Selasa, 10 Januari 2017

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF HADITS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya sadar dan tanggungjawab untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan peserta didik agar ia memiliki makna dan tujuan hidup yang hakiki. Sementara proses pendidikan bertujuan untuk menimbulkan perubahan perubahan yang diinginkan pada setiap peserta didik.[1] Adapun Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.[2]
Menurut Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, perubahan-perubahan yang diinginkan pada peserta didik meliputi tiga bidang asasi, yaitu (1) tujuan personal yang berkaitan dengan individu-individu yang sedang belajar untuk terjadinya perubahan yang diinginkan, baik perubahan tingkah laku, aktifitas, dan pencapaiannya, serta pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi peserta didik; (2) tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai unit sosial berikut dengan dinamika masyarakat umumnya; (3) tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi.[3]
Untuk mengetahui ketercapaian suatu tujuan, maka dibutuhkan evaluasi. Evaluasi yang merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran.[4]
Dalam sejarah umat Islam, evaluasi sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau selalu mengevaluasi kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam menjalankan tugas. Untuk melihat hasil pengajaran yang dilaksanakan, Rasulullah SAW sering mengevaluasi hafalan para sahabat dengan cara menyuruh mereka membacakan ayat-ayat al-Qur’an dihadapannya, kemudian beliau membetulkan hafalan dan bacaan mereka yang keliru.
Dalam makalah ini akan penulis sajikan hal-hal yang menyangkut evaluasi pendidikan Islam, dari mulai pengertian, tujuan dan fungsi, prinsip, sasaran, dan jenisnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian evaluasi pendidikan Islam?
2.      Bagaimana tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam menurut perspektif hadits?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian evaluasi pendidikan Islam.
2.      Mengetahui tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam menurut perspektif hadits. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Evaluasi Pendidikan Islam.
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, yang berarti penilaian, penaksiran, atau evaluasi.[5] Atau berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Nilai dalam bahasa Arab disebut al-qimat. Dalam bahasa Arab, juga dijumpai istilah imtihan, yang berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[6]
Istilah nilai pada mulanya dipopulerkan oleh Plato. Pembahasan ‘nilai’ secara khusus diperdalam dalam diskursus filsafat, terutama pada aspek aksiologinya.[7] Begitu pentingnya kedudukan nilai dalam filsafat, sehingga para filosof meletakan nilai sebagai muara bagi epistemologi dan ontologi filsafat. Kata nilai kemudian tidak hanya popular dalam bidang filsafat saja, tetapi sampai pada bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dsb. Dalam ekonomi istilah nilai ditautkan dengan harga. Sedangkan jika diaplikasikan dalam pendidikan, kata nilai dipahami sebagai memberikan muatan nilai dalam ontologi dan epistemologi pendidikan, serta mengarakan prosesnya agar tetap mengacu pada nilai.
Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada dasarnya sama hanya berbeda dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan evaluasi sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan.[8] Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.[9] Suharsimi membedakan antara istilah pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Menurutnya, pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk secara kualitatif. Sedangkan evaluasi, mencakup pengukuran dan penilaian secara kuantitatif.[10]
Kata evaluasi dalam wacana keislaman tidak dapat ditemukan padanan yang pasti, namun terdapat term-term tertentu yang mengarah pada makna evaluasi. Diantaranya adalah al-Hisab yang memiliki makna mengira, menafsirkan, dan menghitung (QS. Al Baqarah: 284), al-Bala’ yang bermakna cobaan atau ujian (QS. Al Mulk: 2)[11], al-Hukm yang bermakna putusan atau vonis (QS. An Naml: 78), al-Qadha yang bermakna putusan (QS. Thaha: 72), An-Nazhr yang berarti melihat (An-Naml: 27),[12] musibah (ujian) (QS. Ali Imran: 165, Al Baqarah: 156, An Nisa: 62 dan 79, Ar Rum: 48, Luqman: 17, Al Hadiid: 22, At Taghabun: 11), dan fitnah[13] yang berarti cobaan ujian atau bencana (QS. Al Anfal: 25, Al Furqon: 20, Al Anbiya: 35).[14]  
Beberapa term diatas dapat dijadikan petunjuk arti evaluasi secara langsung ataupun hanya sekedar alat atau proses didalam evaluasi. Hal ini didasarkan asumsi bahwa Al Quran dan Hadist merupakan asas-asas atau prinsip-prinsip umum pendidikan, sementara operasionalnya diserahkan penuh kepada para ijtihat umatnya. Term evaluasi pada taraf berikutnya lebih diorientasikan pada ‘penafsiran atau memberi putusan terhadap kependidikan’. Setiap tindakan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat, dan lingkungan kependidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan tercapai.
Jika kata evaluasi dihubungkan dengan kata pendidikan, maka dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan, untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai tentang hasil belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya.[15] Selain istilah evaluasi, terdapat pula istilah lain yang hampir berdekatan, yaitu pengukuran dan penilaian. Sementara orang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga dalam memaknainya tergantung dari kata mana yang siap diucapkan.[16]
Dari beberapa pendapat, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi yaitu suatu proses dan tindakan yang terencana untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan (pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan. Jadi dengan evaluasi diperoleh informasi dan kesimpulan tentang keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita dapat menentukan alternatif dan keputusan untuk tindakan berikutnya. Jadi evaluasi pendidikan Islam yaitu kegiatan penilaian terhadap tingkah laku peserta didik dari keseluruhan aspek mental-psikologis dan spiritual religius dalam pendidikan Islam, dalam hal ini tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan pelaksanaan evaluasi ini bukan hanya pendidik juga keseluruhan aspek/unsur pendidikan Islam.

B.     Tujuan dan Fungsi, Prinsip-Prinsip, Jenis, Tehnik  dan Sasaran Evaluasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Hadits

1.      Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Menurut  M. Arifin, ada tiga tujuan pedagogis dari sistem evaluasi Tuhan terhadap perbuatan manusia, yaitu:[17]
a.       Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dialaminya.
b.      Untuk mengetahui sejauhmana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.
c.       Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup keislaman atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT yaitu paling bertaqwa kepada-Nya, manusia yang sedang dalam iman atau ketakwaannya, manusia yang ingkar kepada ajaran Islam.
Hal tersebut sesuai dengan hadist yang menceritakan bahwa Rasulullah sedang menguji sahabatnya dengan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut:
حدثنا قتيبة, جدثنا اسماعيل بن جعفر, عن عبدالله بن دينار, عن ابى عمر قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, ان من شجر شجرة لا يسقط ورقها, وإنها مثل المسلم, فحدثونى ماهى؟ فوقع الناس فى شجرة اليوادى, قال, عبدالله, ووقع فى نفسى أنها النخلة, فاستحييت. ثم قالوا, حدثنا ماهي يارسول الله. قال, هي النخلة. (رواه البخارى(

Artinya: Menceritakan kepada kami Qutaibat, menceritakan kepada kami Ismail ibn Ja’far, dari Abdullah Ibn Dinar, dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya diantara pepohonan ada satu pohon yang daunnya tidak jatuh ke tanah (secara berguguran). Pohon itu bagaikan seorang muslim. Jelaskanlah kepadaku pohon apa itu?. Orang-orang mengatakan pohon itu terdapat di pedalaman. ‘Abdullah Berkata, dalam benakku terbetik pikiran bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. Akan tetapi aku malu menjawabnya. Orang-orang barkata beritahukanlah kepada kami, pohon apakah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab Pohon kurma.” (HR. Bukhari No. 59).


Rasulullah SAW, juga menguji kemampuan saat pada waktu akan berangkat perang sebagaimana riwayat berikut.
حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير, حدثنا أبى, جدثنا عبد الله, عن نافع, عن ابى عمرقال, عرضنى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد فى القتال, وأنا ابن أربع عشرة, فام يجوني . وعرضني يوم الخندق, وانا بن خمس عشرة سنة, فأجزانى. (رواه البخاري(
Artinya : menceritakan kepada Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Numair, menceritakan kepada kami ayahku, menceritakan kepada kami ‘Abdullah, dari Nafi’, dari ibn Imar berkata, “Rasulullah SAW menguji kemampuanku berperang pada hari perang uhud, ketika aku berusia empat belas tahun, lalu beliau tidak mengizinkanku, dan beliau mengujiku kembali pada hari perang khandaq ketika aku berusia lima belas tahun, lalu beliau mengizinkanku. (HR. Muslim No. 3473).

Tuhan memberikan contoh sistem evaluasi seperti difirmankan dalam kitab suci-Nya,[18] yang sasaranya untuk mengetahui dan menilai sejauhmana kadar iman, takwa, ketahanan mental, keteguhan hati, dan kesediaan untuk menerima ajakan Tuhan mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian setelah dinilai, Tuhan menetapkan kriteria-kriteria derajat kemuliaan hamba-Nya. Bagi yang berderajat mulia di sisi-Nya, Dia akan memberi ‘hadiah’ atau pahala sesuai kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala tertinggi yaitu surga.
Menurut Abdul Mujib dkk, tujuan evaluasi adalah:[19]
a.       Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya.
b.      Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.[20]
c.       Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
d.      Mengevaluasi pendidik, materi pendidikan, dan proses peyampaian materi pelajaran.
e.       Mengetahui penguasaan peserta didik dalam kompitensi/subkompitensi tertentu setelah mengikuti proses pembelajaran, untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic test) dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.
Dengan beberapa tujuan diatas, evaluasi berfungsi sebagai feedback (umpan balik) terhadap kegiatan pembelajaran. umpan balik ini berguna untuk hal-hal berikut:[21]
a.       Ishlah
Yaitu perbaikan terhadap semua komponen pendidikan, termasuk perbaikan perilaku, wawasan, dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
b.      Tazkiyah
Yaitu penyucian terhadap semua komponen pendidikan. Artinya, melihat kembali program-program pendidikan yang dilakukan, apakah program tersebut penting atau tidak dalam kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang harus dihilangkan, maka harus dicari format yang cocok dengan program semula.
c.       Tajdid
Yaitu modernisasi semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan untuk kepentingan internal maupun eksternal perlu diubah dan dicarikan penggantinya yang lbih baik. Dengan kegiatan ini, pendidikan dapat dimobilisasi dan didinamisasikan untuk lebih maju dan relevan dengan kebutuhan peserta didik dan perkembangan zaman.
d.      Al Dakhil
Yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa raport, ijazah, piagam, dsb.
Senada dengan Novan Ardi Wijaya, Ramayulis juga mengumakan fungsi evaluasi sebagai berikut:[22]
a.       Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di kelasnya.
b.      Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki peserta didik atau belum.
c.       Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
d.      Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami pendidikan dan pengajaran.
e.       Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai penyesuaian dalam kelas.
f.       Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah, piagam dan sebagainya.
Sementara pendapat lain mengemukakan, evaluasi berfungsi sebagai:[23]
a.       Mengidentifikasi dan merumuskan jarak dari sasaran-sasaran pokok dari kurikulum secara komprehensif;
b.      Penetapan bagi tingkah laku apa yang harus direalisasikan oleh siswa;
c.       Menyeleksi atau membentuk instrumen-instrumen yang valid, terpercaya dan praktis untuk menilai sasaran-sasaran utama proses kependidikan atau ciri-ciri khusus dari perkembangan dan pertumbuhan manusia didik.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, diantaranya:[24]
a.       Dari segi pendidik, yaitu untuk membantu seorang pendidik mengetahui sejauhmana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
b.      Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
c.       Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
d.      Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).

2.      Prinsip-Prinsip Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi agar akurat dan bermanfaat baik bagi peserta didik, pendidik ataupun pihak yang berkepentingan, maka harus memperhatikan prinsip-prisip sebagai berikut:[25]
a.       Valid
Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis tes yang terpercaya dan shahih. Artinya ada kesesuaian alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran.
b.      Berorientasi kepada kompetensi
Dengan berpijak pada kompetensi, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.
c.       Berkelanjutan/Berkesinambungan (kontinuitas)
Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan peserta didik, sehingga kegiatan dan unjuk kerja peserta didik dapat dipantau melalui penilaian. Dalam ajaran Islam sangatlah diperhatikan kontinuitas, karena dengan berpegang prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil serta menghasilkan suatu tindakan yang menguntungkan.
d.      Menyeluruh (Komprehensif)
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerja sama, tanggung jawab, dan sebagainya, atau dalam taksonomi Benjamin S. Bloom lebih dikenal dengan aspek kognitif[26], afektif[27] dan psikomotorik.[28]
e.       Adil dan objektif
Evaluasi harus mempertimbangkan rasa keadilan bagi peserta didik dan objektif berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi.[29]
f.       Bermakna
Evaluasi diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu evaluasi hendaknya mudah difahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
g.      Terbuka
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan sehingga keputusan tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.
h.      Ikhlas
Evaluasi dilakukan dengan niat dan yang bersih, dalam rangka efisiensi tercapainya tujuan pendidikan dan bai kepentingan peserta didik.
i.        Praktis
Evaluasi dilakukan dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan beberapa indikator, yaitu: a) hemat waktu, biaya dan tenaga; b) mudah diadministrasikan; c) mudah menskor dan mengolahnya; dan d) mudah ditafsirkan.
j.        Dicatat dan akurat
Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara sistematis dan komprehensif dicatat dan disimpan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan.

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan ajaran Islam, karena prinsip-prinsip tersebut dalam ajaran Islam termasuk ke dalam akhlak yang mulia. Dalam akhlak yang mulia seseorang harus bersifat obyektif, jujur, mengatakan sesuatu sesuai dengan apa adanya. Orang yang menilai demikian dalam agama Islam dikenal dengan istilah shidiq. Dalam al-Quran dijelaskan sebagai berikut:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah: 119)



عَنْ ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال إن الصدق يهدي إِلَى البر وإن البر يهدي إِلَى الجنة

Artinya: Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga” (HR. Muslim No. 4720).

Sejalan dengan sikap obyektif dan jujur tersebut, maka seorang yang melakukan penilaian harus benar-benar yakin terhadap hasil penilaiannya itu. Ia tidak boleh menilai sesuatu yang belum diketahui dengan pasti atau masih meragukan. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang artinya: “Tinggalkan apa yang kau ragu-ragu, kepada apa yang tidak engkau ragu-ragu. Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada ketenangan, dan dusta itu membawa kepada keragu-raguan.” (HR. Tirmudzi).



Hadits lainnya yang menggambarkan tentang evaluasi pendidikan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah mengabarkan kepada kami 'Abdah, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abu humaid as Sa'idi, bahwa Nabi SAW pernah mempekerjakan Ibnul Atabiyah untuk menghimpun sedekah bani Sulaim. Tatkala ia mendatangi Rasulullah SAW dan Rasulullah mengevaluasinya, ia mengatakan: “Ini bagian untukmu dan ini hadiah untukku.” Spontan Rasulullah SAW bersabda: "tidakkah jika engkau duduk saja di rumah ayahmu dan rumah ibumu, maka apakah akan datang hadiahmu kepadamu jika memang engkau jujur. "kemudian Rasulullah SAW berdiri dan berpidato kepada manusia, beliau memuja dan memuji Allah, kemudian mengatakan Amma ba'du. Sesungguhnya saya mempekerjakan beberapa orang diantara kalian untuk urusan yang Allah menguasakannya kepada saya, lantas salah seorang diantara kalian mengatakan ini bagian untukmu dan ini hadiah untukku. tidakkah jika dia duduk saja di rumah ayahnya dan rumah ibunya, maka apakah akan datang hadiahnya kepadanya jika memang dia jujur. Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap Allah dengan memikul barang yang diambilnya, ketahuilah, aku tahu ada seseorang yang menghadap Allah dengan memikul untanya yang mendengus, ada yang memikul sapinya yang melenguh, ada yang memikul kambingnya yang mengembik," kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari No. 6658)

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قال رسول الله ص.م: اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ
وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرَ اِلَى قُلُوْ بِكَمْ وَاَعْمَا لِكُمْ (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang dan menilai dari tubuh dan gambarmu (kuantitas), akan tetapi Allah memandang dan menilai dari hati dan amalmu” (H.R. Muslim).

Ketentuan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluknya tidak akan menyalahi aturan yang ditetapkan sehingga tidak ada orang yang teraniaya atau dirugikan. Kesalahan hanya dihitung sesuai dengan jumlah kesalahan (dosa), tetapi kebaikan dihitung berlipat ganda, kebaikan satu diberi nilai 10 sampai 700.
 حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد برأيي ولا آلو (رواه أبو داود)

Artinya: ‘Menceritakan kepada kami Hafs ibn umar dari Syu’bah dan Abi ‘Aun dari Harith ibn ‘Amr ibn Mughirah ibn Syu’bah dari Anas dari Ahli Himsh dari sahabat-sahabat Mu’adz bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke yaman bersabda: “bagaimana engkau akan  menghukum apabila datang kepadamu satu perkara?, ia (Mu’adz) menjawab:”saya akan menghukum dengan kitabullah”, sabda beliau:”bagaimana bila tidak terdapat di kitabullah?” ia menjawab:”saya akan menghukum dengan sunnah Rasulullah,” beliau bersabda:”bagaimana jika tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW? Ia menjawab:”saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur”.(HR. Abu Daud).[30]

Hadis diatas menerangkan bahwa untuk mengadili suatu perkara harus merujuk pada al-Qur’an, jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an maka rujuk pada sunnah Rasulullah SAW, jika tidak ditemukan maka boleh berijtihad dengan akal yang sehat. Dan bisa juga menggabungkan keduanya antar al-Qur’an dan al-Hadis, karena fungsi hadis menjelaskan al-Qur’an sehingga lebih akurat alasannya. Hadis diatas terlihat Rasulullah baru akan menyerahkan tugas kepada Mu’adz ketika terlebih dahulu mengetahui bahwa Mu’adz memiliki ilmu tentang persoalan tugas yang akan diembannya.
Prinsip-prinsip diatas jika ditelaah dalam konsep pendidikan Islam, juga sejalan dengan prinsip pendidikan islam itu sendiri yaitu keseimbangan (tawazun) dan komprehensif (tasyamul). Bentuk keseimbangan tersebut meliputi keseimbangan antara aspek materil dan spiritual maupun antara jasmani dan rohani, dan juga antara individu dan sosial. Prinsip ini berimplikasi pada prinsip komprehensif yang memberikan kerangka dasar bahwa pendidikan Islam meliputi seluruh dimensi potensi manusia, yaitu akal, intelektual, jiwa, spiritual, maupun jasmani. Kedua prinsip itu merupakan dasar pendidikan Islam untuk membimbing peserta didik menjadi insan kamil.[31]
Dalam pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Nabi kepada para sahabatnya, ketika dilihat dari cara penyampaian materi hadits kepada para sahabatnya adalah dengan cara yang sederhana dan praktis, namun ketika dianalisis lebih lanjut bahwa praktek kependidikan yang dijalankan oleh Nabi sudah memuat beberapa aspek pendidikan yaitu pendidik, anak didik, metode, sarana dan media, materi, bahkan sampai evaluasinyapun. Karena Nabi sendiri merupakan evaluator pertama dan utama dalam menilai kemampuan, kecerdasan sahabat sampai kepada sikap, tingkah laku, dan tindakan sahabat, sehingga ketika sahabat melanggar atau tidak mengerjakan perintah  dari Nabi, maka Nabi akan mengingatkannya, atau sahabat tidak melakukan kewajiban dan aturan yang yang ada maka Nabi sendiripun yang akan mengingatkannya. Inilah uniknya evaluasi pendidikan yang dilakukan Nabi secara menyeluuh, baik itu di majlis taklim, masjid, musholla, lapangan, sampai dijalan atau dimasyarakat, Nabi selalu mengevaluasi semua kegiatan dan tindakan sahabat, karena sahabat yang prilakunya baik akan kelihatan dengan sendirinya dan sahabat yang prilakunya buruk juga akan terlihat juga, karena Rasulullah disamping mengetahui aspek lahir juga dibantu Allah untuk untuk mengetahui aspek batin, karena Allah menilai seseorang bukan dari aspek lahir namun dari aspek batin.[32]
Jika kita bandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pasal 64 ayat 3, prinsip-prinsip tersebut telah diatur didalamnya. Dalam peraturan tersebut disebutkan penilaian hasil belajar mata pelajaran agama, dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui dua cara, yaitu:
1.      Pengamatan terhadap perubahan-perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik.
2.      Ujian, ulangan dan atau penugasan untuk mengukur hasil aspek kognitif peserta didik.
Sekilas PP tersebut memang hanya menyebutkan aspek kognitif dan afektif saja tanpa melibatkan aspek psikomotorik, tetapi jika kita cermati dalam rumusan standar isi (rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar) mata pelajaran PAI, baik SD, SMP, SMA/SMK, dan juga madrasah, maka aspek psikomotorik akan kita temukan.[33]

3.      Jenis Evaluasi
Abudin Nata membagi dalam empat macam/jenis evaluasi, yaitu: evaluasi formatif, sumatif, placement atau penempatan, dan diagnosis.[34]
a.       Evaluasi Formatif, ditujukan untuk mengetahui hasil kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan oleh pendidik dan dicapai oleh peserta didik. Hal ini dilakukan karena dasarnya manusia itu mempunyai kelemahan.
b.      Evaluasi Sumatif, dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar dalam satu semester atau akhir tahun dalam rangka menentukan jenjang berikutnya. Asumsi evaluasi ini adalah bahwa segala sesuatu (termasuk peserta didik) diciptakan mengikuti hokum bertahap. Hal ini sesuai dengan QS. Al Insyiqaq ayat 19 yang artinya, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”
c.       Evaluasi Placement atau  penempatan, untuk mengetahui kemampuan peserta didik sebelum mengikuti pelajaran, serta menetukan bidang studi atau jurusan yang akan dipilihnya. Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa setiap manusia (peserta didik) memiliki perbedaan-perbedaan dan potensi khusus. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Isra ayat 84 yang artinya, “Tiap-tiap orang berbuat menurut kedaannya.”
d.      Evaluasi Diagnosis, untuk mengetahui dan menganalisis keadaan-keadaan peserta didik, baik yang berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, maupun hambatan yang dijumpai dalam kegiatan belajar mengajar. Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa pengalaman pahit masa lalu dapat dijadikan ‘guru’ untuk memperbaiki masa depan. Setiap proses pembelajaran tidak terlepas dari kesulitan. Jika dapat menyelesaikan dan memecahkan hambatan dan kesulitan yang dihadapi, iakan memperoleh kemudahan dalam kegiatan berikutnya. Hal ini senada dengan QS. Al Insyirah ayat 5-7, yang artinya “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (uirusan) lainnya.”

4.      Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi adalah cara yang dilakukan untuk melakukan evaluasi. Untuk evaluasi pendidikan yang termasuk di dalamnya evaluasi terhadap program pendidikan suatu lembaga, tujuan, sarana, efektifitas, kurikulum dan lain-lainnya, bisa dilakukan dengan teknik evaluasi program salah satunya.
Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran ada dua teknik yang sering digunakan untuk mengukur hasil belajar yaitu dengan tes dan non-tes. Sebagai salah satu alat untuk mengkuantifikasi sampel perilaku,  maka para ahli memberikan berbagai macam klasifikasi tes yang berbeda tergantung perspektif sang ahli tersebut. Klasifikasi tes yang lengkap disampaikan oleh Anas Sudijono yang mengklasifikasikan tes berdasarkan perspektif tertentu. Jika tes digolongkan berdasarkan fungsi sebagai alat ukur perkembangan, maka ada enam jenis tes yaitu : tes seleksi, tes awal, tes akhir, tes diagnostik, tes formatif dan tess umatif.
Berdasarkan aspek psikis yang ingin dinilai, tes dibedakan menjadi tes intelegensi, tes kemampuan, tes sikap, tes kepribadian dan tes hasil belajar. Berdasarkan banyaknya orang yang mengikuti maka tes dibedakan menjadi tes individu dan tes kelompok. Jika digolongkan berdasarkan waktu yang disediakan, maka akan ada dua jenis tes yaitu: power test dan speed test. Ditinjau dari segi respon tes dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu tes verbal dan tes non verbal. Dan jika ditinjau dari cara mengajukan pertanyaan, akan ada dua tes yaitu te stertulis dan tes lisan.
Teknik yang bisa digunakan dalamtes adalah tes lisan, tes unjuk kerja, tes tertulis dan portofolio. Tes tertulis bisa dalam bentuk pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan,  jawaban singkat, dan uraian bebas. Sedangkan teknik non tes meliputi skala bertingkat, kuesioner, daftar cocok, wawancara, pengamatan dan riwayat hidup.
Jika diperjelas, maka teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa langkah diantaranya :

a.    Perencanaan
Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam suatu program belajar mengajar didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.
b.    Pengumpulan data
Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai, artinya untuk memperoleh bahan informasi yang cukup tentang anak didik dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh dengan langkah yaitu: pelaksanaan evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil evaluasi, dan pemberian kode atau skor.
c.    Verifikasi data
Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek yang akan dinilai. Misalnya : untuk menilai sikap dipergunakan checklist.
d.    Analisis data
Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan berupa tes maupun bukan tes (non tes).
e.    Penafsiran data
Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk menentukan frekuensi evaluasi dengan menyusun bahan pelajaran.

Secara umum, proses pengembangan penyajian dan pemanfaatan evaluasi belajar dapat digambarkan dalam langkah-langkah berikut:
a.       PenentuanTujuanEvaluasi
b.      Penyusunan Kisi-kisi soal
c.       Telaah atau review dan revisi soal
d.      Uji Coba (try out)
e.       Penyusunan soal
f.       Penyajian tes
g.      Scoresing
h.      Pengolahan hasil tes
i.        Pelaporan hasil tes
j.        Pemanfaatan hasil tes

5.      Sasaran Evaluasi
Sasaran evaluasi merupakan tindakan yang harus ditempuh oleh pendidik dalam mengadakan evaluasi. Sasaran itu sangat penting dalam menentukan pemyusunan alat-alat evaluasi yang akan dipakai oleh pendidik. Menurut Abudin Nata, yang menjadi pokok sasaran evaluasi yaitu untuk mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan.[35] Karena antara satu komponen pendidikan dan komponen pendidikan lainnya saling berkaitan.
Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya melihat empat kemampuan peserta didik yaitu:[36]
a.       Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
b.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
c.       Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
d.      Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah SWT anggota masyarakat serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.
Keempat sasaran tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh. Artinya, jangan hanya dinilai dari segi penguasaan materi semata-mata, tetapi juga harus dinilai dari segi perubahan tingkah laku dalam proses belajar mengajar.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, yang berarti penilaian, penaksiran, atau evaluasi. Atau berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Dalam al-Quran maupun hadis kata evaluasi tidak dapat ditemukan padanan yang pasti, namun terdapat term-term tertentu yang mengarah pada makna evaluasi. Diantaranya adalah al-Hisab yang memiliki makna mengira, menafsirkan, dan menghitung, al-Bala’ yang bermakna cobaan atau ujian), al-Hukm yang bermakna putusan atau vonis, al-Qadha yang bermakna putusan, dan An-Nazhr yang berarti melihat musibah (ujian) dan fitnah yang berarti cobaan ujian atau bencana.
Tujuan evaluasi untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik, mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah dicapai, mengevaluasi pendidik, materi pendidikan, proses peyampaian materi pelajaran, mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic test) dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.
Prinsip-prinsip evaluasi: valid, berorientasi kepada kompetensi, berkelanjutan/berkesinambungan (kontinuitas), menyeluruh (komprehensif), adil dan objektif, bermakna, terbuka, praktis, dan dicatat serta akurat. Jenisnya ada empat: evaluasi formatif, sumatif, placement atau penempatan, dan diagnosis. Sasarannya meliputi mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan


DAFTAR PUSTAKA

Al Syaibani, Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Arikunto, Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

As-Sijistani, Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts fi Dar Al Fikr.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia.

Falah, Ahmad, Hadits Tarbawi, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010.

Hamalik, Oemar, Pengajaran Unit, Bandung: Alumni, 1982.

Hamami, Tasman, Pemikiran Pendidikan Islam: Transformasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Yogyakarta: Pustaka Book Publizer, 2008.

Lidwa 9 imam, (Aplikasi Hadist).

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

____________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.

____________, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

                        , Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2008.

_________, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Siregar, Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016.

Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012.

Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al Quran tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah, 2013.



[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 233.
[2] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 173.
[3]Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 339.
[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 2008), hlm. 220.
[5] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia), hlm. 161.
[6] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 183.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 221.
[8] Oemar Hamalik, Pengajaran Unit, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 106.
[9] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). hlm. 3.
[10]Contohnya tentang pelaksanaan sholat. Seseorang yang sholat dapat diukur dan dinilai. Pengukuran shalat dilakukan pada aktifitas yang berkaitan dengan pelaksanaan syarat-syarat dan rukunnya. Bila hal tersebut terpenuhi maka shalatnya dianggap sah. Sementara penilaian shalat adalah yang berkaitan dengan adab-adab, seperti keikhlasan, kekhusu’an, dsb. Walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena menyangkut urusan batin dan wewenang Tuhan. Lihat Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 242.
[11]Kata ini terulang 38 kali dalam al-Quran dengan berbagai sighat (bentuk kata). Secara etimologi kata ini setara dengan ikhtabara dan imtahana yang berarti menguji atau mencoba.
[12] Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 243-244.
[13]Kata ini berasal dari kata fatana yang semakna dengan a’jaba yang berarti membingungkan atau mengherankan. Kata fatana diulang sampai 60 kali dalam al-Quran. Luis Ma’luf mengartikan kata fatana dengan adhabahu bi al-butaqah liyubayyin al-jayyida min al-radi’I (mencairkan sesuatu pada bejana agar dapat dibedakan antara yang baik dengan yang jelek). Hal tersebut sejalan dengan Al Isfihani yang  mengartikan dengan memasukan emas kedalam api agar jelas perbedaan mana emas yang baik dan mana yang buruk. Lihat Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al Quran tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 141.
[14] Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 229-232.
[15] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 131
[16] Ibid., hal. 132
[17] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 240.
[18] Misalnya QS. Al Baqarah: 155 yang menjelaskan tentang sikap manusia menghadapi kesulitan hidup, QS. An Naml: 40 tentang bersyukur atau kufur, QS. An Naml: 27 tentang evaluasi kejujuran burung Hud yang memberika kabar kepada Nabi Sulaiman kerajaan yang diperintah oleh seorang wanita cantik, dan As Shaffat: 103, 106, 107 tentang ujian Nabi Ibrahim yang berat untuk menyembelih putranya.
[19] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 221.
[20] Menurut Abudin Nata dalam Ilmu Pendidikan Islam, dengan evaluasi ini, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap kemajuannya, serta diketahui pula tingkat keberhasilan seorang pendidikdalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas, sarana dan prasarana, lingkungan, dsb. Serta diketahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui pula tingkat perubahan tingkah lakunya.
[21] Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 234.
[22]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 224.
[23]M. Arifin, Ilmun Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 245.
[24]Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 77-78.
[25] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm.213-217.
[26] Aspek kognitif adalah aspek yang mengarah pada ilmu pengetahuan yang sasarannya yaitu cara berfikir seseorang dalam setiap perbuatan. Metode ini bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Seperti dalam QS. Al-Baqarah: 31-32. Dalam ayat ini Allah SWT menguji pengetahuan dan pemahaman Adam  tentang dunia ini dan penciptaannya.
[27] Aspek afektif adalah aspek yang mengarah pada perasaan atau jiwa dari peserta didik  yang sasarannya adalah cara bersikap dalam perbuatan. Dalam aspek ini bisa dilakukan dengan dua cara, Observasi (pengamatan) dan Ujian tertulis dan atau lisan.
[28] Aspek psikomotorik adalah aspek yang mengarah pada keterampilan ataupun kemahiran peserta didik. Metode yang digunakan dalam aspek ini adalah observasi dan tugas.
[29] Abudin Nata menjelaskan prinsip-prinsip evaluasi ada tiga, yakni prinsip kesinambungan (kontinuitas), menyeluruh (komperehensif) dan objektif. Lihat Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 311,
[30] Imam Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts fi Dar Al Fikr), Nomor. 3592 dan 3593.
[31] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam: Transformasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Pustaka Book Publizer, 2008), hlm. 305.
[32] Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), hlm. 149-151.
[33]Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 51.
[34] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 310-311; Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), hlm. 338. Bandingkan dengan M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, hlm. 245-246. Menurut M Arifin, Evaluasi Formatif, untuk menetapkan tingkat penguasaan peserta didik dan menentukan bagian bagian tugas yang belum dikuasai dengan tepat; Evaluasi Sumatif, penilaian secara umum tentang dasil dari proses belajar mengajar yang dilakukan setiap akhir periode belajar-mengajar secara terpadu; Evaluasi Diagnosik, yakni penilaia yang dipusatkan pada proses belajar-mengajar pada lokalisasi titik yang cocok pada peserta didik, misal, bakat, minat, keterampilan, latar belakang, keccerdasan, dll; Evaluasi Placement atau Penempatan, menitik beratkan pada penilaian ilmu pengetahuan dan keterampilan murid di awal proses KBM, minat dan perhatian siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas, misal belajar kelompok dan sebagainya.
[35]Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 308.
[36]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 239.

2 komentar:

  1. SUBHANALLAH ARTIKLENYA BAGUS KAREN LENGKAP DENGAN CATATAN KAKINYA, SEMOGA BISA ISTIQOMAH JADI PENULIS

    BalasHapus
  2. Bagus kak... alhamdulillah punya banyak referensi makasih banyak semoga berkah

    BalasHapus