BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu kenyataan yang
harus dihadapi dunia pasca perang dingin adalah kian meningkatnya fenomena
globalisasi berkat kemajuan teknologi informasi. Gelombang globalisasi muncul
sebagai megatrend bukan bersifat mendadak namun sebelumnya sudah
melewati tahapan-tahapan perjalanan sejarah kemanusiaan yang panjang. Mengutip
pendapat Alvin Toffler, dunia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Secara
tegas dikatakan bahwa ribuan tahun yang lalu sebuah gelombang agrikultur
dimulai. Kegiatan utama manusia berubah dari berburu dan berpetualang menjadi
bertani, ekonomi berpusat pada tanah, sifat perekonomian tukar-menukar, setiap
keluarga adalah produsen, hubungan manusia sangat akrab dan personal,
komunikasi sosial bersifat sederhana, secara lisan dan langsung.[1]
Globalisasi budaya dan
peradaban semakin tak terbendung oleh sekat-sekat negara-bangsa. Globalisasi
tidak menghasilkan homogenitas peradaban, tetapi justru melahirkan kesadaran
diversitas manusia di muka bumi dan melahirkan penemuan begitu luasnya
budaya-budaya local. Pluralisme peradaban dengan begitu merupakan akibat saling
pengaruh antara yang global dengan yang lokal, yang universal dengan yang
partikular.
Pengaruh yang ditimbulkan globalisasi pada suatu bangsa terjadi di semua bidang, dari bidang, ekonomi, sosial budaya, keamanan,
politik, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era
globalisasi telah memberikan berbagai macam problem baik tentang
bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau
juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa
adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya
semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer,
televisi, handphone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi
hal yang kompleks dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi
peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan
corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki
lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya
secara lisan, tulisan, bahkan visual.[2]
Selain fenomena diatas, watak globalisasi yang
imanen dalam segala lini kehidupan menjadi fenomena sosiologis yang juga
menyentuh wilayah kehidupan sosial dan spiritual, yang kemudian berimplikasi
pada adanya interdependensi antara elemen-elemen masyarakat. Wilayah spiritual
yang mencakup system kepercayaan, peribadatan, dan nilai-nilai yang dapat
digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup. Kenyataannya, sebagaian
besar masyarakat dunia ini bersifat religius.[3]
Agamapun kemudian menjadi salah satu pembentuk institusi sosial di dalam
masyarakat.
Kehidupan beragama di era globalisasi dihadapkan
pada berbagai tantangan, antara lain modernisasi, liberalisasi, demokrasi,
radikalisme, terorisme, nasionalisme, civil society, dan partai politik.
Selain itu, ada tantangan yang lebih besar lagi dari berbagai tantangan diatas,
sebagaimana yang disebut Samuel Huntington, seorang guru besar ilmu politik di
Harvard University, dengan istilah clash of civilization atau benturan
antar peradaban. Dalam persepsi benturan antar peradaban ini hanya terdapat dua
kubu, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya Negara Eropa pada satu pihak yang
merepresentasikan Dunia Barat, dan Dunia Muslim secara keseluruhan pada pihak
lain.[4]
Di era global seperti ini, dunia pendidikan
Islam mau tak mau harus berdialektika dengan kondisi kemajuan yang ada.
Pendidikan Islam harus merespon fenomena perkembangan dan problem yang sangat kompleks
tersebut. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam arus modernisasi dan globalisasi
dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan peranannya secara aktif. Kehadirannya
diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi baru yang berarti bagi perbaikan
umat Islam.
Selain berdialektika dengan kemajuan yang ada,
pendidikan Islam juga tidak boleh lupa dengan tujuan pendidikan Islam itu
sendiri. Pendidikan Islam harus mampu membentengi umat Islam dari pengaruh negatif
globalisasi dan perkembangan teknologi yang ada, serta memaksimalkan pengaruh
positifnya demi terwujudkan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Apa pengertian globalisasi dan pendidikan Islam?
2.
Bagaimana upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi globalisasi?
3.
Bagaimana konsep dan contoh lembaga pendidikan Islam yang ideal dan unggul?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian globalisasi dan pendidikan Islam.
2. Mengetahui upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi
dampak dari globalisasi.
3. Mengetahui konsep dan contoh lembaga pendidikan
Islam yang ideal dan unggul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan Islam, menurut M. Yusuf
Qardhawi, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup
baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[5]
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselenggarakan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik
hasilnya di akhirat.[6]
Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan
ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui proses dimana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi
sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tegasnya,
senada dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.[7]
Dari semua pengertian tersebut terlihat penekanan pendidikan Islam pada
“bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak
pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, maka anak didik memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Terkait dengan lembaga pendidikan Islam, masih
terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan mana yang layak di
sebut lembaga pendidikan Islam, hal tersebut sudah tentu tidak
lepas dari kenyataan, bahwa di Indonesia terdapat dua model yang selama ini di
katakan sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pertama, dikelola pihak pemerintah yang mana semua system dan peraturan yang
ada sepenuhnya menurut pemerintah. Yang kedua, di
organisasikan oleh masyarakat dan format pelaksaanya juga di rancang sendiri,
namun tidak lepas dari undang undang atau peraturan pemerintah dalam
hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.[8]
Namun secara umum, pengertian dari Pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan
oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[9]
2. Pengertian Globalisasi
Istilah globalisasi diambil dari kata global. Global
berarti seluruhnya atau menyeluruh.[10] Kata
ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan
yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Dunia menjadi sangat transparan
sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas geografis
suatu negara menjadi kabur.
Substansi globalisasi adalah idiologi yang
menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang, baik
ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan budaya.
Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat
muslim Indonesia. Perbentukan dan perkembangan masyarakat muslim Indonesia
bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan
dari waktu ke waktu. Sumber globalisasi adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula Makkah, Madinah dan juga akhir
abad 19 dan awal abad 20 juga Kairo. Karena itu, globalisasi ini bersifat
religio-intelektual, meski dalam kurun waktu tertentu juga diwarnai oleh
semangat religio-politik.[11]
Tetapi, globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim
Indonesia sekarang ini menampilkan sumber atau watak yang berbeda. Proses
globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber dari Timur Tengah melainkan dari
barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai wilayah
kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat
tampil dengan watak ekonomi-politik dan sains-teknologi.
B. Upaya Lembaga Pendidikan Islam
dalam Menghadapi Globalisasi
Globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin
untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus
dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti
yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam
rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan
kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal
sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi,
sehingga pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan besar bagi
pencapaian tahap tinggal landas.
Untuk lebih jelas dari upaya dan usaha itu kami uraikan sebagai berikut:
1. Sikap Kita Terhadap
Globalisasi
Dalam menyikapi isu globalisasi umat Islam terbagi kedalam
tiga kelompok, yaitu yang menerima secara mutlak, menolak sama sekali, dan pertengahan yakni
menyikapinya secara proposional.
Kelompok pertama, yakni orang yang
menerima secara mutlak adalah orang yang di sebutkan oleh Rasulullah dalam
hadistnya bahwa mereka adalah mengikuti cara-cara dan ajaran-ajaran umat lain
sejengkal demi sejengkal, sehingga jika umat lain itu masuk ke lubang biawak
mereka akan mengikutinya inilah sikap para penyeru westernisasi yang berlebihan
di dunia Arab dan Islam.
Kelompok kedua, orang yang menolak sama
sekali adalah yang menjauhi hal-hal yang baru, tidak peduli dengan dunia pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya, mereka ber-uzlah dan menyingkir. Selain kelompok ini, terdapat kelompok lain
yang sering di sebut dengan kelompk fudemintas. Perbedaanya mereka tidak
mengasingkan diri, tetapi malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan yang
mereka tentang atau tolak.
Mereka menganggap bahwa globalisasi akan merusak sendi-sendi budaya islam yang telah
mereka jaga selama bertahun-tahun, ke khawatiran mereka terletak pada westernisasi
dan pembaratan pada budaya setempat melalui arus globalisasi.
Kelompok ketiga, adalaah kelompok
pertengahan yakni yang menyikapinya secara proposianal, menurut Yusuf Qardhawi inilah sikap
yang baik sebagai cermin sebagai manhaj Islam pertengahan. Inilah sikap orang beriman yang
mempunyai wawasan luas dan terbuka yang bangga dengan identitasnya, faham
tentang risalahnya, dan memegang teguh orisinalitasnya, tidak menghindar dari
hal-hal yang baru dan tidak menerima secara berlebihan. Di antara sikap yang
tepat menghadapi globalisasi sebagaimana tersebut di atas adalah sikap proporsional,[12] yakni tidak berlebihan dalam menolak dan menerimanya, kita tentu dapat memilah
milih mana yang di anggap baik dan sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Terhadap pengaruh yang baik, tentu dengan senang hati dapatlah kita terima
dan bahkan jika memungkinkan mengembangkanya untuk mendapat manfaat yang lebih baik.[13]
2. Sikap Pendidikan Islam Dalam Menghadapi
Globalisasi
Qodri Azizi mengatakan pada prinsipnya globalisasi mengadu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, transformasi
dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah
untuk dijangkau.[14] Dari
perkembangan yang cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa
berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula. Menurut Tim
penyusun IAIN Sunan Ampel, agar Islam dapat berarti bagi masyarakat global maka
Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam
yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegarahan hidup
modern. Kedua, menghadirkan Islam yang toleran terhadap manusia secara
keseluruhan agama apapun yang dianutnya. Ketiga, menampilkan visi Islam
yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Keempat, menampilkan Islam yang
mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu
pengetahuan dan etos pembangunan. Kelima, menampilkan revivalitas Islam
dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (in mard
ariented) yaitu membangun kesalehan, intrinsik dan esoteris daripada
intersifikasi ke luar (out wad oriented) yang lebih bersifat ekstrinsik
dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.[15]
Ketika berhadapan dengan ide-ide informasi dan
polarisasi ideologi dunia, terutama di dorong oleh kemajuan iptek modern,
pendidikan islam tidak terlepas dari berbagai tantangan. Tantangan terbesarnya
yaitu benturan antar peradaban sebagaimana telah kami jelaskan di latar
belakang makalah ini.[16]
Huntington mengemukakan
ada enam alasan pokok mengapa benturan
peradaban akan menjadi sumber konflik utama dimasa pasca perang dingin ini. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi
sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan
konflik paling keras dan paling lama. Kedua,
dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda
peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah
mengakibatkan carut-marutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas
lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong
yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan
“fundamentalisme”.[17] Keempat, dominasi peran Barat
menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding
perbedaan politik dan ekonomi. Keenam,
munculnya regionalisme ekonomi yang semakin meningkat.
Implikasi globalisasi terhadap dimensi agama
antara lain:[18]
mencuatnya pola hidup materialistis yang memacu orang mengejar kekayaan materi
dan melemahkan spiritual, konsep sekularisasi telah memberikan perubahan yang
signifikan pada agama masyarakat, munculnya gerakan spiritual sebagai respon
terhadap lemahnya struktur sosial dan tradisi agama yang diajarkan, ditafsikan,
dan ditegakkan dengan berbagai cara, beberapa karakter reformis cenderung
mendunia, banyaknya konflik internal dalam tubuh umat beragama yang dipicu oleh
keinginan memperoleh status sosial dan material, munculnya fundamentalisme yang
anonim dan tumbuh diatas tradisi sebagai tanggapan atas globalisasi.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan dampak
tersebut, pendidikan islam harus memiliki berbagi strategi, sebab agama harus menjawab
tantangan yang relatif dekat di hadapan kita dalam hal ini urusan dunia.
Selain berhubungan dengan urusan perakhiratan jadi harus di jawab sejauh mana
agama kini bisa menjawab tantangan kemajuan itu, iptek harus di kuasai, tetapi
kini tidak boleh di tinggalkan sehingga bisa membentuk sumberdaya manusia yang
handal. Menurut BPPN bahwa cara terbaik mengatasi
kemungkinan dampak negatif adalah melalui peningkatan mutu pendidikan pada
umumnya dan pendidikan agama serta pendidikan moral pada khususnya. Pada dasaranya PPKn atau pendidikan kewarganegaraan,
dan agama sangat relevan untuk penanggulangan dampak negatif dari teknologi
dan informasi, hanya saja untuk kondisi dalam era reformasi sekarang ini di
perlukan pengkajian ulang terhadap metode pengembangan dan pengajaranya
sehingga penanaman sikap maupun penghayatan nilai-nilai relegius akan
semakin menghasilkan perilaku yang lebih baik.[19]
Sedangkan lembaga yang sangat berperan dalam
tantangan itu adalah madrasah, madrasah menempati peran strategis bagi
pendidikan generasi muda umat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak
para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat
di kemudian hari.
Dibandingkan dengan pendidikan di sekolah
umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja memberikan
pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan
agama, sehingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat
hidup bahagia di dunia dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya
pada ajaran agama) Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan
mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi
untuk bahagia di akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan
perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga
menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka
masuki. Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan
oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan
pembangunan bangsa.[20]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu
menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi
global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat
mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus
informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif.[21]
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era
global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada
bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro
pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini
termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya,
sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan
belajar di masyarakat (learning society), yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat
mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik
dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya
masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu
memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi,
politik dan kenegaraan secara simultan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi
pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia
global.[22]
Demi mewujudkan masyarakat madani, terdapat 10 prinsip
pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu:[23]
1. Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan
antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus
senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif
dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai
suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat
dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh,
seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3. Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap
institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan
dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga,
dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan
fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari
pendidikan.
4. Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip
pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk
memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5. Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan
prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana
pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan
sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6. Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan
selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan
upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani
Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak
resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi
arah perubahan.
7. Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi
masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu
menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham
rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang
cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat
lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih
berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
8. Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta
didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang
umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk
kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan
pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk
pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan
dengan anak-anak di perkotaan.
9. Prinsip pendidikan multikultural. Sistem
pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural,
sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan
pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang
bersifat posetif dan konstruktif.
10. Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan
harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat
global.
Solusi pokok yang ditawarkan Rahman, pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan
dinamis dalam sinaran dan integrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosenya.
Dendam lama yang terus dilanggengkan serta penolakan kultur terhadap barat
secara membabibuta bukanlah sifat yang arif. Hal itu hanya akan menjadi
bumerang bagi pengembangan intelektual Islam. Disinilah “sikap mental” kalangan intelektual
muslim perlu dikaji dan ditata kembali. Sikap ini bisa dikatakan cukup moderat
dan acceptable dikalangan muslim.[24] Beberapa
hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi:
1. Perlu segera
diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para
professional baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh
memiliki keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan
islam.
2. Perlu diciptakan iklim
yang kondusif untuk dapat kembali melahirkan para intelektual muslim yang handal
sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan islam dahulu.
3. Perlu dilakukan dialog
intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan,
menimba, dan jika perlu menyerap unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi
kemajuan pendidikan islam.
4. Perlu lebih dikembangkan
model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur
luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikannya.[25]
C.
Potret Madrasah Ideal dan Unggulan
Madrasah unggulan yang lahir belakangan, tentu berdasar pada inovasi
kekinian dan sengaja dipersiapkan terhadap kebutuhan modernitas yang berkembang
sangat pesat. Sebagai salah satu alternatif pendidikan kontemporer, madrasah unggulan berusaha menampilkan visi orientasi pendidikannya pada
dataran realitas. Berbagai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi,
pendidikan unggulan mencoba menawarkan “nilai jual” daripada “jual nilai” yang
kehilangan realitasnya. Madrasah unggulan
tentu saja mengadopsi dari beberapa sistem pendidikan.
Sampai sekarang, madrasah unggulan
masih tergolong langka dan tidak semua orang dapat ‘menyentuh’ model madrasah itu. Madrasah unggulan
mencoba tampil beda dari yang lain. Sistem pendidikannya dikelola secara
profesional dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Dari gedung sekolah
sampai tempat pemondokan disediakan dengan sarana mewah. Alat-alat penunjang
belajar tercukupi yang disediakan untuk anak didik. Bahkan lingkungannya pun
memilih pada dataran yang benar-benar alami yang jauh dari polusi udara dan limbah.
Model-model madrasah yang ideal
dan unggul sebenarnya merupakan nilai filosofi dan nilai tentang persaingan
sehat (positive competition) yang ide dasarnya dikembangkan dari The
Plilosophy of Social Darwinism. Menurut filosofi ini, sekolah secara
evolutif akan bersaing satu sama lain berlandaskan proses seleksi alamiah yang
memungkinkan sekolah ini menjadi yang terbaik. Gerakan ini mempengaruhi Amerika
untuk membuat tes terstandar guna menguji hasil belajar murid dan menentukan
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sejak skor ini dibuat pemerintah,
terjadi kompetisi diantara guru, sekolah distrik, bahkan Negara-negara bagian
di Amerika juga meningkatkan upayanya untuk mencapai standar yang telah
ditetapkan oleh Negara.[26]
Sebagai contoh madrasah
unggulan yang bisa dijadikan contoh madrasah ideal diantaranya Madrasah Insan
Cendekia dan Al Azhar di Jakarta, Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, SD
Salsabila Malang, MIN Malang 1, SD Al Furqon Jember, SD Muhammadiyah Sapen
Yogyakarta, dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Dari beberapa sekolah yang
telah disebutkan diatas, akan kami gambarkan salah satu potret madrasah
diantaranya, yaitu MAN Insan Cendekia di Serpong Jakarta.
MAN Insan Cendekia adalah sebuah Madrasah Aliyah
Negeri yang terletak di 9 tempat di seluruh Indonesia (Serpong,Gorontalo, Jambi, Aceh
Timur, OKI Sumsel, Siak Riau, Bangka Belitung, Kaltim, dan Pekalongan) dan dibina langsung oleh kementerian agama. Madrasah ini didirikan
oleh Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibi melalui BPPT. Visinya misinya sebagaimana yang penulis kutip dari
laman resmi madrasah tersebut adalah terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam
keimanan dan ketakwaaan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mampu
mengaktualisasikan diri dalam kehidupan masyarakat. Misinya menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, mempunyai daya juang tinggi, mampu berkomunikasi dalam
bahasa internasional, inovatif, dan mempunyai landasan iman dan takwa yang
kuat, membentuk sumber daya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang
profesional, menjadikan MAN Insan Cendekia Serpong sebagai madrasah model dalam
pengembangan pengajaran iptek dan imtak bagi lembaga pendidikan lainnya.[27]
Profil lulusan yang
diharapkan adalah sebagai berikut:
a. Aspek Sikap
1) Memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2) Memiliki nilai-nilai etika dan estetika.
3) Memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora.
b. Aspek Pengetahuan
1) Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian
2) Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan akademik untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
c. Aspek Keterampilan
1) Memiliki kecakapan dalam bidang kepemimpinan
2) Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah
abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang
dipelajari di sekolah secara mandiri
3) Memiliki keterampilan berkomunikasi (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan
lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam, baik lokal, regional, maupun
global.
4) Memiliki kesehatan jasmani rohani dan, kemampuan kewirausahaan
(entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas dan kegiatan
sehari-hari, terutama untuk membantu tugas atau aktivitas belajar.
Untuk mencapai profil
lulusan tersebut, madrasah ini menerapkan system kurikulum asrama. Kurikulum keasaramaan disusun untuk menunjang
tumbuhnya ruh keagamaan peserta didik. Kurikulum tersebut meliputi: pembinaan salimul aqidah, shohihul ibadah dan akhlakul
karimah. Pembinaan keagamaan tersebut meliputi: Tahfizhul Quran, Tahfizhul Hadis, Kajian Kitab Kuning (Qira’atul Kutub), Pembinaan Imam Shalat, Pembinaan Khatib Jum’at, Taushiah, Aktualisasi Religiusitas,
dan Pengajian Pegawai.
Keberadaan system asrama di MAN
Insan Cendekian tersebut bisa menjadi prototip madrasah unggulan an ideal.
Adanya system boarding di madrasah tersebut, pembelajaran siswa menjadi lebih
terarah, berkwalitas, dan memadai. Terarah karena pembelajarannya di kelas dan
di asrama di desain untuk saling mendukung dan melengkapi untuk mencapai tujuan
utama pendidikan. Berkwalitas, karena pembelajaran di asrama dan diluar jam
sekolah memungkinkan untuk lebih diperdalam dan ditingkatkan memadai, karena
waktu yang tersedia tidak hanya terbatas di waktu yang dialokasikan di jam
belajar sekolah saja. Adanya MAN Insan Cendekia merupakan jawaban terhadap
proses dikotomi pendidikan selama ini.
Untuk menata kwalitas lembaga
pendidikan madrasah masih perlu dilakukan dengan memacu keunggulan dalam aspek
muatan local, keterampilan-keterampilan vokasional, dan ekstrakurikuler. Dalam
pengebangan muatan local ini, madrasah modern dimungkinkan penambahan jam
belajar diluar jam sekolah, sehingga siswa lebih lama di madrasah. Muatan local
bisa berbentuk cirri khas kunggulan daerah seperti kesenian, budaya, bahasa,
keterampilan khusus, sesuai dengan kebutuhan. Keterampilan vokasional merupakan
keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh keahlian khusus di bidang-bidang
pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, seperti pertanian, perbengkelan,
tata busana, dll. Sedangkan kegiata ekstra adalah kegiatan pendukung yang
memungkinkan siswa untuk meningkatkan minat dan bakat, misalnya seni, pramuka,
PMI, pecinta alam, dsb.
Kerjasama kelembagaan dan
menggerakan dukungan masyarakat merupakan keunggulan madrasah yang memang sudah
menjadi cirri khas, sebab pada dasarnya madrasah merupakan community based
education. Ketersediaan pendanaan sector pendidikan madrasah yang terbatas dan
sustainabilitas program pengembangan madrasah mutlak membutuhkan dukungan dan
kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Hal
ini sudah dirintis sejak program perintisan madrasah modern, unggulan, terpadu,
sebagai sebuah exit strategy yang diterapkan dengan melibatkan masyarakat dan
pemerintah terkait dalam perencanaan program dan evaluasi.
BAB III
KESIMPULAN
Istilah globalisasi diambil dari kata global. Global berarti seluruhnya
atau menyeluruh. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah
kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Substansi
globalisasi adalah idiologi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat
luas dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan
budaya.
Kehidupan beragama di era globalisasi dihadapkan pada berbagai tantangan,
antara lain modernisasi, liberalisasi, demokrasi, radikalisme, terorisme,
nasionalisme, civil society, dan partai politik. Selain itu, ada
tantangan yang lebih besar lagi dari berbagai tantangan diatas, sebagaimana
yang disebut Samuel Huntington, seorang guru besar ilmu politik di Harvard
University, dengan istilah clash of civilization atau benturan antar
peradaban.
Beberapa hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi: Perlu segera
diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para professional
baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh memiliki
keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan islam. Perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk dapat
kembali melahirkan para intelektual muslim yang handal sebagaimana encyclopedic
scholars di masa kejayaan islam dahulu. Perlu dilakukan dialog intensif dan terbuka dengan
barat yang dimaksudkan untuk membandingkan, menimba, dan jika perlu menyerap
unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi kemajuan pendidikan islam. Perlu lebih dikembangkan
model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur
luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikannya.
Sebagai prototip lembaga pendidikan Islam yang ideal dan unggul salah
satunya adalah MAN Insan Cendekia Serpong. Madrasah ini mengintegrasikan antara
intelektual dan spiritual, keduniaan dan keakheratan secara proporsional.
Dengan system kurikulum asrama dan pengembangan lainnya, marasah ini sangat
unggul dan mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi dan memiliki
multi kecerdasan, spiritual, intelektual, sosial, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami
A. Gani dan Zainal Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Bumi Aksara, 1989.
Azizy, Qodri
Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme,
dan Pluralitas, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Esposito, John, Ancaman Islam: Mitos atau
Realitas?: Revisi Menggugat Tesis Huntingtom, Bandung: Mizan, 1996.
Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: Apollo.
Huntington, Samuel, The Clash of Civilizations And The Remaking of
Word Order, terj M. Sadat Ismail, Benturan Antar Peradaban: dan Masa
Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2003.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung;
Al-Maarif, 1980.
Maimun, Agus dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga
Pendidikan Alternatif di Era Kompetitif, Malang: UIN Malang Press, 2010.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Al-Maarif, 1980.
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 2003.
_____________,Manajemen Pendidikan: Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.
Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2005.
Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.
Wahid, Abdurahman, “Pesantren sebagai
Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta:
LP3ES, 1994.
Yasin, Ahmad Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press,
2008.
Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus
Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
[1]Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 48.
[3]Abdurahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo,
Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 48.
[4]Menurut Huntington, dengan berakhirnya perang dingin yang ditandai
dengan runtuhnya idiologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase
barat, dan yang mewarnai adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat
serta antar peradaban Barat itu sendiri. Ia mengelompokan Negara-negara bukan
atas dasar system politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan pada budaya dan
peradaban. Ia mengidentifikasi Sembilan peradaban kontemporer, yaitu peradaban
Barat, China, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen
Ortodoks. Menurutnya, benturan yang paling keras akan terjadi antara kebudayaan
Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Lihat Samuel Huntington, The Clash of
Civilizations And The Remaking of Word Order, terj M. Sadat Ismail, Benturan
Antar Peradaban: dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2003),
hlm. 17.
[5] Yusuf Al- Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal
Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 157.
[6] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,
(Bandung; Al-Maarif, 1980), hal. 94.
[7]Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif,
1980), hal. 23.
[12] Sikap umat Islam yang proporsional seperti
ini sesuai dengan konsep yang disinyalkan Al-Quran QS.
Al-Baqarah: 143 disebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agat Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”. Umat Islam
disebut ummatan wasathan, umat yang moderat, umat yang adil yang tidak
berat sebelah, proporsional antara kepentingan material dan spiritual,
ketuhanan dan kemanusiaan, akal dan wahyu, dunia dan akherat, atau bahasa
lainnya seimbang antara keduanya.
[13] Ahmad Fatah
Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hal. 257-274.
[14] Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.
[16] Walaupun validitas teori benturan peradaban Huntington ini, baik pada
level wacana teoritis maupun empiris masih diperdebatkan oleh para ahli, tetapi
setidaknya teori ini dapat diambil sebagai ikhtiar kehati-hatian umat Muslim dalam
menghadapi globalisasi. Pada level wacana teoritis, telah banyak gugatan dan
argument bantahan dari kalangan ahli Barat dan Muslim yang menolak validitas
logika dan argument Huntington. Kontra argument itu pada intinya menyimpulkan
bahwa Huntington telah melakukan sweeping generalizations dan gross
simplifications, simplikasi berlebih-lebihan terhadap dinamika hubungan
Islam Barat. Padahal hubungan diantara kedua dunia ini tidaklah sesederhana yang
dipersepsikan Huntington, tetapi sebaliknya sangat kompleks dan multi-facetted,
dimasa lalu apalagi di masa kini. Lagipula, istilah civilization yang menurut
Huntington mengalami perbenturan mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas,
mulai kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sains, teknologi,
dll. Memandang luasnya aspek-aspek peradaban ini, maka jika memang ada benuran,
hal tersebut terutama terjadi pada bidang politik dan militer yang dalam kasus-kasus
tertentu berasal dari atau melibatkan factor agama, dalam hal ini Kristen dan Islam.
Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme,
dan Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.
[17] Fundamentalisme ini sering
disejajarkan dengan aktivitas politik ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan
anti-Amerika. Nampaknya makna seperti
itu yang dipegangi oleh Huntington dalam mengartikan istilah fundamentalisme.
Mungkin memang benar, bahwa sebagian terlibat dalam religio-politik radikal,
namun menurut Esposito, yang terlihat dari kaum fundamentalisme justru bekerja
dalam tatanan yang mapan. Esposito sendiri lebih memilih mengistilahkan “
aktivisme Islam” atau “kebangkitan Islam” yang tidak terlalu dibebani oleh nilai-nilai
yang berakar pada tradisi Islam, daripada istilah “fundamentalisme” yang
terlalu dibebani oleh praduga Kristiani dan stereotip Barat dan juga
menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada. Lihat John Esposito, Ancaman
Islam: Mitos atau Realitas?: Revisi Menggugat Tesis Huntingtom, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 18.
[18] Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 83.
[19]Ahmad Fatah
Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusiadi Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 6-8.
[20]Wina Sanjaya, Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta:
Kencana, 2005), hal. 5.
[21]Abudin Nata, Manajemen
Pendidikan, Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor : Kencana, 2003) hal. 78.
[26] Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 31.
[27] Diambil dari laman resmi MAN Insan Cendekia Serpong, ic.sch.id,
pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.15 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar