Rabu, 04 Januari 2017

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MISKAWAIH DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan bertujuan untuk membentuk pribadi yang berkualitas, baik jasmani maupun rohani. Secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembankan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi shaleh, pribadi berkulitas secara skill, kognitif, dan spiritual.[1]
Pada kenyataannya, pendidikan belum mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Perilaku-perilaku tidak terpuji masih banyak terjadi di masyarakat, dari mulai merebaknya penggunaan narkoba, asusila, pelangaran HAM, pembunuhan, penganiayaan, minimnya kejujuran, dan lain sebagainya.
Etika atau akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan etika, watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri akan terbentuk, pada endingnya negara tersebut akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun di dunia ini.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap etika atau akhlak. Hal ini dapat dilihat secara historis maupun teologis dalam ajaran Islam itu sendiri. Begitu banyak intelektual muslim yang telah membahas akhlak secara filosofis, diantaranya adalah Abu Bakar Ar-Razi, Ibnu Miskawaih, Al Ghazali,[2] dan lain sebagainya.
Filosof Islam terbesar yang memberikan perhatian khusus mengenai filsafat etika adalah Ibnu Miskawaih, walaupun menurut para ahli filsafatnya itu merupakan sintesis dari berbagai pandangan, terutama dari filsafat etika Yunani (Plato, Aristoteles, dan Gulen) dan unsus-unsur etika Islam.[3] Walaupun demikian, usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran filsafat dan pemikiran Islam, terutama dalam bidang akhlak sampai beliau dijuluki sebagai Bapak Etika Islam. Ia juga dijuluki sebagai guru ketiga (al-Mu’allim al-Tsalits) setelah Al Farabi yang dijuluki Guru Kedua (al-Mu’allim al-Tsani), dan Aristoteles sebagai Guru Pertama (al-Mu’allim al-Awal).[4]
Dari hal tersebut penulis terdorong untuk meneliti lebih lanjut tentang konsep pendidikan akhlaknya dan merelevansikannya dengan pendidikan modern saat ini. Dengan harapan semoga konsepnya mampu menginspirasi dunia pendidikan saat ini.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih?
2.      Bagaimana konsep pemikiran pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dengan pendidikan saat ini?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi Ibnu Miskawaih
2.      Mengetahui konsep pemikiran pendidikan ahlak menurut Ibnu Miskawaih.
3.      Mengetahui relevansi pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dengan pendidikan saat ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah filosof Muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/ 94-1030 M.[5] Nama lengkapnya Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Miskawaih. Ia lahir di Ray dan mengais ilmu di Baghdad, dan wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai macam ilmu pengetahuan, ia akhirnya memusatkan diri pada kajian sejarah dan etika.[6] Ia belajar sejarah, terutama Tarikh Ath-Thabari kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadhi (350 H/ 960 M). Belajar ilmu-ilmu filsafat kepada Ibn Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, dan belajar kimia dari Abu Al-Thayyib al-Razi.[7]
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga.Tetapi disamping itu, ada hal yan tidak menyenangkan hatinya yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itu, agaknya ia lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.[8]
Ibnu Miskawaih seorang penganut Syiah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir Syiah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 H).[9] Ketika Sultan Ahmad ‘Adud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan yang penting seperti diangkat menjadi Khazin, penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara Negara.[10]
Riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih tidak diketahui dengan jelas. Ia tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayat hidupnyapun tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini. Namun demikian, dapat diduga ia tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran bahwa pendidikan anak pada zaman Abbasiyah pada umumnya bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Quran, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu), dan ‘arud (ilmu membaca dan membuat syair). Pelajaran diberikan di surau-surau. Dikalangan keluarga yang berada, guru didatangkan kerumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar tersebut selesai diberikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqh, hadist, sejarah, (khususnya sejarah Arab, Persi, dan India), dan matematika. Selain itu juga diberikan macam-macam ilmu praktis, seperti musik, bermain catur, dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Ibnu Miskawaih diduga juga mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan, Ibnu Miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan Ibnu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan cara banyak membaca buku,[11] terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibn Al-Amid, Menteri Rukn al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan  Adud al-Daulah.[12] Ia menjadi pustakawan puluhan tahun lamanya.
Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif. Beberapa karya tulisnya, yaitu:[13]
1.      Al-Fauz al-Akbar
2.      Al-Fauz al-Asghar
3.      Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis tahun 369 H/979 M)
4.      Uns al-Farid (kumpulan anehdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara)
5.      Tartib al-Sa’adat (tentang akhlak dan politik)
6.      Al-Mustaufa (tentang syair-syair pilihan).
7.      Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8.      Al-Jami’
9.      Al-Siyar (tentang aturan hidup)
10.  Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11.  Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12.  Al-Ashribah (mengenai minuman)
13.  Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlak)[14]
14.  Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.  Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16.  Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17.  Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18.  Thaharat al-Nafs.


B.    Konsep Pemikiran Pendidikan Ahlak Menurut Ibnu Miskawaih
Pemaparan etika Islam menurut Ibnu Miskawaih diawali dengan pembahasan tentang manusia dan jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan etika ialah mengenal jiwa. Sebagaimana dalam mukaddimah Tahdzib al-Akhlaq, ia menyatakan bahwa tujuan menulis kitab tersebut adalah untuk mengembangkan nilai etika dalam jiwa.
1.      Konsep Manusia
Ibnu Miskawaih menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filosofis kata al-insan. Ia berpendapat bahwa kata al-insan (dalam bahasa Indonesia berarti manusia) berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy (keintiman), atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability dan familiarity. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk social yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama lain.[15]
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya piker. Berdasarkan daya piker tersebut, manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, dsb. Manusia yang paling sempurna adalah yang paling benar cara berfikirnya serta yan paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk mewujudkan kebaikan merupakan indicator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri.
Islam menurut pandangan Miskawaih, agama yang menyuruh penganutnya untuk bersosialisasi, mengembangkan hubungan keintiman, dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antar sesama.
2.      Konsep Jiwa Manusia
Jiwa menurut Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi dan akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena bukan jisim dan bukan pula bagian dari jisim. Ini dibuktikan dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu saja, putih atau hitam.[16]
Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad, Ibnu Miskawaih mengemukakan argument-argumennya sebagai beriku:[17]
a.       Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b.      Sering memejamkan mata, jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil dan berat. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c.       Mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan panca indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d.      Kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak dapat mempengaruhi kekuatan mental.
e.       Jiwa dapat memahami proporsi-proporsi tertentu yang tidak berkaitan dengan data inderawi.
f.       Ada suatu kekuatan didalam diri manusia yang mengatur orga-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan pengetahuan.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Ia mengemukakan jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat, yaitu:[18]
a.       An-Nafs al-Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk. Jiwa ini menjadi dasar syahwat, usaha mencari makan, kerinduan untuk menikmati makanan, minuman dan perkawinan, serta berbagai kenikmatan inderawi lainnya. Pusat jiwa adalah hati.
b.      An-Nafs al-Sabu’iyyah (nafsu binatang buas) yang sedang. Jiwa ini menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan berkuasa, keinginan pada ketinggian pangkat, dan berbagai kesempurnaan. Pusat daya ini ada dalam hati.
c.       An-Nafs an-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik. Jiwa ini merupakan jiwa yang menjadi dasar berfikir, membedakan dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusatnya ada pada otak.
Sehubungan dengan kwalitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah (an-Nafs al-bahimiyah) mempunyai sifat-sifat ujub, sombong, penipu, dan hina. Sedangkan jiwa cerdas (an-nafs an-natiqah) mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.
Tentang balasan di akherat, sebagaimana Al Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan atau kesengsaraan) di akherat. Karena menurutnya, kelezatan jasmaniyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.[19]
Setelah memahami tentang konsep manusia dan jiwa, pembahasan kita lanjutkan kepada ajaran pokok akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Akhlak merupakan kata plural dari kata khuluq. Miskawaih memberikan pengertian khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan sebelumnya, atau bahasa lain terjadi secara reflek/otomatis dan cepat.[20]
Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syariat, nasihat-nasihat, dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya mampu membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak. Dari situlah, Miskawaih memandang akan pentingnya pendidikan dan lingkungan dalam membina akhlak.[21]
Untuk memudahkan memahami konsepnya, maka konsep pemikirannya perlu dikelompokan menjadi beberapa teori dasar, yaitu:
1.       Teori Fadhail (Keutamaan)
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa dalam jiwa terdapat tiga kekuatan, yaitu: bahimiyah, sabu’iyah, dan Nathiqah. Antara satu dengan lainnya terkadang harmonis dan terkadang kontradiksi. Ajaran keutamaan etika Ibnu Miskawaih berpangkal pada teori jalan tengah (nadzar al-Ausath) yang dirumuskannya. Inti teori ini bahwa keutamaan etika Islam secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ektrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Fadhilah terjadi pada kondisi keseimbangan (balance), yaitu pada titik tengah (wasath, moderat). Ia berpendapat, posisi ala tengah bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi eketif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.
Konsep jalan tengah yang digagas Miskawaih sebenarnya sudah disebutkan dalam Al Quran. Dalam QS. Al-Baqarah: 143 disebutkan:
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agat Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”[22]

