Rabu, 24 Juni 2015

LAPORAN TOUR BUDAYA MUSEUM BATIK DAN SULAM YOGYAKARTA



A.    LATAR BELAKANG PEMILIHAN OBJEK
Pada tanggal 2 Oktober 2009, batik disahkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO[1]. Indonesia patut berbangga karena bertambah lagi warisan budaya bangsa yang diakui oleh UNESCO, sehingga keberadaan masyarakat tidak hanya diapresiasi oleh masyarakat Indonesia saja, tapi juga oleh masyarakat dunia. Kini batik tidak hanya dikenakan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, melainkan telah merambah ke dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja di kampus, sekolah, mall, dan tempat umum lainnya, banyak orang yang kini suka mengenakan batik.
Sayangnya, meski kini telah banyak orang yang mengenakan batik, masih banyak juga yang tidak mengetahui seperti apa sejarah batik dan proses dibalik terciptanya kain batik.
“Tak kenal maka tak sayang”, semboyan tersebut memberikan inspiratif kepada penulis untuk memberikan gambaran tentang sejarah dan proses pembuatan batik, dengan harapan agar para pembaca semakin mengenal dan cinta dengan produk asli Indonesia. Penulis juga berharap agar generasi-generasi muda bangsa mau untuk mengembangkan dan melestarikan warisan budaya ini.
Museum Batik dan Sulam Yogyakarta penulis pilih sebagai objek kunjungan budaya ini, karena museum tersebut merupakan museum batik tertua di Yogyakarta yang banyak menyimpan koleksi-koleksi batik dari berbagai tempat dan dari zaman ke zaman.

B.     WAKTU KUNJUNGAN
Hari           : Senin, 30 Maret 2015
Pukul         : 10.00-11.30 WIB
Tiket          : Rp20.000,00/orang

C.    OBJEK KAJIAN
a.      Sejarah Museum Batik Yogyakarta
Museum Batik Yogyakarta merupakan Museum Batik pertama di Yogyakarta.
Beralamat di Jl. Dr. Sutomo No 13 A Yogyakarta (dari stasiun Lempuyangan ke selatan sekitar 1 km). Museum tersebut diresmikan pada tanggal 12 Mei 1977 oleh Kanwil P & K Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atas prakarsa keluarga Hadi Nugroho.
Pada awalnya, Hadi Nugroho merasa gundah melihat banyak kain batik lawas berkualitas yang dipotong untuk keperluan garmen dan ekspor luar negeri. Ia dan sang istri, Dewi Sukaningsih pun mulai berkomitmen untuk mendirikan museum batik. Hadi Nugroho mulai memburu batik tanpa terkecuali batik koleksi kerabat mereka.
Pada tahun 2000, Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada Museum Batik Yogyakarta atas karya sulaman terbesar berupa batik berukuran 90 x 400 cm2. Satu tahun kemudian, Museum Rekor Indonesia (MURI) kembali memberikan penghargaan sebagai pemrakarsa berdirinya museum sulaman yang pertama di Indonesia. Kini, Museum Batik Yogyakarta menyimpan  sekitar 1700 koleksi perbatikan yang meliputi batik cap, batik tulis, wajan, aneka canting dari generasi ke generasi, dan aneka ragam bentuk cap.

b.      Koleksi Museum
Museum tersebut menyimpan lebih dari 1.200 koleksi perbatikan yang terdiri dari 500 lembar kain batik tulis, 560 batik cap, 124 canting (alat pembatik), dan 35 wajan serta bahan pewarna, termasuk malam[2].
Koleksi museum ini terdiri berbagai batik gaya Yogyakarta, Solo/Surakarta, Pekalongan, dan gaya tradisional lainnya dalam bentuk kain panjang, sarung, dan sebagainya. Motifnya kebanyakan berupa motif pesisiran, pinggiran, terang bulan, dan motif esuk-sore.
Motif pesisiran cirinya diantaranya: warna cerah dan mencolok, motifnya bunga-bunga/ boketan (pengaruh dari Belanda), dan colour full (pngaruh dari China). Motif esuk sore dilatarbelakangi karena setelah Perang Dunia II kain sangat langka, sehingga dalam satu kain dibuat dua motif.
Beberapa jenis canting diantaranya: canting cecek (untuk membuat titik-titik), canting klowong (untuk membuat motif utama), dll.
Beberapa koleksinya yang terkenal antara lain: Kain Panjang Soga Jawa (1950-1960), Kain Panjang Soga Ergan Lama (tahun tidak tercatat), Sarung Isen-isen Antik (1880-1890), Sarung Isen-isen Antik (kelengan) (1880-1890) buatan Nyonya Belanda EV. Zeuylen dari Pekalongan, dan Sarung Panjang Soga Jawa (1920-1930) buatan Nyonya Lie Djing Kiem dari Yogyakarta. Semua koleksi yang ada dalam museum ini diperoleh dari keluarga pendiri Museum Batik Yogyakarta. Koleksi tertuanya adalah batik buatan tahun 1730.
Sedangkan, ratusan koleksi lainnya adalah hasil karya sendiri pemilik museum dan juga dari hibah beberapa orang misalnya Ang Dji Kiat dll. Beberapa koleksi sulaman diantaranya: gambar Presiden RI pertama Soekarno, mantan Presiden Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Hamengkubuwono IX. Selain itu ada juga potret wajah pahlawan Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro. Ada pula sulaman wajah Paus Yohanes Paulus II dan Bunda Teresa dari India.

c.       Cara membatik
Berikut ini urutan membatik:
1.      Ngemplong
Ngemplong merupakan tahap paling awal atau pendahuluan, diawali dengan mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kanji. Kemudian dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu memasukkan kain mori ke minyak jarak atau minyak kacang yang sudah ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi.
2.      Nyorek atau Memola
Nyorek atau memola adalah proses menjiplak atau membuat pola di atas kain mori dengan cara meniru pola motif yang sudah ada, atau biasa disebut dengan ngeblat. Pola biasanya dibuat di atas kertas roti terlebih dahulu, baru dijiplak sesuai pola di atas kain mori.
Tahapan ini dapat dilakukan secara langsung di atas kain atau menjiplaknya dengan menggunakan pensil atau canting. Namun agar proses pewarnaan bisa berhasil dengan baik, tidak pecah, dan sempurna, maka proses batikannya perlu diulang pada sisi kain di baliknya. Proses ini disebut ganggang.
3.      Mbathik
Mbathik merupakan tahap berikutnya, dengan cara menorehkan malam batik ke kain mori, dimulai dari nglowong (menggambar garis-garis di luar pola) dan isen-isen (mengisi pola dengan berbagai macam bentuk). Di dalam proses isen-isen terdapat istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam pola yang sudah dibuat dengan cara memberi titik-titik (nitik). Ada pula istilah nruntum, yang hampir sama dengan isen-isen, tetapi lebih rumit.
4.      Nembok
Nembok adalah proses menutupi bagian-bagian yang tidak boleh terkena warna dasar, dalam hal ini warna biru, dengan menggunakan malam. Bagian tersebut ditutup dengan lapisan malam yang tebal seolah-olah merupakan tembok penahan.
5.      Medel
Medel adalah proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan warna secara berulang-ulang sehingga mendapatkan warna yang diinginkan.
6.      Ngerok dan Mbirah
Pada proses ini, malam pada kain dikerok secara hati-hati dengan menggunakan lempengan logam, kemudian kain dibilas dengan air bersih. Setelah itu, kain diangin-anginkan.
7.      Mbironi
Mbironi adalah menutupi warna biru dan isen-isen pola yang berupa cecek atau titik dengan menggunakan malam. Selain itu, ada juga proses ngrining, yaitu proses mengisi bagian yang belum diwarnai dengan motif tertentu. Biasanya, ngrining dilakukan setelah proses pewarnaan dilakukan.
8.      Menyoga
Menyoga berasal dari kata soga, yaitu sejenis kayu yang digunakan untuk mendapatkan warna cokelat. Adapun caranya adalah dengan mencelupkan kain ke dalam campuran warna cokelat tersebut.
9.      Nglorod
Nglorod merupakan tahapan akhir dalam proses pembuatan sehelai kain batik tulis maupun batik cap yang menggunakan perintang warna (malam). Dalam tahap ini, pembatik melepaskan seluruh malam (lilin) dengan cara memasukkan kain yang sudah cukup tua warnanya ke dalam air mendidih.
Setelah diangkat, kain dibilas dengan air bersih dan kemudian diangin-arginkan hingga kering. Proses membuat batik memang cukup lama. Proses awal hingga proses akhir bisa melibatkan beberapa orang, dan penyelesaian suatu tahapan proses juga memakan waktu. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kain batik tulis berharga cukup tinggi.

d.      Nilai-Nilai Pendidikan
Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari warisan budaya ini, diantaranya:
a.       Ketekunan, Keuletan, Ketelitian serta Kesabaran
Dalam pembuatan sebuah batik tulis yang penuh nilai estetik tidaklah mudah, diperlukan ketekunan, ketelitian serta kesabaran yang tinggi. Ini memberikan pelajaran pada kita bahwa untuk mencapai sebuah cita-cita yang tinggi diperlukan usaha-usaha yang tinggi juga, tidak ada sebuah cita-cita yang pencapaiannya secara instan tanpa usaha.
b.      Tidak perlu khawatir dan takut
Seharusnya kita tak perlu khawatir dan takut, apabila batik tulis kita ditiru atau diproduksi oleh negara lain. Melukis di atas kain, dapat dilakukan oleh siapa saja di penjuru dunia, di negara mana saja. Sudah dapat dipastikan, hasil karya batik akan mempunyai sentuhan seni, motif dan ragam hias yang berbeda. Teknik pembuatan batik tulis dan teknik pewarnaannya tentu tidak sama di setiap negara. Bukankah budaya kita terkenal “kuat” serta “tahan uji” dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun? Bukankah budaya kita merupakan budaya yang besar, adiluhung, berbadan samudra yang tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya lain? Budaya batik tulis yang telah mengakar pada kehidupan sampai pelosok perdesaan, takkan mudah lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh jaman.
Bukankah kita justru bangga, bila hasil karya budaya batik tulis kita diperagakan di negara lain yang sebenarnya merupakan promosi kekayaan budaya asli dari bumi persada Indonesia? Apabila kita merasa takut kehilangan sosok budaya batik tulis, seharusnya kita berlomba melakukan tindakan untuk saling memperkuat dan mempertahankan khasanah dan ragam budaya yang telah kita miliki.
c.       Konsep fitrah
Dari perspektif Islam batik punya makna filosofis, diantaranya: Batik yang beragam motif dan corak, bahan dasarnya adalah mori yang berwarna putih. Ini memberikan pelajaran bahwa diri manusia pada dasarnya bersih, lingkunganlah yang memberikan sentuhan motif dan corak pada diri manusia tersebut. Implementasi pendidikannya, sebagai calon guru dan calon orang tua, kita harus memberikan sesuatu yang terbaik untuk mendukung terbentuknya pribadi yang baik, luhur, berakhlak dan dapat menjadi insane kamil.
d.      Cintailah budaya local
Sebagai manusia yang tidak dapat terlepas dari budaya, kita harus mencintai dan merasa memiliki berbagai budaya yang ada di daerah kita. Nabi pun memberikan apresiasi terhadap budaya local, salah satunya tentang pakaian. Nabi sebagai penyempurna akhlak, tentunya jika berkehendak untuk membuat pakaian khas umat islam sangatlah mungkin, tetapi apa yang dilakukan beliau?, beliau tidak melakukan itu, justru malah tetap menggunakan pakaian yang sudah ada dan menjadi budaya bangsa Arab. Kita yang hidup di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, pakaian khas orang Yogyakarta adalah batik, maka kalau kita mengaku ittiba rosul maka pakaian yang kita gunakan adalah pakaian batik juga, sesuai dengan pakaian yang ada di daerah dimana kita tinggal tersebut.

D.    TUGAS DAN PERAN PENULIS
Penulis berkunjung bersama kelompok kami sejumlah 10 anak. Disana kami dipandu oleh Mbak Lia, Mba Bunga, dan Bapak Prayogo yang sudah disediakan oleh pengelola museum tersebut. Kami mengelilingi museum tersebut melihat, mengamati dan belajar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan batik. Pengelola museum menawari kami untuk kursus membatik disana, karena keterbatasan waktu kami belum bisa belajar langsung proses membatiknya, hanya mlihat beberapa orang yang sedang membatik disana. Kami bertanya kepada pemandu tentang berbagai hal yang berhubungan dengan batik dan museum tersebut, dan data yang kami proleh seperti apa yang telah kami laporkan di atas.







[1] Wikipedia.org
[2] Diolah dari berbagai sumber