Selasa, 10 Januari 2017

GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini, masyarakat dunia diwarnai oleh globalisasi. Di era global ini, sekat ruang dan waktu seolah-olah tiada tampak. Jarak yang jauh terasa dekat. Disamping itu globalisasi juga bagaikan mata pisau yang dapat menghadirkan manfaat jika dipahami secara benar dan dapat menghadirkan dampak negatif bila tidak dipahami secara benar.
Diantara dampak negatif tersebut adalah terjadinya dislokasi, dehumanisasi, sekularisasi. Sementara dampak positifnya antara lain terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan baik dalam lingkungan ekonomi (eksonosfer), informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sosiosfer), dan psikologi (psikosfer).[1]
Adanya globalisasi akan berpengaruh pada suatu bangsa dan negara, masyarakat bahkan individu dalam masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan globalisasi pada suatu bangsa terjadi di berbagai bidang, antara lain: bidang agama, ekonomi, sosial budaya, keamanan, politik, pendidikan, dan lain sebagainya.
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era globalisasi  telah memberikan berbagai macam problem baik tentang bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer, televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi hal yang kompleks dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.[2]
Di era global seperti ini, dunia pendidikan Islam mau tak mau juga harus berdialektika dengan kondisi kemajuan yang ada. Pendidikan Islam harus menyadarkan umat Islam akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam arus modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan peranannya secara aktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi baru yang berarti bagi perbaikan umat Islam.
Selain berdialektika dengan kemajuan yang ada, pendidikan Islam juga tidak boleh lupa dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam harus mampu membentengi umat Islam dari pengaruh negatif globalisasi dan perkembangan teknologi yang ada, serta memaksimalkan pengaruh positifnya demi terwujudkan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Apa pengertian globalisasi dan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana problematika pendidikan Islam di era globalisasi?
4.      Bagaimana upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi globalisasi?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian globalisasi dan pendidikan Islam.
2.      Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
3.      Mengetahui problematika pendidikan Islam di era globalisasi.
4.      Mengetahui upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi dampak dari globalisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.      Pengertian Pendidikan  Islam
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan Islam, menurut M. Yusuf Qardhawi, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[3] Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselenggarakan degan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[4]
Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui proses dimana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tegasnya, senada dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[5]
Semua pengertian di atas lebih global sifatnya dan secara lebih teknis Endang Saifudin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, kemauan, perasaan, kemauan, intuisi, dll), dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[6]
Dari semua pengertian tersebut terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka anak didik memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Di sini, guru lebih berfungsi sebagai “fasilitator” atau petunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik. Dengan demikian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong dan perlu diisi. Dengan kerangka dasar pemikiran seperti ini, maka guru menghormati peserta didik sebagai individu yang memiliki berbagai potensi. Dari kerangka pengertian dan hubungan antara pendidik dan peserta didik semacam ini, dapat pula sekaligus dihindari, apa yang disebut “banking concept[7] dalam pendidikan, yang banyak dikritik dewasa ini.[8]
Begitu juga tentang lembaganya, masih terdapat perbedaan pendapat dalam  menetapkan mana yang  layak di sebut lembaga pendidikan Islam,  hal  tersebut sudah tentu tidak lepas dari kenyataan, bahwa di Indonesia terdapat dua model yang selama ini di katakan sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pertama, dikelola pihak pemerintah yang mana semua system dan peraturan yang ada sepenuhnya menurut pemerintah Yang kedua, di organisasikan oleh masyarakat dan format pelaksaanya juga di rancang sendiri, namun  tidak lepas dari undang undang atau peraturan pemerintah dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.[9]
Namun secara umum, pengertian dari Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan  yang mencakup seluruh aspek  kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[10]

2.      Pengertian Globalisasi
Menurut bahasa, global ialah seluruhnya, menyeluruh.[11] Sedangkan globalisasi ialah pengglobalan secara keseluruhan aspek kehidupan, perwujudan (peningkatan/perubahan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan. Kemudian membaca pengertian secara luas globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju  seperti halnya Amerika, Eropa dan Jepang, yang telah  melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominasi dan merubah  dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer, ekonomi, dan pendidikan itu sendiri, di Indonesia pada khususnya.
Menurut David Held dan Anthony Mc Grew, tidak ada definisi globalisasi yang tepat yang di sepakati bersama. Globalisasi dapat di pahami dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruangan waktu yang menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit, perbedaanya hanya terletak pada penekanan dari sudut pandang  material, ruangan dan waktu, serta aspek-aspek kognitif dari globalisasi, dari sudut peristilahan kata globalisasi sebenarnya masih mengalami problem karena  realitas serta subyektifitas pemakaian kata tersebut, namun globalisasi secara sederhana dapat di tunjukkan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dari arus dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial.[12]
Sementara itu menurut sebagian orang, globalisasi adalah menghilangkan dinding dan jarak antara satu bangsa lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan keluarga dunia. Sebagian lain mengatakan globalisasi ialah mengubah dunia menjadi perkampungan dunia, hal ini sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi. 
Era globalisasi dewasa ini dan di masa mendatang sedang akan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk pesantren khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetetif di masa kini abad 21.
Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat muslim Indonesia. Perbentukan dan perkembangan masyarakat muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu ke waktu. Sumber globalisasi adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula Makkah, Madinah dan juga akhir abad 19 dan awal abad 20 juga Kairo. Karena itu, globalisasi ini bersifat religio-intelektual, meski dalam kurun waktu tertentu juga diwarnai oleh semangat religio-politik.[13]
Tetapi, globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber atau watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber dari Timur Tengah melainkan dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai wilayah kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat tampil dengan watak ekonomi-politik dan sains-teknologi. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot” khususnya sejak berakhirnya perang dunia kedua. Tetapi hegemoni ekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa beberapa kekuatan ekonomi baru seperti Jepang, dan Korea Selatan, tetapi “kultur” hegemoni ekonomi dan sains-teknologi tetap sarat dengan nilai barat. Dengan demikian hegemoni tadi  menemukan momentum baru yang pada gilirannya mempercepat proses globalisasi.[14]
Hegemoni ekonomi dan sains-teknologi jelas bukan pesoalan sederhana. Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan hanya menghasilkan globalisasi ekonomi, dan sains-teknologi, tetapi juga dalam bidang-bidang lain; intelektual, sosial, nilai-nilai, gaya hidup, dst. Globalisasi CocaCola dan Mc Donald bukan sekedar ekspansi ekonomi, tetapi juga gaya hidup dengan segala implikasinya. Globalisasi Mc Donald misalnya menimbulkan perubahan dari pola jenis makanan yang dikonsumsi masyarakat. Perubahan ini pada gilirannya menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kesehatan masyarakat, penyakit-penyakit semacam kolesterol, obesse (kegemukan).
Hal tersebut adalah salah satu contoh dampak dari arus globalisasi dari Barat yang notabenenya masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan junk food. Hal yang sama juga bisa dilihat pada hegemoni Barat pada sains dan teknologi. Hegemoni barat dalam bidang telekomunikasi, misalnya telah memunculkan globalisasi “kota segi empat” yang bernama televisi. Benda ini sebagai produk sains-teknologi yang “bebas nilai” tetapi muatan yang dibawanya tidak diragukan lagi sarat dengan nilai tertentu. Seperti ucapan ahli telekomunikasi Marshall McLuhan: “Medium is the message” lalu yang terjadi adalah “telenovelisasi” masyarakat muslim, dan masih banyak lagi acara televisi dari Barat. Melalui program-program tersebut terjadi ekspansi dan penetrasi  nilai-nilai semacam “keserbalonggaran” (permissivenes) hubungan antara laki-laki dan perempuan, kehidupan yang serba materialistik, hedonistik, atau kultur-kekerasan yang semua tidak cocok dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Indonesia.
Perkembangan masyarakat pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju pada masyarakat informasi (informatical society), sebagai bentuk dari globalisasi dan kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandir dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut telah cukup.[15] Pada masyarakat informasi, manusia selain memiliki ciri-ciri masyarakat pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu mampu menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.[16]
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era reformasi yang sanggup bertahan hanya mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki masyarakat modern. Dari keadaan ini semua masyarakat suatu bangsa dengan bangsa yang lain menjadi satu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, prasarana, dll. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.[17]
Dengan ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam selalu membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia, kami tidak membangun dari ruang hampa. Hal itu dapat dipahami dari kandungan surat al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan untukmu nikmatKu, dan telah ku ridhai Islam sebagai agama bagimu”[18] kata telah kusempurnakan agamaKu mengandung arti bukan membuat baru atau membangun dari ruang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan sejarah. Semua agama dan peradaban mengalami proses, meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah.
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Islam bukanlah agama yang tertutup. Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka, sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, dan peradaban Persia, India dan Cina di Timur. Ketika abad 8 sampai 15 peradaban Barat dan Timur tenggelam dan menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil alih oleh Barat sekarang melalui renaisance. Islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia.
Islam mengembangkan matematika India, ilmu kedoktean dari China, sistem pertahanan Sasanid, logika Yunani, dll. Namun dalam proses penerimaanya itu terdapat dialektika internal. Misalnya untuk bidang-bidang pengkajian tertentu Islam menolak bagian logika Yunani yang rasional, diganti dengan cara berpikir intuitif yang menekankan rasa seperti yang dikenal dalam tasawuf.[19]
Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa sejak kelahirannya limabelas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama yang terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Akan tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan bahkan penolakan dengan cara-cara yang sangat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial. Dengan sifat dan karakteristik ajaran Islam itu melalui ilmu sosial yang berwawasan profetik sebagaimana yang disebutkan di atas, Islam siap untuk memasuki era globalisasi.[20] Era globalisasi yang ditandai dengan adanya perubahan di bidang ekonomi, teknologi, sosial, informasi, dsb akan dapat diambil manfaat sebaik-baiknya dan dapat dibuang hal-hal yang membahayakan.

B.     Pengaruh Globalisasi terhadap Pendidikan Islam
Globalisasi bagaikan mata pisau yang dapat menghadirkan manfaat jika dipahami secara benar dan dapat menghadirkan dampak negatif bila tidak dipahami secara benar. Diantara dampak negatif dari globalisasi adalah sebagai berikut:
1.      Pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang mempunyai nilai materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang rasional.
2.      Jatuhnya manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material.
3.      Peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi wewenang sains (sekularistik).
4.      Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan tindakan.
5.      Gabungan ikatan primordial dengan sistem politik melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme.
6.      Individualistic.
7.      Terjadinya frustasi eksistensial seperti hasrat yang berlebihan untuk berkuasa merasa hidupnya tidak bermakna.
8.      Terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, dan konsumeris.[21]

Globalisasi telah mempengaruhi generasi muda Islam, terutama di negara-negara Timur Tengah atau negara-negara Islam dan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Budaya konsumerisme, hedonisme, dan ketergantungan terhadap budaya Barat menjadi fenomena baru bagi generasi muda Islam kita saat ini.
Globalisasi juga sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan, baik tujuan, proses, hubungan guru-murid, etika, metode ataupun yang lainnya. Dalam hal tujuan, terdapat kecenderungan yang mengarah kepada materialisme. Demikian juga dengan kurikulumnya, lebih mengarah pada bagaimana hal-hal yang materialistik itu dapat dicapai. Dalam hal ini belajar lebih terfokus pada aspek penguasaan ilmu (kognitif) belaka ketimbang bagaimana seorang siswa memiliki sikap yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. 
Sebagai dampak globalisasi, pendidikan Islam di zaman ini menghadapi tantangan-tantangan yang serius. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya adalah pertama, tentang orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan (manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil (out put). Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari kualitas luaran (outputnya).[22]
Haidar Putra Daulay menjelaskan tantangan globalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. Era global adalah era pesaing bebas. Maka akan terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. Pertukaran manusia, barang, jasa, teknologi dan lain-lain adalah hal yang dipersaingan dalam era global ini. Untuk itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM sangat penting untuk menentukan kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama.
Selain tantangan kualitas juga tantangan moral. Era globalisasi banyak membawa dampak negatif. Dalam hal pergaulan, tidak jarang kita ketahui dari berbagai media masa yang memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan, sebagai akibat dari penjajahan dari kebudayaan Barat yang mengumbar pergaulan bebas. Demikian halnya dengan hubungan guru murid sering kita dapatkan informasi dari media masa, yaitu dengan berlangsungnya hubungan bebas guru dan murid, karena barter nilai. Kerap juga terdapat hubungan guru dengan murid yang tidak harmonis akibat akhlak siswa terhadap guru yang kurang menempatkan kedudukan guru pada posisi yang tepat. 
Proses globalisasi yang sedemikian berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama, tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kalangan agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus merespons secara konstruktif terhadap berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat dan pengaruh globalisasi ini. 
Bila dipelajari lebih jauh, globalisasi membawa pengaruh terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan, baik positif maupun negatif. Pengaruh positif dari globalisasi yaitu membantu/ mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material.
Dengan demikian tidak bisa kita pungkiri,  juga bahwa globalisasi juga memiliki manfaat  bagi  kehidupan umat manusia kita ketahuai bahwa globalisasi juga erat kaitanya dengan era informasi dan teknologi canggih.
Era global /informasi menjadikan semua transparan, apa yang terjadi di belahan dunia yang satu, di belahan dunia yang lain dapat juga dengan cepat di ketahui hubungan seseorang dengan yang lainya, tehnologi komunikasi menjadi sedemikian dekat gampang dan mudah, informasi pengetahuan dan lain-lainya  dengan mudah kita dapatkan dari berbagai media, seperti radio, televisi, internet, koran, majalah dan lain sebagainya dengan demikian banyak hal yang dapat mendorong pendidikan untuk meningkatkan kualitas dirinya baik dalam hal kelembagaan, tujuan, kurikulum, metode, dan lain sebagainya.[23]

C.   Problematika Pendidikan Islam Di Era Globalisasi
Sebagai the agent of social change, pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan peran secara dinamis dan proaktif diantara belitan berbagai persoalan besar, dihadapkan juga dengan tantangan prospek ke depan. Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan islam pada umumnya setidaknya dapat diklasifikasikan dalam lima hal. Jika dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian yang saling terkait. Persoalan tersebut adalah sebagai berikut:[24]
a.       Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara ilmu Agama dengan ilmu Umum, antara wahyu dengan akal setara antara wahyu dengan alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.      To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c.       Lack of Spirit of Inquiry.
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, yang menganggap rendahnya The Intelectual Spirit (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d.      Memorisasi
Fazlurahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e.       Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al-ilm, telah memberikan semangat di kalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.

D.    Upaya Lembaga Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar  modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat memberikan  sumbangan besar bagi pencapaian tahap tinggal landas.
Untuk lebih jelas dari upaya dan usaha itu kami uraikan sebagai berikut:
1.      Sikap Kita Terhadap  Globalisasi
Dalam menyikapi isu globalisasi umat islam terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu yang menerima secara mutlak menolak sama sekali, dan pertengahan yakni menyikapinya secara proposional.
Kelompok pertama, yakni orang yang menerima secara mutlak adalah orang yang di sebutkan oleh rosulullah dalam hadistnya bahwa mereka adalah mengikuti cara-cara dan ajaran-ajaran umat lain sejengkal demi sejengkal, sehingga jika umat lain itu masuk ke lubang biawak mereka akan mengikutinya inilah sikap para penyeru westnerisasi yang berlebihan didunia arab da islam.
Kelompok kedua, orang yang menolak sama sekali adalah yang menjahui hal-hal yang baru tidak peduli dengan dunia pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya, mereka beruzlah dan menyingkir, selain kelompok ini terdapat kelompok lain yang sering di sebut dengan kelompk fudemintas,  bedanya mereka tidak mengasingkan diri, tetapi malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan yang mereka tentang atau tolak.
Mereka menganggap bahwa globalisasi akan merusak sendi-sendi budaya islam yang telah mereka jaga selama-bertahun-tahun, ke khawatiran mereka terletak pada westernisasi dan pembaratan pada budaya setempat melalui arus globalisasi.
Kelompok ketiga, adalaah kelompok pertengahan yakni yang menyikapinya secara proposianal, menurut Yusuf Qardhawi  inilah sikap yang baik sebagai cermin sebagai manhaj islam pertengahan. Inilah sikap orang beriman yang mempunyai wawasan luas dan terbuka yang bangga dengan identitasnya, faham tentang risalahnya, dan memegang teguh orisinalitasnya tidak menghindar dari hal-hal yang baru dan tidak menerima secara berlebihan. Di antara sikap yang tepat menghadapi globalisasi sebagaimana tersebut di atas adalah sikap proporsional, yakni tidak berlebihan dalm menolak dan menerimanya, kita tentu dapat memilah milih mana yang di anggap baik dan sesuai dengan ajaran islam dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Terhadap pengaruh yang baik, tentu dengan senang hati dapatkah kita terima dan bahkan jika memungkinkan mengembangkanya untuk mendapat mamfaat yang lebih baik.[25]

2.      Sikap Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Globalisasi
Qodri Azizi mengatakan pada prinsipnya globalisasi mengadu pada perkembangan-perkembangan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah untuk dijangkau.[26] Dari perkembangan yang cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula. Menurut Tim penyusun IAIN Sunan Ampel, agar Islam dapat berarti bagi masyarakat global maka Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegarahan hidup modern. Kedua, menghadirkan Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun yang dianutnya. Ketiga, menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Keempat, menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan dan etos pembangunan. Kelima, menampilkan revivalitas Islam dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (in mard ariented) yaitu membangun kesalehan, intrinsik dan esoteris daripada intersifikasi ke luar (out wad oriented) yang lebih bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.[27]
Ketika berhadapan dengan ide-ide informasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama di dorong oleh kemajuan iptek modern, pendidikan islam tidak terlepas dari berbagai tantangan. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan dampak tersebut, pendidikan islam harus memiliki berbagi strategi, sebab agama harus menjawab tantangan yang relatif dekat di hadapan  kita dalam hal ini urusan dunia. Selain berhubungan dengan urusan perakhiratan jadi harus di jawab sejauh mana agama kini bisa menjawab tantangan kemajuan itu, iptek harus di kuasai, tetapi kini tidak boleh di tinggalkan sehingga bisa membentuk sumberdaya manusia yang handal menurut BPPN bahwa cara terbaik mengatasi kemungkinan dampak nigatif adalah melalui peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama serta pendidikan moral pada khususnya pada dasaranya PPKn atau pendidikan kewarganegaraan, dan  agama sangat relevan untuk penanggulangan dampak negative dari tekhnologi dan informasi, hanya saja untuk kondisi dalam era reformasi sekarang ini di perlukan pengkajian ulang terhadap metode pengembangan dan pengajaranya sehingga penanaman sikap maupun penghayatan nilai-nilai  relegius akan semakin menghasilkan perilaku yang lebih baik.[28]
Sedangkan lembaga yang sangat berperan dalam tantangan itu adalah madrasah, madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda umat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari.
Dibandingkan dengan  pendidikan di sekolah  umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama, sehingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum  mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.[29]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif.[30]
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya, sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society), yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia global.[31]
Demi mewujudkan masyarakat madani, terdapat 10 prinsip pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu:[32]
1.      Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
2.      Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3.      Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan.
4.      Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5.      Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6.      Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
7.      Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
8.      Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan.
9.      Prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
10.  Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.

Solusi pokok yang ditawarkan Rahman, pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan integrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosenya. Dendam lama yang terus dilanggengkan serta penolakan kultur terhadap barat secara membabibuta bukanlah sifat yang arif. Hal itu hanya akan menjadi bumerang bagi pengembangan intelektual islam. Disinilah “sikap mental” kalangan intelektual muslim perlu dikaji dan ditata kembali. Sikap ini bisa dikatakan cukup moderat dan acceptable dikalangan muslim.[33] Beberapa hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi:
1.      Perlu segera diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para professional baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh memiliki keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan islam.
2.      Perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk dapat kembali melahirkan para intelektual muslim yang handal sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan islam dahulu.
3.      Perlu dilakukan dialog intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan, menimba, dan jika perlu menyerap unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi kemajuan pendidikan islam.
4.      Perlu lebih dikembangkan model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai islam ke dalam sistem pendidikannya.[34]


BAB III
KESIMPULAN

Globalisasi dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa batas. Globalisasi mendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi.  Secara lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan.
Globalisasi terhadap Pendidikan Islam memiliki dampak yang positif dan juga dampak negatif. Dampak negatif diantaranya: Pemiskinan nilai spiritual. ,materialisme, pergeseran peran agama, primordial yang melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme, individualistic, terjadinya ketegangan-ketegangan, dan konsumerisme. Dampak positifnya: Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang diperlukan untuk beberapa perkembangan pada tingkat yang berbeda, dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara, masyarakat, dan individu, menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya, mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama, harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan wilayah, dan memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar negara.
Problematika pendidikan Islam di era globalisasi diantaranya: Dichotomic, To General Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented. Pendidikan Islam di era globalisasi ini harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya. Upaya lembaga dalam menghadapi globalisasi diantaranya: Reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis, Penataan kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat mencapai tujuan mulianya.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Al-Alim Al-Quran Dan Terjemahnnya Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Al Mizan Publishing House, 2011.

Anshari, Endang Saifudin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Enterprise, 1976.

Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Bumi Aksara, 1989.

Azizy, Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

__________________, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: Apollo.

Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita, 2001.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung; Al-Maarif, 1980.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif, 1980.

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 2003.

_____________, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Grasindo, 2001.

_____________,Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.

Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1987.

Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Peradaban Modern, Jakarta: P3M, 1982.

Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2005.

Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009.

Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.

Yasin, Ahmad Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

__________________, Pengembangan Sumber Daya Manusia di Lembaga Pendidikan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011.




[1] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 115.
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 78.
[3] Yusuf Al- Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 157.
[4] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung; Al-Maarif, 1980), hal. 94. 
[5]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1980), hal. 23. 
[6]Endang Saifudin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha Enterprise, 1976), hal. 85.
[7]Banking concept of education (konsep pendidikan bank) adalah salah satu istilah yang dikenalkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the oppressed, (Penguin Books, 1987). Konsep ini merupakan suatu gejala dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan muridnya sebagai tempat penyimpanan --semacam bank-- yang kosong dan karenanya perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid tidak lebih sebagai gudang yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (absolute ignorance), ini merupakan suatu penindasan kesadaran manusia. Untuk membangkitkan kesadaran mereka yang tertindas dalam kultur bisu (culture of silence) ini diperlukan conscientization  atau proses penyadaran.
[8]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 7.
[9]Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal. 1.
[10]M. Arifin, MED, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Bumi Aksara, 1989), hal. 24.
[11]Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Apollo), hal. 175.
[12] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan…, hal. 183.
[13] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hal. 43.
[14]Ibid., hal. 44.
[15]  Deliar Noer, Pembanguna di Indonesia, ( Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
[16] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 81.
[17] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 82.
[18] Al-Alim Al-Quran Dan Terjemahnnya Edisi Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Al Mizan Publishing House, 2011), hal. 107.
[19]Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, 1982, hal. 123.
[20]Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan…, hal. 127.
[21]Tim Penyusun,  Pengantar Studi Islam. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009), hal. 235.
[22] Haidar Putra Daulay,  Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 104-105.
[23] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013 ), hal. 195-196. 
[24] Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 279-287.
[25] Ahmad Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang  Press, 2008), hal. 257-274.
[26] Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.
[27]Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam.,,, hal. 236-237.
[28]Ahmad Fatah Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusiadi Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 6-8.
[29]Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 5.  
[30]Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor : Kencana, 2003) hal. 78.
[31]Ibid., hal. 80.
[32] Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 290.
[33] Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 290.
[34] Ibid., hal. 292.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar