Hassan El Hasby
Program
Studi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
In the writing of Islamic cultural
history, there are almost all the books write about war. The lesson books of
Islamic cultural history in the school also not inseparable from material about
war. This matter if not addressed
properly by the teachers and students there was great potential false
perception even erroneous, so there needs the right strategy for the students
so that has not wrong perception about war in Islam. This research has purposes
for knowing Islamic cultural history teacher strategy in reconstruction the
material about war and its impact to the students. Data collection was done by
interview, observation, documentation, and checking data validation with
triangulation. The teacher method to reconstruct war material in Islamic
civilization by explaining to the students the jihad and dakwah concept
firstly, then the background of war happening, value / ibrah / moral value that
can be taken from the war occurrence, and also explains various phenomenon or
actual issues that was happening recently, and then connected with that war
material. The impact for the students is when the teacher conveys the war
material attractively and fun can be divided into two, cognitive impact and
attitude impact.
Keywords
: Islamic cultural history strategy, material construction, war.
Abstrak
Dalam
penulisan SKI hampir semua buku menuliskan tentang peperangan. Buku-buku
pelajaran SKI di sekolah juga tidak terlepas dari materi tentang peperangan.
Hal tersebut jika tidak disikapi secara tepat oleh guru dan siswa sangat
berpotensi terjadi persepsi yang kurang tepat bahkan keliru, maka perlu
strategi yang tepat agar siswa tidak salah persepsi terhadap peperangan dalam
Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi guru SKI dalam
merekonstruksi materi tentang peperangan dan dampaknya terhadap siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta pemeriksaan
keabsahan data dengan triangulasi. Cara guru merekonstruksi materi peperangan
dalam peradaban Islam adalah dengan menjelaskan kepada siswa konsep jihad dan
dakwah terlebih dahulu, kemudian latar belakang terjadinya perang, nilai/’ibrah/pesan
moral yang dapat diambil dari peristiwa peperangan, kemudian menjelaskan
berbagai fenomena/isu-isu aktual yang sedang terjadi akhir-akhir ini, lalu
dihubungkan dengan materi peperangan tersebut. Dampak bagi siswa ketika guru
menyampaikan materi peperangan secara menarik dan menyenangkan dikelompokan
menjadi dua, yaitu dampak secara kognitif dan dampak secara sikap.
Kata
Kunci: Strategi Guru SKI, Rekonstruksi Materi, Peperangan.
Pendahuluan
Dalam penulisan sejarah kebudayaan Islam hampir semua buku
menuliskan tentang peperangan (lihat Al Waqidi, 2012 dan W. Montgomery, 1990).
Hal ini dapat berdampak pada pembaca, karena dengan membaca seseorang akan
membangun persepsi-persepsi dalam dirinya. Buku-buku pelajaran sejarah
kebudayaan islam di sekolah juga tidak terlepas dari materi-materi tentang
peperangan. Hal ini jika tidak disikapi secara bijak oleh guru dan siswa,
sangat mungkin terjadi persepsi yang kurang tepat bahkan keliru. Contohnya
persepsi siswa terhadap Islam, bahwa Islam meluas dengan perang untuk merebut
wilayah non muslim (hasil wawancara dengan Nilna Fauziah, siswa kelas XI IPA B
MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pada Selasa 1 Maret 2016 pukul 11.45 WIB).
Kekeliruan-kekeliruan persepsi terhadap materi peperangan tersebut dapat
berakibat fatal pada pola pikir dan tindakan siswa, yang pada ujungnya dapat
menimbulkan pemikiran dan gerakan radikalisme dalam agama.
Kekeliruan terhadap pemaknaan peperangan dalam peradaban Islam
diperparah lagi dengan banyaknya buku-buku sejarah Islam yang ditulis oleh
Barat, seperti Islam And The West: A Historical Cultural Survey (1984), History
Of The Arabs (2008), dan sebagainya. Para penulis Kristen abad pertengahan
melukiskan prajurit-prajurit Muslim dengan pedang di satu tangan dan Al Quran
di tangan lainnya (Akbar S. Ahmed 2003:90). Islam disebut agama pedang, sebuah
keyakinan yang meninggalkan spriritualitas sejati dengan menyucikan kekerasan
dan tak mengenal toleransi. Ini sebuah bayangan tentang Islam yang diciptakan
oleh Barat Kristen sejak abad pertengahan (Karen Armstrong, 2011:231).
Usaha untuk memahamkan dan meluruskan sejarah peradaban Islam yang
sesungguhnya kepada generasi muda perlu dilakukan. Maka peran guru SKI sangat
besar dan penting, karena berawal dari merekalah generasi-generasi muda
sekarang dan yang akan datang (khususnya siswa-siswa di sekolah) mendapatkan
informasi tentang sejarah peradaban Islam. Informasi-informasi inilah yang akan
mempengaruhi perkembangan dan pola pikir siswa ke depannya. Sejarah Peradaban
Islam seyogyanya harus disampaikan semenarik mungkin. Belajar sejarah bukan
hanya berhenti pada menghafal tanggal, tokoh, dan tempat-tempat saja, melainkan
sejarah harus mampu direkonstruksikan ke konteks zaman sekarang.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis terdorong untuk meneliti
lebih lanjut bagaimana strategi guru Sejarah Kebudayaan Islam dalam
merekonstruksi materi tentang peperangan dalam peradaban Islam di MA Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta. Penulis memilih MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta karena
didasarkan pada informasi yang penulis peroleh bahwa pembelajaran SKI di MA Ali
Maksum Krapyak Yogyakarta sangat menyenangkan, selain itu keaktifan siswa untuk
bertanya dalam pembelajaran sangat tinggi, atau bisa dikatakan dalam
pembelajaran siswa selalu kritis (hasil wawancara dengan Bpk. Ahmad Fauzi,
salah satu guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pada Selasa 1 Maret
2016 pukul 11.15 WIB). Hal itu juga berlaku ketika sedang membahas materi
tentang peperangan. Pertanyaan-pertanyaan siswa yang kritis seperti ini harus
dibarengi dengan jawaban guru yang cerdas agar pemahaman siswa terhadap materi
tidak keliru. Di sinilah perlu perekonstruksian materi pembelajaran, dalam hal
ini materi tentang peperangan dalam peradaban Islam ke konteks zaman sekarang.
Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang
bagaimana strategi guru SKI dalam menyampaikan dan merekonstruksi materi
tentang peperangan dalam peradaban Islam secara menarik di MA Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta.
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research).
Maka pengumpulan datanya merupakan telaah atau kajian terhadap observasi,
wawancara, dan dokumen yang berupa data sekunder yang kemudian dianalisis teori
yang ada (Lexy J. Moleong, 2007:6). Observasi yang dilakukan adalah observasi
partisipasi pasif yaitu peneliti ikut hadir dalam kegiatan, akan tetapi tidak
terlibat dalam kegiatan tersebut (Sugiyono, 2010:312). Observasi ini dimaksudkan
untuk mendapatkan gambaran serta membuktikan data hasil wawancara dengan
realita terkait bagaimana strategi guru SKI dalam merekonstruksi materi tentang
peperangan dalam peradaban Islam di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Wawancara
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara langsung dari guru SKI terkait
dengan cara perekonstruksian materi tentang peperangan dalam peradaban Islam,
alasan, dan dampak penerapan strategi yang menarik tersebut terhadap siswa.
Dokumentasi yang penulis lakukan adalah dokumentasi sumber belajar, materi, silabus,
RPP, kurikulum, dsb.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X dan XI.
Teknik pengambilan sampel sumber menggunakan purposive sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:320). Selanjutnya
informasi yang diperoleh dianalisis melalui tahapan-tahapan: display data,
reduksi data, dan interpretasi data.
Pembahasan
Alasan
Guru Menyampaikan Materi Peperangan Secara Menarik
Setiap melakukan sesuatu tentunya sudah dipikirkan terlebih dahulu
dampak positif maupun negatifnya, dalam bertindak pasti seseorang mempunyai
alasan kenapa ia bertindak seperti itu. Begitupun dalam dunia pendidikan, guru
ketika akan menyampaikan materi tentunya sudah dirancang terlebih dahulu
bagaimana strategi/metode yang terbaik dalam menyampaikan materi tersebut.
Penulis melihat, bahwa guru-guru Sejarah Kebudayaan Islam di
Madrasah Aliyah Ali Maksum Krapyak Yogyakarta sebelum menyampaikan materi
terlebih dahulu memikirkan/ mempertimbangkan strategi apa yang terbaik dan yang
paling tepat untuk menyampaikan materi tersebut. Apalagi materi yang akan
disampaikan merupakan materi yang berpotensi bias pemahaman, seperti materi
tentang peperangan dalam peradaban Islam.
Menurut Bapak Ridwanul Mustofa, M.S.I. materi peperangan dalam
peradaban Islam perlu disampaikan secara kehati-hatian agar pemahaman siswa
tentang peperangan dalam Islam tidak keliru. Sesuai hasil wawancara sebagai
berikut:
“Dalam buku-buku materi pelajaran SKI di
Madrasah Aliyah banyak sekali materi tentang peperangan dalam peradaban Islam.
Guru dituntut untuk cerdas dan tepat dalam menyampaikan materi tersebut. Perlu
kehati-hatian dalam menyampaikan materi peperangan supaya pemahaman siswa
tentang peperangan dalam Islam tidak keliru.”
Selain kehati-hatian penyampaian materi juga harus disampaikan
secara menarik. Tidak hanya ketika menyampaikan materi peperangan saja,
tetapi materi apapun juga harus
disampaikan semenarik mungkin. Pelajaran SKI biasanya menjadi pelajaran
membosankan di semua jenjang pendidikan. Hal ini menjadi keprihatinan bersama,
khususnya para guru Sejarah Kebudayaan Islam. Problem pembelajaran tersebut
menjadi tantangan besar bagi para guru Sejarah Kebudayaan Islam untuk merubah
wajah mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam menjadi mata pelajaran yang
menyenangkan.
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam biasanya hanya berhenti pada
hafalan nama tokoh, tanggal, tempat, dan silsilah nasab saja, hal tersebut sangat
berpotensi membuat siswa bosan dan jenuh. Banyaknya materi peperangan dalam
peradaban Islam juga harus disampaikan secara menarik agar siswa tidak bosan
dan jenuh, apalagi dalam materi peperangan ini banyak sekali hal-hal yang harus
dihafal didalamnya. Lebih jauh dari hal tersebut, materi peperangan harus mampu
dikontekstualkan ke zaman sekarang. Sebagaimana hasil wawancara dengan guru SKI
di MA Ali Maksum Krapyak sebagai berikut:
“Materi peperangan dalam peradaban Islam harus
disampaikan semenarik mungkin, hal ini agar siswa tidak bosan dengan materi
yang banyak sekali hal-hal yang harus dihafal didalamnya. Guru dituntut untuk
variatif dalam menyampaikannya, misalnya dengan permainan ataupun selingan
humor ketika menyampaikan materi.”
“Materi peperangan dalam peradaban Islam harus
disampaikan secara utuh, jangan hanya setengah-setengah. Karena jika tidak
disampaikan secara utuh, persepsi siswa terhadap peperangan bisa keliru. Jangan
sampai siswa punya pemahaman Islam adalah agama pedang, agama kekerasan. Materi
peperangan jangan hanya berhenti pada hafalan saja, yang lebih penting dari itu
adalah bagaimana siswa mampu mengambil nilai moral yang terdapat dalam
peperangan tersebut.”
Kemampuan
guru menyampaikan materi peperangan secara menarik tersebut akan menjadikan
pembelajaran SKI khusunya materi peperangan menjadi menyenangkan. Jika siswa
sudah merasa senang dalam pembelajaran, maka materi akan lebih mudah untuk
diterima siswa. Lebih jauh lagi, siswa akan mampu mengambil pesan moral yang
terkandung dalam peristiwa peperangan dalam peradaban Islam. Kemudian pesan
moral tersebut menjadi bekal siswa untuk memahami kejadian-kejadian yang sedang
dialami zaman sekarang. Menurut guru-guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak, materi
peperangan dikatakan sukses jika siswa sudah mampu mengambil ‘ibrah/ pesan
moral yang terdapat dalam peristiwa peperangan tersebut dan kemudian di
kontekstualkan ke konteks zaman sekarang.
Strategi
Guru SKI dalam Merekonstruksi Materi Peperangan
Sejarah Kebudayaan Islam secara materi memang cerita
masa lalu, akan tetapi ruang lingkupnya tidak sesempit apa yang diwacanakan. Di
dalamnya termaktub kebudayaan yang banyak direfleksikan dalam seni, sastra,
religi, dan moral. Termaktub juga peradaban manusia yang direfleksikan dalam
politik, ekonomi dan teknologi (Effat Al Sarqawi, 1986:5), yang barang
tentu bisa dikaji untuk kemajuan peradaban Islam masa kini. Manifestasi
kemajuan mekanis dan teknologis menjadi wujud dari peradaban dimaksud (Badri
Yatim, 2008:1).
Lebih dari itu, Standar Kompetensi Lulusan untuk
Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah tendensinya terletak pada bagaimana
siswa meng-‘ibrah meneladani dan mengapresiasi fakta dan makna peristiwa
bersejarah (Lampiran PMA No. 165).
Melihat pernyataan di atas bisa difahami bahwa Sejarah
Kebudayaan Islam bukan sekedar cerita masa lalu. Ia kental dengan budaya dan
peradaban Islam sebagai komparasi dan ruh semangat peradaban masa kini dan
mendatang. Siswa harus bisa memahami dan menghargai prestasi budaya dan
peradaban dari aktor sejarah masa lalu. Sebab di setiap zamannnya terkandung
nilai dan semangat yang bermanfaat untuk siswa, masa kini dan yang akan datang.
Di sinilah letaknya sejarah secara ekstrinsik,
sebagai liberal education, pendidikan moral, penalaran, politik,
kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan dan ilmu bantu (Kuntowijoyo,
2005:26). Yang paling penting sekarang ini
bagaimana guru dan siswa bisa meng-‘ibrah, meneladani dan mengapresiasi
fakta dan makna peristiwa sejarah. Maka yang diperlukan tentu pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam yang transformatif.
Materi peperangan dalam peradaban
Islam yang terdapat di Madrasah juga harus disampaikan guru secara
transformatif. Dalam materi tersebut banyak hal yang menarik untuk diambil
nilai moralnya yang sangat bermanfaat untuk kehidupan sekarang dan yang akan
datang.
Penulis mengamati bahwa guru-guru
Sejarah Kebudayaan Islam dari kelas X sampai XII di MA Ali Maksum Krapyak
Yogyakarta terus berusaha untuk merekonstruksikan / mentransformasikan
materi-materi peperangan ke konteks zaman sekarang. Semua guru dalam
menyampaikan materi peperangan sudah dipersiapkan terlebih dahulu, baik dari
segi materi ataupun strategi yang mau digunakan. Strategi yang digunakan
guru-guru SKI di MA Ali Maksum dalam menyampaikan dan merekonstruksi materi
tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Ada yang berpusat pada siswa,
dan ada juga yang berpusat pada guru.
Untuk mengetahui
proses pembelajaran dan perekonstruksian materi peperangan yang dilakukan oleh guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, maka penulis melakukan observasi di kelas. Observasi penulis
lakukan di kelas X IPS A pada hari Sabtu 16 April 2016. Dalam observasi ini penulis mengamati proses pembelajaran yang
dilakukan guru SKI, baik dari
aspek cara guru merekonstruksi materi peperangan, iklim pembelajaran, keaktifan
siswa, media pembelajaran, maupun respon siswa terhadap pembelajaran.
Dalam pembelajaran, guru memulai dengan salam, mengabsen, dan
menanyakan kesiapan siswa untuk belajar. Secara acak guru bertanya kepada siswa
tentang perang Badar, diantaranya tentang kapan terjadinya, latar belakang
terjadinya, jumlah pasukan, tokoh-tokohnya, dan siapa saja yang syahid.
Guru menjelaskan bahwa dalam peradaban Islam setidaknya terjadi 55 peperangan,
27 peperangan diantaranya merupakan ghazwah (peperangan yang Rasululloh
SAW ikut didalamnya). Guru menjelaskan banyaknya peperangan tersebut bukan
berarti Islam adalah agama pedang ataupun agama kekerasan. Ketika guru
menjelaskan hal tersebut, ada siswa yang bertanya apakah dalam
peperangan-peperangan tersebut Islam menyerang terlebih dahulu?, guru menjawab
tidak pernah, Islam tidak pernah mendahului. Peperangan tersebut hanya untuk
mempertahankan diri/ menjaga Islam ketika umat Islam terdholimi ataupun sudah
tidak ada jalan lain kecuali perang.
Guru memberikan analogi ketika diri kita didholimi oleh orang lain,
apakah kita akan diam saja?, tentunya tidak. Analogi lain yang disampaikan guru
adalah dalam peperangan-peperangan tersebut misalnya dalam perang Badar, Uhud,
Mu’tah, dan Khaibar, pasukan Islam sangat sedikit dibandingkan kaum Kafir, ini
menandakan bahwa Islam tidak pernah mendahului untuk mengajak perang, secara
rasio tidak mungkin golongan minoritas berani melawan golongan yang mayoritas.
Guru menjelaskan contoh lain ketika Nabi SAW dakwah di Madinah,
masyarakat kafir Madinah yang tidak suka dengan dakwah Nabi, dan tidak suka
Islam berkembang di Madinah, mereka terus berusaha untuk menggagalkan dakwah
Nabi SAW. Mereka mulai
menyusun kekuatan untuk melemahkan umat Islam. Ini adalah benih-benih pemicu
konflik antara umat Islam dengan Yahudi di Madinah. Konflik tersebut tidak
hanya melibatkan bangsa Yahudi dengan umat Islam di Madinah, juga antar kaum
kafir Quraisy yang bersekutu dengan Yahudi Madinah melawan kekuatan Islam.
Masyarakat kafir
Quraisy tidak senang melihat keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah di kota
Madinah. Mereka terus berusaha mencari jalan untuk menggagalkan usaha penyiaran
Islam di kota tersebut. Untuk kepentingan itu, mereka terus menyusun kekuatan
dan menggalang persekutuan dengan kelompok yang sama-sama menentang
perkembangan Islam dan melemahkan kekuatan umat Islam di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Melihat semakin kerasnya keinginan kafir Quraisy di kota
Mekah untuk menggagalkan usaha dakwah Islam yang tengah mengalami perkembangan,
akhirnya Nabi Muhamad SAW juga menyusun kekuatan umat Islam untuk mengimbangi
kekuatan kafir Quraisy walaupun kekuatan kaum muslimin tidak sebanding dengan
kekuatan kaum kafir Quraisy. Kekuatan yang dibentuk Nabi SAW
ini bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan kafir Quraisy,
bukan untuk memerangi mereka. Karena Islam mengajarkan perdamaian,
bukan peperangan atau kekerasan. Tetapi karena kekuatan kafir Quraisy
terus-menerus menghujat dan menyakiti umat Islam, akhirnya umat Islam berusaha
menandingi kekuatan mereka dengan mempersiapkan berbagai peralatan tempur.
Namun peralatan itu belum dapat dipergunakan, karena belum ada perintah dari
Nabi SAW dan wahyu Allah untuk berjihad melawan kafir Quraisy. Situasi tersebut
berubah setelah ada izin dari Nabi dan perintah Allah untuk berjuang
mempertahankan diri dari serangan kafir Quraisy. Perintah tersebut terdapat
pada surah Al-Hajj ayat 39.
أُذِ
نَ لِلّذِ يْنَ يُقَا تَلُوْنَ بِأَ نّهُمْ ظُلِمُوْا وَإِ نّ اللّهَ
عَلى نَصْرِ هِمْ لَقَدِ يْرٌ
Artinya: “Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sesungguh, Allah Mahakuasa
menolong mereka itu.”
Guru menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak berarti Islam
menganjurkan kepada umatnya untuk menggunakan kekuatan perang terutama untuk
dakwah Islam. Karena sesungguhnya Islam tersebar dengan cara-cara damai melalui
budi pekerti yang mulia. Tetapi peperangan ternyata tidak dapat dihindari,
karena kafir Quraisy terus menggalang koalisi dengan Yahudi Madinah untuk
menghancurkan kekuatan umat Islam.
Guru memberikan penjelasan
lagi bahwa dalam Piagam Madinah adanya kesepakatan untuk bekerjasama antara
muslim dan nonmuslim, tetapi pada kenyataannya orang nonmuslim dari suku Bani
Quraydah melanggarnya dan menyerang Islam, maka orang Islampun mempertahankan
dirinya dengan melawan mereka.
Salah satu siswa ada yang
bertanya tentang ISIS yang akhir-akhir ini ramai diberitakan di berbagai media,
apakah ISIS dibenarkan oleh Islam?, guru menjawab hal tersebut sama sekali
tidak dibenarkan, Islam tidak mengajarkan kekerasan seperti itu. Sepengetahuan
guru, ISIS lebih ke ranah politik, bukan ranah agama.
Guru memancing siswa untuk
dapat mengambil ‘ibrah dari materi peperangan dalam peradaban islam dan
merekonstruksi ke konteks sekarang, sebagian siswa ada yang menjawab,
“Kita bisa mengambil kesemangatan mereka dalam
berdakwah, kesemangatan tersebut bisa kita terapkan dalam belajar ataupun dalam
beribadah kepada Alloh SWT.”
“Menurut saya, kita dapat
mengambil ‘ibrah dari peperangan tersebut tentang keberanian untuk
melawan orang-orang yang dholim pada diri kita”
Guru menyampaikan apresiasi pada siswa yang berani
menyampaikan pendapatnya. Guru menyimpulkan materi yang telah disampaikan
dengan berbagai rekonstruksinya ke konteks zaman sekarang.
Guru dalam perekonstruksian materi peperangan ke konteks sekarang
lebih pada perang secara pemikiran, bukan perang secara fisik, sebagaimana
hasil wawancara sebagai berikut:
“Saya mekonstruksi materi peperangan ke
konteks sekarang lebih ke ranah pemikiran, bukan perang secara fisik lagi,
yaitu dengan cara membuat berbagai karya ilmiah, seperti: buku, artikel,
jurnal, dsb. Semua karya tersebut berisi tentang berbagai sanggahan, bantahan,
dan pelurusan makna ajaran Islam yang dipahami oleh orang-orang yang memusuhi
Islam. Selain itu, siswa juga harus diedukasi agar mampu membedakan antara
berdakwah dengan menguasai wilayah, sehingga tidak terjadi bias pemahaman
terhadap peperangan yang terjadi dalam peradaban Islam.”
Untuk
memperoleh gambaran lebih banyak tentang strategi guru SKI dalam merekonstruksi
materi tentang peperangan, penulis kembali melakukan observasi. Observasi kedua
ini penulis lakukan di kelas XI IPA B pada hari Sabtu, 16 April 2016 pukul
11.30 – 12.15 WIB. Materi yang disampaikan tentang kemajuan dan kemunduran
Dinasti Abbasiyah.
Dalam observasi tersebut, penulis mengamati bahwa guru mengawali
pelajaran dengan salam, berdoa, dan mengabsen. Guru me-review materi
sebelumnya, menanyakan kesiapan siswa untuk belajar.
Pada pertemuan sebelumnya guru sudah membagi kelas menjadi empat
kelompok, tiga kelompok sudah mempresentasikan hasil makalahnya di depan kelas,
dan kelompok terakhir mempresentasikan makalahnya pada hari ini.
Guru mempersilahkan kelompok terakhir ini untuk mempresentasikan
makalahnya di depan kelas. Dalam presentasinya, dijelaskan bahwa kemunduran
Dinasti Abbasiyah karena beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal diantaranya, lemahnya khalifah, perebutan kekuasaan,
munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, kemerosotan
perekonomian, dan munculnya aliran-aliran sesat serta fanatisme agama.
Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah perang Salib dan serangan
Mongolia ke negeri Muslim.
Ditengah diskusi ada siswa yang bertanya tentang mengapa terjadi
perang Salib?, perang tersebut murni karena agama atau ada unsur politik di
dalamnya?. Dari pengamatan penulis, diskusi berjalan menarik, siswa aktif dan
kritis, walaupun belum semua siswa mau bertanya ataupun mengemukakan
pendapatnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Karp dan Yoles yang menyatakan bahwa di dalam kelas yang terdiri lebih dari 40
peserta didik, hanya dua sampai 3 orang saja yang mendominasi separoh dari
interaksi kelas. Masih banyak siswa yang menjadi penonton dan pendengar saja
(Anita Lie, 2003:39).
Kelas sepenuhnya dikendalikan oleh siswa, guru hanya menjadi
fasilitator saja. Menurut guru siswa seusia Madrasah Aliyah sudah bisa berfikir
logis dan abstrak, jadi siswa sudah mampu untuk merekonstruksi sendiri
materi-materi pelajaran ke konteks sekarang. Sesuai dengan pendapat Rifa
Hidayah bahwa siswa sekolah menengah termasuk kategori usia remaja (lebih
kurang berusia 12-20 tahun), yang mana pertumbuhan otak sudah mencapai
kesempurnaan, sudah mampu berfikir abstrak, mulai berfikir kritis, logis, sudah
mampu menalar, dan wawasan berfikirnya semakin luas Rifa Hidayah, 2009:42).
Sekitar 15 menit sebelum pelajaran berahir, guru mencukupkan
diskusi dan mengklarifikasi jawaban siswa selama diskusi. Guru menjelaskan
bahwa perang Salib terjadi bukan hanya saja karena faktor agama, tetapi ada
faktor lain dibelakangnya, seperti faktor politik, psikologi, dan lain lain.
Dari faktor agama baik Islam maupun Kristen menganggap bahwa perang tersebut
adalah perang suci / jihad. Bagi kalangan Kristen perang salib adalah
perang suci untuk merebut kembali Palestina (tempat kelahiran Yesus) dari kekuasaan
Muslim, sedangkan dari pihak Muslim tidak ada jalan lain kecuali juga
menggalang kekuatan pasukan untuk mempertahankan kota tersebut. Bagi Islam
Palestina adalah tempat penting, karena tempat pemberangkatan Rasululloh SAW
untuk menemui Alloh melalui Isra’ Mi’raj. Dari faktor politik, di Eropa
pengikut gereja Katolik Romawi dan gereja Katolik Yunani berselisih paham.
Perselisihan dua gereja tersebut untuk berebut pengaruh dan kekuasaan atas
gereja. Untuk mempersatukan dan menghilangkan perbedaan paham tersebut, maka
Paus Urbanus II dari gereja Katolik Romawi menginginkan seluruh orang Eropa
untuk mengalihkan perhatiannya untuk menyerang Islam.
Guru merekonstruksikan faktor politik tersebut ke konteks sekarang
dengan melihat bahwa banyaknya paham-paham atau aliran dalam Islam bisa
disatukan dengan Al Quran. Paham-paham tersebut jika disatukan maka Islam akan
semakin kuat, karena sudah tidak ada lagi saling serang antar paham/aliran.
Kalau Kristen saja mampu menyatukan perselisihan atas nama Al Kitab, Islam juga
harus lebih mampu untuk melakukan hal tersebut. Dalam perekonstruksian tersebut
guru berusaha untuk memberikan motivasi dan kesemangatan siswa untuk mampu
mempersatukan perbedaan-perbedaan apapun ke hal lain yang lebih baik, yang
nilai kemanfaatan dan kemaslahatannya lebih banyak.
Penulis melihat cara guru merekonstruksi materi perang ke konteks
sekarang adalah perang secara politik, bukan lagi dengan perang secara fisik
dengan membawa alat-alat tempur seperti pedang dsb. Sebagaimana hasil wawancara
penulis sebagai berikut:
“Cara saya merekonstruksi materi peperangan ke
konteks sekarang lebih pada perang secara politik bukan perang secara fisik,
contohnya strategi menjaga kedaulatan Indonesia. Kalau zaman Rasululloh SAW
banyak sekali strategi perang yang dipelajari dan diterapkan oleh umat Islam
untuk memenangkan peperangan, kalau sekarang bagaimana menerapkan strategi
untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia baik strategi ekonomi, keamanan
perbatasan, hubungan diplomatik antar negara, dsb.”
Tidak
jauh berbeda dengan rekonstruksi materi yang dilakukan oleh guru SKI Kelas XII.
Ada tahap-tahap untuk menjelaskan dan merekonstruksikan esensi peperangan dalam
peradaban Islam kepada siswa. Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan beliau
sebagai berikut:
“Cara saya merekonstruksi materi peperangan
adalah dengan menjelaskan terlebih dahulu makna dan hakekat jihad, kemudian
menjelaskan peperangan sedetail mungkin disertai dengan penjelasan latar
belakang terjadinya peperangan tersebut, faktor kemenangan atau kekalahan, dan
‘ibrah/ nilai-nilai yang dapat diambil dari peperangan tersebut, setelah
itu baru siswa diajak untuk bersama-sama merekonstruksikan perang tersebut ke
zaman sekarang.”
Guru mengajak siswa merekonstruksi peperangan dalam peradaban Islam
dengan cara memancing kekritisan siswa. Langkah konkritnya, guru menyampaikan
berbagai fenomena yang sedang terjadi saat ini, seperti radikalisme dalam
agama, pengeboman, terorisme, gerakan separatis, perang antar suku, dsb.
Kemudian siswa diminta untuk berdiskusi terkait berbagai fenomena tersebut
sambil merujuk berbagai peristiwa peperangan yang telah terjadi dalam peradaban
islam. Dengan cara seperti itulah siswa akan mampu menerapkan berbagai
nilai-nilai peperangan yang telah terjadi dalam peradaban Islam ke konteks
zaman sekarang. Cara lainnya bisa dengan pemberian tugas inividu, misalnya
tugas untuk mencari berbagai peristiwa yang sedang terjadi sekarang di berbagai
media, baik koran, tabloid, majalah, televisi, radio, jurnal ataupun lainnya
yang masih ada hubungannya dengan peperangan. Kemudian siswa menganalisis
peristiwa tersebut, apakah sesuai dengan konsep jihad dalam Islam atau tidak.
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
yang digunakan guru-guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta dalam
menyampaikan materi tentang peperangan dalam peradaban Islam berbeda antara
satu guru dengan guru lainnya. Guru SKI kelas X menggunakan model pembelajaran
inkuiri, sedangkan guru kelas XI dan kelas XII menggunakan model perpaduan
antara model konstruktivisme dan Problem Based Learning. Pembelajaran
SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta sudah bisa dikatakan pembelajaran yang
menarik dan menyenangkan jika dilihat dari empat indikator yang dikemukakan
oleh Wina Sanjaya, yaitu: novelty, proximity, conflict, dan humor.
Dampak
Bagi Siswa Ketika Guru Menyampaikan Materi Peperangan Secara Menarik dan
Menyenangkan
Pembelajaran yang
menyenangkan perlu dipahami secara luas, bukan hanya
berarti pembelajaran yang selalu diselingi dengan lelucon, banyak bernyanyi
atau tepuk tangan yang meriah. Pembelajaran menyenangkan merupakan suatu
proses pembelajaran yang didalamnya terdapat satu kohesi yang kuat antara guru
dan siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (Mulyasa, 2006:194). Pembelajaran
menyenangkan adalah situasi di mana siswa merasa nyaman, tenang, dan tak ada
tekanan dalam belajar (Hartono, 20013, 161). Atau
dengan kata lain pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman,
aman dan asyik. Perasaan yang mengasyikkan mengandung unsur inner motivation,
yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu sesuatu.
Sebagaimana diketahui bahwa guru perlu memberikan pengajaran secara
menarik agar siswa bergairah untuk menjalankan proses belajarnya. Untuk itu
guru perlu menggunakan metode pembelajaran yang variatif dan sesuai kebutuhan,
sehingga proses pembelajaran tidak berjalan kaku, searah, dan membosankan
siswa. Hal tersebut sesuai dengan
Undang-undang RI Nomor 20 pasal 40, ayat (2) tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang berbunyi: “Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban:
(1) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis, (2) Mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) Memberi teladan dan menjaga nama
baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya”. Sementara itu dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pasal 19. ayat (1) dinyatakan bahwa: “Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif,
memberikan ruang gerak yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi siswa.”
Pembelajaran
yang menarik dan menyenangkan akan membuat siswa nyaman belajar. Ketika siswa
merasa nyaman dalam belajar, materi akan mudah diterima oleh siswa. Penulis
mengamati, guru-guru SKI Madrasah Aliyah Ali Maksum Krapyak selalu terus
berusaha untuk menyampaikan materi secara menarik dan menyenangkan, khususnya
materi-materi tentang peperangan dalam Peradaban Islam. Hasil dari upaya
tersebut siswa-siswa merasa senang dan paham tentang esensi perang dalam Islam
dan perekonstruksiannya. Menurut salah satu siswa kelas XI, pembelajaran SKI
menyenangkan, apalagi dengan metode diskusi, siswa merasa bergairah untuk
mendapatkan materi tentang peperangan yang belum diketahuinya.
“Pelajaran SKI menyenangkan, apalagi kalau
diskusi. Karena dengan diskusi semua siswa terlibat untuk saling bertukar
pemahaman. Biasanya guru membagi kelas menjadi lima kelompok, dan diberi tugas
yang berbeda, kemudian siswa secara berkelompok mempresentasikannya di depan
kelas. Rujukan yang digunakan bervariatif karena tidak hanya bersumber dari
satu buku saja, tetapi dari beberapa buku, bahkan beberapa kitab kuning.”
Dampak
penyampaian materi peperangan secara menarik dan menyenangkan yang dilakukan
guru-guru SKI di MA Ali Maksum dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu dampak
secara kognitif/pengetahuan, dan dampak secara sikap/perilaku.
1.
Secara kognitif/pengetahuan
Menurut penulis, pemahaman siswa tentang
peperangan dan cara siswa merekonstruksi materi peperangan ke konteks zaman
sekarang sudah benar. Secara garis besar pemahaman siswa tentang peperangan
dalam peradaban Islam adalah bahwa Islam tidak pernah menyerang terlebih
dahulu, peperangan yang terjadi hanyalah pilihan terakhir karena sudah tidak
ada jalan lain lagi. Peperangan yang terjadi adalah berorientasi dakwah dan
jihad. Pada awalnya umat Muslim berdakwah untuk mengajak orang-orang kafir
masuk Islam, tetapi mereka menolaknya. Penolakan mereka dibarengi dengan
perlawanan dan pemberontakan terhadap umat Islam yang menagajaknya masuk Islam.
Kadang mereka membunuh utusan umat Islam yang membawa surat ajakan untuk masuk
Islam. Jika mereka tidak memberontak walaupun tidak mau menerima atau masuk
Islam, peperangan tidak akan pernah terjadi. Islam tidak mengajarkan pemaksaan
terhadap siapapun untuk memeluk Islam, karena islam tidak mengajarkan pemaksaan
beragama.
2.
Secara sikap/perilaku
Pemahaman siswa terhadap materi tentunya akan
berpengaruh terhadap tindakannya. Pemahaman yang benar akan dibarengi dengan
tindakan yang benar pula, sedangkan sebaliknya pemahaman yang keliru juga akan
dibarengi dengan sikap yang kurang tepat atau keliru. Pemahaman siswa MA Ali
Maksum tentang hakekat dari peperangan dalam peradaban Islam berpengaruh
terhadap sikap siswa dalam kehidupan keseharian dan dalam pembelajaran di
kelas. Rekonstruksi materi peperangan ke konteks kekinian yang disampaikan guru
mampu menginspirasi siswa untuk menerapkan nilai-nilai moral yang terkandung
dalam peperangan-peperangan tersebut. Contohnya nilai kesemangatan/ kegigihan,
keberanian, toleransi, dan loyalitas umat Islam kepada agama.
Rekonstruksi
lainnya adalah, perang secara pemikiran atau paradigma. Era perang agama telah
berakhir karena musuh-musuh Islam tidak lagi terlibat dalam peperangan fisik
terhadap kaum Muslim. Sebaliknya pada masa sekarang musuh-musuh Islam tidak
lagi menggunakan pedang melawan Islam melainkan telah memanfaatkan berbagai
sarana komunikasi yang tersedia untuk menyebarkan kebohongan dan propaganda
palsu dalam upaya untuk menghentikan Islam. Zaman sekarang banyak sekali musuh
yang harus dihadapi. Musuh tersebut bukan berbentuk manusia, ataupun benda,
tetapi musuh tersebut berupa kemalasan, kebodohan, keterpurukan, kemiskinan,
korupsi, kegigihan mencari ilmu, belajar, dsb. Semangat itulah yang sekarang
harus dikibarkan, inilah jihad kontemporer, jihad modern masa kini. Jihad
lainya adalah dengan berusaha untuk terus menjadi orang yang benar-benar
berIslam, mengamalkan syariat Islam secara sempurna, menyampaikan contoh ajaran
Islam yang benar ke seluruh dunia. Inilah cara membantah lawan-lawan Islam.
Jihad era sekarang bukanlah bagaiamana kita mati di jalan-Nya, tetapi bagaimana
kita dapat hidup di jalan-Nya.
Kemampuan siswa untuk
mengambil ‘ibrah dan kemampuan guru untuk menyampaikan materi secara
menarik dan menyenangkan tersebut berdampak positif bagi siswa. Siswa menjadi
punya kesemangatan yang tinggi untuk belajar, punya keinginan dan target yang
tinggi untuk berjihad memenangkan olimpiade-olompiade internasional masa kini,
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dedikasi yang tinggi terhadap
agamanya, serta punya niatan tulus untuk menjadi Muslim yang sesungguhnya.
Penutup
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: 1) Guru menyampaikan materi peperangan secara
menarik karena materi peperangan sangat berpotensi membuat siswa bosan, jenuh,
bahkan sama sekali tidak tertarik. Selain itu karena materi peperangan perlu
disampaikan secara utuh kepada siswa, agar siswa tidak salah persepsi tentang
hakekat perang dalam Islam. 2) Cara guru merekonstruksi materi peperangan dalam
peradaban Islam adalah dengan menjelaskan kepada siswa konsep jihad dan dakwah
terlebih dahulu, kemudian latar belakang terjadinya perang, nilai/’ibrah/pesan
moral yang dapat diambil dari peristiwa peperangan, kemudian menjelaskan
berbagai fenomena/isu-isu aktual yang sedang terjadi akhir-akhir ini, lalu
dihubungkan dengan materi peperangan tersebut. 3) Dampak bagi siswa ketika guru
menyampaikan materi peperangan secara menarik dan menyenangkan dikelompokan
menjadi dua, yaitu dampak secara kognitif dan dampak secara sikap. Secara
kognitif pemahaman siswa tentang peperangan dalam peradaban Islam adalah bahwa
Islam tidak pernah menyerang terlebih dahulu, peperangan yang terjadi hanyalah
pilihan terakhir karena sudah tidak ada jalan lain lagi. Peperangan yang
terjadi adalah berorientasi dakwah dan jihad. Sedangkan secara sikap siswa
menjadi punya kesemangatan yang tinggi untuk belajar, punya keinginan dan
target yang tinggi untuk berjihad memenangkan olimpiade-olompiade internasional
masa kini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dedikasi yang tinggi
terhadap agamanya, serta punya niatan tulus untuk menjadi Muslim yang
sesungguhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmed,
Akbar S, Rekonstruksi Sejarah Islam: Di Tengah Pluralitas Agama dan
Peradaban, penerjemah: Amru Nst, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Al
Sarqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Armstrong,
Karen, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, penerjemah: Sirikit
Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2011.
Hartono, Ragam Model Mengajar yang Mudah
Diterima Murid, Yogyakarta: Diva Press, 2013.
Hidayah,
Rifa, Psikologi Pengasuhan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Hitti,
Philip K, History Of The Arabs, penerjemah: Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Hitti, Philip
K, Islam And The West: A Historical Cultural Survey, penerjemah: H.M.J.
Irawan, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Kuntowijoyo,
Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005.
Lampiran
Peraturan Menteri Agama No 165 tahun 2014.
Lie,
Anita, Cooperative Learning; Mempraktekan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas, Jakarta: Grasindo, 2003
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007.
Mulyasa,
Manajemen Berbasis Sekolah, Konsp Strategi dan Implementasi, Bandung:
Rosdakarya, 2006.
Sugiyono,
Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Watt, W.
Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
penerjemah: Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Waqidi,
Al, Kitab Al Maghazi Muhammad: Sumber Sejarah Paling Tua Tentang Kisah Hidup
Rasulullah, Jakarta: Zaytuna, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar