BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini, masyarakat
dunia diwarnai oleh globalisasi. Di era global ini, sekat ruang dan waktu
seolah-olah tiada tampak. Jarak yang jauh terasa dekat. Disamping itu
globalisasi juga bagaikan mata pisau yang dapat menghadirkan manfaat jika
dipahami secara benar dan dapat menghadirkan dampak negatif bila tidak dipahami
secara benar.
Diantara dampak negatif tersebut adalah terjadinya dislokasi,
dehumanisasi, sekularisasi. Sementara dampak positifnya antara lain terbukanya
berbagai kemudahan dan kenyamanan baik dalam lingkungan ekonomi (eksonosfer),
informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sosiosfer),
dan psikologi (psikosfer).[1]
Adanya globalisasi akan berpengaruh pada suatu bangsa dan negara,
masyarakat bahkan individu dalam masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan
globalisasi pada suatu bangsa terjadi di berbagai bidang, antara lain: bidang
agama, ekonomi, sosial budaya, keamanan, politik, pendidikan, dan lain sebagainya.
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era
globalisasi telah memberikan berbagai macam problem baik tentang
bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau
juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa
adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya
semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer,
televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi
hal yang kompleks dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi
peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan
corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki
lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya
secara lisan, tulisan, bahkan visual.[2]
Di era global seperti ini, dunia pendidikan
Islam mau tak mau juga harus berdialektika dengan kondisi kemajuan yang ada.
Pendidikan Islam harus menyadarkan umat Islam akan pentingnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan
Islam yang berada dalam arus modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut
untuk mampu memainkan peranannya secara aktif. Kehadirannya diharapkan mampu
membawa perubahan dan kontribusi baru yang berarti bagi perbaikan umat Islam.
Selain berdialektika dengan kemajuan yang ada,
pendidikan Islam juga tidak boleh lupa dengan tujuan pendidikan Islam itu
sendiri. Pendidikan Islam harus mampu membentengi umat Islam dari pengaruh negatif
globalisasi dan perkembangan teknologi yang ada, serta memaksimalkan pengaruh
positifnya demi terwujudkan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Apa pengertian globalisasi dan pendidikan Islam?
2.
Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
3.
Bagaimana problematika pendidikan Islam di era globalisasi?
4.
Bagaimana upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi globalisasi?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian globalisasi dan pendidikan Islam.
2.
Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
3.
Mengetahui problematika pendidikan Islam di era globalisasi.
4. Mengetahui upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi
dampak dari globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk
dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif
dan efisien. Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai
suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi
nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap
pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan
keahlian.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan Islam, menurut M. Yusuf
Qardhawi, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup
baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[3]
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselenggarakan degan fungsi manusia untuk beramal di
dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[4]
Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan
ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui proses dimana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi
sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tegasnya,
senada dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.[5]
Semua pengertian di atas lebih global sifatnya dan secara lebih teknis
Endang Saifudin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses
bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan
jiwa (pikiran, kemauan, perasaan, kemauan, intuisi, dll), dan raga objek didik dengan
bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah
terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[6]
Dari semua pengertian tersebut terlihat penekanan pendidikan Islam pada
“bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak
pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, maka anak didik memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Di sini, guru lebih berfungsi
sebagai “fasilitator” atau petunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak
didik. Dengan demikian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cenderung
menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong dan perlu
diisi. Dengan kerangka dasar pemikiran seperti ini, maka guru menghormati
peserta didik sebagai individu yang memiliki berbagai potensi. Dari kerangka
pengertian dan hubungan antara pendidik dan peserta didik semacam ini, dapat
pula sekaligus dihindari, apa yang disebut “banking concept”[7] dalam
pendidikan, yang banyak dikritik dewasa ini.[8]
Begitu juga tentang lembaganya, masih terdapat
perbedaan pendapat dalam menetapkan mana yang layak di sebut
lembaga pendidikan Islam, hal tersebut sudah tentu tidak
lepas dari kenyataan, bahwa di Indonesia terdapat dua model yang selama ini di
katakan sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pertama, dikelola pihak pemerintah yang mana semua system dan peraturan yang
ada sepenuhnya menurut pemerintah Yang kedua, di organisasikan
oleh masyarakat dan format pelaksaanya juga di rancang sendiri, namun
tidak lepas dari undang undang atau peraturan pemerintah dalam hidup
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.[9]
Namun secara umum, pengertian dari Pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan
oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[10]
2. Pengertian Globalisasi
Menurut bahasa, global ialah seluruhnya,
menyeluruh.[11]
Sedangkan globalisasi ialah pengglobalan secara keseluruhan aspek kehidupan,
perwujudan (peningkatan/perubahan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan.