Umat Islam disebut ummatan wasathan, umat yang moderat, umat yang adil yang tidak berat sebelah, proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan kemanusiaan, akal dan wahyu, dunia dan akherat, atau bahasa lainnya seimbang antara keduanya.  
2.      Teori Kamal (Kesempurnaan)
Kesempurnaan manusia ada dua macam yaitu teoritis dan praktis. Dengan teoritis manusia cenderung kepada berbagai ilmu pengetahuan, ia akan rindu pada ilmu pengetahuan, terwujud bila mendapatkan pengetahuan sehingga persepsinya, wawasan, dan kerangka berfikirnya akurat. Dengan demikian ia tidak akan melakukan kesalahan dalam keyakinannya dan tidak meragukan suatu kebenaran.[23]
Sedangkan secara praktis --yang merupakan tujuan Ibnu Miskawaih membuat kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir al-‘Araq—yaitu berupa kesempurnaan karakter. Kesempurnaan akan tercapai apabila kedua kesempurnaan tersebut tercapai. Jika kedua kesempurnaan tersebut tidak tercapai, maka manusia keadaannya samatidak dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk bertransformasi menjadi yang lebih baik serta mustahil menuju kekekalan dan kenikmatan abadi.
3.      Teori Sa’adah (Kebahagiaan)
Ibnu Miskawaih mengecam kaum materialistik membedakan antara al-khair (kebaikan) dan al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan menjadi tujuan semua orang, kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam keudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif. Dengan demikian kebaikan mempunyai identitas tertentu, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung kepada orang-orang yang berusaha memperolehnya.[24]
4.      Teori Mahabbah (Cinta)
Ibnu Miskawaih mengenal dua tingkatan cinta, Pertama cinta sesama makhluk, kedua cinta makhluk dengan Khaliqnya. Ada dua teori dikemukakan Miskawaih. Pertama, beberapa atom (jauhar) yang berbeda tidak mungkin menyatu dzatnya. Kedua, jiwa manusia yang terbentuk oleh kenikmatan-kenikmatan dan kemanfaatan mempunyai kepentingan yang berlainan, bahkan sering kontradiksi. Sebab itu, satu-satunya landasan yang dapat menjamin persatuan dan kesatuan yang kokoh dan kekal dalam satu kominitas hanyalah mahabbah dan mawaddah yang terbentuk dari jauhar Ilahi dalam diri manusia, yang bersih dari kotoran syahwat  dan tabiat. Potensi mahabbah yang suci inilah yang harus dicari da dipelihara bersama oleh anak-anak manusia.[25]
5.      Aspek Sosial
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiaannya terletak pada temannya, sedang yang kesempurnaanya terletak pada orang lain, mustahil akan mencapai kebahagiaan yang sempurna dalam keadaan hidup menyendiri. Maka yang berbahagia adalah yang memperoleh banyak teman dan berusaha keras menyebarkan kebaikan kepada mereka untuk ia peroleh dengan bantuan mereka apa yang tak dapat ia peroleh dengan secara sendirian, sehingga satu sama lain mendapat kenikmata ukhuwah ini sepanjang hidupnya. Ia mencela orang-orang zuhud yang mengisolir dirinya di gunung, dan menganggapnya sebagai benda mati atau mayat.[26]

C.    Relevansi Pemikiran Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan Saat Ini
Setelah dipaparkan tentang konsep manusia dan jiwa, kemudian konsep-konsep pemikiran Ibnu Miskawaih yang dikelompokkan kedalam beberapa teori dasar diatas, maka kita dapat menganalisis dan merelevansikan pemikirannya kedalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak tersebut yaitu:
1.      Tujuan Pendidikan
a.       Tercapainya Akhlak Mulia
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan.
Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya.
b.      Sosialisasi Individu Manusia
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untyk kebahagiaan bersama. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.
c.       Kebaikan, kebahagiaan, dan Kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup manusia, yaitu kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan. Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.[27]
2.      Materi Pendidikan
Untuk mencapai tujuan tujuan pendidikan diatas, ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan, dan dipraktekan. Sesuai konsepnya tentang manusia, ia menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan. Materi-materi tersebut diabdikan pula sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Materi yang dimaksud yaitu:[28]
a.       Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
Ibnu Miskawaih tidak merinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Materi yang wajib menurutnya antara lain: shalat, puasa, dan haji. Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya bahwa tanpa diuraikan secara terprincipun orang sudah meangkap maksudnya.
b.      Hal-hal yang wajib bagi jiwa
Ibnu Miskawaih mencontohkannya dengan materi tentang pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu.
c.       Hal-hal yang wajin bagi hubungannya dengan sesama
Miskawaih mencontohkan dengan materi ilmu tentang muammalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan, dll.
Ketiga pokok materi tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulum al-fikriyyah) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-‘ulum al-hissiyyat). Selanjutnya, karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu asalkan semuanya tidak terlepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Miskawaih menyetujuinya.[29]
Jika dianalisa, berbagai materi yang diajarkan Ibnu Miskawaih dalam kegiatan pendidikan orientasinya bukan semata-mata karena ilmu itu sendiri, tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia, maka idealnya semakin tinggi ilmu semakin tinggi pula keluhuran akhlaknya.
Menurut penulis, tawaran konsep yang disampaikan Miskawaih inilah yang sekarang perlu dikembangkan di dunia pendidikan Indonesia. Materi yang disampaikan tidak hanya berdimensi kognitif saja, tetapi juga pada wilayah spiritual. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan intelektual siswa saja, tetapi spiritual dan emosional juga harus diperhatikan dan dikembangkan.
3.      Pendidik dan Peserta Didik
Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syariat yang menjadi acuan utama materi pendidikannya. Karena peran orang tua yang sedemikian besar, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan atas cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu Miskawaih berpendapat, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi persoalan. Pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui alasannya, dan akhirnya meeka tetap memelihara sehingga akan mencapai keutamaan.
Pendidik berfungsi sebagai bapak rohani, kebaikan yang disampaikan adalah kebaikan Ilahi, karena ia membawa anak didik pada kearifan, mengisinya dengan kebahikan yang tinggi dan menunjukan mereka kehidupan yang abadi. Pendidik sejati menurutnya adalah manusia ideal seperti terdapat pada konsepnya tentang manusia yang ideal. Hal demikian begitu jelas karena ia menyejajarkan posisi mereka sama seperti posisi nabi terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih siswa kepada gurunya menempati posisi kedua setelah cintanya kepada Allah.
Kriteria pendidik menurut Miskawaih diantaranya adalah bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas dan tidak tersemar di masyarakat, serta bias menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat pada umumnya.[30]
4.      Lingkungan Pendidikan
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap induvidu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.[31]
Untuk mencapai iklim pendidikan yang kondusif, menurutnya terkait dengan politik pemerintah. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakan iklim tersebut. Karena menurutnya, Negara dan agama ibarat dua Negara yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Mengenai lingkungan pendidikan yang selama ini kita kenal yaitu: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara eksplisit ia tidak membicarakannya. Ia hanya membicarakannya secara umum saja.[32]
Untuk mewujudkan iklim yang kondusif, sinergi antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus berjalan baik, bahkan harus terintegrasi dalam satu system yang apik. Menurut penulis, di Indonesia, sinergitas ketiga lingkungan pendidikan tersebut belum baik. Ketiganya belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan keluarga menambah beban berat pada sekolah dan menambahkan keruwetan permasalahan di masyarakat, seperti terjadinya tawuran, seks bebas, narkoba, dll. Pada saat yang bersamaan, iklim masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah menjadi kirang optimal. Ditambah lagi apabila pendidikan yang diterima di sekolah juga belum bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar lingkungan pendidikan tersebut.
5.      Metode Pendidikan
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibnu Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud adalah tentang hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ibnu Miskawaih adalah filosof Muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/ 94-1030 M. Nama lengkapnya Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Miskawaih. Ia lahir di Ray dan mengais ilmu di Baghdad, dan wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai macam ilmu pengetahuan, ia akhirnya memusatkan diri pada kajian sejarah dan etika. Ia belajar sejarah, terutama Tarikh Ath-Thabari kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadhi (350 H/ 960 M). Belajar ilmu-ilmu filsafat kepada Ibn Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, dan belajar kimia dari Abu Al-Thayyib al-Razi.
Konsep akhlak menurut Ibnu Miskawaih, ia berpendapat bahwa akhlak seseorang itu bisa diubah melalui pendidikan. Konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih terkumpul dalam teori-teorinya tentang Fadhail (keutamaan), Kamal (kesempurnaan), Sa’adah (kebagahiaan), Mahabbah (cinta), dan aspek sosial.
Menurut penulis, konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih masih sangat relevan dan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki pendidikan etika zaman sekarang. Beberapa hal yang perlu diterapkan dalam pendidikan sekarang diantaranya: reorientasi ilmu pengetahuan, menghidupkan dan mengembangkan tradisi pemikiran dalam islam, system pendidikan yang terpadu, dan integrasi keilmuan.


DAFTAR PUSTAKA

Al Quran al-Karim, Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010.

Basyir, Ahmad Azhar, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.

Drajat, Amroeni, Filsafat Islam: Buat yang Pengen Tahu, Jakarta: Erlangga, 2011.

Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, terj. Hidayat, Helmi, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Dasar Pertama tentang Filsafat Etika, Bandung: Mizan, 1994.

Maftukhin, Filsafat Islam, Yogyakarta: Teras, 2012.

MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1992.

Mustafa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Rahmaniyah, Istighfarotur, Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan, Malang: UIN Malang Press, 2010.

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.



[1] Istighfarotur Rohmaniyah, Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaihdalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan, (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 2.
[2] Ar-Razi lahir di Kota Ray, dekat Teheran, Iran pada 1 Sya’ban 251 H/ 865 M. Ibnu Miskawaih juga berasal dari Kota Ray, lahir pada 330 H/ 941 M. Sedangkan Al Ghazali lahir di Gazal, Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/ 1058 M. Lihat Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
[3] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika…, hlm. 110.
[4] A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 168.
[5] Mengenai tahun kelahirannya para penulis berbeda pendapat. M.M. Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M, Margoliouth menyebutkan 330 H/ 941 M, dan Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya semuanya sepakat 9 Shafar 421/16 Februari 1030. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 1.
[6] Amroeni Drajat, Filsafat Islam: Buat yang Pengen Tahu, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 42.
[7] MM. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 83.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih…, hlm. 2.
[9] Indikasi tersebut diperkuat dengan gelar yang melekat pada dirinya, yaitu Abu ‘Ali, yang diambil dari nama sahabat ‘Ali yang oleh kaum Syiah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam keudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeningalannya. Gelar lainnya yaitu Al-Khazin yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan A’dhud al-Daulah ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup…, hlm. 1.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, hlm. 128.
[11] Pengetahuan Ibnu Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini namanya dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarawan dan filosof. Sebagai filosof, ia memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.
[12] Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih …, hlm. 4.
[13] M.M. Syarif, Para Filosof Muslim…, hlm. 84-85.
[14] Menurut para ahli, kitab tersebut merupakan kitab rujukan pertama tentang filsafat etika Islam. Kitab tersebut berisi tentang uraian suatu aliran akhlak yang materi-materinya ada yang berasal dari konsep-konsep etika dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamannya. Kitab ini ditujukan terutama untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak tersesat dan umur mereka tidak disia-siakan. Kita ini terdiri dari tujuh bab. Secara runtut dimulai dari pembahasan tentang jiwa, fitrah manusia dan asal usulnya, bagian utama akhlak (membicarakan kebaikan dan kebahagiaan), membahas tentang keutamaan (membahas tentang arti keadilan), persahabatan dan cinta, pengobatan, dan terahir tentang penyembuhan penyakit jiwa. Bab pertama sampai kelima menunjukan adanya pengaruh pemikiran para filosof pendahulunya, seperti: Plato, Aristoteles, Galen, kaum Stoa, Al Kindi, Al Farabi, dll. Sedangkan dua bab terakhir secara khusus lebih banyak dipengaruhi oleh Ar-Razi. Dalam pembahasan tentang penyembuhan penyakit jiwa, beberapa yang ditulisnya sesuai dengan beberapa bagian yang ditulis Ar-Razi dalam Al-Thib Al-Ruhani, terutama yang berkaitan dengan berbangga diri, susah, dan takut mati. Lihat Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, terj.  Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Dasar Pertama tentang Filsafat Etika, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14-15. 
[15] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika…, hlm. 116.
[16] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 121.
[17] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika…, hlm. 122.
[18] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq…, hlm. 43-44.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, hlm. 134.
[20] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq…, hlm. 56.
[21] A. Mustafa, Filsafat Islam…, hlm. 177.
[22] Al Quran al-Karim, Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010, hlm. 22.
[23] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq…, hlm. 63.
[24] Ibid., hlm. 89.
[25] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika…, hlm. 138.
[26] Ibid., hlm. 141-142.
[27] Ibid., hlm. 155.
[28] Ibid., hlm. 156-157.
[29] Ia menyebutkan misalnya ilmu nahwu, manthiq (logika), matematika, dan ilmu kealaman (natural science).
[30] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika…, hlm. 163.
[31] Ibid., hlm. 164.
[32] Miskawaih membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya. Mulai lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar