Rabu, 18 Januari 2017

UPAYA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM MENGHADAPI GLOBALISASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu kenyataan yang harus dihadapi dunia pasca perang dingin adalah kian meningkatnya fenomena globalisasi berkat kemajuan teknologi informasi. Gelombang globalisasi muncul sebagai megatrend bukan bersifat mendadak namun sebelumnya sudah melewati tahapan-tahapan perjalanan sejarah kemanusiaan yang panjang. Mengutip pendapat Alvin Toffler, dunia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Secara tegas dikatakan bahwa ribuan tahun yang lalu sebuah gelombang agrikultur dimulai. Kegiatan utama manusia berubah dari berburu dan berpetualang menjadi bertani, ekonomi berpusat pada tanah, sifat perekonomian tukar-menukar, setiap keluarga adalah produsen, hubungan manusia sangat akrab dan personal, komunikasi sosial bersifat sederhana, secara lisan dan langsung.[1]
Globalisasi budaya dan peradaban semakin tak terbendung oleh sekat-sekat negara-bangsa. Globalisasi tidak menghasilkan homogenitas peradaban, tetapi justru melahirkan kesadaran diversitas manusia di muka bumi dan melahirkan penemuan begitu luasnya budaya-budaya local. Pluralisme peradaban dengan begitu merupakan akibat saling pengaruh antara yang global dengan yang lokal, yang universal dengan yang partikular.
Pengaruh yang ditimbulkan globalisasi pada suatu bangsa terjadi di semua bidang, dari bidang, ekonomi, sosial budaya, keamanan, politik, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era globalisasi  telah memberikan berbagai macam problem baik tentang bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer, televisi, handphone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi hal yang kompleks dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.[2]
Selain fenomena diatas, watak globalisasi yang imanen dalam segala lini kehidupan menjadi fenomena sosiologis yang juga menyentuh wilayah kehidupan sosial dan spiritual, yang kemudian berimplikasi pada adanya interdependensi antara elemen-elemen masyarakat. Wilayah spiritual yang mencakup system kepercayaan, peribadatan, dan nilai-nilai yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup. Kenyataannya, sebagaian besar masyarakat dunia ini bersifat religius.[3] Agamapun kemudian menjadi salah satu pembentuk institusi sosial di dalam masyarakat.
Kehidupan beragama di era globalisasi dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain modernisasi, liberalisasi, demokrasi, radikalisme, terorisme, nasionalisme, civil society, dan partai politik. Selain itu, ada tantangan yang lebih besar lagi dari berbagai tantangan diatas, sebagaimana yang disebut Samuel Huntington, seorang guru besar ilmu politik di Harvard University, dengan istilah clash of civilization atau benturan antar peradaban. Dalam persepsi benturan antar peradaban ini hanya terdapat dua kubu, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya Negara Eropa pada satu pihak yang merepresentasikan Dunia Barat, dan Dunia Muslim secara keseluruhan pada pihak lain.[4]
Di era global seperti ini, dunia pendidikan Islam mau tak mau harus berdialektika dengan kondisi kemajuan yang ada. Pendidikan Islam harus merespon fenomena perkembangan dan problem yang sangat kompleks tersebut. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam arus modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan peranannya secara aktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi baru yang berarti bagi perbaikan umat Islam.
Selain berdialektika dengan kemajuan yang ada, pendidikan Islam juga tidak boleh lupa dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam harus mampu membentengi umat Islam dari pengaruh negatif globalisasi dan perkembangan teknologi yang ada, serta memaksimalkan pengaruh positifnya demi terwujudkan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Apa pengertian globalisasi dan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi globalisasi?
3.      Bagaimana konsep dan contoh lembaga pendidikan Islam yang ideal dan unggul?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian globalisasi dan pendidikan Islam.
2.      Mengetahui upaya lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi dampak dari globalisasi.
3.      Mengetahui konsep dan contoh lembaga pendidikan Islam yang ideal dan unggul.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.      Pengertian Pendidikan  Islam
Ada beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan Islam, menurut M. Yusuf Qardhawi, pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[5] Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselenggarakan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[6]
Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui proses dimana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tegasnya, senada dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[7]
Dari semua pengertian tersebut terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka anak didik memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Terkait dengan lembaga pendidikan Islam, masih terdapat perbedaan pendapat dalam  menetapkan mana yang  layak di sebut lembaga pendidikan Islam,  hal  tersebut sudah tentu tidak lepas dari kenyataan, bahwa di Indonesia terdapat dua model yang selama ini di katakan sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pertama, dikelola pihak pemerintah yang mana semua system dan peraturan yang ada sepenuhnya menurut pemerintah. Yang kedua, di organisasikan oleh masyarakat dan format pelaksaanya juga di rancang sendiri, namun  tidak lepas dari undang undang atau peraturan pemerintah dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.[8]
Namun secara umum, pengertian dari Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan  yang mencakup seluruh aspek  kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[9]
2.      Pengertian Globalisasi
Istilah globalisasi diambil dari kata global. Global berarti seluruhnya atau menyeluruh.[10] Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas geografis suatu negara menjadi kabur.
Substansi globalisasi adalah idiologi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan budaya.
Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat muslim Indonesia. Perbentukan dan perkembangan masyarakat muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu ke waktu. Sumber globalisasi adalah Timur Tengah, khususnya mula-mula Makkah, Madinah dan juga akhir abad 19 dan awal abad 20 juga Kairo. Karena itu, globalisasi ini bersifat religio-intelektual, meski dalam kurun waktu tertentu juga diwarnai oleh semangat religio-politik.[11]
Tetapi, globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber atau watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber dari Timur Tengah melainkan dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai wilayah kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat tampil dengan watak ekonomi-politik dan sains-teknologi.

B.     Upaya Lembaga Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar  modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat memberikan  sumbangan besar bagi pencapaian tahap tinggal landas.
Untuk lebih jelas dari upaya dan usaha itu kami uraikan sebagai berikut:
1.      Sikap Kita Terhadap  Globalisasi
Dalam menyikapi isu globalisasi umat Islam terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu yang menerima secara mutlak, menolak sama sekali, dan pertengahan yakni menyikapinya secara proposional.
Kelompok pertama, yakni orang yang menerima secara mutlak adalah orang yang di sebutkan oleh Rasulullah dalam hadistnya bahwa mereka adalah mengikuti cara-cara dan ajaran-ajaran umat lain sejengkal demi sejengkal, sehingga jika umat lain itu masuk ke lubang biawak mereka akan mengikutinya inilah sikap para penyeru westernisasi yang berlebihan di dunia Arab dan Islam.
Kelompok kedua, orang yang menolak sama sekali adalah yang menjauhi hal-hal yang baru, tidak peduli dengan dunia pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya, mereka ber-uzlah dan menyingkir. Selain kelompok ini, terdapat kelompok lain yang sering di sebut dengan kelompk fudemintas. Perbedaanya mereka tidak mengasingkan diri, tetapi malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan yang mereka tentang atau tolak.
Mereka menganggap bahwa globalisasi akan merusak sendi-sendi budaya islam yang telah mereka jaga selama bertahun-tahun, ke khawatiran mereka terletak pada westernisasi dan pembaratan pada budaya setempat melalui arus globalisasi.
Kelompok ketiga, adalaah kelompok pertengahan yakni yang menyikapinya secara proposianal, menurut Yusuf Qardhawi  inilah sikap yang baik sebagai cermin sebagai manhaj Islam pertengahan. Inilah sikap orang beriman yang mempunyai wawasan luas dan terbuka yang bangga dengan identitasnya, faham tentang risalahnya, dan memegang teguh orisinalitasnya, tidak menghindar dari hal-hal yang baru dan tidak menerima secara berlebihan. Di antara sikap yang tepat menghadapi globalisasi sebagaimana tersebut di atas adalah sikap proporsional,[12] yakni tidak berlebihan dalam menolak dan menerimanya, kita tentu dapat memilah milih mana yang di anggap baik dan sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Terhadap pengaruh yang baik, tentu dengan senang hati dapatlah kita terima dan bahkan jika memungkinkan mengembangkanya untuk mendapat manfaat yang lebih baik.[13]
2.      Sikap Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Globalisasi
Qodri Azizi mengatakan pada prinsipnya globalisasi mengadu pada perkembangan-perkembangan yang cepat dalam teknologi, komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah untuk dijangkau.[14] Dari perkembangan yang cepat di berbagai bidang inilah, pendidikan Islam bisa berpeluang besar untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cepat pula. Menurut Tim penyusun IAIN Sunan Ampel, agar Islam dapat berarti bagi masyarakat global maka Islam diharapkan tampil dengan nuansa sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegarahan hidup modern. Kedua, menghadirkan Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun yang dianutnya. Ketiga, menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Keempat, menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan dan etos pembangunan. Kelima, menampilkan revivalitas Islam dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (in mard ariented) yaitu membangun kesalehan, intrinsik dan esoteris daripada intersifikasi ke luar (out wad oriented) yang lebih bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.[15]
Ketika berhadapan dengan ide-ide informasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama di dorong oleh kemajuan iptek modern, pendidikan islam tidak terlepas dari berbagai tantangan. Tantangan terbesarnya yaitu benturan antar peradaban sebagaimana telah kami jelaskan di latar belakang makalah ini.[16]
Huntington mengemukakan ada enam alasan pokok mengapa  benturan peradaban akan menjadi sumber konflik utama dimasa pasca  perang dingin ini. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan carut-marutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”.[17] Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat.  Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, munculnya regionalisme ekonomi yang semakin meningkat.
Implikasi globalisasi terhadap dimensi agama antara lain:[18] mencuatnya pola hidup materialistis yang memacu orang mengejar kekayaan materi dan melemahkan spiritual, konsep sekularisasi telah memberikan perubahan yang signifikan pada agama masyarakat, munculnya gerakan spiritual sebagai respon terhadap lemahnya struktur sosial dan tradisi agama yang diajarkan, ditafsikan, dan ditegakkan dengan berbagai cara, beberapa karakter reformis cenderung mendunia, banyaknya konflik internal dalam tubuh umat beragama yang dipicu oleh keinginan memperoleh status sosial dan material, munculnya fundamentalisme yang anonim dan tumbuh diatas tradisi sebagai tanggapan atas globalisasi.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan dampak tersebut, pendidikan islam harus memiliki berbagi strategi, sebab agama harus menjawab tantangan yang relatif dekat di hadapan  kita dalam hal ini urusan dunia. Selain berhubungan dengan urusan perakhiratan jadi harus di jawab sejauh mana agama kini bisa menjawab tantangan kemajuan itu, iptek harus di kuasai, tetapi kini tidak boleh di tinggalkan sehingga bisa membentuk sumberdaya manusia yang handal. Menurut BPPN bahwa cara terbaik mengatasi kemungkinan dampak negatif adalah melalui peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama serta pendidikan moral pada khususnya. Pada dasaranya PPKn atau pendidikan kewarganegaraan, dan  agama sangat relevan untuk penanggulangan dampak negatif dari teknologi dan informasi, hanya saja untuk kondisi dalam era reformasi sekarang ini di perlukan pengkajian ulang terhadap metode pengembangan dan pengajaranya sehingga penanaman sikap maupun penghayatan nilai-nilai  relegius akan semakin menghasilkan perilaku yang lebih baik.[19]
Sedangkan lembaga yang sangat berperan dalam tantangan itu adalah madrasah, madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda umat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari.
Dibandingkan dengan  pendidikan di sekolah  umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama, sehingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum  mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.[20]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif.[21]
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya, sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society), yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia global.[22]
Demi mewujudkan masyarakat madani, terdapat 10 prinsip pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu:[23]
1.      Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
2.      Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3.      Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan.
4.      Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5.      Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6.      Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
7.      Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
8.      Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan.
9.      Prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
10.  Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.

Solusi pokok yang ditawarkan Rahman, pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan integrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosenya. Dendam lama yang terus dilanggengkan serta penolakan kultur terhadap barat secara membabibuta bukanlah sifat yang arif. Hal itu hanya akan menjadi bumerang bagi pengembangan intelektual Islam. Disinilah “sikap mental” kalangan intelektual muslim perlu dikaji dan ditata kembali. Sikap ini bisa dikatakan cukup moderat dan acceptable dikalangan muslim.[24] Beberapa hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi:
1.      Perlu segera diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para professional baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh memiliki keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan islam.
2.      Perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk dapat kembali melahirkan para intelektual muslim yang handal sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan islam dahulu.
3.      Perlu dilakukan dialog intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan, menimba, dan jika perlu menyerap unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi kemajuan pendidikan islam.
4.      Perlu lebih dikembangkan model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikannya.[25]

C.    Potret Madrasah Ideal dan Unggulan
Madrasah unggulan yang lahir belakangan, tentu berdasar pada inovasi kekinian dan sengaja dipersiapkan terhadap kebutuhan modernitas yang berkembang sangat pesat. Sebagai salah satu alternatif pendidikan kontemporer, madrasah unggulan berusaha menampilkan visi orientasi pendidikannya pada dataran realitas. Berbagai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi, pendidikan unggulan mencoba menawarkan “nilai jual” daripada “jual nilai” yang kehilangan realitasnya. Madrasah unggulan tentu saja mengadopsi dari beberapa sistem pendidikan.
Sampai sekarang, madrasah unggulan masih tergolong langka dan tidak semua orang dapat ‘menyentuh’ model madrasah itu. Madrasah unggulan mencoba tampil beda dari yang lain. Sistem pendidikannya dikelola secara profesional dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Dari gedung sekolah sampai tempat pemondokan disediakan dengan sarana mewah. Alat-alat penunjang belajar tercukupi yang disediakan untuk anak didik. Bahkan lingkungannya pun memilih pada dataran yang benar-benar alami yang jauh dari polusi udara dan limbah.
Model-model madrasah yang ideal dan unggul sebenarnya merupakan nilai filosofi dan nilai tentang persaingan sehat (positive competition) yang ide dasarnya dikembangkan dari The Plilosophy of Social Darwinism. Menurut filosofi ini, sekolah secara evolutif akan bersaing satu sama lain berlandaskan proses seleksi alamiah yang memungkinkan sekolah ini menjadi yang terbaik. Gerakan ini mempengaruhi Amerika untuk membuat tes terstandar guna menguji hasil belajar murid dan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sejak skor ini dibuat pemerintah, terjadi kompetisi diantara guru, sekolah distrik, bahkan Negara-negara bagian di Amerika juga meningkatkan upayanya untuk mencapai standar yang telah ditetapkan oleh Negara.[26]
Sebagai contoh madrasah unggulan yang bisa dijadikan contoh madrasah ideal diantaranya Madrasah Insan Cendekia dan Al Azhar di Jakarta, Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, SD Salsabila Malang, MIN Malang 1, SD Al Furqon Jember, SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta, dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Dari beberapa sekolah yang telah disebutkan diatas, akan kami gambarkan salah satu potret madrasah diantaranya, yaitu MAN Insan Cendekia di Serpong Jakarta.
MAN Insan Cendekia adalah sebuah Madrasah Aliyah Negeri yang terletak di 9 tempat di seluruh Indonesia (Serpong,Gorontalo, Jambi, Aceh Timur, OKI Sumsel, Siak Riau, Bangka Belitung, Kaltim, dan Pekalongan) dan dibina langsung oleh kementerian agama. Madrasah ini didirikan oleh Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibi melalui BPPT. Visinya misinya sebagaimana yang penulis kutip dari laman resmi madrasah tersebut adalah terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaaan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan masyarakat. Misinya menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai daya juang tinggi, mampu berkomunikasi dalam bahasa internasional, inovatif, dan mempunyai landasan iman dan takwa yang kuat, membentuk sumber daya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional, menjadikan MAN Insan Cendekia Serpong sebagai madrasah model dalam pengembangan pengajaran iptek dan imtak bagi lembaga pendidikan lainnya.[27]
Profil lulusan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a.       Aspek Sikap
1)   Memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2)   Memiliki nilai-nilai etika dan estetika.
3)   Memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora.
b.      Aspek Pengetahuan
1)   Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan  metakognitif  dalam  ilmu pengetahuan,  teknologi, seni, dan budaya dengan  wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian
2)   Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan akademik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
c.       Aspek Keterampilan
1)   Memiliki kecakapan dalam bidang kepemimpinan
2)   Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan  dari  yang  dipelajari  di  sekolah  secara mandiri
3)   Memiliki keterampilan berkomunikasi (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam, baik lokal, regional, maupun global.
4)   Memiliki kesehatan jasmani rohani dan, kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari, terutama untuk membantu tugas atau aktivitas belajar.

Untuk mencapai profil lulusan tersebut, madrasah ini menerapkan system kurikulum asrama. Kurikulum keasaramaan disusun untuk menunjang tumbuhnya ruh keagamaan peserta didik. Kurikulum tersebut meliputi: pembinaan salimul aqidah, shohihul ibadah dan akhlakul karimah. Pembinaan keagamaan tersebut meliputi: Tahfizhul Quran, Tahfizhul Hadis, Kajian Kitab Kuning (Qira’atul Kutub), Pembinaan Imam Shalat, Pembinaan Khatib Jum’at, Taushiah, Aktualisasi Religiusitas, dan Pengajian Pegawai.
Keberadaan system asrama di MAN Insan Cendekian tersebut bisa menjadi prototip madrasah unggulan an ideal. Adanya system boarding di madrasah tersebut, pembelajaran siswa menjadi lebih terarah, berkwalitas, dan memadai. Terarah karena pembelajarannya di kelas dan di asrama di desain untuk saling mendukung dan melengkapi untuk mencapai tujuan utama pendidikan. Berkwalitas, karena pembelajaran di asrama dan diluar jam sekolah memungkinkan untuk lebih diperdalam dan ditingkatkan memadai, karena waktu yang tersedia tidak hanya terbatas di waktu yang dialokasikan di jam belajar sekolah saja. Adanya MAN Insan Cendekia merupakan jawaban terhadap proses dikotomi pendidikan selama ini.  
Untuk menata kwalitas lembaga pendidikan madrasah masih perlu dilakukan dengan memacu keunggulan dalam aspek muatan local, keterampilan-keterampilan vokasional, dan ekstrakurikuler. Dalam pengebangan muatan local ini, madrasah modern dimungkinkan penambahan jam belajar diluar jam sekolah, sehingga siswa lebih lama di madrasah. Muatan local bisa berbentuk cirri khas kunggulan daerah seperti kesenian, budaya, bahasa, keterampilan khusus, sesuai dengan kebutuhan. Keterampilan vokasional merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh keahlian khusus di bidang-bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, seperti pertanian, perbengkelan, tata busana, dll. Sedangkan kegiata ekstra adalah kegiatan pendukung yang memungkinkan siswa untuk meningkatkan minat dan bakat, misalnya seni, pramuka, PMI, pecinta alam, dsb.
Kerjasama kelembagaan dan menggerakan dukungan masyarakat merupakan keunggulan madrasah yang memang sudah menjadi cirri khas, sebab pada dasarnya madrasah merupakan community based education. Ketersediaan pendanaan sector pendidikan madrasah yang terbatas dan sustainabilitas program pengembangan madrasah mutlak membutuhkan dukungan dan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Hal ini sudah dirintis sejak program perintisan madrasah modern, unggulan, terpadu, sebagai sebuah exit strategy yang diterapkan dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah terkait dalam perencanaan program dan evaluasi.
  
BAB III
KESIMPULAN

Istilah globalisasi diambil dari kata global. Global berarti seluruhnya atau menyeluruh. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Substansi globalisasi adalah idiologi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan budaya.
Kehidupan beragama di era globalisasi dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain modernisasi, liberalisasi, demokrasi, radikalisme, terorisme, nasionalisme, civil society, dan partai politik. Selain itu, ada tantangan yang lebih besar lagi dari berbagai tantangan diatas, sebagaimana yang disebut Samuel Huntington, seorang guru besar ilmu politik di Harvard University, dengan istilah clash of civilization atau benturan antar peradaban.
Beberapa hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi: Perlu segera diwujudkannya masyarakat/komunitas pendidikan islam, yang terdiri dari para professional baik teoritisi maupun praktisi pendidikan islam, yang secara penuh memiliki keberpihakandan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan pendidikan islam. Perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk dapat kembali melahirkan para intelektual muslim yang handal sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan islam dahulu. Perlu dilakukan dialog intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan, menimba, dan jika perlu menyerap unsur-unsur yang dapat diterapkan bagi kemajuan pendidikan islam. Perlu lebih dikembangkan model kajian pendidikan yang mampu berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur luar, serta mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikannya.
Sebagai prototip lembaga pendidikan Islam yang ideal dan unggul salah satunya adalah MAN Insan Cendekia Serpong. Madrasah ini mengintegrasikan antara intelektual dan spiritual, keduniaan dan keakheratan secara proporsional. Dengan system kurikulum asrama dan pengembangan lainnya, marasah ini sangat unggul dan mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi dan memiliki multi kecerdasan, spiritual, intelektual, sosial, dsb.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Bumi Aksara, 1989.

Azizy, Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Esposito, John, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?: Revisi Menggugat Tesis Huntingtom, Bandung: Mizan, 1996.

Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: Apollo.

Huntington, Samuel, The Clash of Civilizations And The Remaking of Word Order, terj M. Sadat Ismail, Benturan Antar Peradaban: dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2003.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung; Al-Maarif, 1980.

Maimun, Agus dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan Alternatif di Era Kompetitif, Malang: UIN Malang Press, 2010.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif, 1980.

Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 2003.

_____________,Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.

Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2005.

Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.

Wahid, Abdurahman, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1994.

Yasin, Ahmad Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.






[1]Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 48.
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 78.
[3]Abdurahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 48.
[4]Menurut Huntington, dengan berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya idiologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase barat, dan yang mewarnai adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta antar peradaban Barat itu sendiri. Ia mengelompokan Negara-negara bukan atas dasar system politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan pada budaya dan peradaban. Ia mengidentifikasi Sembilan peradaban kontemporer, yaitu peradaban Barat, China, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks. Menurutnya, benturan yang paling keras akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Lihat Samuel Huntington, The Clash of Civilizations And The Remaking of Word Order, terj M. Sadat Ismail, Benturan Antar Peradaban: dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 17.
[5] Yusuf Al- Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 157.
[6] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung; Al-Maarif, 1980), hal. 94. 
[7]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1980), hal. 23. 
[8]Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal. 1.
[9]M. Arifin, MED, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Bumi Aksara, 1989), hal. 24.
[10]Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Apollo), hal. 175.
[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hal. 43.
[12] Sikap umat Islam yang proporsional seperti ini sesuai dengan konsep yang disinyalkan Al-Quran QS. Al-Baqarah: 143 disebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agat Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”. Umat Islam disebut ummatan wasathan, umat yang moderat, umat yang adil yang tidak berat sebelah, proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan kemanusiaan, akal dan wahyu, dunia dan akherat, atau bahasa lainnya seimbang antara keduanya.  
[13] Ahmad Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang  Press, 2008), hal. 257-274.
[14] Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Interpresi Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19.
[15]Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam.,,, hal. 236-237.
[16] Walaupun validitas teori benturan peradaban Huntington ini, baik pada level wacana teoritis maupun empiris masih diperdebatkan oleh para ahli, tetapi setidaknya teori ini dapat diambil sebagai ikhtiar kehati-hatian umat Muslim dalam menghadapi globalisasi. Pada level wacana teoritis, telah banyak gugatan dan argument bantahan dari kalangan ahli Barat dan Muslim yang menolak validitas logika dan argument Huntington. Kontra argument itu pada intinya menyimpulkan bahwa Huntington telah melakukan sweeping generalizations dan gross simplifications, simplikasi berlebih-lebihan terhadap dinamika hubungan Islam Barat. Padahal hubungan diantara kedua dunia ini tidaklah sesederhana yang dipersepsikan Huntington, tetapi sebaliknya sangat kompleks dan multi-facetted, dimasa lalu apalagi di masa kini. Lagipula, istilah civilization yang menurut Huntington mengalami perbenturan mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas, mulai kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sains, teknologi, dll. Memandang luasnya aspek-aspek peradaban ini, maka jika memang ada benuran, hal tersebut terutama terjadi pada bidang politik dan militer yang dalam kasus-kasus tertentu berasal dari atau melibatkan factor agama, dalam hal ini Kristen dan Islam. Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.
[17] Fundamentalisme ini sering disejajarkan dengan aktivitas politik ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerika. Nampaknya  makna seperti itu yang dipegangi oleh Huntington dalam mengartikan istilah fundamentalisme. Mungkin memang benar, bahwa sebagian terlibat dalam religio-politik radikal, namun menurut Esposito, yang terlihat dari kaum fundamentalisme justru bekerja dalam tatanan yang mapan. Esposito sendiri lebih memilih mengistilahkan “ aktivisme Islam” atau “kebangkitan Islam” yang tidak terlalu dibebani oleh nilai-nilai yang berakar pada tradisi Islam, daripada istilah “fundamentalisme” yang terlalu dibebani oleh praduga Kristiani dan stereotip Barat dan juga menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada. Lihat John Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?: Revisi Menggugat Tesis Huntingtom, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 18.
[18] Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 83.
[19]Ahmad Fatah Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusiadi Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal. 6-8.
[20]Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 5.  
[21]Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor : Kencana, 2003) hal. 78.
[22]Ibid., hal. 80.
[23] Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 290.
[24] Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam…, hal. 290.
[25] Ibid., hal. 292.
[26] Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 31.
[27] Diambil dari laman resmi MAN Insan Cendekia Serpong, ic.sch.id, pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.15 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar