BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya sadar dan tanggungjawab
untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan peserta didik agar ia memiliki makna dan tujuan hidup yang
hakiki. Sementara proses pendidikan bertujuan untuk
menimbulkan perubahan perubahan yang diinginkan pada setiap peserta didik.[1] Adapun Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits
serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.[2]
Menurut Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, perubahan-perubahan
yang diinginkan pada peserta didik meliputi tiga bidang asasi, yaitu (1) tujuan
personal yang berkaitan dengan individu-individu yang sedang belajar untuk
terjadinya perubahan yang diinginkan, baik perubahan tingkah laku, aktifitas,
dan pencapaiannya, serta pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi peserta
didik; (2) tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai
unit sosial berikut dengan dinamika masyarakat umumnya; (3) tujuan-tujuan
professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
seni, dan profesi.[3]
Untuk mengetahui ketercapaian suatu tujuan, maka dibutuhkan
evaluasi. Evaluasi yang merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan
Islam harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk
mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan
Islam dan proses pembelajaran.[4]
Dalam sejarah umat Islam, evaluasi sudah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Beliau selalu mengevaluasi kemampuan para sahabat dalam
memahami ajaran agama atau dalam menjalankan tugas. Untuk melihat hasil
pengajaran yang dilaksanakan, Rasulullah SAW sering mengevaluasi hafalan para
sahabat dengan cara menyuruh mereka membacakan ayat-ayat al-Qur’an
dihadapannya, kemudian beliau membetulkan hafalan dan bacaan mereka yang
keliru.
Dalam makalah ini akan penulis sajikan hal-hal yang menyangkut
evaluasi pendidikan Islam, dari mulai pengertian, tujuan dan fungsi, prinsip,
sasaran, dan jenisnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian evaluasi pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam menurut perspektif hadits?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian evaluasi pendidikan Islam.
2.
Mengetahui
tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam menurut perspektif hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Evaluasi Pendidikan Islam.
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa
Inggris evaluation, yang berarti penilaian, penaksiran, atau evaluasi.[5] Atau berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai.
Nilai dalam bahasa Arab disebut al-qimat. Dalam bahasa Arab, juga dijumpai istilah imtihan, yang berarti ujian, dan khataman yang berarti
cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[6]
Istilah nilai pada mulanya dipopulerkan oleh Plato. Pembahasan
‘nilai’ secara khusus diperdalam dalam diskursus filsafat, terutama pada aspek
aksiologinya.[7]
Begitu pentingnya kedudukan nilai dalam filsafat, sehingga para filosof
meletakan nilai sebagai muara bagi epistemologi dan ontologi filsafat. Kata
nilai kemudian tidak hanya popular dalam bidang filsafat saja, tetapi sampai
pada bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dsb. Dalam ekonomi istilah nilai
ditautkan dengan harga. Sedangkan jika diaplikasikan dalam pendidikan, kata
nilai dipahami sebagai memberikan muatan nilai dalam ontologi dan epistemologi
pendidikan, serta mengarakan prosesnya agar tetap mengacu pada nilai.
Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada
dasarnya sama hanya berbeda dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan
evaluasi sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan.[8] Menurut
Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.[9] Suharsimi
membedakan antara istilah pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Menurutnya,
pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini
bersifat kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik dan buruk secara kualitatif. Sedangkan evaluasi,
mencakup pengukuran dan penilaian secara kuantitatif.[10]
Kata evaluasi dalam wacana keislaman
tidak dapat ditemukan padanan yang pasti, namun terdapat term-term tertentu
yang mengarah pada makna evaluasi. Diantaranya adalah al-Hisab yang
memiliki makna mengira, menafsirkan, dan menghitung (QS. Al Baqarah: 284), al-Bala’
yang bermakna cobaan atau ujian (QS. Al Mulk: 2)[11],
al-Hukm yang bermakna putusan atau vonis (QS. An Naml: 78), al-Qadha
yang bermakna putusan (QS. Thaha: 72), An-Nazhr yang berarti melihat
(An-Naml: 27),[12]
musibah (ujian) (QS. Ali Imran: 165, Al Baqarah: 156, An Nisa: 62 dan 79, Ar
Rum: 48, Luqman: 17, Al Hadiid: 22, At Taghabun: 11), dan fitnah[13]
yang berarti cobaan ujian atau bencana (QS. Al Anfal: 25, Al Furqon: 20, Al
Anbiya: 35).[14]
Beberapa term diatas dapat dijadikan
petunjuk arti evaluasi secara langsung ataupun hanya sekedar alat atau proses
didalam evaluasi. Hal ini didasarkan asumsi bahwa Al Quran dan Hadist merupakan
asas-asas atau prinsip-prinsip umum pendidikan, sementara operasionalnya
diserahkan penuh kepada para ijtihat umatnya. Term evaluasi pada taraf
berikutnya lebih diorientasikan pada ‘penafsiran atau memberi putusan terhadap
kependidikan’. Setiap tindakan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat,
dan lingkungan kependidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran
penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan
tercapai.
Jika kata evaluasi dihubungkan
dengan kata pendidikan, maka dapat diartikan sebagai proses membandingkan
situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang
berkaitan dengan pendidikan, untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak
hanya menilai tentang hasil belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap
guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya.[15] Selain istilah evaluasi, terdapat pula istilah lain yang hampir
berdekatan, yaitu pengukuran dan penilaian. Sementara orang lebih cenderung
mengartikan ketiga kata tersebut sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga
dalam memaknainya tergantung dari kata mana yang siap diucapkan.[16]
Dari beberapa pendapat, dapat ditarik
kesimpulan bahwa evaluasi yaitu suatu proses dan tindakan yang terencana untuk
mengumpulkan informasi tentang kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan (peserta
didik) terhadap tujuan (pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang
dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan. Jadi dengan evaluasi diperoleh
informasi dan kesimpulan tentang keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita
dapat menentukan alternatif dan keputusan untuk tindakan berikutnya. Jadi evaluasi pendidikan Islam yaitu kegiatan penilaian terhadap
tingkah laku peserta didik dari keseluruhan aspek mental-psikologis dan
spiritual religius dalam pendidikan Islam, dalam hal ini tentunya yang menjadi
tolak ukur adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan pelaksanaan evaluasi ini
bukan hanya pendidik juga keseluruhan aspek/unsur pendidikan Islam.
B.
Tujuan
dan Fungsi, Prinsip-Prinsip, Jenis, Tehnik dan Sasaran Evaluasi Pendidikan Islam
dalam Perspektif Hadits
1.
Tujuan dan
Fungsi Evaluasi
Menurut
M. Arifin, ada tiga tujuan
pedagogis dari sistem evaluasi Tuhan terhadap perbuatan manusia, yaitu:[17]
a.
Untuk
menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema
kehidupan yang dialaminya.
b.
Untuk
mengetahui sejauhmana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah
SAW terhadap umatnya.
c.
Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat
hidup keislaman atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling
mulia di sisi Allah SWT yaitu paling bertaqwa kepada-Nya, manusia yang sedang
dalam iman atau ketakwaannya, manusia yang ingkar kepada ajaran
Islam.
Hal tersebut sesuai dengan hadist yang menceritakan bahwa
Rasulullah sedang menguji sahabatnya dengan mengajukan sebuah pertanyaan
sebagai berikut:
حدثنا قتيبة, جدثنا اسماعيل بن جعفر, عن عبدالله
بن دينار, عن ابى عمر قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, ان من شجر شجرة لا
يسقط ورقها, وإنها مثل المسلم, فحدثونى ماهى؟ فوقع الناس فى شجرة اليوادى, قال,
عبدالله, ووقع فى نفسى أنها النخلة, فاستحييت. ثم قالوا, حدثنا ماهي يارسول الله.
قال, هي النخلة. (رواه البخارى(
Artinya: Menceritakan kepada kami Qutaibat, menceritakan kepada kami Ismail ibn Ja’far, dari Abdullah Ibn Dinar, dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya diantara pepohonan ada satu pohon yang daunnya tidak jatuh ke tanah (secara berguguran). Pohon itu bagaikan seorang muslim. Jelaskanlah kepadaku pohon apa itu?. Orang-orang mengatakan pohon itu terdapat di pedalaman. ‘Abdullah Berkata, dalam benakku terbetik pikiran bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. Akan tetapi aku malu menjawabnya. Orang-orang barkata beritahukanlah kepada kami, pohon apakah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab Pohon kurma.” (HR. Bukhari No. 59).
Rasulullah
SAW, juga menguji kemampuan saat pada waktu akan berangkat perang sebagaimana
riwayat berikut.
حدثنا
محمد بن عبد الله بن نمير, حدثنا أبى, جدثنا عبد الله, عن نافع, عن ابى عمرقال,
عرضنى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد فى القتال, وأنا ابن أربع عشرة, فام
يجوني . وعرضني يوم الخندق, وانا بن
خمس عشرة سنة, فأجزانى. (رواه البخاري(
Artinya : menceritakan kepada Muhammad ibn
‘Abdullah ibn Numair, menceritakan kepada kami ayahku, menceritakan kepada kami
‘Abdullah, dari Nafi’, dari ibn Imar berkata, “Rasulullah SAW menguji
kemampuanku berperang pada hari perang uhud, ketika aku berusia empat belas
tahun, lalu beliau tidak mengizinkanku, dan beliau mengujiku kembali pada hari perang
khandaq ketika aku berusia lima belas tahun, lalu beliau mengizinkanku. (HR.
Muslim No. 3473).
Tuhan memberikan contoh sistem evaluasi
seperti difirmankan dalam kitab suci-Nya,[18] yang sasaranya untuk mengetahui dan menilai
sejauhmana kadar iman, takwa, ketahanan mental, keteguhan hati, dan kesediaan
untuk menerima ajakan Tuhan mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian setelah dinilai, Tuhan menetapkan kriteria-kriteria
derajat kemuliaan hamba-Nya. Bagi yang berderajat mulia di sisi-Nya, Dia akan
memberi ‘hadiah’ atau pahala sesuai kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala
tertinggi yaitu surga.
Menurut Abdul Mujib dkk, tujuan evaluasi
adalah:[19]
a.
Mengetahui kadar pemahaman peserta didik
terhadap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk
mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan
perilakunya.
b.
Mengetahui siapa diantara peserta didik yang
cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia
dapat mengejar kekurangannya.[20]
c.
Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan
sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil
pendidikan yang telah dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
d.
Mengevaluasi pendidik, materi pendidikan, dan
proses peyampaian materi pelajaran.
e.
Mengetahui penguasaan peserta didik dalam
kompitensi/subkompitensi tertentu setelah mengikuti proses pembelajaran, untuk
mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic test) dan untuk
memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.
Dengan beberapa tujuan
diatas, evaluasi berfungsi sebagai feedback (umpan balik) terhadap
kegiatan pembelajaran. umpan balik ini berguna untuk hal-hal berikut:[21]
a. Ishlah
Yaitu perbaikan
terhadap semua komponen pendidikan, termasuk perbaikan perilaku, wawasan, dan
kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
b. Tazkiyah
Yaitu penyucian terhadap
semua komponen pendidikan. Artinya, melihat kembali program-program pendidikan
yang dilakukan, apakah program tersebut penting atau tidak dalam kehidupan
peserta didik. Apabila terdapat program yang harus dihilangkan, maka harus
dicari format yang cocok dengan program semula.
c. Tajdid
Yaitu modernisasi semua
kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan untuk kepentingan internal
maupun eksternal perlu diubah dan dicarikan penggantinya yang lbih baik. Dengan
kegiatan ini, pendidikan dapat dimobilisasi dan didinamisasikan untuk lebih
maju dan relevan dengan kebutuhan peserta didik dan perkembangan zaman.
d. Al Dakhil
Yaitu masukan sebagai
laporan bagi orang tua peserta didik berupa raport, ijazah, piagam, dsb.
Senada
dengan Novan Ardi Wijaya, Ramayulis juga mengumakan fungsi evaluasi sebagai
berikut:[22]
a. Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di
kelasnya.
b. Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki
peserta didik atau belum.
c. Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
d. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah
mengalami pendidikan dan pengajaran.
e. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode,
dan berbagai penyesuaian dalam kelas.
f. Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk
raport, ijazah, piagam dan sebagainya.
Sementara
pendapat lain mengemukakan, evaluasi berfungsi sebagai:[23]
a.
Mengidentifikasi dan merumuskan jarak dari
sasaran-sasaran pokok dari kurikulum secara komprehensif;
b.
Penetapan bagi tingkah laku apa yang harus
direalisasikan oleh siswa;
c.
Menyeleksi atau membentuk instrumen-instrumen
yang valid, terpercaya dan praktis untuk menilai sasaran-sasaran utama proses
kependidikan atau ciri-ciri khusus dari perkembangan dan pertumbuhan manusia
didik.
a.
Dari segi pendidik, yaitu untuk membantu seorang pendidik
mengetahui sejauhmana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
b.
Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik
untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah
yang lebih baik.
c.
Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu
para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam
dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang
relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
d.
Dari segi politik pengambil kebijakan
pendidikan Islam, untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan
mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan
nasional (Islam).
2. Prinsip-Prinsip Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi agar akurat dan bermanfaat baik bagi peserta
didik, pendidik ataupun pihak yang berkepentingan, maka harus memperhatikan
prinsip-prisip sebagai berikut:[25]
a.
Valid
Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan
jenis tes yang terpercaya dan shahih. Artinya ada kesesuaian alat ukur dengan
fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran.
b.
Berorientasi
kepada kompetensi
Dengan berpijak pada kompetensi, maka ukuran-ukuran keberhasilan
pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.
c.
Berkelanjutan/Berkesinambungan
(kontinuitas)
Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus
dari waktu ke waktu untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan peserta didik,
sehingga kegiatan dan unjuk kerja peserta didik dapat dipantau melalui
penilaian. Dalam ajaran Islam sangatlah
diperhatikan kontinuitas, karena dengan berpegang prinsip ini, keputusan yang
diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil serta menghasilkan suatu
tindakan yang menguntungkan.
d.
Menyeluruh
(Komprehensif)
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh,
meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap
kerja sama, tanggung jawab, dan sebagainya, atau dalam taksonomi Benjamin S.
Bloom lebih dikenal dengan aspek kognitif[26],
afektif[27]
dan psikomotorik.[28]
e.
Adil dan objektif
Evaluasi harus mempertimbangkan rasa keadilan
bagi peserta didik dan objektif berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak
boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional. Jangan
karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi.[29]
f.
Bermakna
Evaluasi diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua
pihak. Untuk itu evaluasi hendaknya mudah difahami dan dapat ditindaklanjuti
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
g.
Terbuka
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka
bagi berbagai kalangan sehingga keputusan tentang keberhasilan peserta didik
jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada rekayasa atau
sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.
h.
Ikhlas
Evaluasi dilakukan dengan niat dan yang bersih, dalam rangka
efisiensi tercapainya tujuan pendidikan dan bai kepentingan peserta didik.
i.
Praktis
Evaluasi dilakukan dengan mudah dimengerti dan
dilaksanakan dengan beberapa indikator, yaitu: a) hemat waktu, biaya dan
tenaga; b) mudah diadministrasikan; c) mudah menskor dan mengolahnya; dan d)
mudah ditafsirkan.
j.
Dicatat dan akurat
Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara
sistematis dan komprehensif dicatat dan disimpan, sehingga sewaktu-waktu dapat
dipergunakan.
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan ajaran
Islam, karena prinsip-prinsip tersebut dalam ajaran Islam termasuk ke dalam
akhlak yang mulia. Dalam akhlak yang mulia seseorang harus bersifat obyektif,
jujur, mengatakan sesuatu sesuai dengan apa adanya. Orang yang menilai demikian
dalam agama Islam dikenal dengan istilah shidiq. Dalam al-Quran
dijelaskan sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)
عَنْ ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال إن الصدق يهدي إِلَى البر وإن البر يهدي إِلَى الجنة
Artinya: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga” (HR. Muslim No.
4720).
Sejalan dengan sikap obyektif dan jujur tersebut, maka
seorang yang melakukan penilaian harus benar-benar yakin terhadap hasil
penilaiannya itu. Ia tidak boleh menilai sesuatu yang belum diketahui dengan
pasti atau masih meragukan. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang artinya: “Tinggalkan apa yang kau ragu-ragu, kepada apa yang tidak engkau ragu-ragu.
Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada ketenangan, dan dusta itu membawa
kepada keragu-raguan.” (HR. Tirmudzi).
Hadits lainnya yang menggambarkan tentang evaluasi
pendidikan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ
بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ
لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ
فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ
صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ
النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي
أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي
أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا
جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ
كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ
هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad, telah mengabarkan kepada kami 'Abdah, telah
menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abu humaid as
Sa'idi, bahwa Nabi SAW pernah mempekerjakan Ibnul Atabiyah untuk menghimpun
sedekah bani Sulaim. Tatkala ia mendatangi Rasulullah SAW dan Rasulullah
mengevaluasinya, ia mengatakan: “Ini bagian untukmu dan ini hadiah untukku.” Spontan
Rasulullah SAW bersabda: "tidakkah jika engkau duduk saja di rumah ayahmu
dan rumah ibumu, maka apakah akan datang hadiahmu kepadamu jika memang engkau
jujur. "kemudian Rasulullah SAW berdiri dan berpidato kepada manusia,
beliau memuja dan memuji Allah, kemudian mengatakan Amma ba'du. Sesungguhnya
saya mempekerjakan beberapa orang diantara kalian untuk urusan yang Allah
menguasakannya kepada saya, lantas salah seorang diantara kalian mengatakan ini
bagian untukmu dan ini hadiah untukku. tidakkah jika dia duduk saja di rumah
ayahnya dan rumah ibunya, maka apakah akan datang hadiahnya kepadanya jika
memang dia jujur. Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil
sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap Allah dengan memikul barang yang
diambilnya, ketahuilah, aku tahu ada seseorang yang menghadap Allah dengan
memikul untanya yang mendengus, ada yang memikul sapinya yang melenguh, ada
yang memikul kambingnya yang mengembik," kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya sehingga terlihat putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari No. 6658)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قال رسول الله ص.م: اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ
وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرَ اِلَى
قُلُوْ بِكَمْ وَاَعْمَا لِكُمْ (رواه مسلم)
Artinya: “Dari
Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
memandang dan menilai dari tubuh dan gambarmu (kuantitas), akan tetapi Allah
memandang dan menilai dari hati dan amalmu” (H.R. Muslim).
Ketentuan hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluknya tidak akan menyalahi
aturan yang ditetapkan sehingga tidak ada orang yang teraniaya atau dirugikan.
Kesalahan hanya dihitung sesuai dengan jumlah kesalahan (dosa), tetapi kebaikan
dihitung berlipat ganda, kebaikan satu diberi nilai 10 sampai 700.
حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن المغيرة بن شعبة عن
أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد
أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله فإن لم
تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة
رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد برأيي ولا آلو (رواه أبو
داود)
Artinya: ‘Menceritakan kepada kami Hafs ibn umar dari
Syu’bah dan Abi ‘Aun dari Harith ibn ‘Amr ibn Mughirah ibn Syu’bah dari Anas
dari Ahli Himsh dari sahabat-sahabat Mu’adz bahwasanya Rasulullah SAW ketika
mengutus Mu’adz ke yaman bersabda: “bagaimana engkau akan menghukum
apabila datang kepadamu satu perkara?, ia (Mu’adz) menjawab:”saya akan
menghukum dengan kitabullah”, sabda beliau:”bagaimana bila tidak
terdapat di kitabullah?” ia menjawab:”saya akan menghukum dengan sunnah
Rasulullah,” beliau bersabda:”bagaimana jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasulullah SAW? Ia menjawab:”saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan
mundur”.(HR. Abu Daud).[30]
Hadis diatas
menerangkan bahwa untuk mengadili suatu perkara harus merujuk pada al-Qur’an,
jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an maka rujuk pada sunnah Rasulullah SAW,
jika tidak ditemukan maka boleh berijtihad dengan akal yang sehat. Dan bisa
juga menggabungkan keduanya antar al-Qur’an dan al-Hadis, karena fungsi hadis
menjelaskan al-Qur’an sehingga lebih akurat alasannya. Hadis diatas terlihat
Rasulullah baru akan menyerahkan tugas kepada Mu’adz ketika terlebih dahulu
mengetahui bahwa Mu’adz memiliki ilmu tentang persoalan tugas yang akan
diembannya.
Prinsip-prinsip diatas jika ditelaah dalam
konsep pendidikan Islam, juga sejalan dengan prinsip pendidikan islam itu
sendiri yaitu keseimbangan (tawazun) dan komprehensif (tasyamul).
Bentuk keseimbangan tersebut meliputi keseimbangan antara aspek materil dan
spiritual maupun antara jasmani dan rohani, dan juga antara individu dan
sosial. Prinsip ini berimplikasi pada prinsip komprehensif yang memberikan
kerangka dasar bahwa pendidikan Islam meliputi seluruh dimensi potensi manusia,
yaitu akal, intelektual, jiwa, spiritual, maupun jasmani. Kedua prinsip itu
merupakan dasar pendidikan Islam untuk membimbing peserta didik menjadi insan
kamil.[31]
Dalam pelaksanaan
pendidikan yang dilakukan Nabi kepada para sahabatnya, ketika dilihat dari cara
penyampaian materi hadits kepada para sahabatnya adalah dengan cara yang
sederhana dan praktis, namun ketika dianalisis lebih lanjut bahwa praktek
kependidikan yang dijalankan oleh Nabi sudah memuat beberapa aspek pendidikan
yaitu pendidik, anak didik, metode, sarana dan media, materi, bahkan sampai
evaluasinyapun. Karena Nabi sendiri merupakan evaluator pertama dan utama dalam
menilai kemampuan, kecerdasan sahabat sampai kepada sikap, tingkah laku, dan
tindakan sahabat, sehingga ketika sahabat melanggar atau tidak mengerjakan
perintah dari Nabi, maka Nabi akan
mengingatkannya, atau sahabat tidak melakukan kewajiban dan aturan yang yang
ada maka Nabi sendiripun yang akan mengingatkannya. Inilah uniknya evaluasi
pendidikan yang dilakukan Nabi secara menyeluuh, baik itu di majlis taklim,
masjid, musholla, lapangan, sampai dijalan atau dimasyarakat, Nabi selalu
mengevaluasi semua kegiatan dan tindakan sahabat, karena sahabat yang
prilakunya baik akan kelihatan dengan sendirinya dan sahabat yang prilakunya
buruk juga akan terlihat juga, karena Rasulullah disamping mengetahui aspek
lahir juga dibantu Allah untuk untuk mengetahui aspek batin, karena Allah
menilai seseorang bukan dari aspek lahir namun dari aspek batin.[32]
Jika kita bandingkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pasal 64 ayat 3,
prinsip-prinsip tersebut telah diatur didalamnya. Dalam peraturan tersebut disebutkan
penilaian hasil belajar mata pelajaran agama, dan akhlak mulia serta kelompok
mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui dua cara,
yaitu:
1.
Pengamatan terhadap perubahan-perubahan
perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta
didik.
2.
Ujian, ulangan dan atau penugasan untuk
mengukur hasil aspek kognitif peserta didik.
Sekilas
PP tersebut memang hanya menyebutkan aspek kognitif dan afektif saja tanpa
melibatkan aspek psikomotorik, tetapi jika kita cermati dalam rumusan standar
isi (rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar) mata pelajaran PAI, baik
SD, SMP, SMA/SMK, dan juga madrasah, maka aspek psikomotorik akan kita temukan.[33]
3. Jenis Evaluasi
Abudin Nata membagi dalam empat macam/jenis
evaluasi, yaitu: evaluasi formatif, sumatif, placement atau penempatan, dan
diagnosis.[34]
a. Evaluasi Formatif, ditujukan untuk mengetahui hasil kegiatan belajar mengajar
yang telah dilakukan oleh pendidik dan dicapai oleh peserta didik. Hal ini
dilakukan karena dasarnya manusia itu mempunyai kelemahan.
b. Evaluasi Sumatif, dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai
peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar dalam satu semester atau akhir
tahun dalam rangka menentukan jenjang berikutnya.
Asumsi evaluasi ini adalah bahwa segala sesuatu (termasuk peserta didik)
diciptakan mengikuti hokum bertahap. Hal ini sesuai dengan QS. Al Insyiqaq ayat
19 yang artinya, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam
kehidupan).”
c. Evaluasi Placement atau
penempatan, untuk mengetahui kemampuan peserta didik sebelum mengikuti
pelajaran, serta menetukan bidang studi atau jurusan yang akan dipilihnya. Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa setiap manusia
(peserta didik) memiliki perbedaan-perbedaan dan potensi khusus. Hal ini
disebutkan dalam QS. Al Isra ayat 84 yang artinya, “Tiap-tiap orang berbuat
menurut kedaannya.”
d. Evaluasi Diagnosis, untuk mengetahui dan menganalisis keadaan-keadaan
peserta didik, baik yang berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi,
maupun hambatan yang dijumpai dalam kegiatan belajar mengajar. Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa pengalaman pahit
masa lalu dapat dijadikan ‘guru’ untuk memperbaiki masa depan. Setiap proses
pembelajaran tidak terlepas dari kesulitan. Jika dapat menyelesaikan dan
memecahkan hambatan dan kesulitan yang dihadapi, iakan memperoleh kemudahan
dalam kegiatan berikutnya. Hal ini senada dengan QS. Al Insyirah ayat 5-7, yang
artinya “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (uirusan)
lainnya.”
4. Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi adalah cara yang dilakukan
untuk melakukan evaluasi. Untuk evaluasi pendidikan yang termasuk di dalamnya
evaluasi terhadap program pendidikan suatu lembaga, tujuan, sarana,
efektifitas, kurikulum dan lain-lainnya, bisa dilakukan dengan teknik evaluasi
program salah satunya.
Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran ada dua
teknik yang sering digunakan untuk mengukur hasil belajar yaitu dengan tes dan
non-tes. Sebagai salah satu alat untuk mengkuantifikasi sampel perilaku, maka para ahli memberikan berbagai macam
klasifikasi tes yang berbeda tergantung perspektif sang ahli tersebut.
Klasifikasi tes yang lengkap disampaikan oleh Anas Sudijono yang
mengklasifikasikan tes berdasarkan perspektif tertentu. Jika tes digolongkan
berdasarkan fungsi sebagai alat ukur perkembangan, maka ada enam jenis tes
yaitu : tes seleksi, tes awal, tes akhir, tes diagnostik, tes formatif dan tess
umatif.
Berdasarkan aspek psikis yang ingin dinilai,
tes dibedakan menjadi tes intelegensi, tes kemampuan, tes sikap, tes
kepribadian dan tes hasil belajar. Berdasarkan banyaknya orang yang mengikuti
maka tes dibedakan menjadi tes individu dan tes kelompok. Jika digolongkan
berdasarkan waktu yang disediakan, maka akan ada dua jenis tes yaitu: power
test dan speed test. Ditinjau dari segi
respon tes dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu tes verbal dan tes non
verbal. Dan jika ditinjau dari cara mengajukan pertanyaan, akan ada dua tes
yaitu te stertulis dan tes lisan.
Teknik yang bisa digunakan dalamtes adalah tes
lisan, tes unjuk kerja, tes tertulis dan portofolio. Tes tertulis bisa dalam bentuk
pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, jawaban singkat, dan uraian bebas. Sedangkan teknik
non tes meliputi skala bertingkat, kuesioner, daftar cocok, wawancara,
pengamatan dan riwayat hidup.
Jika diperjelas, maka teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa
langkah diantaranya :
a.
Perencanaan
Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam suatu
program belajar mengajar didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.
b.
Pengumpulan data
Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus
dinilai, artinya untuk memperoleh bahan informasi yang cukup tentang anak didik
dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh dengan langkah yaitu: pelaksanaan
evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil evaluasi, dan pemberian kode atau skor.
c.
Verifikasi data
Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek yang
akan dinilai. Misalnya : untuk menilai sikap dipergunakan checklist.
d.
Analisis data
Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan
dipergunakan berupa tes maupun bukan tes (non tes).
e.
Penafsiran data
Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk menentukan frekuensi
evaluasi dengan menyusun bahan pelajaran.
Secara umum, proses pengembangan penyajian dan pemanfaatan evaluasi belajar
dapat digambarkan dalam langkah-langkah berikut:
a. PenentuanTujuanEvaluasi
b. Penyusunan
Kisi-kisi soal
c. Telaah atau review dan revisi soal
d. Uji Coba (try
out)
e. Penyusunan soal
f. Penyajian tes
g. Scoresing
h. Pengolahan hasil tes
i.
Pelaporan hasil tes
j.
Pemanfaatan hasil tes
5. Sasaran Evaluasi
Sasaran evaluasi merupakan tindakan yang harus ditempuh oleh
pendidik dalam mengadakan evaluasi. Sasaran itu sangat penting dalam menentukan
pemyusunan alat-alat evaluasi yang akan dipakai oleh pendidik. Menurut
Abudin Nata, yang menjadi pokok sasaran evaluasi yaitu untuk mengevaluasi
peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi
pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan.[35] Karena antara satu komponen pendidikan dan
komponen pendidikan lainnya saling berkaitan.
Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya
melihat empat kemampuan peserta didik yaitu:[36]
a. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
b. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
c. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan
alam sekitarnya.
d. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah SWT
anggota masyarakat serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.
Keempat sasaran tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh.
Artinya, jangan hanya dinilai dari segi penguasaan materi semata-mata, tetapi
juga harus dinilai dari segi perubahan tingkah laku dalam proses belajar
mengajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa
Inggris evaluation, yang berarti penilaian, penaksiran, atau evaluasi.
Atau berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Dalam al-Quran
maupun hadis kata evaluasi tidak dapat
ditemukan padanan yang pasti, namun terdapat term-term tertentu yang mengarah
pada makna evaluasi. Diantaranya adalah al-Hisab yang memiliki makna
mengira, menafsirkan, dan menghitung, al-Bala’ yang bermakna cobaan atau
ujian), al-Hukm yang bermakna putusan atau vonis, al-Qadha yang
bermakna putusan, dan An-Nazhr yang berarti melihat musibah (ujian) dan
fitnah yang berarti cobaan ujian atau bencana.
Tujuan evaluasi untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik, mengetahui siapa diantara peserta didik yang
cerdas dan yang lemah, mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan
sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil
pendidikan yang telah dicapai, mengevaluasi pendidik, materi
pendidikan, proses peyampaian materi pelajaran, mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic
test) dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi
selanjutnya.
Prinsip-prinsip evaluasi: valid,
berorientasi kepada kompetensi, berkelanjutan/berkesinambungan (kontinuitas),
menyeluruh (komprehensif), adil dan objektif,
bermakna, terbuka, praktis, dan dicatat serta akurat.
Jenisnya ada empat: evaluasi formatif, sumatif, placement atau penempatan, dan diagnosis. Sasarannya meliputi mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi
pendidikan, proses penyampaian materi pelajaran, dan berbagai aspek lainnya
yang berkaitan dengan materi pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Al Syaibani, Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Arikunto, Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, 1990.
As-Sijistani, Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut:
Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts fi Dar Al Fikr.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia.
Falah, Ahmad, Hadits
Tarbawi, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010.
Hamalik, Oemar,
Pengajaran Unit, Bandung: Alumni, 1982.
Hamami, Tasman, Pemikiran Pendidikan Islam: Transformasi
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Yogyakarta: Pustaka Book Publizer,
2008.
Lidwa 9 imam, (Aplikasi Hadist).
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Nata, Abudin, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
____________, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
____________, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ramayulis dan Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,
Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2008.
_________, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2002.
Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Siregar, Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2016.
Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al Quran tentang
Pendidikan, Jakarta: Amzah, 2013.
[1] Ramayulis dan
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia,
2009), hlm. 233.
[2] Abudin Nata, Manajemen
Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), hlm. 173.
[3]Omar Muhammad
al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hlm. 339.
[4] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 2008), hlm. 220.
[7] Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 221.
[10]Contohnya
tentang pelaksanaan sholat. Seseorang yang sholat dapat diukur dan dinilai.
Pengukuran shalat dilakukan pada aktifitas yang berkaitan dengan pelaksanaan
syarat-syarat dan rukunnya. Bila hal tersebut terpenuhi maka shalatnya dianggap
sah. Sementara penilaian shalat adalah yang berkaitan dengan adab-adab, seperti
keikhlasan, kekhusu’an, dsb. Walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena
menyangkut urusan batin dan wewenang Tuhan. Lihat Moh. Haitami Salim dan
Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hlm. 242.
[11]Kata ini
terulang 38 kali dalam al-Quran dengan berbagai sighat (bentuk kata).
Secara etimologi kata ini setara dengan ikhtabara dan imtahana
yang berarti menguji atau mencoba.
[12] Moh. Haitami
Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 243-244.
[13]Kata ini
berasal dari kata fatana yang semakna dengan a’jaba yang berarti
membingungkan atau mengherankan. Kata fatana diulang sampai 60 kali dalam
al-Quran. Luis Ma’luf mengartikan kata fatana dengan adhabahu bi
al-butaqah liyubayyin al-jayyida min al-radi’I (mencairkan sesuatu pada
bejana agar dapat dibedakan antara yang baik dengan yang jelek). Hal tersebut
sejalan dengan Al Isfihani yang
mengartikan dengan memasukan emas kedalam api agar jelas perbedaan mana
emas yang baik dan mana yang buruk. Lihat Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi:
Pesan-Pesan Al Quran tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 141.
[14] Maragustam
Siregar, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi
Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 229-232.
[17] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 240.
[18] Misalnya QS.
Al Baqarah: 155 yang menjelaskan tentang sikap manusia menghadapi kesulitan
hidup, QS. An Naml: 40 tentang bersyukur atau kufur, QS. An Naml: 27 tentang
evaluasi kejujuran burung Hud yang memberika kabar kepada Nabi Sulaiman
kerajaan yang diperintah oleh seorang wanita cantik, dan As Shaffat: 103, 106,
107 tentang ujian Nabi Ibrahim yang berat untuk menyembelih putranya.
[19] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), hlm. 221.
[20] Menurut Abudin Nata dalam Ilmu Pendidikan Islam, dengan evaluasi
ini, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap kemajuannya,
serta diketahui pula tingkat keberhasilan seorang pendidikdalam menyampaikan
materi pelajaran, menemukan kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan
materi, metode, fasilitas, sarana dan prasarana, lingkungan, dsb. Serta
diketahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih
keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang
telah diberikan, dan mengetahui pula tingkat perubahan tingkah lakunya.
[21] Novan Ardy
Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2012), hlm. 234.
[23]M. Arifin, Ilmun Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 245.
[24]Al-Rasyidin
dkk, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 77-78.
[26] Aspek kognitif
adalah aspek yang mengarah pada ilmu pengetahuan yang sasarannya yaitu cara
berfikir seseorang dalam setiap perbuatan. Metode ini bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Seperti
dalam QS. Al-Baqarah: 31-32. Dalam ayat ini Allah SWT menguji pengetahuan dan pemahaman
Adam tentang dunia ini dan
penciptaannya.
[27] Aspek afektif
adalah aspek yang mengarah pada perasaan atau jiwa dari peserta didik
yang sasarannya adalah cara bersikap dalam perbuatan. Dalam aspek ini bisa dilakukan dengan dua cara, Observasi (pengamatan) dan
Ujian tertulis dan atau lisan.
[28] Aspek
psikomotorik adalah aspek yang mengarah pada keterampilan ataupun kemahiran
peserta didik. Metode yang digunakan dalam aspek ini adalah observasi dan tugas.
[29] Abudin Nata menjelaskan prinsip-prinsip evaluasi ada tiga, yakni prinsip
kesinambungan (kontinuitas), menyeluruh (komperehensif) dan objektif. Lihat Abudin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam…, hlm. 311,
[30] Imam Abu Dawud
as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts
fi Dar Al Fikr), Nomor. 3592 dan 3593.
[31] Tasman Hamami,
Pemikiran Pendidikan Islam: Transformasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Umum, (Yogyakarta: Pustaka Book Publizer, 2008), hlm. 305.
[32] Ahmad Falah, Hadits
Tarbawi, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), hlm. 149-151.
[33]Sukiman, Pengembangan
Sistem Evaluasi PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 51.
[34] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 310-311; Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), hlm. 338. Bandingkan dengan M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 245-246. Menurut M Arifin, Evaluasi Formatif, untuk
menetapkan tingkat penguasaan peserta didik dan menentukan bagian bagian tugas yang belum dikuasai dengan tepat; Evaluasi
Sumatif, penilaian secara umum tentang dasil dari proses belajar mengajar yang
dilakukan setiap akhir periode belajar-mengajar secara terpadu; Evaluasi
Diagnosik, yakni penilaia yang dipusatkan pada proses belajar-mengajar pada
lokalisasi titik yang cocok pada peserta didik, misal, bakat, minat,
keterampilan, latar belakang, keccerdasan, dll; Evaluasi Placement atau
Penempatan, menitik beratkan pada penilaian ilmu pengetahuan dan keterampilan
murid di awal proses KBM, minat dan perhatian siswa dalam proses
belajar-mengajar di kelas, misal belajar kelompok dan sebagainya.
[36]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 239.
SUBHANALLAH ARTIKLENYA BAGUS KAREN LENGKAP DENGAN CATATAN KAKINYA, SEMOGA BISA ISTIQOMAH JADI PENULIS
BalasHapusBagus kak... alhamdulillah punya banyak referensi makasih banyak semoga berkah
BalasHapus