Kemudian membaca pengertian secara luas globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju seperti halnya Amerika, Eropa
dan Jepang, yang telah melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian
berusaha mendominasi dan merubah dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu
pengetahuan, politik, budaya, militer, ekonomi, dan pendidikan itu sendiri, di
Indonesia pada khususnya.
Menurut David Held dan Anthony Mc Grew, tidak ada definisi
globalisasi yang tepat yang di sepakati bersama. Globalisasi dapat di pahami
dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruangan waktu yang
menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit, perbedaanya hanya
terletak pada penekanan dari sudut pandang material, ruangan dan waktu,
serta aspek-aspek kognitif dari globalisasi, dari sudut peristilahan kata
globalisasi sebenarnya masih mengalami problem karena realitas serta
subyektifitas pemakaian kata tersebut, namun globalisasi secara sederhana dapat
di tunjukkan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan
pengaruh dari arus dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial.[12]
Sementara
itu menurut sebagian orang, globalisasi adalah menghilangkan dinding dan jarak
antara satu bangsa lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang
lain. Sehingga semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan
keluarga dunia. Sebagian lain mengatakan globalisasi ialah mengubah dunia
menjadi perkampungan dunia, hal ini sangat dipengaruhi oleh teknologi
informasi.
Era globalisasi dewasa ini dan di masa mendatang sedang akan akan mempengaruhi
perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan
Islam, termasuk pesantren khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu
dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari
proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di
tengah perkembangan dunia yang kian kompetetif di masa kini abad 21.
Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat
muslim Indonesia. Perbentukan dan perkembangan masyarakat muslim Indonesia
bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan
dari waktu ke waktu. Sumber globalisasi adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula Makkah, Madinah dan juga akhir
abad 19 dan awal abad 20 juga Kairo. Karena itu, globalisasi ini bersifat
religio-intelektual, meski dalam kurun waktu tertentu juga diwarnai oleh
semangat religio-politik.[13]
Tetapi, globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim
Indonesia sekarang ini menampilkan sumber atau watak yang berbeda. Proses
globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber dari Timur Tengah melainkan dari
barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai wilayah
kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat
tampil dengan watak ekonomi-politik dan sains-teknologi. Dominasi dan hegemoni
politik barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot” khususnya
sejak berakhirnya perang dunia kedua. Tetapi hegemoni ekonomi dan
sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa beberapa
kekuatan ekonomi baru seperti Jepang, dan Korea Selatan, tetapi “kultur” hegemoni ekonomi dan
sains-teknologi tetap sarat dengan nilai barat. Dengan demikian hegemoni
tadi menemukan momentum baru yang pada
gilirannya mempercepat proses globalisasi.[14]
Hegemoni ekonomi dan sains-teknologi jelas bukan pesoalan sederhana.
Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan hanya menghasilkan globalisasi ekonomi,
dan sains-teknologi, tetapi juga dalam bidang-bidang lain; intelektual, sosial,
nilai-nilai, gaya hidup, dst. Globalisasi CocaCola dan Mc Donald bukan sekedar ekspansi ekonomi, tetapi juga
gaya hidup dengan segala implikasinya. Globalisasi Mc Donald misalnya
menimbulkan perubahan dari pola jenis makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Perubahan ini pada gilirannya menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi
kesehatan masyarakat, penyakit-penyakit semacam kolesterol, obesse
(kegemukan).
Hal tersebut adalah salah satu contoh dampak dari arus globalisasi dari
Barat yang notabenenya masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan
junk food. Hal yang sama juga bisa dilihat pada hegemoni Barat pada sains
dan teknologi. Hegemoni barat dalam bidang telekomunikasi, misalnya telah
memunculkan globalisasi “kota segi empat” yang bernama televisi. Benda ini
sebagai produk sains-teknologi yang “bebas nilai” tetapi muatan yang dibawanya
tidak diragukan lagi sarat dengan nilai tertentu. Seperti ucapan ahli
telekomunikasi Marshall McLuhan: “Medium is the message” lalu yang
terjadi adalah “telenovelisasi” masyarakat muslim, dan masih banyak lagi acara
televisi dari Barat. Melalui program-program tersebut terjadi ekspansi dan
penetrasi nilai-nilai semacam
“keserbalonggaran” (permissivenes) hubungan antara laki-laki dan
perempuan, kehidupan yang serba materialistik, hedonistik, atau
kultur-kekerasan yang semua tidak cocok dengan nilai-nilai budaya dan agama
masyarakat Indonesia.
Perkembangan masyarakat pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak
mau akan menuju pada masyarakat informasi (informatical society),
sebagai bentuk dari globalisasi dan kelanjutan atau perkembangan dari
masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat memiliki ciri-ciri rasional,
berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandir dan
inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut telah cukup.[15] Pada
masyarakat informasi, manusia selain memiliki ciri-ciri masyarakat pada
umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu mampu menguasai dan mampu
mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba
ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi
peluang, dan menguasai kemampuan berbagai metode dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi.[16]
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh
pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era reformasi yang sanggup
bertahan hanya mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah
pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki
masyarakat modern. Dari keadaan ini semua masyarakat suatu bangsa dengan bangsa
yang lain menjadi satu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau
harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi
dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, prasarana, dll. Hal ini pada
gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.[17]
Dengan ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam, kita tidak
perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus globalisasi
yang terjadi saat ini. Islam selalu membuka diri terhadap seluruh warisan
peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh
warisan peradaban manusia, kami tidak membangun dari ruang hampa. Hal itu dapat
dipahami dari kandungan surat al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan untukmu nikmatKu, dan
telah ku ridhai Islam sebagai agama bagimu”[18]
kata telah kusempurnakan agamaKu mengandung arti bukan membuat baru atau
membangun dari ruang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada. Hal itu
dapat dilihat dari kenyataan sejarah. Semua agama dan peradaban mengalami
proses, meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang
sejarah.
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Islam bukanlah agama yang
tertutup. Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka, sebagai mata rantai
peradaban dunia. Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, dan
peradaban Persia, India dan Cina di Timur. Ketika abad 8 sampai 15 peradaban Barat dan
Timur tenggelam dan menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris
utamanya untuk kemudian diambil alih oleh Barat sekarang melalui renaisance.
Islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia.
Islam mengembangkan matematika India, ilmu kedoktean dari China, sistem pertahanan Sasanid, logika Yunani, dll. Namun dalam
proses penerimaanya itu terdapat dialektika internal. Misalnya untuk
bidang-bidang pengkajian tertentu Islam menolak bagian logika Yunani yang
rasional, diganti dengan cara berpikir intuitif yang menekankan rasa seperti
yang dikenal dalam tasawuf.[19]
Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa sejak kelahirannya
limabelas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama yang terbuka,
akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya.
Akan tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik,
perbaikan bahkan penolakan dengan cara-cara yang sangat simpatik dan tidak
menimbulkan gejolak sosial. Dengan sifat dan karakteristik ajaran Islam itu
melalui ilmu sosial yang berwawasan profetik sebagaimana yang disebutkan di
atas, Islam siap untuk memasuki era globalisasi.[20] Era
globalisasi yang ditandai dengan adanya perubahan di bidang ekonomi, teknologi,
sosial, informasi, dsb akan dapat diambil manfaat sebaik-baiknya dan dapat dibuang
hal-hal yang membahayakan.
B.
Pengaruh Globalisasi terhadap Pendidikan Islam
Globalisasi bagaikan mata pisau yang dapat
menghadirkan manfaat jika dipahami secara benar dan dapat menghadirkan dampak
negatif bila tidak dipahami secara benar. Diantara dampak negatif
dari globalisasi adalah sebagai berikut:
1. Pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang mempunyai nilai materi
(tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang rasional.
2. Jatuhnya manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material.
3. Peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi
wewenang sains (sekularistik).
4. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, tetapi tidak hadir dalam
perilaku dan tindakan.
5. Gabungan ikatan primordial dengan sistem politik melahirkan nepotisme,
birokratisme, dan otoriterisme.
6. Individualistic.
7. Terjadinya frustasi eksistensial seperti hasrat yang berlebihan untuk
berkuasa merasa hidupnya tidak bermakna.
8. Terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan
miskin, dan konsumeris.[21]
Globalisasi
telah mempengaruhi generasi muda Islam, terutama di negara-negara Timur Tengah
atau negara-negara Islam dan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Budaya konsumerisme, hedonisme, dan ketergantungan terhadap budaya Barat
menjadi fenomena baru bagi generasi muda Islam kita saat ini.
Globalisasi
juga sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan, baik tujuan,
proses, hubungan guru-murid, etika, metode ataupun yang lainnya. Dalam hal
tujuan, terdapat kecenderungan yang mengarah kepada materialisme. Demikian juga
dengan kurikulumnya, lebih mengarah pada bagaimana hal-hal yang materialistik
itu dapat dicapai. Dalam hal ini belajar lebih terfokus pada aspek penguasaan
ilmu (kognitif) belaka ketimbang bagaimana seorang siswa memiliki sikap yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sebagai dampak globalisasi, pendidikan Islam di zaman ini menghadapi
tantangan-tantangan yang serius. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya
adalah pertama, tentang orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan
(manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan
dan kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil
(out put). Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa
dilihat dari kualitas luaran (outputnya).[22]
Haidar Putra Daulay menjelaskan tantangan globalisasi bagi pendidikan
Islam yaitu masalah kualitas. Era global adalah era pesaing bebas. Maka akan
terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. Pertukaran manusia,
barang, jasa, teknologi dan lain-lain adalah hal yang dipersaingan dalam era
global ini. Untuk itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM
sangat penting untuk menentukan kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama.
Selain tantangan kualitas juga tantangan moral. Era globalisasi banyak
membawa dampak negatif. Dalam hal pergaulan,
tidak jarang kita ketahui dari berbagai media masa yang memperlihatkan kondisi
yang memprihatinkan, sebagai akibat dari penjajahan dari kebudayaan Barat yang mengumbar
pergaulan bebas. Demikian halnya dengan hubungan guru murid sering kita
dapatkan informasi dari media masa, yaitu dengan berlangsungnya hubungan bebas
guru dan murid, karena barter nilai. Kerap juga terdapat hubungan guru dengan
murid yang tidak harmonis akibat akhlak siswa terhadap guru yang kurang
menempatkan kedudukan guru pada posisi yang tepat.
Proses
globalisasi yang sedemikian berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan
identitas tradisional dan nilai-nilai agama, tentu saja tidak dapat dibiarkan
begitu saja. Kalangan agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus
merespons secara konstruktif terhadap berbagai persoalan yang ditimbulkan
sebagai akibat dan pengaruh globalisasi ini.
Bila dipelajari lebih jauh, globalisasi membawa
pengaruh terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu
penjajahan, baik positif maupun negatif. Pengaruh positif dari globalisasi
yaitu membantu/ mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara
teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material.
Dengan demikian tidak bisa kita pungkiri, juga bahwa globalisasi juga
memiliki manfaat bagi kehidupan umat manusia kita ketahuai bahwa
globalisasi juga erat kaitanya dengan era informasi dan teknologi canggih.
Era global /informasi menjadikan semua
transparan, apa yang terjadi di belahan dunia yang satu, di belahan dunia yang
lain dapat juga dengan cepat di ketahui hubungan seseorang dengan yang lainya,
tehnologi komunikasi menjadi sedemikian dekat gampang dan mudah, informasi
pengetahuan dan lain-lainya dengan mudah kita dapatkan dari berbagai media, seperti radio,
televisi, internet, koran, majalah dan lain sebagainya dengan
demikian banyak hal yang dapat mendorong pendidikan untuk meningkatkan kualitas dirinya baik dalam hal kelembagaan,
tujuan, kurikulum, metode, dan lain sebagainya.[23]
C. Problematika Pendidikan Islam
Di Era Globalisasi
Sebagai the agent of social change, pendidikan Islam dituntut untuk
mampu memainkan peran secara dinamis dan proaktif diantara belitan berbagai
persoalan besar, dihadapkan juga dengan tantangan prospek ke depan. Beberapa
problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan islam pada umumnya
setidaknya dapat diklasifikasikan dalam lima hal. Jika dianalisis, maka dapat
disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian yang saling
terkait. Persoalan tersebut adalah sebagai berikut:[24]
a. Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara ilmu Agama dengan ilmu Umum, antara wahyu dengan akal setara antara wahyu dengan alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung
sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan.
Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan
menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk
mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b. To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya
adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang
memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras
dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas kemampuan untuk
mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya
mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu
yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang
membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir
dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack of Spirit of Inquiry.
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat
kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The
Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, yang menganggap
rendahnya The Intelectual Spirit (semangat intelektual) menjadi
salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d. Memorisasi
Fazlurahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari
standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak
pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum
sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat
bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk
dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif
muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan
(memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan
bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar
karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al-’ilm, telah memberikan semangat di kalangan muslim untuk gigih mencari ilmu,
melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim
masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga
tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang
memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya
besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada
masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu
hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja,
sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.
D. Upaya Lembaga Pendidikan Islam
dalam Menghadapi Globalisasi
Globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin
untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus
dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti
yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam
rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan
kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal
sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi,
sehingga pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan besar bagi
pencapaian tahap tinggal landas.
Untuk lebih jelas dari upaya dan usaha itu kami uraikan sebagai berikut:
1. Sikap Kita Terhadap
Globalisasi
Dalam menyikapi isu globalisasi umat islam terbagi kedalam tiga
kelompok, yaitu yang menerima secara mutlak menolak sama sekali, dan
pertengahan yakni menyikapinya secara proposional.
Kelompok pertama, yakni orang yang
menerima secara mutlak adalah orang yang di sebutkan oleh rosulullah dalam
hadistnya bahwa mereka adalah mengikuti cara-cara dan ajaran-ajaran umat lain
sejengkal demi sejengkal, sehingga jika umat lain itu masuk ke lubang biawak mereka
akan mengikutinya inilah sikap para penyeru westnerisasi yang berlebihan
didunia arab da islam.
Kelompok kedua, orang yang menolak sama
sekali adalah yang menjahui hal-hal yang baru tidak peduli dengan dunia
pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya, mereka beruzlah dan menyingkir,
selain kelompok ini terdapat kelompok lain yang sering di sebut dengan
kelompk fudemintas, bedanya mereka tidak mengasingkan
diri, tetapi malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan yang mereka tentang
atau tolak.
Mereka menganggap bahwa globalisasi akan merusak sendi-sendi budaya islam yang telah
mereka jaga selama-bertahun-tahun, ke khawatiran mereka terletak pada westernisasi
dan pembaratan pada budaya setempat melalui arus globalisasi.
Kelompok ketiga, adalaah kelompok
pertengahan yakni yang menyikapinya secara proposianal, menurut Yusuf Qardhawi inilah sikap
yang baik sebagai cermin sebagai manhaj islam pertengahan. Inilah sikap orang
beriman yang mempunyai wawasan luas dan terbuka yang bangga dengan
identitasnya, faham tentang risalahnya, dan memegang teguh orisinalitasnya
tidak menghindar dari hal-hal yang baru dan tidak menerima secara berlebihan. Di antara sikap yang
tepat menghadapi globalisasi sebagaimana tersebut di atas adalah sikap proporsional, yakni tidak berlebihan
dalm menolak dan menerimanya, kita tentu dapat memilah milih mana yang di
anggap baik dan sesuai dengan ajaran islam dan mana yang tidak sesuai dengan
ajaran islam. Terhadap pengaruh yang baik,
tentu dengan senang hati dapatkah kita terima dan bahkan jika memungkinkan
mengembangkanya untuk mendapat mamfaat yang lebih baik.[25]
2. Sikap Pendidikan Islam Dalam Menghadapi
Globalisasi
Qodri Azizi mengatakan pada prinsipnya globalisasi mengadu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, transformasi
dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah
untuk dijangkau.[26] Dari
perkembangan yang cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa
berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula. Menurut Tim
penyusun IAIN Sunan Ampel, agar Islam dapat berarti bagi masyarakat global maka
Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam
yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegarahan hidup
modern. Kedua, menghadirkan Islam yang toleran terhadap manusia secara
keseluruhan agama apapun yang dianutnya. Ketiga, menampilkan visi Islam
yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Keempat, menampilkan Islam yang
mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu
pengetahuan dan etos pembangunan. Kelima, menampilkan revivalitas Islam
dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (in mard
ariented) yaitu membangun kesalehan, intrinsik dan esoteris daripada
intersifikasi ke luar (out wad oriented) yang lebih bersifat ekstrinsik
dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.[27]
Ketika berhadapan dengan ide-ide informasi dan polarisasi
ideologi dunia, terutama di dorong oleh kemajuan iptek modern, pendidikan islam
tidak terlepas dari berbagai tantangan. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan
dampak tersebut, pendidikan islam harus memiliki berbagi strategi, sebab agama
harus menjawab tantangan yang relatif dekat di hadapan kita dalam hal ini
urusan dunia. Selain berhubungan dengan urusan perakhiratan jadi harus di jawab
sejauh mana agama kini bisa menjawab tantangan kemajuan itu, iptek harus di
kuasai, tetapi kini tidak boleh di tinggalkan sehingga bisa membentuk
sumberdaya manusia yang handal menurut BPPN bahwa cara terbaik mengatasi
kemungkinan dampak nigatif adalah melalui peningkatan mutu pendidikan pada
umumnya dan pendidikan agama serta pendidikan moral pada khususnya pada dasaranya PPKn atau pendidikan kewarganegaraan,
dan agama sangat relevan untuk penanggulangan dampak negative dari
tekhnologi dan informasi, hanya saja untuk kondisi dalam era reformasi sekarang
ini di perlukan pengkajian ulang terhadap metode pengembangan dan pengajaranya
sehingga penanaman sikap maupun penghayatan nilai-nilai relegius akan
semakin menghasilkan perilaku yang lebih baik.[28]
Sedangkan lembaga yang sangat berperan dalam
tantangan itu adalah madrasah, madrasah menempati peran strategis bagi
pendidikan generasi muda umat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak
para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi
masyarakat di kemudian hari.
Dibandingkan dengan pendidikan di sekolah
umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja memberikan
pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan
agama, sehingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat
hidup bahagia di dunia dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya
pada ajaran agama) Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan
mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi
untuk bahagia di akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan
perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga
menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka
masuki. Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan
oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan
pembangunan bangsa.[29]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu
menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi
global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat
mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus
informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif.[30]
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era
global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada
bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro
pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini
termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya,
sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan
belajar di masyarakat (learning society), yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat
mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik
dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya
masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu
memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi,
politik dan kenegaraan secara simultan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi
pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia
global.[31]
Demi mewujudkan masyarakat madani, terdapat 10 prinsip
pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu:[32]
1. Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan
antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus
senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif
dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai
suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan
masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang
berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3. Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap
institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan
dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga,
dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan
fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari
pendidikan.
4. Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip
pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk
memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5. Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan
prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana
pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan
sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6. Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan
selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan
upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani
Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak
resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi
arah perubahan.
7. Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi
masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu
menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham
rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang
cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat
lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih
berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
8. Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta
didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang
umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk
kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan
pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk
pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan
dengan anak-anak di perkotaan.
9. Prinsip pendidikan multikultural. Sistem
pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural,
sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan
pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang
bersifat posetif dan konstruktif.
10. Pendidikan dengan prinsip global, artinya
pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi
masyarakat global.
Solusi pokok yang ditawarkan Rahman, pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan
dinamis dalam sinaran dan integrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosenya.
Dendam lama yang terus dilanggengkan serta penolakan kultur terhadap barat
secara membabibuta bukanlah sifat yang arif. Hal itu hanya akan menjadi
bumerang bagi pengembangan intelektual islam. Disinilah “sikap mental” kalangan
intelektual muslim perlu dikaji dan ditata kembali. Sikap ini bisa dikatakan
cukup moderat dan acceptable dikalangan muslim.[33] Beberapa
hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi:
1. Perlu segera
diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para
professional baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh
memiliki keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan
islam.
2. Perlu diciptakan iklim
yang kondusif untuk dapat kembali melahirkan para intelektual muslim yang
handal sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan islam dahulu.
3. Perlu dilakukan dialog
intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan,
menimba, dan jika perlu menyerap unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi
kemajuan pendidikan islam.
4. Perlu lebih dikembangkan
model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur
luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai islam ke dalam sistem
pendidikannya.[34]
BAB III
KESIMPULAN
Globalisasi
dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa
batas. Globalisasi mendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi
peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi
informasi. Secara lebih
jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan.
Globalisasi terhadap Pendidikan Islam memiliki dampak
yang positif dan juga dampak negatif. Dampak negatif diantaranya: Pemiskinan
nilai spiritual. ,materialisme, pergeseran peran agama, primordial yang melahirkan
nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme, individualistic, terjadinya
ketegangan-ketegangan, dan konsumerisme. Dampak positifnya: Penguasaan berbagi
pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang diperlukan untuk beberapa
perkembangan pada tingkat yang berbeda, dukungan mutu, melengkapi dan
menguntungkan supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara,
masyarakat, dan individu, menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui
berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan
lokal dan pertumbuhannya, mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama,
harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan
wilayah, dan memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong multi-budaya
kontribusi pada tingkat yang berbeda antar negara.
Problematika pendidikan Islam
di era globalisasi diantaranya: Dichotomic, To General
Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented. Pendidikan Islam di era globalisasi
ini harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya. Upaya lembaga dalam menghadapi globalisasi
diantaranya: Reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan
menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga
para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global
demokratis, Penataan
kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal sulam,
tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga
pendidikan Islam dapat mencapai tujuan mulianya.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami
A. Gani dan Zainal Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al-Alim Al-Quran
Dan Terjemahnnya Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung:
Al Mizan Publishing House, 2011.
Anshari, Endang Saifudin, Pokok-Pokok
Pikiran
tentang Islam, Jakarta: Usaha
Enterprise, 1976.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Bumi Aksara, 1989.
Azizy, Qodri
Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
__________________, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: Apollo.
Ismail
dkk, Paradigma
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah, Yogyakarta: Adicita, 2001.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung;
Al-Maarif, 1980.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Maarif, 1980.
Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 2003.
_____________, Paradigma
Pendidikan Islam, Jakarta: Grasindo,
2001.
_____________,Manajemen Pendidikan: Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1987.
Poeradisastra, Sumbangan
Islam terhadap Peradaban Modern, Jakarta: P3M, 1982.
Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2005.
Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2009.
Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.
Yasin, Ahmad Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press,
2008.
__________________, Pengembangan Sumber Daya Manusia di Lembaga Pendidikan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011.
[3] Yusuf Al- Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal
Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 157.
[4] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,
(Bandung; Al-Maarif, 1980), hal. 94.
[5]Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif,
1980), hal. 23.
[6]Endang Saifudin
Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang
Islam, (Jakarta: Usaha Enterprise, 1976),
hal. 85.
[7]Banking concept
of education (konsep pendidikan bank) adalah salah satu
istilah yang dikenalkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the oppressed,
(Penguin Books, 1987). Konsep ini merupakan suatu gejala
dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan muridnya sebagai tempat
penyimpanan --semacam bank-- yang kosong dan karenanya perlu diisi. Dalam proses semacam ini
murid tidak lebih sebagai gudang yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap
berada dalam kebodohan absolut (absolute ignorance), ini merupakan suatu
penindasan kesadaran manusia. Untuk membangkitkan kesadaran mereka yang
tertindas dalam kultur bisu (culture of silence) ini diperlukan conscientization
atau proses penyadaran.
[8]Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hal. 7.
[15] Deliar Noer, Pembanguna di Indonesia,
( Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
[18] Al-Alim
Al-Quran Dan Terjemahnnya Edisi Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Al Mizan
Publishing House, 2011), hal. 107.
[19]Poeradisastra, Sumbangan
Islam terhadap Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, 1982, hal. 123.
[22] Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
hal. 104-105.
[23] Haidar Putra Daulay dan
Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013 ), hal. 195-196.
[25] Ahmad Fatah
Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hal. 257-274.
[26] Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.
[28]Ahmad Fatah
Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusiadi Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 6-8.
[29]Wina Sanjaya, Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana,
2005), hal. 5.
[30]Abudin Nata, Manajemen
Pendidikan, Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor : Kencana, 2003) hal. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar