Jumat, 23 September 2016

RUANG KELAS SEBAGAI SUATU SISTEM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di dalam kelas  terdapat kumpulan individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984).
Di dalam ruang kelas, terdapat individu-individu yang menempatinya dengan karakteristik yang berbeda. Banyak yang beranggapan bahwa ruang kelas hanya sebatas sebagai tempat belajar saja, namun sebenarnya disana terdapat system social serta interaksi yang lambat laun, sadar ataupun tidak akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter individu tersebut. Oleh sebab itu,  Ruang kelas sebagai tempat mereka bernaung hendaknya harus mampu berperan dalam pembentukan karakter yang tentu akan berguna untuk kehidupannya mendatang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Ruang Kelas itu?
2.      Apakah Pengertian Sistem itu?
3.      Bagaimana Peran Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial?
4.      Bagaimana Peran Ruang Kelas dalam Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian ruang kelas
2.      Mengetahui pengertian system
3.      Mengetahui peran ruang kelas sebagai system.
4.      Mengetahui peran ruang kelas dalam pemeliharaan ketertiban serta disiplin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kelas
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu.[1]
Menurut Damsar, ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini, yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya. Dalam ruang kelas terdapat dinamika yang terjadi di dalamnya yang merupakan gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi serta peran yang kompleks dalam pendidikan.[2]
Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelas pada pengertian pertama, yakni ruang tempat berjalannya proses pendidikan.

B.     Pengertian Sistem
Sistem sosial terdiri dari dua suku kata yaitu sistem dan sosial, dimana secara etimologis sistem merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani systema/systematos yang berasal dari kata synistani yang berarti menempatkan bersama.
Secara terminologis sistem dapat diartikan sebagai suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara saling ketergantungan (interdependen) dan konstan. Sedangkan kata sosial secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu socio yang artinya menjadikan teman dan secara terminologis sosial dapat dimengerti sebagai sesuatu yang dihubungkan, diakitkan dengan teman, atau masyarakat. Dan sistem sosial itu sendiri dapat dipahami sebagai saling keterkaitan yang teratur antar individu sehingga membentuk totalitas.[3]

C.    Peran Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Ruang kelas sebagai system terdiri dari 3 sistem yaitu:
1.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah. Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran.
Dalam suatu ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing mementuk suatu jaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan budaya.
2.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[4]
Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena hubungan guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat disebut sebagai sistem interaksi sosial.
Guru dan murid akan mengadakan interaksi sesuai dengan status dan perannya. Dalam aktivitas kelas, guru berperan sebagai orang tua dan murid sebagai anak yang menjadi penghuni kelas permanen.[5]
Didalam suatu interaksi antara guru dan murid terdiri dari dua pihak yang terikat pada suatu ikatan moral dan etika profesi kependidikan. Sebelum mereka membentuk hubungan guru-murid, sebagai individu masing-masing memiliki motif, keinginan, kebutuhan dan orientasi sendiri tentang berbagai hal berkaitan dengan pendidikan.
Dalam pola hubungan ini berisi berbagai kesepakatan-kesepakatan, misalnya kedisiplinan, dan kebersihan. Pola hubungan ini menjadi pengontrol masing-masing dan juga hubungan ini disebut sebagai system interaksi.
Ruang kelas sebagai system interaksi meletakkan actor yang terlibat, baik guru maupun murid sebagai mahluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya dalam hal ini berhubungan dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai system interaksi dipenuhi oleh fenomena situasi, interpretasi realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan yang dihadapi.
3.      Ruang Kelas Sebagai Sistem Pertukaran
Ruang kelas dipandang terdiri dari bagian-bagian (individu atau kelompok) yang saling ketergantungan dalam suatu pertukaran yang terpola. Atau dengan kata lain bagian atau unsur memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus-menerus dan ajeg.
Didalam system pertukaran kelas manusia dipandang sebagai mahluk yang rasional, apabila memberikan keuntungan dia akan mengulanginya lagi perbuatannya, dan jika rugi dia akan meninggalkannya. Teori pertukaran George Caspar-Homans menjelaskan ruang kelas sebagai suatu system pertukaran. Homans mengembangkan beberapa proporsi untuk memahami kenyataan social dari sudut pandang teori pertukaran:[6]
a.       Proporsi Sukses
“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh, misalnya seorang anak dipuji karena penampilannya yag menarik, maka ia akan cenderung berpenampilan menarik lagi diwaktu-waktu berikutnya.
b.      Proporsi Stimulus
“Bila kejadian dimasa lalu stimulus tertentu atau seperangkat stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli dimasa lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.” Sebagai contoh, seorang pemancing yang melemparkan kalinya kedalam kolam yang keruh dan selalu berhasil menangkap ikan, maka pemancing tersebut akan lebih sering memncing dikolam yang keruh kembali.
c.       Proporsi Nilai
“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh misalnya, mana yang lebih berharga menonton konser grup band favorit yang telah lama diimpikan atau untuk belajar demi menghadapi ujian mid keesokan paginya? Jadi, seseorang harus memilih nonton konser yang berarti mengabaikan belajar, atau memilih belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang seumur hidup belum mungkin akan bertemu lagi. Hal itu berarti orang tersebut melakukan tindakan berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.
d.      Proporsi Deprivasi-Situasi
“Semakin sering seseorang menerima hadiah tertentu dimasa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya setiap ahdiah berikutnya.” Proporsi mengingatkan kemungkinan terjadinya kejenuhan sesuatu.
e.       Proporsi Agresi-Persetujuan
Proporsi A: “bila tindakan seseorang tidak memperoleh hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia harapkan, ia akan marah, besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku agresif dan akibatnya perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi B: “Bila tindakan seseorang memperoleh hadiah yang diharapkannya, terutama hadiah yang lebih besar dari yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan merasa senang, ia makin besar kemungkinannya melaksanakan perilaku yang disetujui dan hasil dari tindakan seperti ini akan menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi berlapis dua ini berkaitan dengan keadaan mental-emosional manusia. Sebagai contoh, seseorang yang tadi ingin menonton konser, ternyata tiketnya sudah habis, maka ia akan sangat merasa kecewa dan marah. Sebaliknya, jika ternyata dia bisa mendapatkan tiket, maka dia akan merasa senang.
f.       Proporsi Rasionalitas
“Dalam memilih diantara berbagai tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya yang dianggap saat itu memiliki nilai, sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.”

D.    Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin
Belajar dan masalah ketertiban saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hammersley berpendapat, “Kemampuan member jawaban atas pertanyaan guru memerlukan pengetahuan tentang konvensi-konvensi yang mengatur suatu jenis cara mengajar tertentu dan kemampuan untuk membaca tanda-tanda dalam cara guru menyusun pelajaran yang diberikannya” (1971, hlm 82)[7]
Pemeliharaan ketertiban dan disiplin memiliki keterkaitan yang sangat erat, yang berkaitan dengan kemampuan diri untuk menjadi tertib sesuai dengan kontruksi social dan hokum yang ada, dan juga kemampuan diri untuk taat, patuh dan berkomitmen untuk sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh masyarakat.
Oleh sebab itu orang yang memiliki disiplin akan cenderung memelihara ketertiban, misalnya murid yang disiplin akan terlihat dari usahanya untuk cenderung menciptakan ruangan kelas yang tertib. Disiplin merupakan sebuah proses internalisasi nilai pada diri individu, yang dilakukan secara sadar untuk taat pada aturan yang berlaku.
Ketika ruang kelas tidak tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini  dapat disebabkan karena persiapan peran sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer. Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan hukuman.[8]
Sementara pada sisi mahasiswa, terjadi karena persiapan peran yang tidak memadai dan tarikan kelompok rujukan, sehingga terdapat tarik menarik antara nilai yang diajarkan dengan yang tidak diajarkan. Ketidaktertiban ini tercipta karena adanya perbenturan antara kebutuhan subkultur siswa dengan nilai budaya ideal dalam masyarakat. Misalnya “anak gaul itu identik dengan dugem” memunculkan perilaku bebas dan kehidupan postmodern.[9]


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sistem adalah suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara interdependen (saling ketergantungan dan konstan). Ruang kelas sebagai system di kelompokan menjadi tiga yaitu system social, system interaksi dan system pertukaran. George Caspar Homans menjelaskan ruang kelas sebagai suatu system pertukaran dan membaginya menjadi beberapa proporsi untuk memahami kenyataan social dari sudut pandang teori pertukaran, yaitu: proporsi sukses, proporsi stimulus, proporsi nilai, proporsi deprivasi-satiasi, proporsi agresi-persetujuan, dan proporsi rasionalitas.
Pemeliharaan ketertiban dan kedisiplinan merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan aturan yang ada, sedangkan disiplin merupakan kemampuan diri untuk patuh, taat, dan berkomitmen untuk sesuai dengan apa yang dipandang baik dan benar dalam kehidupan social.
Sikap tertib dan disiplin yang terdapat dalam diri seorang individu bukanlah suatu sikap yang dibawa dari lahir, melainkan melalui proses internalisasi. Jika terdapat suatu kelas yang memiliki kebiasaan tidak tertib dan disiplin, ada dua pihak yang terkait dengan kondisi tersebut, yaitu guru dan peserta didik. Dalam hal ini guru dianggap dalam sosialisasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau tidak adanya dukungan dari lembaga sekolah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.
Mahmud, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Padil, Muhammad dan Triyo Supriyanto, Sosiologi Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

Robinson, Philips, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Grafikatama Offset, 1986.



[1] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 171
[2] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal 93.
[3] Ibid, hal 96.
[4] Ibid
[5] Mohammad Padil dan Triyo Supriyanto, Sosiologi Pendidikan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 163.
[6] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal 101-103.
[7] Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Grafikatama Offset, 1986), hlm. 155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar