Selasa, 10 Januari 2017

STRATEGI GURU SKI DALAM MEREKONSTRUKSI MATERI TENTANG PEPERANGAN DALAM PERADABAN ISLAM DI MA ALI MAKSUM KRAPYAK YOGYAKARTA


Hassan El Hasby
Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstract
In the writing of Islamic cultural history, there are almost all the books write about war. The lesson books of Islamic cultural history in the school also not inseparable from material about war. This matter if not addressed properly by the teachers and students there was great potential false perception even erroneous, so there needs the right strategy for the students so that has not wrong perception about war in Islam. This research has purposes for knowing Islamic cultural history teacher strategy in reconstruction the material about war and its impact to the students. Data collection was done by interview, observation, documentation, and checking data validation with triangulation. The teacher method to reconstruct war material in Islamic civilization by explaining to the students the jihad and dakwah concept firstly, then the background of war happening, value / ibrah / moral value that can be taken from the war occurrence, and also explains various phenomenon or actual issues that was happening recently, and then connected with that war material. The impact for the students is when the teacher conveys the war material attractively and fun can be divided into two, cognitive impact and attitude impact. 

Keywords : Islamic cultural history strategy, material construction, war.


Abstrak
Dalam penulisan SKI hampir semua buku menuliskan tentang peperangan. Buku-buku pelajaran SKI di sekolah juga tidak terlepas dari materi tentang peperangan. Hal tersebut jika tidak disikapi secara tepat oleh guru dan siswa sangat berpotensi terjadi persepsi yang kurang tepat bahkan keliru, maka perlu strategi yang tepat agar siswa tidak salah persepsi terhadap peperangan dalam Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi guru SKI dalam merekonstruksi materi tentang peperangan dan dampaknya terhadap siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi. Cara guru merekonstruksi materi peperangan dalam peradaban Islam adalah dengan menjelaskan kepada siswa konsep jihad dan dakwah terlebih dahulu, kemudian latar belakang terjadinya perang, nilai/’ibrah/pesan moral yang dapat diambil dari peristiwa peperangan, kemudian menjelaskan berbagai fenomena/isu-isu aktual yang sedang terjadi akhir-akhir ini, lalu dihubungkan dengan materi peperangan tersebut. Dampak bagi siswa ketika guru menyampaikan materi peperangan secara menarik dan menyenangkan dikelompokan menjadi dua, yaitu dampak secara kognitif dan dampak secara sikap.
Kata Kunci: Strategi Guru SKI, Rekonstruksi Materi, Peperangan.

Pendahuluan
Dalam penulisan sejarah kebudayaan Islam hampir semua buku menuliskan tentang peperangan (lihat Al Waqidi, 2012 dan W. Montgomery, 1990). Hal ini dapat berdampak pada pembaca, karena dengan membaca seseorang akan membangun persepsi-persepsi dalam dirinya. Buku-buku pelajaran sejarah kebudayaan islam di sekolah juga tidak terlepas dari materi-materi tentang peperangan. Hal ini jika tidak disikapi secara bijak oleh guru dan siswa, sangat mungkin terjadi persepsi yang kurang tepat bahkan keliru. Contohnya persepsi siswa terhadap Islam, bahwa Islam meluas dengan perang untuk merebut wilayah non muslim (hasil wawancara dengan Nilna Fauziah, siswa kelas XI IPA B MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pada Selasa 1 Maret 2016 pukul 11.45 WIB). Kekeliruan-kekeliruan persepsi terhadap materi peperangan tersebut dapat berakibat fatal pada pola pikir dan tindakan siswa, yang pada ujungnya dapat menimbulkan pemikiran dan gerakan radikalisme dalam agama.
Kekeliruan terhadap pemaknaan peperangan dalam peradaban Islam diperparah lagi dengan banyaknya buku-buku sejarah Islam yang ditulis oleh Barat, seperti Islam And The West: A Historical Cultural Survey (1984), History Of The Arabs (2008), dan sebagainya. Para penulis Kristen abad pertengahan melukiskan prajurit-prajurit Muslim dengan pedang di satu tangan dan Al Quran di tangan lainnya (Akbar S. Ahmed 2003:90). Islam disebut agama pedang, sebuah keyakinan yang meninggalkan spriritualitas sejati dengan menyucikan kekerasan dan tak mengenal toleransi. Ini sebuah bayangan tentang Islam yang diciptakan oleh Barat Kristen sejak abad pertengahan (Karen Armstrong, 2011:231).
Usaha untuk memahamkan dan meluruskan sejarah peradaban Islam yang sesungguhnya kepada generasi muda perlu dilakukan. Maka peran guru SKI sangat besar dan penting, karena berawal dari merekalah generasi-generasi muda sekarang dan yang akan datang (khususnya siswa-siswa di sekolah) mendapatkan informasi tentang sejarah peradaban Islam. Informasi-informasi inilah yang akan mempengaruhi perkembangan dan pola pikir siswa ke depannya. Sejarah Peradaban Islam seyogyanya harus disampaikan semenarik mungkin. Belajar sejarah bukan hanya berhenti pada menghafal tanggal, tokoh, dan tempat-tempat saja, melainkan sejarah harus mampu direkonstruksikan ke konteks zaman sekarang.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis terdorong untuk meneliti lebih lanjut bagaimana strategi guru Sejarah Kebudayaan Islam dalam merekonstruksi materi tentang peperangan dalam peradaban Islam di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Penulis memilih MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta karena didasarkan pada informasi yang penulis peroleh bahwa pembelajaran SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta sangat menyenangkan, selain itu keaktifan siswa untuk bertanya dalam pembelajaran sangat tinggi, atau bisa dikatakan dalam pembelajaran siswa selalu kritis (hasil wawancara dengan Bpk. Ahmad Fauzi, salah satu guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta pada Selasa 1 Maret 2016 pukul 11.15 WIB). Hal itu juga berlaku ketika sedang membahas materi tentang peperangan. Pertanyaan-pertanyaan siswa yang kritis seperti ini harus dibarengi dengan jawaban guru yang cerdas agar pemahaman siswa terhadap materi tidak keliru. Di sinilah perlu perekonstruksian materi pembelajaran, dalam hal ini materi tentang peperangan dalam peradaban Islam ke konteks zaman sekarang. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang bagaimana strategi guru SKI dalam menyampaikan dan merekonstruksi materi tentang peperangan dalam peradaban Islam secara menarik di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Maka pengumpulan datanya merupakan telaah atau kajian terhadap observasi, wawancara, dan dokumen yang berupa data sekunder yang kemudian dianalisis teori yang ada (Lexy J. Moleong, 2007:6). Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi pasif yaitu peneliti ikut hadir dalam kegiatan, akan tetapi tidak terlibat dalam kegiatan tersebut (Sugiyono, 2010:312). Observasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran serta membuktikan data hasil wawancara dengan realita terkait bagaimana strategi guru SKI dalam merekonstruksi materi tentang peperangan dalam peradaban Islam di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara langsung dari guru SKI terkait dengan cara perekonstruksian materi tentang peperangan dalam peradaban Islam, alasan, dan dampak penerapan strategi yang menarik tersebut terhadap siswa. Dokumentasi yang penulis lakukan adalah dokumentasi sumber belajar, materi, silabus, RPP, kurikulum, dsb.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X dan XI. Teknik pengambilan sampel sumber menggunakan purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:320). Selanjutnya informasi yang diperoleh dianalisis melalui tahapan-tahapan: display data, reduksi data, dan interpretasi data.

Pembahasan
Alasan Guru Menyampaikan Materi Peperangan Secara Menarik
Setiap melakukan sesuatu tentunya sudah dipikirkan terlebih dahulu dampak positif maupun negatifnya, dalam bertindak pasti seseorang mempunyai alasan kenapa ia bertindak seperti itu. Begitupun dalam dunia pendidikan, guru ketika akan menyampaikan materi tentunya sudah dirancang terlebih dahulu bagaimana strategi/metode yang terbaik dalam menyampaikan materi tersebut.
Penulis melihat, bahwa guru-guru Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah Ali Maksum Krapyak Yogyakarta sebelum menyampaikan materi terlebih dahulu memikirkan/ mempertimbangkan strategi apa yang terbaik dan yang paling tepat untuk menyampaikan materi tersebut. Apalagi materi yang akan disampaikan merupakan materi yang berpotensi bias pemahaman, seperti materi tentang peperangan dalam peradaban Islam.
Menurut Bapak Ridwanul Mustofa, M.S.I. materi peperangan dalam peradaban Islam perlu disampaikan secara kehati-hatian agar pemahaman siswa tentang peperangan dalam Islam tidak keliru. Sesuai hasil wawancara sebagai berikut:

“Dalam buku-buku materi pelajaran SKI di Madrasah Aliyah banyak sekali materi tentang peperangan dalam peradaban Islam. Guru dituntut untuk cerdas dan tepat dalam menyampaikan materi tersebut. Perlu kehati-hatian dalam menyampaikan materi peperangan supaya pemahaman siswa tentang peperangan dalam Islam tidak keliru.”

Selain kehati-hatian penyampaian materi juga harus disampaikan secara menarik. Tidak hanya ketika menyampaikan materi peperangan saja, tetapi  materi apapun juga harus disampaikan semenarik mungkin. Pelajaran SKI biasanya menjadi pelajaran membosankan di semua jenjang pendidikan. Hal ini menjadi keprihatinan bersama, khususnya para guru Sejarah Kebudayaan Islam. Problem pembelajaran tersebut menjadi tantangan besar bagi para guru Sejarah Kebudayaan Islam untuk merubah wajah mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam menjadi mata pelajaran yang menyenangkan.
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam biasanya hanya berhenti pada hafalan nama tokoh, tanggal, tempat, dan silsilah nasab saja, hal tersebut sangat berpotensi membuat siswa bosan dan jenuh. Banyaknya materi peperangan dalam peradaban Islam juga harus disampaikan secara menarik agar siswa tidak bosan dan jenuh, apalagi dalam materi peperangan ini banyak sekali hal-hal yang harus dihafal didalamnya. Lebih jauh dari hal tersebut, materi peperangan harus mampu dikontekstualkan ke zaman sekarang. Sebagaimana hasil wawancara dengan guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak sebagai berikut:

“Materi peperangan dalam peradaban Islam harus disampaikan semenarik mungkin, hal ini agar siswa tidak bosan dengan materi yang banyak sekali hal-hal yang harus dihafal didalamnya. Guru dituntut untuk variatif dalam menyampaikannya, misalnya dengan permainan ataupun selingan humor ketika menyampaikan materi.”

“Materi peperangan dalam peradaban Islam harus disampaikan secara utuh, jangan hanya setengah-setengah. Karena jika tidak disampaikan secara utuh, persepsi siswa terhadap peperangan bisa keliru. Jangan sampai siswa punya pemahaman Islam adalah agama pedang, agama kekerasan. Materi peperangan jangan hanya berhenti pada hafalan saja, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana siswa mampu mengambil nilai moral yang terdapat dalam peperangan tersebut.”

Kemampuan guru menyampaikan materi peperangan secara menarik tersebut akan menjadikan pembelajaran SKI khusunya materi peperangan menjadi menyenangkan. Jika siswa sudah merasa senang dalam pembelajaran, maka materi akan lebih mudah untuk diterima siswa. Lebih jauh lagi, siswa akan mampu mengambil pesan moral yang terkandung dalam peristiwa peperangan dalam peradaban Islam. Kemudian pesan moral tersebut menjadi bekal siswa untuk memahami kejadian-kejadian yang sedang dialami zaman sekarang. Menurut guru-guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak, materi peperangan dikatakan sukses jika siswa sudah mampu mengambil ‘ibrah/ pesan moral yang terdapat dalam peristiwa peperangan tersebut dan kemudian di kontekstualkan ke konteks zaman sekarang.

Strategi Guru SKI dalam Merekonstruksi Materi Peperangan
Sejarah Kebudayaan Islam secara materi memang cerita masa lalu, akan tetapi ruang lingkupnya tidak sesempit apa yang diwacanakan. Di dalamnya termaktub kebudayaan yang banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi, dan moral. Termaktub juga peradaban manusia yang direfleksikan dalam politik, ekonomi dan teknologi (Effat Al Sarqawi, 1986:5), yang barang tentu bisa dikaji untuk kemajuan peradaban Islam masa kini. Manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis menjadi wujud dari peradaban dimaksud (Badri Yatim, 2008:1).
Lebih dari itu, Standar Kompetensi Lulusan untuk Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah tendensinya terletak pada bagaimana siswa meng-‘ibrah meneladani dan mengapresiasi fakta dan makna peristiwa bersejarah (Lampiran PMA No. 165).
Melihat pernyataan di atas bisa difahami bahwa Sejarah Kebudayaan Islam bukan sekedar cerita masa lalu. Ia kental dengan budaya dan peradaban Islam sebagai komparasi dan ruh semangat peradaban masa kini dan mendatang. Siswa harus bisa memahami dan menghargai prestasi budaya dan peradaban dari aktor sejarah masa lalu. Sebab di setiap zamannnya terkandung nilai dan semangat yang bermanfaat untuk siswa, masa kini dan yang akan datang.
Di sinilah letaknya sejarah secara ekstrinsik, sebagai liberal education, pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan dan ilmu bantu (Kuntowijoyo, 2005:26). Yang paling penting sekarang ini bagaimana guru dan siswa bisa meng-‘ibrah, meneladani dan mengapresiasi fakta dan makna peristiwa sejarah. Maka yang diperlukan tentu pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang transformatif.
Materi peperangan dalam peradaban Islam yang terdapat di Madrasah juga harus disampaikan guru secara transformatif. Dalam materi tersebut banyak hal yang menarik untuk diambil nilai moralnya yang sangat bermanfaat untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Penulis mengamati bahwa guru-guru Sejarah Kebudayaan Islam dari kelas X sampai XII di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta terus berusaha untuk merekonstruksikan / mentransformasikan materi-materi peperangan ke konteks zaman sekarang. Semua guru dalam menyampaikan materi peperangan sudah dipersiapkan terlebih dahulu, baik dari segi materi ataupun strategi yang mau digunakan. Strategi yang digunakan guru-guru SKI di MA Ali Maksum dalam menyampaikan dan merekonstruksi materi tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Ada yang berpusat pada siswa, dan ada juga yang berpusat pada guru.
Untuk mengetahui proses pembelajaran dan perekonstruksian materi peperangan yang dilakukan oleh guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, maka penulis melakukan observasi di kelas. Observasi penulis lakukan di kelas X IPS A pada hari Sabtu 16 April 2016. Dalam observasi ini penulis mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru SKI, baik dari aspek cara guru merekonstruksi materi peperangan, iklim pembelajaran, keaktifan siswa, media pembelajaran, maupun respon siswa terhadap pembelajaran.
Dalam pembelajaran, guru memulai dengan salam, mengabsen, dan menanyakan kesiapan siswa untuk belajar. Secara acak guru bertanya kepada siswa tentang perang Badar, diantaranya tentang kapan terjadinya, latar belakang terjadinya, jumlah pasukan, tokoh-tokohnya, dan siapa saja yang syahid. Guru menjelaskan bahwa dalam peradaban Islam setidaknya terjadi 55 peperangan, 27 peperangan diantaranya merupakan ghazwah (peperangan yang Rasululloh SAW ikut didalamnya). Guru menjelaskan banyaknya peperangan tersebut bukan berarti Islam adalah agama pedang ataupun agama kekerasan. Ketika guru menjelaskan hal tersebut, ada siswa yang bertanya apakah dalam peperangan-peperangan tersebut Islam menyerang terlebih dahulu?, guru menjawab tidak pernah, Islam tidak pernah mendahului. Peperangan tersebut hanya untuk mempertahankan diri/ menjaga Islam ketika umat Islam terdholimi ataupun sudah tidak ada jalan lain kecuali perang.
Guru memberikan analogi ketika diri kita didholimi oleh orang lain, apakah kita akan diam saja?, tentunya tidak. Analogi lain yang disampaikan guru adalah dalam peperangan-peperangan tersebut misalnya dalam perang Badar, Uhud, Mu’tah, dan Khaibar, pasukan Islam sangat sedikit dibandingkan kaum Kafir, ini menandakan bahwa Islam tidak pernah mendahului untuk mengajak perang, secara rasio tidak mungkin golongan minoritas berani melawan golongan yang mayoritas.
Guru menjelaskan contoh lain ketika Nabi SAW dakwah di Madinah, masyarakat kafir Madinah yang tidak suka dengan dakwah Nabi, dan tidak suka Islam berkembang di Madinah, mereka terus berusaha untuk menggagalkan dakwah Nabi SAW. Mereka mulai menyusun kekuatan untuk melemahkan umat Islam. Ini adalah benih-benih pemicu konflik antara umat Islam dengan Yahudi di Madinah. Konflik tersebut tidak hanya melibatkan bangsa Yahudi dengan umat Islam di Madinah, juga antar kaum kafir Quraisy yang bersekutu dengan Yahudi Madinah melawan kekuatan Islam.
Masyarakat kafir Quraisy tidak senang melihat keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah di kota Madinah. Mereka terus berusaha mencari jalan untuk menggagalkan usaha penyiaran Islam di kota tersebut. Untuk kepentingan itu, mereka terus menyusun kekuatan dan menggalang persekutuan dengan kelompok yang sama-sama menentang perkembangan Islam dan melemahkan kekuatan umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat semakin kerasnya keinginan kafir Quraisy di kota Mekah untuk menggagalkan usaha dakwah Islam yang tengah mengalami perkembangan, akhirnya Nabi Muhamad SAW juga menyusun kekuatan umat Islam untuk mengimbangi kekuatan kafir Quraisy walaupun kekuatan kaum muslimin tidak sebanding dengan kekuatan kaum kafir Quraisy. Kekuatan yang dibentuk Nabi SAW ini  bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan kafir Quraisy, bukan untuk memerangi mereka. Karena Islam mengajarkan perdamaian, bukan peperangan atau kekerasan. Tetapi karena kekuatan kafir Quraisy terus-menerus menghujat dan menyakiti umat Islam, akhirnya umat Islam berusaha menandingi kekuatan mereka dengan mempersiapkan berbagai peralatan tempur. Namun peralatan itu belum dapat dipergunakan, karena belum ada perintah dari Nabi SAW dan wahyu Allah untuk berjihad melawan kafir Quraisy. Situasi tersebut berubah setelah ada izin dari Nabi dan perintah Allah untuk berjuang mempertahankan diri dari serangan kafir Quraisy. Perintah tersebut terdapat pada surah Al-Hajj ayat 39.

أُذِ نَ لِلّذِ يْنَ يُقَا تَلُوْنَ بِأَ نّهُمْ ظُلِمُوْا  وَإِ نّ اللّهَ عَلى نَصْرِ هِمْ لَقَدِ يْرٌ
Artinya: “Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sesungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.”

Guru menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak berarti Islam menganjurkan kepada umatnya untuk menggunakan kekuatan perang terutama untuk dakwah Islam. Karena sesungguhnya Islam tersebar dengan cara-cara damai melalui budi pekerti yang mulia. Tetapi peperangan ternyata tidak dapat dihindari, karena kafir Quraisy terus menggalang koalisi dengan Yahudi Madinah untuk menghancurkan kekuatan umat Islam.
Guru memberikan penjelasan lagi bahwa dalam Piagam Madinah adanya kesepakatan untuk bekerjasama antara muslim dan nonmuslim, tetapi pada kenyataannya orang nonmuslim dari suku Bani Quraydah melanggarnya dan menyerang Islam, maka orang Islampun mempertahankan dirinya dengan melawan mereka.
Salah satu siswa ada yang bertanya tentang ISIS yang akhir-akhir ini ramai diberitakan di berbagai media, apakah ISIS dibenarkan oleh Islam?, guru menjawab hal tersebut sama sekali tidak dibenarkan, Islam tidak mengajarkan kekerasan seperti itu. Sepengetahuan guru, ISIS lebih ke ranah politik, bukan ranah agama.
Guru memancing siswa untuk dapat mengambil ‘ibrah dari materi peperangan dalam peradaban islam dan merekonstruksi ke konteks sekarang, sebagian siswa ada yang menjawab,

“Kita bisa mengambil kesemangatan mereka dalam berdakwah, kesemangatan tersebut bisa kita terapkan dalam belajar ataupun dalam beribadah kepada Alloh SWT.”

“Menurut saya, kita dapat mengambil ‘ibrah dari peperangan tersebut tentang keberanian untuk melawan orang-orang yang dholim pada diri kita”

Guru menyampaikan apresiasi pada siswa yang berani menyampaikan pendapatnya. Guru menyimpulkan materi yang telah disampaikan dengan berbagai rekonstruksinya ke konteks zaman sekarang.
Guru dalam perekonstruksian materi peperangan ke konteks sekarang lebih pada perang secara pemikiran, bukan perang secara fisik, sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:

 “Saya mekonstruksi materi peperangan ke konteks sekarang lebih ke ranah pemikiran, bukan perang secara fisik lagi, yaitu dengan cara membuat berbagai karya ilmiah, seperti: buku, artikel, jurnal, dsb. Semua karya tersebut berisi tentang berbagai sanggahan, bantahan, dan pelurusan makna ajaran Islam yang dipahami oleh orang-orang yang memusuhi Islam. Selain itu, siswa juga harus diedukasi agar mampu membedakan antara berdakwah dengan menguasai wilayah, sehingga tidak terjadi bias pemahaman terhadap peperangan yang terjadi dalam peradaban Islam.”

Untuk memperoleh gambaran lebih banyak tentang strategi guru SKI dalam merekonstruksi materi tentang peperangan, penulis kembali melakukan observasi. Observasi kedua ini penulis lakukan di kelas XI IPA B pada hari Sabtu, 16 April 2016 pukul 11.30 – 12.15 WIB. Materi yang disampaikan tentang kemajuan dan kemunduran Dinasti Abbasiyah.
Dalam observasi tersebut, penulis mengamati bahwa guru mengawali pelajaran dengan salam, berdoa, dan mengabsen. Guru me-review materi sebelumnya, menanyakan kesiapan siswa untuk belajar.
Pada pertemuan sebelumnya guru sudah membagi kelas menjadi empat kelompok, tiga kelompok sudah mempresentasikan hasil makalahnya di depan kelas, dan kelompok terakhir mempresentasikan makalahnya pada hari ini.
Guru mempersilahkan kelompok terakhir ini untuk mempresentasikan makalahnya di depan kelas. Dalam presentasinya, dijelaskan bahwa kemunduran Dinasti Abbasiyah karena beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya, lemahnya khalifah, perebutan kekuasaan, munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, kemerosotan perekonomian, dan munculnya aliran-aliran sesat serta fanatisme agama. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah perang Salib dan serangan Mongolia ke negeri Muslim.
Ditengah diskusi ada siswa yang bertanya tentang mengapa terjadi perang Salib?, perang tersebut murni karena agama atau ada unsur politik di dalamnya?. Dari pengamatan penulis, diskusi berjalan menarik, siswa aktif dan kritis, walaupun belum semua siswa mau bertanya ataupun mengemukakan pendapatnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Karp dan Yoles yang menyatakan bahwa di dalam kelas yang terdiri lebih dari 40 peserta didik, hanya dua sampai 3 orang saja yang mendominasi separoh dari interaksi kelas. Masih banyak siswa yang menjadi penonton dan pendengar saja (Anita Lie, 2003:39).
Kelas sepenuhnya dikendalikan oleh siswa, guru hanya menjadi fasilitator saja. Menurut guru siswa seusia Madrasah Aliyah sudah bisa berfikir logis dan abstrak, jadi siswa sudah mampu untuk merekonstruksi sendiri materi-materi pelajaran ke konteks sekarang. Sesuai dengan pendapat Rifa Hidayah bahwa siswa sekolah menengah termasuk kategori usia remaja (lebih kurang berusia 12-20 tahun), yang mana pertumbuhan otak sudah mencapai kesempurnaan, sudah mampu berfikir abstrak, mulai berfikir kritis, logis, sudah mampu menalar, dan wawasan berfikirnya semakin luas Rifa Hidayah, 2009:42).
Sekitar 15 menit sebelum pelajaran berahir, guru mencukupkan diskusi dan mengklarifikasi jawaban siswa selama diskusi. Guru menjelaskan bahwa perang Salib terjadi bukan hanya saja karena faktor agama, tetapi ada faktor lain dibelakangnya, seperti faktor politik, psikologi, dan lain lain. Dari faktor agama baik Islam maupun Kristen menganggap bahwa perang tersebut adalah perang suci / jihad. Bagi kalangan Kristen perang salib adalah perang suci untuk merebut kembali Palestina (tempat kelahiran Yesus) dari kekuasaan Muslim, sedangkan dari pihak Muslim tidak ada jalan lain kecuali juga menggalang kekuatan pasukan untuk mempertahankan kota tersebut. Bagi Islam Palestina adalah tempat penting, karena tempat pemberangkatan Rasululloh SAW untuk menemui Alloh melalui Isra’ Mi’raj. Dari faktor politik, di Eropa pengikut gereja Katolik Romawi dan gereja Katolik Yunani berselisih paham. Perselisihan dua gereja tersebut untuk berebut pengaruh dan kekuasaan atas gereja. Untuk mempersatukan dan menghilangkan perbedaan paham tersebut, maka Paus Urbanus II dari gereja Katolik Romawi menginginkan seluruh orang Eropa untuk mengalihkan perhatiannya untuk menyerang Islam.
Guru merekonstruksikan faktor politik tersebut ke konteks sekarang dengan melihat bahwa banyaknya paham-paham atau aliran dalam Islam bisa disatukan dengan Al Quran. Paham-paham tersebut jika disatukan maka Islam akan semakin kuat, karena sudah tidak ada lagi saling serang antar paham/aliran. Kalau Kristen saja mampu menyatukan perselisihan atas nama Al Kitab, Islam juga harus lebih mampu untuk melakukan hal tersebut. Dalam perekonstruksian tersebut guru berusaha untuk memberikan motivasi dan kesemangatan siswa untuk mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan apapun ke hal lain yang lebih baik, yang nilai kemanfaatan dan kemaslahatannya lebih banyak.
Penulis melihat cara guru merekonstruksi materi perang ke konteks sekarang adalah perang secara politik, bukan lagi dengan perang secara fisik dengan membawa alat-alat tempur seperti pedang dsb. Sebagaimana hasil wawancara penulis sebagai berikut:

“Cara saya merekonstruksi materi peperangan ke konteks sekarang lebih pada perang secara politik bukan perang secara fisik, contohnya strategi menjaga kedaulatan Indonesia. Kalau zaman Rasululloh SAW banyak sekali strategi perang yang dipelajari dan diterapkan oleh umat Islam untuk memenangkan peperangan, kalau sekarang bagaimana menerapkan strategi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia baik strategi ekonomi, keamanan perbatasan, hubungan diplomatik antar negara, dsb.”

Tidak jauh berbeda dengan rekonstruksi materi yang dilakukan oleh guru SKI Kelas XII. Ada tahap-tahap untuk menjelaskan dan merekonstruksikan esensi peperangan dalam peradaban Islam kepada siswa. Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan beliau sebagai berikut:

“Cara saya merekonstruksi materi peperangan adalah dengan menjelaskan terlebih dahulu makna dan hakekat jihad, kemudian menjelaskan peperangan sedetail mungkin disertai dengan penjelasan latar belakang terjadinya peperangan tersebut, faktor kemenangan atau kekalahan, dan ‘ibrah/ nilai-nilai yang dapat diambil dari peperangan tersebut, setelah itu baru siswa diajak untuk bersama-sama merekonstruksikan perang tersebut ke zaman sekarang.”

Guru mengajak siswa merekonstruksi peperangan dalam peradaban Islam dengan cara memancing kekritisan siswa. Langkah konkritnya, guru menyampaikan berbagai fenomena yang sedang terjadi saat ini, seperti radikalisme dalam agama, pengeboman, terorisme, gerakan separatis, perang antar suku, dsb. Kemudian siswa diminta untuk berdiskusi terkait berbagai fenomena tersebut sambil merujuk berbagai peristiwa peperangan yang telah terjadi dalam peradaban islam. Dengan cara seperti itulah siswa akan mampu menerapkan berbagai nilai-nilai peperangan yang telah terjadi dalam peradaban Islam ke konteks zaman sekarang. Cara lainnya bisa dengan pemberian tugas inividu, misalnya tugas untuk mencari berbagai peristiwa yang sedang terjadi sekarang di berbagai media, baik koran, tabloid, majalah, televisi, radio, jurnal ataupun lainnya yang masih ada hubungannya dengan peperangan. Kemudian siswa menganalisis peristiwa tersebut, apakah sesuai dengan konsep jihad dalam Islam atau tidak.
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang digunakan guru-guru SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta dalam menyampaikan materi tentang peperangan dalam peradaban Islam berbeda antara satu guru dengan guru lainnya. Guru SKI kelas X menggunakan model pembelajaran inkuiri, sedangkan guru kelas XI dan kelas XII menggunakan model perpaduan antara model konstruktivisme dan Problem Based Learning. Pembelajaran SKI di MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta sudah bisa dikatakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan jika dilihat dari empat indikator yang dikemukakan oleh Wina Sanjaya, yaitu: novelty, proximity, conflict, dan humor.

Dampak Bagi Siswa Ketika Guru Menyampaikan Materi Peperangan Secara Menarik dan Menyenangkan
Pembelajaran yang menyenangkan perlu dipahami secara luas, bukan hanya berarti pembelajaran yang selalu diselingi dengan lelucon, banyak bernyanyi atau tepuk tangan yang meriah.  Pembelajaran menyenangkan merupakan suatu proses pembelajaran yang didalamnya terdapat satu kohesi yang kuat antara guru dan siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (Mulyasa, 2006:194). Pembelajaran menyenangkan adalah situasi di mana siswa merasa nyaman, tenang, dan tak ada tekanan dalam belajar (Hartono, 20013, 161). Atau dengan kata lain pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman, aman dan asyik. Perasaan yang mengasyikkan mengandung unsur inner motivation, yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu sesuatu.
Sebagaimana diketahui bahwa guru perlu memberikan pengajaran secara menarik agar siswa bergairah untuk menjalankan proses belajarnya. Untuk itu guru perlu menggunakan metode pembelajaran yang variatif dan sesuai kebutuhan, sehingga proses pembelajaran tidak berjalan kaku, searah, dan membosankan siswa. Hal tersebut sesuai dengan  Undang-undang RI Nomor 20 pasal 40, ayat (2) tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi: “Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu  pendidikan, dan (3) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”. Sementara itu dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19. ayat (1) dinyatakan bahwa: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, memberikan ruang gerak yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi siswa.”
Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan akan membuat siswa nyaman belajar. Ketika siswa merasa nyaman dalam belajar, materi akan mudah diterima oleh siswa. Penulis mengamati, guru-guru SKI Madrasah Aliyah Ali Maksum Krapyak selalu terus berusaha untuk menyampaikan materi secara menarik dan menyenangkan, khususnya materi-materi tentang peperangan dalam Peradaban Islam. Hasil dari upaya tersebut siswa-siswa merasa senang dan paham tentang esensi perang dalam Islam dan perekonstruksiannya. Menurut salah satu siswa kelas XI, pembelajaran SKI menyenangkan, apalagi dengan metode diskusi, siswa merasa bergairah untuk mendapatkan materi tentang peperangan yang belum diketahuinya.

“Pelajaran SKI menyenangkan, apalagi kalau diskusi. Karena dengan diskusi semua siswa terlibat untuk saling bertukar pemahaman. Biasanya guru membagi kelas menjadi lima kelompok, dan diberi tugas yang berbeda, kemudian siswa secara berkelompok mempresentasikannya di depan kelas. Rujukan yang digunakan bervariatif karena tidak hanya bersumber dari satu buku saja, tetapi dari beberapa buku, bahkan beberapa kitab kuning.”

Dampak penyampaian materi peperangan secara menarik dan menyenangkan yang dilakukan guru-guru SKI di MA Ali Maksum dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu dampak secara kognitif/pengetahuan, dan dampak secara sikap/perilaku.
1.      Secara kognitif/pengetahuan
Menurut penulis, pemahaman siswa tentang peperangan dan cara siswa merekonstruksi materi peperangan ke konteks zaman sekarang sudah benar. Secara garis besar pemahaman siswa tentang peperangan dalam peradaban Islam adalah bahwa Islam tidak pernah menyerang terlebih dahulu, peperangan yang terjadi hanyalah pilihan terakhir karena sudah tidak ada jalan lain lagi. Peperangan yang terjadi adalah berorientasi dakwah dan jihad. Pada awalnya umat Muslim berdakwah untuk mengajak orang-orang kafir masuk Islam, tetapi mereka menolaknya. Penolakan mereka dibarengi dengan perlawanan dan pemberontakan terhadap umat Islam yang menagajaknya masuk Islam. Kadang mereka membunuh utusan umat Islam yang membawa surat ajakan untuk masuk Islam. Jika mereka tidak memberontak walaupun tidak mau menerima atau masuk Islam, peperangan tidak akan pernah terjadi. Islam tidak mengajarkan pemaksaan terhadap siapapun untuk memeluk Islam, karena islam tidak mengajarkan pemaksaan beragama.
2.      Secara sikap/perilaku
Pemahaman siswa terhadap materi tentunya akan berpengaruh terhadap tindakannya. Pemahaman yang benar akan dibarengi dengan tindakan yang benar pula, sedangkan sebaliknya pemahaman yang keliru juga akan dibarengi dengan sikap yang kurang tepat atau keliru. Pemahaman siswa MA Ali Maksum tentang hakekat dari peperangan dalam peradaban Islam berpengaruh terhadap sikap siswa dalam kehidupan keseharian dan dalam pembelajaran di kelas. Rekonstruksi materi peperangan ke konteks kekinian yang disampaikan guru mampu menginspirasi siswa untuk menerapkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam peperangan-peperangan tersebut. Contohnya nilai kesemangatan/ kegigihan, keberanian, toleransi, dan loyalitas umat Islam kepada agama.
Rekonstruksi lainnya adalah, perang secara pemikiran atau paradigma. Era perang agama telah berakhir karena musuh-musuh Islam tidak lagi terlibat dalam peperangan fisik terhadap kaum Muslim. Sebaliknya pada masa sekarang musuh-musuh Islam tidak lagi menggunakan pedang melawan Islam melainkan telah memanfaatkan berbagai sarana komunikasi yang tersedia untuk menyebarkan kebohongan dan propaganda palsu dalam upaya untuk menghentikan Islam. Zaman sekarang banyak sekali musuh yang harus dihadapi. Musuh tersebut bukan berbentuk manusia, ataupun benda, tetapi musuh tersebut berupa kemalasan, kebodohan, keterpurukan, kemiskinan, korupsi, kegigihan mencari ilmu, belajar, dsb. Semangat itulah yang sekarang harus dikibarkan, inilah jihad kontemporer, jihad modern masa kini. Jihad lainya adalah dengan berusaha untuk terus menjadi orang yang benar-benar berIslam, mengamalkan syariat Islam secara sempurna, menyampaikan contoh ajaran Islam yang benar ke seluruh dunia. Inilah cara membantah lawan-lawan Islam. Jihad era sekarang bukanlah bagaiamana kita mati di jalan-Nya, tetapi bagaimana kita dapat hidup di jalan-Nya.
Kemampuan siswa untuk mengambil ‘ibrah dan kemampuan guru untuk menyampaikan materi secara menarik dan menyenangkan tersebut berdampak positif bagi siswa. Siswa menjadi punya kesemangatan yang tinggi untuk belajar, punya keinginan dan target yang tinggi untuk berjihad memenangkan olimpiade-olompiade internasional masa kini, pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dedikasi yang tinggi terhadap agamanya, serta punya niatan tulus untuk menjadi Muslim yang sesungguhnya.

Penutup
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Guru menyampaikan materi peperangan secara menarik karena materi peperangan sangat berpotensi membuat siswa bosan, jenuh, bahkan sama sekali tidak tertarik. Selain itu karena materi peperangan perlu disampaikan secara utuh kepada siswa, agar siswa tidak salah persepsi tentang hakekat perang dalam Islam. 2) Cara guru merekonstruksi materi peperangan dalam peradaban Islam adalah dengan menjelaskan kepada siswa konsep jihad dan dakwah terlebih dahulu, kemudian latar belakang terjadinya perang, nilai/’ibrah/pesan moral yang dapat diambil dari peristiwa peperangan, kemudian menjelaskan berbagai fenomena/isu-isu aktual yang sedang terjadi akhir-akhir ini, lalu dihubungkan dengan materi peperangan tersebut. 3) Dampak bagi siswa ketika guru menyampaikan materi peperangan secara menarik dan menyenangkan dikelompokan menjadi dua, yaitu dampak secara kognitif dan dampak secara sikap. Secara kognitif pemahaman siswa tentang peperangan dalam peradaban Islam adalah bahwa Islam tidak pernah menyerang terlebih dahulu, peperangan yang terjadi hanyalah pilihan terakhir karena sudah tidak ada jalan lain lagi. Peperangan yang terjadi adalah berorientasi dakwah dan jihad. Sedangkan secara sikap siswa menjadi punya kesemangatan yang tinggi untuk belajar, punya keinginan dan target yang tinggi untuk berjihad memenangkan olimpiade-olompiade internasional masa kini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dedikasi yang tinggi terhadap agamanya, serta punya niatan tulus untuk menjadi Muslim yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S, Rekonstruksi Sejarah Islam: Di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, penerjemah: Amru Nst, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Al Sarqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.

Armstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, penerjemah: Sirikit Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2011.

Hartono, Ragam Model Mengajar yang Mudah Diterima Murid, Yogyakarta: Diva Press, 2013.

Hidayah, Rifa, Psikologi Pengasuhan Anak, Malang: UIN Malang Press, 2009.

Hitti, Philip K, History Of The Arabs, penerjemah: Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Hitti, Philip K, Islam And The West: A Historical Cultural Survey, penerjemah: H.M.J. Irawan, Bandung: Sinar Baru, 1984.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005.

Lampiran Peraturan Menteri Agama No 165 tahun 2014.

Lie, Anita, Cooperative Learning; Mempraktekan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, Jakarta: Grasindo, 2003

Moleong, Lexy J,  Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsp Strategi dan Implementasi, Bandung: Rosdakarya, 2006.

Sugiyono, Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2010.

Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, penerjemah: Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.


Waqidi, Al, Kitab Al Maghazi Muhammad: Sumber Sejarah Paling Tua Tentang Kisah Hidup Rasulullah, Jakarta: Zaytuna, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar