Selasa, 10 Maret 2015

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK, KOGNITIF, HUMANISTIK DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pendidikan, pada kegiatan belajar mengajar di sekolah, penyampaian materi pelajaran kepada siswa tidak terlepas dari teori belajar. Hal ini penting untuk memberikan pondasi pemahaman siswa dalam mempelajari materi selanjutnya yang lebih mendalam. Belajar adalah suatu perubahan dalam diri siswa yang disebabkan oleh pengalaman. Teori belajar dimunculkan oleh para psikolog pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan untuk menjelaskan proses belajar secara menyeluruh.[1]
Belajar terjadi dengan banyak cara. Masalah yang terjadi sekarang ini adalah kesulitan mengatasi siswa yang tidak mau belajar. Padahal tanggung jawab guru adalah membantu siswa belajar. Tujuan pendidikan yang dipilih guru, prosedur pelajaran, pengorganisasian kelas, merupakan proses belajar-mengajar. Pandangan guru tentang peranan pengajaran mereka dapat berdampak positif terhadap pengajaran. Melalui sejarah pendidikan, pengajaran telah berubah. Banyakteori belajar yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teori tersebut mempunyai pengaruh dan implikasi yang berbeda-beda dalam penerapannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan aplikasinya dalam pendidikan agama Islam.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah adalah:
1.      Bagaimana deskripsi teori belajar tingkah laku, kognitif, dan humanistik?
2.      Bagaimana penerapan teori belajar behavioristik, kognitif, dan humanistik dalam pembelajaran?
3.      Bagaimana aplikasi teori belajar behavioristik, kognitif, dan humanistik dalam Pendidikan Agama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Belajar Pendekatan Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik
Teori belajar adalah seperangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan mengenai belajar. Aplikasi teori belajar dalam situasi pembelajaran membutuhkan kejelian dan kecermatan guru untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam teori belajar.[2]Ada tiga teori belajar yaitu teori belajar behavioristik, kognitif, dan humanistik.
1.      Teori Belajar Pendekatan Behavioristik (Tingkah laku)
Pandangan tentang belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar yaitu perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Tokohnya antara lain:
a.       Edward Lee Thorndike (The Law of  Effect)
Belajar adalah hubungan antara stimulus (pikiran, perasaaan, gerakan) dan respons (pikiran, perasaan, gerakan). Apabila respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons semakin kuat dan sebaliknya.[3]Perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang dapat dan tidak bisa diamati.[4]
Faktor penting yang mempengaruhi semua belajar adalah pernyataan kepuasan dari suatu kejadian. Ia menghapuskan bagian negatif yang mengganggu dari hukum pengaruh (law of effect) karena dia menemukan bahwa hukuman tidak penting. Hukuman akan memperlemah ikatan dan tidak mempunyai effect apa-apa berbeda dengan hadiah (reward).
Teori belajarnya mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran umum bagi guru adalah tahu apa yang hendak diajarkan, respons apa yang diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat. Ia menunjukan satu ikatan antara stimulus dan respons yang terjadi dalam matematika. Ulangan yang tetap dari tabel perkalian dengan memberikan hadiah dari guru akan membentuk ikatan antara stimulus (berapa 7x7)  dan respons (49) dalam membaca ulangan juga ditekankan dengan menyuruh siswa belajar menggunakan kata sesering mungkin pada berbagai tingkat kelas.
Hukum pengaruh mengarah pada pemberian hadiah yang konkret, seperti gambar bintang yang ditempelkan pada papan kelas (untuk siswa siswa TK dan SD) pada kertas hasil ulangan siswa, pujian verbal. Hukum latihan mengarah pada banyaknya ulangan, praktik dan dril untuk semua mata pelajaran.
b.    Ivan Pavlow (classic conditioning: pengkondisian klasik)
Teori ini adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Stimulus yang diadakan selalu disertai dengan stimulus penguat. Stimulus tadi, cepat atau lambat akan menimbulkan respons atau perubahan yang dikendaki.[5]
c.    Watson
Menurutnya, stimulus dan respons harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati. Ia mengabaikan perubahan mental yang terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Perubahan mental juga penting bagi siswa tetapi perubahan itu tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Ia tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, tetapi mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting.[6]
Belajar adalah suatu proses dari respons melalui pergantian dari suatu stimulus kepada yang lain. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi emosi, ketakutan, cinta, dan marah.[7] Semua tingkah laku dikembangkan oleh pembentukan hubungan stimulus dan respons baru melalui pengkondisian.
d.      Clark Hull
Ia menganggap bahwa tingkah laku berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidupnya sehingga kebutuhan biologis dan pemuasan menempati posisi sentral. Kebutuhan ini dikonsepkan sebagai dorongan (lapar, haus, tidur, hilang rasa nyeri dll). Stimulus dikaitkan dengan kebutuhan biologis yang dikaitkan dengan respon yang bermacam-macam bentuknya.[8]
e.       Edwin Guthrie
Belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar, oleh karena iu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Suatu respons akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Ia menganggap bahwa hukuman pada saat yang tepat memiliki peran penting dalam proses belajar karena akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.[9]
f.       Burrhus Frederic Skinner1904 (Pembiasaan Perilaku Respons)
Tingkah laku terbentuk dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri. Sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat.[10] Teori ini menyatakan bahwa anak manusia lahir tanpa warisan (kecerdasan, bakat, perasaan dll). Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. individu bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu dididik.[11]
Skinner memandang hadiah atau penguatansebagai unsur yang paling penting dalam proses belajar.[12] Manusia cenderung untuk belajar suatu respons jika segara diikuti penguatan. Ia memilih istilah penguatan daripadahadiah karena hadiah diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang dihubungkan dengan kesenangan, sedangkan penguatan adalah istilah yang netral.[13]
Ia memusatkan hubungan antar tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu diikuti oleh konsekuensi menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku sering disebut operant conditioning.[14]
Ia tidak menggunakan perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku yang akan membuat masalah menjadi rumit karena alat itu harus dijelaskan lagi. Sebagai contoh siswa berprestasiburuk karena mengalami frustasi. Hal itu akan menimbulkan pertanyaan apa itu frustasi yang akan memerlukan penjelasan lain.[15]
Kelemahan dan kekuatan teori behavioristik ini adalah proses belajar:
a.       “dapat diamati secara langsung padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
b.      bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki kemampuan mengarahkan diri dan pengendalian diri yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak mengendaki, misal ia lelah dengan kata hati.
c.       manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan”.[16]
d.      “usaha-usaha mengubah perilaku mengabaikan faktor-faktor kognitif yang potensial mengganggu proses belajar. Untuk siswa yang pengetahuan atau kemampuan kognitifnya lemah, harus menggunakan strategi belajar mengajar pada teori kognitif.
e.       penguatan yang diberikan karena menyelesaikan tugas-tugas akademis yang bisa mendorong siswa untuk melakukannya lebih cepat dan bagus.
f.       penguatan ekstrinsik terhadap sebuah aktivitas yang dianggap siswa sudah menguatkan secara intrinsik akan mengurangi kesenangan siswa terhadap kegiatan tersebut. Ketika siswa mengerjakan tugas yang sulit, guru memberikan dorongan agar siswa mengerjakan dengan baik tetapi siswa akan merasakan kebosanan”.[17]
2.      Teori Belajar Pendekatan Kognitif
Teori ini lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Hal ini terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai siswa. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang siswa melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini mengalir, sambung-menyambung dan menyeluruh. Para ahli teori ini adalah:
a.       Piaget (1975)
Ia menganggap bahwa proses belajar terdiri dari tiga tahapan yaitu:
1)      Asimilasi, proses penyatuan dan pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2)      Akomodasi, penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru.
3)      Equilibrasi (penyeimbangan), penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Ia membaginya menjadi empat tahap yaitu tahap sensori-motor (1,5 sampai 2 tahun), Tahap pra-operasional (2,3 dampai 7,8 tahun), tahap operasional konkret (7,8 sampai 12,13,14 tahun), tahap operasional formal (14 tahun atau lebih).Semakin tinggi tingkat kognitif sesorang, semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru harus memahami tahap perkembangan siswa serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahapan itu sehingga tidak menyulitkan siswa.[18]
b.      Ausubel (1968)
Menurutnya siswa akan belajar dengan baik apabila pengatur kemajuan belajar didefiniskan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa.  Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan oleh siswa.
Pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik sehingga guru akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inkusif, untuk diajarkan pada siswa. Logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin agar tidak kesulitan memilah materi pelajaran serta mengurutkan materi demi materi kedalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.[19]
c.     Bruner (Teori free discovery learning)
Teori ini adalah proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suau aturan  (konsep, teori definisi dll) melalui contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
Ia memandang bahwa teori belajar bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran bersifat preskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimal anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaiman cara mengajarkan penjumlahan.[20]
Tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi.[21]Pandangan kognitif melihat belajar sebagai suatu yang aktif. Mereka berinisiatif mencari pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai belajaran baru.[22]
3.      Teori Belajar Pendekatan Humanistik
Psikologi humanistik berusaha memahami tingkah laku individu dari sudut pandang pelaku, bukan dari pengamat. Menurut aliran ini tingkah laku individu ditentukan oleh individu itu sendiri.[23] Proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini menekankan pada isi dan proses belajar dan pada kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan  proses belajar dalam bentuk yang paling ideal.Teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar apa adanya yang biasa kita amati dalam dunia keseharian.
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa harus berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.[24]
Pendidik harus memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affective) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.[25]Pendekatan humanistik pada umumnya mempunyai pandangan yang ideal yang lebih manusiawi, pribadi, dan berpusat pada siswa yang menolak terhadap pendidikan tradisional yang lebih berpusat pada guru.Para ahli teori belajar pendekatan ini yaitu:
a.       Arthur Combs
Tokoh ini menjelaskan bagaimana persepsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya.[26]
b.      Maslow
Tokoh ini berpendapat bahwa ada hierarki kebutuhan manusia. Kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting. Jika manusia secara fisik terpernuhi kebutuhannya dan merasa aman, mereka akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri. Jika kebutuhan ini terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektual, penghargaan estetis, dan akhirnya self-actualization.[27]
c.       Rogers
Melalui bukunya Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80’s, menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal, dan berarti. Prinsip-prinsip penting belajar humanistik menurut Rogers[28] yaitu keinginan untuk belajar (The Desire to Learn),belajar secara signifikan (Significant Learning), belajar tanpa ancaman (Learning Without Threat), belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated Learning), belajar dan berubah (Learning and Change).
d.      Bloom dan Krathwohl
Mereka membagi penguasaan siswa dalam belajar menjadi tiga:
1)      Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan, yaitu: pengetahuan (mengingat dan menghafal), pemahaman (menginterpretasikan), aplikasi (penggunaan konsep untuk memecahkan masalah), analisis (menjabarkan suatu konsep), sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu kesatuan yang utuh), evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan lain-lain).
2)      Afektif yang terdiri dari lima tingkatan, yaitu pengenalan (ingin menerima dan sadar akan adanya sesuatu), merespons (aktif berpartisipasi), penghargaan (menerima nilai-nilai dan setia kepada nilai-nilai tertentu), mengorganisasian yaitu menghubungkan nilai yang dipercaya), pengamalan (menjadikan nilai sebagai bagian pola hidupnya).
3)      Psikomotor yaitu peniruan(menirukan gerak), penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), ketepatan (melakukan gerak dengan benar), perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus), naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
Taksonomi Bloom ini berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar untuk mengembangkan teori belajar dan pembelajaran. Taksonomi ini banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Teori ini dijadikan pedoman untuk membuat butir soal ujian.[29]
e.       Kolb
Iamembagi tahapan belajar menjadi empat tahapan yaitu:
1)      Pengalaman konkret. Pada tahap pertama dan paling dini ini, siswa hanya mampu mengalami suatu kejadian.
2)      Pengamatan aktif dan reflektif. Pada tahap kedua ini, siswa mampu mengadakan observasi aktif dan memahami terhadap kejadian itu.
3)      Konseptualisasi. Tahap ketiga ini, siswa mulai belajar membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal yang pernah diamatinya.
4)      Eksperimentasi aktif. Pada tahap akhir ini, siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Siklus belajar semacam ini terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa sehingga sulit ditentukan kapan beralihnya, tetapi ada garis tegas antara tahap satu dengan tahap lain.[30]
f.       Honey dan Mumford
Mereka membagi tipe siswa menjadi empat macam:
1)      Siswa tipe aktivis adalah yang suka melibatkan diri pada pengalaman baru dan cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog.
2)      Siswa dengan tipe reflektor sangat berhati-hati mengambil langkah.
3)      Siswa dengan tipe teoris sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.
4)      Siswa tipe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek praktis. Siswa tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis karena lebih baik praktiknya.[31]
g.      Habermas (tokoh yang dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia)
Tipe belajar dibagi menjadi:
1)      Tipe belajar teknis, belajar berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
2)      Tipe belajar praktis,belajar berinteraksi dengan orang disekelilingnya.
3)      Tipe belajar emansipatoris berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran tentang perubahan kultural suatu lingkungan. Pemahaman kesadaran terhadap perubahan kultural menjadi tahapan terpenting karena dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.[32]

B.     Penerapan Teori Belajar Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik dalam Pembelajaran
1.      Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif, sedangkan perilaku yang kurang sesuai mendapatkan penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasarkan pada perilaku yang tampak.[33]

2.      Penerapan Teori Belajar Kognitif dalam Pembelajaran
Ada sejumlah cara untuk menggunakan model belajar kognitif dalam kelas. Pertama kita akan melihat strategi mengajar pada umumnya, terutama yang menyangkut rencana pembelajaran, kemudian yang kedua kita akan memusatkan perhatian untuk membantu siswa dalam mengingat informasi baru.
Strategi belajar sangatlah penting dalam mencapai suatu keberhasilan pengajaran, dalam hal ini ada beberapa faktor yang mendasari strategi mengajar yaitu; memusatkan perhatian, banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Dalam permulaan pelajaran, guru dapat membuat kontak mata atau berbuat sesuatu yang mengejutkan siswa dengan maksud untuk menarik perhatian siswa.mengidentifikasi apa yang penting, sulit, dan tidak bisa, belajar dapat dipertinggi jika guru membantu siswa merasa betapa pentingnya informasi baru,
Suatu strategi untuk melakukan ini adalah membuat tujuan pembelajaran sejelas mungkin. membantu siswa mengingat kembali informasi yang telah dipelajari sebelumnya, membantu siswa memahami dan menggabungkan informasi. Mungkin satu-satunya metode terbaik untuk membantu siswa memahami pelajaran dan mengombinasikan informasi yang telah ada dengan informasi baru adalah membuat setiap pelajaran sedapat mungkin bermakna.
Strategi selanjutnya yaitu, strategi untuk membantu siswa dalam mengingat informasi baru. Lindsy dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki ingatan, pertama, menghafal memerlukan usaha. kedua; materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal lain. Ketiga; materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil dan kemudian diletakkan kembali bersama-sama pola yang berarti.[34]

3.      Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran
Implikasi pengajaran dari sudut pandang Rogersyaitutidak begitu memperhatikan metodologi pengajaran. Nilai dari perencanaan kurikulum, keahlian ilmiah guru, atau penggunaan teknologi tidak sepenting dalam memudahkan belajar, seperti respons perasaan siswa atau mutu dari interaksi antara siswa dan guru. Satu strategi yang disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman mereka. Strategi lain yang disarankan Rogers adalah peer-tutoring (siswa mengajar siswa yang lain). Rogers adalah penganjur yang kuat pada penemuannya, di mana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang riil, membuat penemuan autonomus (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.Pengajaran dalam Psikologi Humanistik meliputi:
a.       Pendidikan Setara (Confluent Education)
George Brown mengembangkan Pusat Pendidikan Humanistik di Universitas California, Sania Barbara, dimana guru belajar mengintegrasikan pengalaman afektif dengan belajar kognitif di kelas.[35] Contohnya adalah pengajaran Bahasa Inggris pada siswa umur 12 tahun tentang buku yang berjudul Red Badge of Courage. Guru yang ingin mengembangkan latihan ini, ingin siswanya tidak hanya mendapatkan pengertian yang lebih dalam tentang novel itu, tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih besar dengan mendiskusikan konsep tentang keberanian, keteguhan hati, dan kekuatan mereka sendiri.
b.      Pendidikan Terbuka (Open Education)
1)      Syarat-syarat belajar (Provisions for Learning). Memanipulasi persediaan bahan pelajaran untuk memenuhi keanekaragaman dan luasnya mata pelajaran. Anak-anak bergerak bebas di kelas, mendorong untuk bercakap-cakap dan tidak dipisahkan ke dalam kelompok dengan menggunakan skor tes.
2)      Manusiawi, hormat, terbuka, dan hangat (Humannes, Respect, Opennes, and Warmth). Menggunakan bahan pelajaran yang dibuat siswa. Guru berhadapan dengan tingkah laku siswa yang bermasalah dengan berkomunikasi dengan anak tanpa melibatkan kelompok.
3)      Mendiagnosis kejadian selama pelajaran (Diagnosis of Learning Events). Siswa mengoreksi pekerjaan mereka sendiri. Guru mengobservasi dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan.
4)      Pengajaran (Instruction). Secara individual tidak ada tes/ buku tugas.
5)      Penilaian (evaluation). Guru mengambil catatan beberapa tes formal.
6)      Mencari kesempatan untuk menumbuhkan profesionaliisme (Search for Opportunities for Professional Growth). Guru menggunakan bantuan orang lain. Guru bekerja dengan teman sejawat.
7)      Persepsi guru tentang dirinya (Self-Perception of Teacher). Guru mencoba untuk menyimpan semua persepsi tentang anak-anak di dalam pengamatannya dan memonitor pekerjaan mereka.
8)      Mengasumsikan anak-anak dan proses belajar (Assumption about Children and the Learning Process). Suasana kelas hangat dan diterima. Anak-anak terlibat dengan apa yang mereka kerjakan.[36]
Slavin menyimpulkan bahwa hasil penelitian kelas terbuka mengatakan, pengalaman-pengalaman dari gerakan kelas terbuka menyarankan bahwa ada keterbatasan terhadap belajar yang diarahkan pada diri sendiri oleh siswa, terutama ketika mereka belajar keterampilan dasar dimana begitu banyak kegiatan belajar yang tergantung dari guru.[37]

C.    Aplikasi Teori Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik dalam Pendidikan Agama Islam
1.      Aplikasi Teori Behavioristik dalam PAI
Teori behavioristik ini sangat sesuai apabila diterapkan dalam pembelajaran PAI, karena PAI adalah mata pelajaran yang orientasinya untuk pembentukan habituasi atau pembiasaan dalam mengamalkan agama yang telah dipelajari oleh siswa. Maka dengan teori ini diharapkan siswa dapat menerapkan tingkah laku sesuai amalan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi seorang guru PAI, mempergunakan teori tingkah laku ini akan mempermudah guru untuk mencapai indikator yang diinginkan oleh guru karena siswa secara tidak langsung telah melakukan apa yang diharapkan guru tanpa mereka merasa dipaksa. Prinsip behaviorisme dan implikasinya dalam pendidikan:
Asumsi
Implikasinya dalam Pendidikan
Contoh
Pengaruh lingkungan
Kembangkan lingkungan kelas yang mendukung perilaku siswa yang diinginkan
Memuji siswa yang mengerjakan tugas secara mandiri saat tidak ada yang memperhatikan
Fokus pada peristiwa yang dapat diamati (stimulus dan respons)
Identifikasi stimulus khusus termasuk tindakan anda sebagai guru yang dapat mempengaruhi siswa
Memberikan perhatian kepada siswa yang berperilaku tidak pantas
Belajar sebagai perubahan perilaku
Simpulkan bahwa belajar terjadi hanya ketika siswa menampilkan perubahan dalam performa
Memasukkan kegiatan yang menyenangkan dan mendidik sebagai cara membantu siswa mengasosiasikan setiap materi pelajaran dengan perasaan menyenangkan
Kontiguitas kejadian
Menghubungkan dua kejadian antara stimulus dan respons dalam waktu yang berdekatan

Kesamaan prinsip pembelajaran di semua spesies
Penelitian dengan spesies memiliki relevansi bagi praktik di dalam kelas
Memberikan penguatan pada siswa hiperaktif apabila ia duduk dengan tenang dalam waktu yang lama dengan penelitian tikus dan merpati.[38]

2.      Aplikasi Teori Kognitif dalam PAI
Teori kognitif merupakan suatu teori yang diman bertumpu pada perkembangan daya serap otak atas inforasi yang telah diterimanya. Oleh karena itu teori ini lebih sesuai digunakan dalam mata pelajaran Fiqih, Al-Quran dan Al-Hadis, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa teori ini dapat digunakan disetiap bidang pengetahuan apapun. Dalam kaitannya dengan materi Fiqih dan Al-Quran dan Al-Hadis penerapan teori kognitif ini menurut penulis sangat cocok digunakan dalam proses pembelajaran teori ini, memusatkan perhatian, banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Dalam permulaan pelajaran, guru dapat membuat kontak mata atau berbuat sesuatu yang mengejutkan sisiwa dengan maksud untuk menarik perhatian siswa.mengidentifikasi apa yang penting, sulit, dan tidak bisa, belajar dapat dipertinggi jika guru membantu siswa merasa betapa pentingnya informasi baru.
Suatu strategi untuk melakukan ini adalah membuat tujuan pembelajaran sejelas mungkin.membantu siswa mengingat kembali informasi yang telah dipelajari sebelumnya, membantu siswa memahami dan menggabungkan informasi. Mungkin satu-satunya metode terbaik untuk membantu siswa memahami pelajaran dan mengombinasikan informasi yang telah ada dengan informasi baru adalah membuat setiap pelajaran sedapat mungkin bermakna.
Dengan adanya langkah tersebut diharapkan materi tentang Fiqih dan Al-Quran dan Al-Hadis dapat mudah dipahami sisiwa dan titik akhir siswa mampu mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan strategi yang dipake atau digunakan dalam pembelajaran ini dengan Discovery Learning. Dengan hal itu diharapkan para siswa mudah dalam mengkap suatu informasi baru dan selalu diingat jangka panjangnya.

3.      Aplikasi Teori Humanistik dalam PAI
Pengalaman emosional dan karateristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Seseorang akan dapat belajar dengan baik apabila mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori belajar humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan ideal tersebut dapat dicapai.
Teori belajar humanistik dapat diterapkan dalam pembelajaran tauhid, akhlak, akan sangat membantu para pendidik dalam memahani arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Contoh pembelajaran kooperatif dari teori humanistik ini ialah mengemas materi pembelajaran akhlak, fiqh atau tauhid dengan strategi pemebelajaran jigsaw. Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran.
Murid mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.
Meskipun teori ini masih sulit diterapkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangannya begitu besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru dalam memahami hakekat manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.



BAB III
PENUTUP
Teori belajar behavioristik memandang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respon dengan penekanan pada hasil proses belajar. Belajar menurut teori belajar kognitif selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi dengan penekanan pada hasil belajar. Sedangkan, menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia dengan penekanan pada isi atau apa yang dipelajari.
Teori-teori tersebut mempunyai pengaruh dan implikasi yang berbeda-beda dalam penerapannya. PAI adalah mata pelajaran yang orientasinya untuk pembentukan habituasi atau pembiasaan dalam mengamalkan agama yang telah dipelajari oleh siswa. Dengan menyesuaikan teori belajar kepada kondisi peserta didik, diharapkan siswa dapat menerapkan hal yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi seorang guru PAI, mempergunakan berbagai teori belajar ini akan mempermudah guru untuk mencapai indikator yang diinginkan oleh guru, karena siswa secara tidak langsung telah melakukan apa yang diharapkan guru tanpa mereka merasa dipaksa.

DAFTAR PUSTAKA

Mustaqim. 2001. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

B.Uno, Hamzah. 2005. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Atmaja Prawira, Purwa. 2011. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Ormrod, Jeanne Ellis. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.

Dalyono. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Esti Wuryani Djiwandono, Sri. 2006.  Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo

Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.



[1] Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),  hlm. 73.
[2]Sugihartono, dkk, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2007.), hlm. 89-90.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosda, 1995), hlm. 105-106.
[4] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm., 7.
[5]Ibid.,  Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,..., hlm. 107-108.
[6]Ibid., Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,..., hlm., 7-8.
[7] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan,  (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 129.
[8]Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,..., hlm., 8.
[9]Ibid., hlm.,8-9.
[10]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,..., hlm. 109.
[11]Ibid.,  Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,..., hlm. 111-112.
[12] Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 32.
[13] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 131.
[14] Ibid.,
[15]Ibid., Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,..., hlm., 9.
[16]Ibid.,  Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,..., hlm., 110.
[17]Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang
Edisi keenam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 466.
[18]Ibid., hlm. 10-11.
[19]Ibid., hlm., 12.
[20]Ibid., 12-13.
[21] Dalyono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 35.
[22] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm.149.
[23]Mustaqin, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm., 61
[24] Sugihartono, dkk, Psikologi Pendidikan...,hlm. 116.
[25] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 181.
[26]Ibid., hlm. 183.
[27]Ibid.
[28]Ibid., hlm. 184-186.
[29]Ibid., hlm., 13-15.
[30]Ibid., hlm., 15-16.
[31]Ibid., hlm., 16.
[32]Ibid., hlm.,16-17.
[33] Sugihartono, dkk, Psikologi Pendidikan...,hlm. 103.
[34] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 163.
[35]Ibid., hlm 187.
[36]Ibid., hlm.188-190.
[37]Ibid., hlm. 191.
[38]  Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa...  hlm., 423.