman Abbasiyah pada umumnya bermula dengan belajar
membaca, menulis, mempelajari Al-Quran, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa
Arab (nahwu), dan ‘arud (ilmu membaca dan membuat syair). Pelajaran
diberikan di surau-surau. Dikalangan keluarga yang berada, guru didatangkan
kerumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu
dasar tersebut selesai diberikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu
fiqh, hadist, sejarah, (khususnya sejarah Arab, Persi, dan India), dan
matematika. Selain itu juga diberikan macam-macam ilmu praktis, seperti musik,
bermain catur, dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Ibnu
Miskawaih diduga juga mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya,
meskipun menurut dugaan, Ibnu Miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat,
karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama
untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan Ibnu
Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan cara banyak membaca buku,[11]
terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibn Al-Amid,
Menteri Rukn al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawan Adud al-Daulah.[12]
Ia menjadi pustakawan puluhan tahun lamanya.
Miskawaih tidak hanya
dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Beberapa
karya tulisnya, yaitu:[13]
1.
Al-Fauz al-Akbar
2.
Al-Fauz al-Asghar
3.
Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis tahun 369 H/979 M)
4.
Uns al-Farid (kumpulan anehdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara)
5.
Tartib al-Sa’adat (tentang akhlak dan politik)
6.
Al-Mustaufa (tentang syair-syair pilihan).
7.
Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8.
Al-Jami’
9.
Al-Siyar (tentang aturan hidup)
10.
Tentang pengobatan
sederhana (mengenai kedokteran)
11.
Tentang komposisi Bajat
(mengenai seni memasak)
12.
Al-Ashribah (mengenai minuman)
14.
Risalat fi al-Lazzat wa
al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.
Ajwibat wa As’ilat fi
al-Nafs wa al-‘Aql
16.
Al-Jawab fi al-Masa’il
al-Salas
17.
Risalat fi Jawab fi
Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18.
Thaharat al-Nafs.
B.
Konsep Pemikiran Pendidikan Ahlak Menurut Ibnu Miskawaih
Pemaparan
etika Islam menurut Ibnu Miskawaih diawali dengan pembahasan tentang manusia
dan jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan
etika ialah mengenal jiwa. Sebagaimana dalam mukaddimah Tahdzib al-Akhlaq,
ia menyatakan bahwa tujuan menulis kitab tersebut adalah untuk mengembangkan
nilai etika dalam jiwa.
1.
Konsep Manusia
Ibnu
Miskawaih menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filosofis kata al-insan.
Ia berpendapat bahwa kata al-insan (dalam bahasa Indonesia berarti manusia)
berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy (keintiman), atau
dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability
dan familiarity. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk social yang
secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama
lain.[15]
Menurut
pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam
kenyataannya manusia memiliki daya piker. Berdasarkan daya piker tersebut,
manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, dsb. Manusia yang
paling sempurna adalah yang paling benar cara berfikirnya serta yan paling
mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa untuk
mewujudkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk mewujudkan
kebaikan merupakan indicator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari
penciptaan manusia itu sendiri.
Islam
menurut pandangan Miskawaih, agama yang menyuruh penganutnya untuk
bersosialisasi, mengembangkan hubungan keintiman, dan menumbuhkan rasa
kekeluargaan antar sesama.
2.
Konsep Jiwa Manusia
Jiwa
menurut Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian
jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi dan akan hidup selalu. Ia
tidak dapat diraba dengan panca indera karena bukan jisim dan bukan pula bagian
dari jisim. Ini dibuktikan dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima
gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu sama, sedangkan materi hanya dapat
menerima dalam satu waktu saja, putih atau hitam.[16]
Jiwa
bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi.
Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad, Ibnu Miskawaih mengemukakan
argument-argumennya sebagai beriku:[17]
a.
Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama
beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah,
sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b.
Sering memejamkan mata, jika sedang merenungkan suatu hal yang
musykil dan berat. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c.
Mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan panca indera, tetapi
intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham
umum.
d.
Kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak dapat mempengaruhi
kekuatan mental.
e.
Jiwa dapat memahami proporsi-proporsi tertentu yang tidak berkaitan
dengan data inderawi.
f.
Ada suatu kekuatan didalam diri manusia yang mengatur orga-organ
fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan pengetahuan.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan
jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi
sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Ia
mengemukakan jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat,
yaitu:[18]
a.
An-Nafs al-Bahimiyah
(nafsu kebinatangan) yang buruk. Jiwa ini menjadi dasar syahwat, usaha mencari
makan, kerinduan untuk menikmati makanan, minuman dan perkawinan, serta
berbagai kenikmatan inderawi lainnya. Pusat jiwa adalah hati.
b.
An-Nafs al-Sabu’iyyah (nafsu
binatang buas) yang sedang. Jiwa ini menjadi dasar kemarahan, tantangan,
keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan berkuasa, keinginan pada
ketinggian pangkat, dan berbagai kesempurnaan. Pusat daya ini ada dalam hati.
c.
An-Nafs an-Nathiqah
(jiwa yang cerdas) yang baik. Jiwa ini merupakan jiwa yang menjadi dasar
berfikir, membedakan dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusatnya ada pada
otak.
Sehubungan dengan kwalitas dari
tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Miskawaih mengatakan bahwa
jiwa yang rendah (an-Nafs al-bahimiyah) mempunyai sifat-sifat ujub,
sombong, penipu, dan hina. Sedangkan jiwa cerdas (an-nafs an-natiqah)
mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.
Tentang
balasan di akherat, sebagaimana Al Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa
jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan atau kesengsaraan) di akherat.
Karena menurutnya, kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.[19]
Setelah
memahami tentang konsep manusia dan jiwa, pembahasan kita lanjutkan kepada
ajaran pokok akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Akhlak merupakan kata plural dari
kata khuluq. Miskawaih memberikan pengertian khuluq adalah peri keadaan
jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan
dipertimbangkan sebelumnya, atau bahasa lain terjadi secara reflek/otomatis dan
cepat.[20]
Miskawaih
menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari
segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syariat, nasihat-nasihat, dan
berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan
manusia dengan akalnya mampu membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana
yang tidak. Dari situlah, Miskawaih memandang akan pentingnya pendidikan dan
lingkungan dalam membina akhlak.[21]
Untuk
memudahkan memahami konsepnya, maka konsep pemikirannya perlu dikelompokan
menjadi beberapa teori dasar, yaitu:
1.
Teori Fadhail (Keutamaan)
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa dalam jiwa terdapat tiga kekuatan, yaitu: bahimiyah,
sabu’iyah, dan Nathiqah. Antara satu dengan lainnya terkadang
harmonis dan terkadang kontradiksi. Ajaran keutamaan etika Ibnu Miskawaih
berpangkal pada teori jalan tengah (nadzar al-Ausath) yang
dirumuskannya. Inti teori ini bahwa keutamaan etika Islam secara umum diartikan
sebagai posisi tengah antara ektrem kelebihan dan ekstrem kekurangan
masing-masing jiwa manusia. Fadhilah terjadi pada kondisi keseimbangan (balance),
yaitu pada titik tengah (wasath, moderat). Ia berpendapat, posisi ala
tengah bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat
berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa
berani. Sedangkan filsafat berfungsi eketif bagi terciptanya posisi tengah jiwa
berfikir.
Konsep
jalan tengah yang digagas Miskawaih sebenarnya sudah disebutkan dalam Al Quran.
Dalam QS. Al-Baqarah: 143 disebutkan:
“Dan demikian
pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agat Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu...”[22]
Umat
Islam disebut ummatan wasathan, umat yang moderat, umat yang adil yang
tidak berat sebelah, proporsional antara kepentingan material dan spiritual,
ketuhanan dan kemanusiaan, akal dan wahyu, dunia dan akherat, atau bahasa
lainnya seimbang antara keduanya.
2.
Teori Kamal (Kesempurnaan)
Kesempurnaan
manusia ada dua macam yaitu teoritis dan praktis. Dengan teoritis manusia
cenderung kepada berbagai ilmu pengetahuan, ia akan rindu pada ilmu pengetahuan,
terwujud bila mendapatkan pengetahuan sehingga persepsinya, wawasan, dan
kerangka berfikirnya akurat. Dengan demikian ia tidak akan melakukan kesalahan
dalam keyakinannya dan tidak meragukan suatu kebenaran.[23]
Sedangkan
secara praktis --yang merupakan tujuan Ibnu Miskawaih membuat kitab Tahdzib
Al-Akhlaq wa Tathhir al-‘Araq—yaitu berupa kesempurnaan karakter. Kesempurnaan
akan tercapai apabila kedua kesempurnaan tersebut tercapai. Jika kedua
kesempurnaan tersebut tidak tercapai, maka manusia keadaannya samatidak dengan
binatang dan tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk
bertransformasi menjadi yang lebih baik serta mustahil menuju kekekalan dan
kenikmatan abadi.
3.
Teori Sa’adah (Kebahagiaan)
Ibnu
Miskawaih mengecam kaum materialistik membedakan antara al-khair
(kebaikan) dan al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan menjadi tujuan semua
orang, kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam keudukannya sebagai manusia. Sedangkan
kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi
relatif. Dengan demikian kebaikan mempunyai identitas tertentu, sedangkan
kebahagiaan berbeda-beda tergantung kepada orang-orang yang berusaha
memperolehnya.[24]
4.
Teori Mahabbah (Cinta)
Ibnu
Miskawaih mengenal dua tingkatan cinta, Pertama cinta sesama makhluk, kedua
cinta makhluk dengan Khaliqnya. Ada dua teori dikemukakan Miskawaih.
Pertama, beberapa atom (jauhar) yang berbeda tidak mungkin menyatu
dzatnya. Kedua, jiwa manusia yang terbentuk oleh kenikmatan-kenikmatan dan
kemanfaatan mempunyai kepentingan yang berlainan, bahkan sering kontradiksi. Sebab
itu, satu-satunya landasan yang dapat menjamin persatuan dan kesatuan yang
kokoh dan kekal dalam satu kominitas hanyalah mahabbah dan mawaddah
yang terbentuk dari jauhar Ilahi dalam diri manusia, yang bersih dari
kotoran syahwat dan tabiat. Potensi mahabbah
yang suci inilah yang harus dicari da dipelihara bersama oleh anak-anak
manusia.[25]
5.
Aspek Sosial
Karena
manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiaannya terletak pada temannya,
sedang yang kesempurnaanya terletak pada orang lain, mustahil akan mencapai
kebahagiaan yang sempurna dalam keadaan hidup menyendiri. Maka yang berbahagia
adalah yang memperoleh banyak teman dan berusaha keras menyebarkan kebaikan
kepada mereka untuk ia peroleh dengan bantuan mereka apa yang tak dapat ia
peroleh dengan secara sendirian, sehingga satu sama lain mendapat kenikmata ukhuwah
ini sepanjang hidupnya. Ia mencela orang-orang zuhud yang mengisolir
dirinya di gunung, dan menganggapnya sebagai benda mati atau mayat.[26]
C.
Relevansi Pemikiran Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dengan
Pendidikan Saat Ini
Setelah
dipaparkan tentang konsep manusia dan jiwa, kemudian konsep-konsep
pemikiran Ibnu Miskawaih yang dikelompokkan kedalam beberapa teori dasar
diatas, maka kita dapat menganalisis dan merelevansikan pemikirannya kedalam
dunia pendidikan, khususnya pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak
tersebut yaitu:
1.
Tujuan Pendidikan
a.
Tercapainya Akhlak Mulia
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa
rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang
berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul
dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih
adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan.
Manusia
yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukan perilaku yang khas
padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya
pikir) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu tugas pendidikan
adalah mendudukan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang
termulia dari makhluk lainnya.
b.
Sosialisasi Individu Manusia
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus
berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik hingga tiap individu
merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untyk
kebahagiaan bersama. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak
mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan
tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang
di kembangkan oleh para sosiolog modern.
c.
Kebaikan, kebahagiaan, dan Kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup
manusia, yaitu kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan. Manusia yang ingin
diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna.
Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak
dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral.
Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan
dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan,
dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.[27]
2.
Materi Pendidikan
Untuk mencapai tujuan tujuan pendidikan diatas, ibnu Miskawaih
menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan, dan dipraktekan.
Sesuai konsepnya tentang manusia, ia menghendaki agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi pendidikan. Materi-materi tersebut diabdikan pula sebagai
pengabdian kepada Allah SWT. Materi yang dimaksud yaitu:[28]
a.
Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
Ibnu Miskawaih tidak merinci materi pendidikan yang wajib
bagi kebutuhan manusia. Materi yang wajib menurutnya antara lain: shalat,
puasa, dan haji. Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal
tersebut. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya bahwa tanpa diuraikan
secara terprincipun orang sudah meangkap maksudnya.
b.
Hal-hal yang wajib bagi jiwa
Ibnu Miskawaih mencontohkannya dengan materi tentang
pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya,
serta motivasi untuk senang terhadap ilmu.
c.
Hal-hal yang wajin bagi hubungannya dengan sesama
Miskawaih mencontohkan dengan materi ilmu tentang muammalat,
pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan, dll.
Ketiga pokok materi tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu
yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulum al-fikriyyah) dan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan indera (al-‘ulum al-hissiyyat). Selanjutnya, karena
materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, maka
apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu asalkan semuanya tidak terlepas
dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Miskawaih menyetujuinya.[29]
Jika dianalisa, berbagai materi yang diajarkan Ibnu Miskawaih
dalam kegiatan pendidikan orientasinya bukan semata-mata karena ilmu itu
sendiri, tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Setiap
ilmu membawa misi akhlak yang mulia, maka idealnya semakin tinggi ilmu semakin
tinggi pula keluhuran akhlaknya.
Menurut penulis, tawaran konsep yang disampaikan Miskawaih
inilah yang sekarang perlu dikembangkan di dunia pendidikan Indonesia. Materi
yang disampaikan tidak hanya berdimensi kognitif saja, tetapi juga pada wilayah
spiritual. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan intelektual siswa saja, tetapi
spiritual dan emosional juga harus diperhatikan dan dikembangkan.
3.
Pendidik dan Peserta Didik
Menurutnya,
orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan
syariat yang menjadi acuan utama materi pendidikannya. Karena peran orang tua
yang sedemikian besar, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang
tua dan anak yang didasarkan atas cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang
terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang
tuanya sendiri.
Ibnu
Miskawaih berpendapat, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi
syariat tidak menjadi persoalan. Pertimbangannya adalah karena semakin lama
anak-anak akan mengetahui alasannya, dan akhirnya meeka tetap memelihara
sehingga akan mencapai keutamaan.
Pendidik
berfungsi sebagai bapak rohani, kebaikan yang disampaikan adalah kebaikan
Ilahi, karena ia membawa anak didik pada kearifan, mengisinya dengan kebahikan
yang tinggi dan menunjukan mereka kehidupan yang abadi. Pendidik sejati
menurutnya adalah manusia ideal seperti terdapat pada konsepnya tentang manusia
yang ideal. Hal demikian begitu jelas karena ia menyejajarkan posisi mereka
sama seperti posisi nabi terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih siswa
kepada gurunya menempati posisi kedua setelah cintanya kepada Allah.
Kriteria
pendidik menurut Miskawaih diantaranya adalah bisa dipercaya, pandai, dicintai,
sejarah hidupnya jelas dan tidak tersemar di masyarakat, serta bias menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat pada umumnya.[30]
4.
Lingkungan Pendidikan
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adat)
tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong
dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia
saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan
terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka
kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap
induvidu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota
badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.[31]
Untuk mencapai iklim pendidikan yang kondusif, menurutnya
terkait dengan politik pemerintah. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai
kewajiban untuk menciptakan iklim tersebut. Karena menurutnya, Negara dan agama
ibarat dua Negara yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Mengenai lingkungan pendidikan yang selama ini kita kenal
yaitu: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara eksplisit ia tidak
membicarakannya. Ia hanya membicarakannya secara umum saja.[32]
Untuk mewujudkan iklim yang kondusif, sinergi antara ketiga
lingkungan pendidikan tersebut harus berjalan baik, bahkan harus terintegrasi
dalam satu system yang apik. Menurut penulis, di Indonesia, sinergitas ketiga
lingkungan pendidikan tersebut belum baik. Ketiganya belum berfungsi secara
benar. Buruknya pendidikan keluarga menambah beban berat pada sekolah dan menambahkan
keruwetan permasalahan di masyarakat, seperti terjadinya tawuran, seks bebas,
narkoba, dll. Pada saat yang bersamaan, iklim masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga
dan sekolah menjadi kirang optimal. Ditambah lagi apabila pendidikan yang
diterima di sekolah juga belum bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga
pilar lingkungan pendidikan tersebut.
5.
Metode Pendidikan
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibnu Miskawaih dalam
mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang
sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya
sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman
orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang
dimaksud adalah tentang hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya
kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut
ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk
dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau
keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit
banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya.
Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali
semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari
perhatiannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu
Miskawaih adalah filosof Muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/ 94-1030 M.
Nama lengkapnya Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Miskawaih. Ia lahir di Ray dan
mengais ilmu di Baghdad, dan wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai
macam ilmu pengetahuan, ia akhirnya memusatkan diri pada kajian sejarah dan
etika. Ia belajar sejarah, terutama Tarikh Ath-Thabari kepada Abu Bakr
Ahmad ibn Kamil Al-Qadhi (350 H/ 960 M). Belajar ilmu-ilmu filsafat kepada Ibn
Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, dan belajar kimia dari
Abu Al-Thayyib al-Razi.
Konsep
akhlak menurut Ibnu Miskawaih, ia berpendapat bahwa akhlak seseorang itu bisa
diubah melalui pendidikan. Konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih terkumpul
dalam teori-teorinya tentang Fadhail (keutamaan), Kamal (kesempurnaan),
Sa’adah (kebagahiaan), Mahabbah (cinta), dan aspek sosial.
Menurut
penulis, konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih masih sangat relevan dan dapat
dijadikan acuan untuk memperbaiki pendidikan etika zaman sekarang. Beberapa hal
yang perlu diterapkan dalam pendidikan sekarang diantaranya: reorientasi ilmu
pengetahuan, menghidupkan dan mengembangkan tradisi pemikiran dalam islam,
system pendidikan yang terpadu, dan integrasi keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran al-Karim, Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Basyir, Ahmad Azhar, Miskawaih: Riwayat
Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.
Drajat, Amroeni, Filsafat Islam: Buat
yang Pengen Tahu, Jakarta: Erlangga, 2011.
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, terj. Hidayat,
Helmi, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Dasar Pertama tentang Filsafat Etika,
Bandung: Mizan, 1994.
Maftukhin, Filsafat Islam, Yogyakarta: Teras, 2012.
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1992.
Mustafa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Rahmaniyah, Istighfarotur, Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan Etika
Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan, Malang:
UIN Malang Press, 2010.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
[1] Istighfarotur Rohmaniyah, Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan Etika
Perspektif Ibnu Miskawaihdalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan, (Malang:
UIN Malang Press, 2010), hlm. 2.
[2] Ar-Razi lahir di Kota Ray, dekat Teheran, Iran pada 1 Sya’ban 251 H/ 865
M. Ibnu Miskawaih juga berasal dari Kota Ray, lahir pada 330 H/ 941 M.
Sedangkan Al Ghazali lahir di Gazal, Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/ 1058 M.
Lihat Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007).
[5] Mengenai tahun kelahirannya para penulis berbeda pendapat. M.M. Syarif
menyebutkan tahun 320 H/932 M, Margoliouth menyebutkan 330 H/ 941 M, dan Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya semuanya sepakat 9
Shafar 421/16 Februari 1030. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat
Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 1.
[9]
Indikasi tersebut diperkuat dengan gelar yang melekat pada dirinya, yaitu Abu
‘Ali, yang diambil dari nama sahabat ‘Ali yang oleh kaum Syiah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam keudukannya sebagai pemimpin umat
Islam sepeningalannya. Gelar lainnya yaitu Al-Khazin yang berarti bendaharawan,
disebabkan pada masa kekuasaan A’dhud al-Daulah ia memperoleh kepercayaan
sebagai bendaharawannya. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih:
Riwayat Hidup…, hlm. 1.
[11] Pengetahuan Ibnu Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca
buku ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini namanya
dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarawan dan filosof.
Sebagai filosof, ia memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu
Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis
buku tentang etika.
[14] Menurut para ahli, kitab tersebut merupakan kitab rujukan pertama
tentang filsafat etika Islam. Kitab tersebut berisi tentang uraian suatu aliran
akhlak yang materi-materinya ada yang berasal dari konsep-konsep etika dari
Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya
dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamannya. Kitab ini ditujukan
terutama untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan menuntun mereka
kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur serta
menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka
tidak tersesat dan umur mereka tidak disia-siakan. Kita ini terdiri dari tujuh
bab. Secara runtut dimulai dari pembahasan tentang jiwa, fitrah manusia dan
asal usulnya, bagian utama akhlak (membicarakan kebaikan dan kebahagiaan),
membahas tentang keutamaan (membahas tentang arti keadilan), persahabatan dan
cinta, pengobatan, dan terahir tentang penyembuhan penyakit jiwa. Bab pertama
sampai kelima menunjukan adanya pengaruh pemikiran para filosof pendahulunya,
seperti: Plato, Aristoteles, Galen, kaum Stoa, Al Kindi, Al Farabi, dll.
Sedangkan dua bab terakhir secara khusus lebih banyak dipengaruhi oleh Ar-Razi.
Dalam pembahasan tentang penyembuhan penyakit jiwa, beberapa yang ditulisnya
sesuai dengan beberapa bagian yang ditulis Ar-Razi dalam Al-Thib Al-Ruhani,
terutama yang berkaitan dengan berbangga diri, susah, dan takut mati. Lihat
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, terj. Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak:
Buku Dasar Pertama tentang Filsafat Etika, (Bandung: Mizan, 1994), hlm.
14-15.
[29] Ia menyebutkan misalnya ilmu nahwu, manthiq (logika), matematika,
dan ilmu kealaman (natural science).
[32] Miskawaih membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya. Mulai
lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan
pemerintah yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sampai
lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar