BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Begitu banyak
pemikiran-pemikiran tentang Islam. Dan salah satunya pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Islam Kosmopolitan. Dalam Islam Kosmopolitan ini umat Islam diajak untuk senantiasa berpegang
teguh terhadap nilai-nilai universal agama, nasionalisme dan menjunjng tinggi
keterbukaan akan segala kemungkinan menerima perbedaan.[1]
Sebagai umat
Islam harus mampu menerapkan pemikiran Gus Dus tersebut. Tujuannya supaya umat
Islam bisa memiliki pemikiran yang luas sehingga akan menjadi masyarakat yang
maju. Dan Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil’alamin.
Islam yang ada di tangan Gus Dur,
adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam
menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan
kepada umat agama lain.
B.
Rumusan masalah:
1.
Bagaimana biografi dari KH. Abdurrahman Wahid?
2.
Apa pengertian dari islam
kosmopolitan?
3.
Bagaimana ciri-ciri dari islam
kosmopolitan?
4.
Bagaimana apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam
kosmopolitan?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui biografi dari KH. Abdurrahman Wahid.
2.
Mengetahui pengertiaan dari islam kosmopolitan.
3.
Mengetahui ciri-ciri islam kosmopolitan.
4.
Mengetahui apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam kosmopolitan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur adalah
panggilan akrab dari KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir
di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama
Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak
cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal
dengan Gus Dur.
Gus Dur adalah anak pertama dari enam
bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya,
K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek
dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang
mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok
yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949,
sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar
Jombang.
Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari
kota asalnya, Jombang, menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih
menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa
disingkat “Masyumi”. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang
mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada
akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk
ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah
tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun
1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan
masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu
ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur
memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo
di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota
Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan
pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta
Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari
Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar di
Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963.
Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal
ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas
dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia
harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur
diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju
Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia
dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi
Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya
di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan
pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena
pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut.
Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada
tahun 1971.
Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke
luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah
satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di
seluruh Jawa.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk
mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun
prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda
pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar
ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris
Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat
sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia
naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat
dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga
akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia. Namun, hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI.
Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya
dengan Megawati Sukarnoputri.
Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus
Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002
ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada
tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi
Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk
menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos
pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu
pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu.
Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati, koalisi ini
mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono[2].
Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa
penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan
penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis
seringkali juga dituliskan orang lain.[3] Ia
mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur
pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember
2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.[4]
Gus Dur merupakan seorang intelektual. Beliau
telah menulis gagasan dan pemikiran yang kreatif. Tema dalam gagasan tersebut
beragam pula. Ada tujuh tema pokok yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini.
Tujuh hal yang dimaksud adalah:[5]
1.
Pandangan dunia
pesantren.
2.
Pribumisasi
Islam.
3.
Keharusan
demokratis.
4.
Finalitas,
negara-negara pancasila.
5.
Pluralisme
agama.
6.
Humanitarinisme
universal.
7.
Antropologi
Kiai.
B. Pengertian Islam Kosmopolitan
Pemikiran
Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur merupakan salah satu indikasi
adanya kelompok kecil yang mengambil peran dalam mewarnai corak sistem di
masyarakat menuju sistem dan tatanan yang lebih baik. Pandangan Islam
kosmopolitan adalah suatu pandangan yang mengakui perlunya reformulasi
substansial dari peradaban yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual,
dan etika sosial guna merespons hak-hak dasar universal menghormati agama,
idieologi dan kultural lain serta menyerap sisi-sisi positif yang ditawarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam kosmopolitan menuntut adanya sikap
inklusif, pengakuan adanya pluralisme budaya dan heterogenitas politik sehingga
umat Islam dapat berdialog dengan peradaban global, memunculkan sikap kritis,
dan mengoreksi budaya sendiri.
Pemikiran
Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur lebih memberikan perhatian pada
persoalan-persoalan kemanusiaan universal dan menghindari simbolisme
serta formalisasi Islam dalam melawan kekuatan yang datang dari luar Islam. Konsep
ini berakar pada ajaran universal islam sebagaimana termaktub dalam lima
jaminan dasar berikut ini : Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an- nafs), Keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-adin),
keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu
an-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau
penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu
al-mal), dan keselamatan
hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).[6]
C. Ciri-ciri Islam Kosmopolitan
Islam kosmopolitan bermakna bahwa
islam yang memiliki pandangan atau wawasan luas. Dengan
artian orang yang beragama islam itu hendaknya mempunyai wawasan dan pandangan
luas terhadap segala hal yang di hadapinya. Selanjutnya islam kosmopolitan
mempunyai ciri atau visual dalam keseharian.
Kosmopolitanisme peradaban Islam
muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya
pluralitas budaya dan heterogenitas politik.
Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang
menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Dalam
konteks inilah, warisan nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar
utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam. Tak salah kemudian kalau
Robert N Bellah, sosiolog Barat terkemuka, menyebut Madinah sebagai kota
modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu. Karena kondisi
sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur
kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak salah
juga kalau sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban Islam
sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam
ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu diantara enam belas oikumene yang menguasai dunia.[7]
Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk
pencerahan di dunia Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di
Barat. Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai
keragaman umat manusia, mencari ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah
peradaban agung. Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang mencipta ragam
keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan
sebagainya. Uniknya, disamping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang
luas, para intelegensi muslim juga menjadi agamawan yang hafat
al-Quran & al-Hadits, ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf.
Lihat disana ada al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya.
Jalan kosmopolitanisme peradaban
Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan
sepanjang masa. Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak
kosmopolitis tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas
peradaban. Dalam spirit inilah, kita bisa merujuk ulang spirit
buku Gus Dur, “ Islamku, Islam Anda, Islam Kita“,
sehingga lahir sebuah pemahaman baru yang kritis, progresif, dan visioner. Dari
pemahaman inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J.
Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif. Kaum minoritas kreatif inilah,
lanjut Toynbee, yang nantinya bisa mengubah jarum sejarah
peradaban dunia.[8]
Watak kosmopolitanisme dan
universalisme ini digunakan Gus Dur untuk melakukan pengembangan terhadap
teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah (Aswaja) dalam menghadapi berbagai perubahan dan
tantangan masyarakat. Jika selama ini paham Aswaja, terutama di lingkungan NU,
hanya terkait dengan masalah teologi, fiqih,
dan tasawuf, bagi Gus Dur, pengenalan Aswaja harus diperluas cakupannya
meliputi dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Tanpa melakukan pengembangan
itu, maka Aswaja akan sekedar menjadi muatan doktrin yang yang tidak mempunyai
relevansi sosial. Dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dimaksud Gus
Dur adalah 1) pandangan manusia dan tempatnya dalam kehidupan; 2) pandangan
tentang ilmu pengetahuan dan teknologi; 3) pandangan ekonomis tentang
pengaturan kehidupan bermasyarakat; 4) pandangan hubungaan individu dan
masyarakat; 5) pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui pranata
hukum, pendidikan, politik dan budaya; 6) pandangan tentang cara-cara
pengembangan masyarakat; 7) pandangan tentang asas-asas internalisasi dan
sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin formal yang dapat
diterima saat ini. Dengan kerangka pengembangan Aswaja yang diajukan Gus Dur
ini terlihat sekali upayanya agar Aswaja tidak menjadi doktrin yang baku dan
beku, tapi doktrin yang dinamis. Gus Dur seolah ingin mengatakan kalau Aswaja
ingin menjadi doktrin yang hidup, tidak ada pilihan lain kecuali dia harus mau
berinteraksi secara terbuka dengan perkembangsan realitas sosial.[9]
Jadi dari beberapa paragraf dalam bab ciri-ciri kosmopolitanisme peradaban islam
dapat kita ambil bagian demi bagian yang merupakan menjadi ciri
islam kosmopolitan yaitu umat islam yang berkehidupan agama
secara elektik, watak islam yang terbuka,
toleran, moderat, menghargai keragaman umat manusia, keterbukaan lintas
peradaban, kritis progresif dan visioner.
D.
Apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pemikiran islam
kosmopolitan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
bukanlah Gus Dur bila dalam berbicara tidak kontroversial, nyeleneh, nyentrik
dan menyelipkan kritik. Maka tak heran bila dalam tulisannya kita temukan
kritik-kritik yang tajam, mulai mengkritik pemerintah, politisi hingga
kelompoknya sendiri. Namun dibalik sikap kontroversinya, kenyelenehan dan
kenyentrikannya selalu menjadi angin segar terhadap perkembagan Islam di
Indonesia.
Gus Dur telah dikenal banyak
kalangan. Beliau terkadang tampil sebagai sosok pemikir, penulis, sastrawan,
budayawan bahkan menjadi seorang politisi Islam Indonesia.
Sebagai
salah satu tokoh pejuang demokrasi hak asasi manusia (HAM) dan anti kekerasan,
Gus Dur mampu memberikan warna tersendiri terhadap pandangan-pandangan ke-Islaman,
budaya, sosial, ekonomi dan politik, khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu,
beliau juga telah mendapat pengakuan dari dunia bahwa komitmen dan perjuangan
Gus Dur menegakkan demokrasi, HAM, membela kaum minoritas dan toleransi, sudah
diakui luas. (Baca: Umaruddin Masdar hal. 159).
Bahkan dalam
kelompoknya sendiri, tokoh NU seperti KH M. Cholil Bisri dan KH Muchith Muzadi
mengakui, Gus Dur disebut sebagai azimat atau jimatnya NU. Karena Gus Dur hadir
ke tengah-tengah NU di saat ormas itu dalam kondisi lemah. Sehingga dengan
kehadiran Gus Dur di NU, mampu menyelematkan NU menjadi ormas keagamaan yang
berpengaruh dan menjadikan organisasi terbesar di Indonesia.
Jadi hal yang
digagas Gus Dur selama ini tidak lepas dari lima konsep dan nilai-nilai
Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang dianut NU, yakni tawasuth, ta'adul,
tasamuh, tawazun, dan amar ma'ruf nahi mungkar. Melalui konsep
inilah, Gus Dur mampu mengimplementasikan apa yang terkandung dalam nilai-nilai
Islam itu sendiri. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya melalui teks saja,
tapi dengan "tafsirul kitab bil kitub" (Menafsir kitab
dengan buku yang lain). Karena kalau hanya berhenti di teks, maka kita bisa
jadi penyembah huruf-huruf. Pemikiran ke-Islaman Gus Dur adalah Islam yang
membawa kedamaian, kesejukan, ketenteraman, dan Islam yang bisa berdialog
dengan lingkungannya.
Membaca pemikiran dan gagasan Gus
Dur tidak bisa didekati dengan satu sudut pandang saja. Karena beliau ibarat
membaca sebuah teks yang multitafsir dan ketika membacanya sulit dipahami.
Inilah salah satu sepak terjang Gus Dur, ketika melihat fenomena sosial yang
terjadi di Indonesia.
Buku berjudul “Islam Kosmopolitan,
Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan” merupakan pemikiran Gus Dur
dalam merespon isu-isu yang dianggap aktual sejak 1980 hingga 1990-an. Selain
itu, buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di
media lokal maupun nasional.
Ada beberapa pemikiran dan gagasan
Gus Dur yang menarik dalam buku ini yakni mengenai "Universalisme Islam
dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam". Dalam tulisannya, Gus Dur menggaris
bawahi tentang ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya
lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik pada
perorangan maupun kelompok.[10]
Kelima jaminan dasar tersebut seperti yang telah disebutkan di atas.
Menurut Gus Dur, jika dari lima
jaminan dasar di atas itu tampil sebagai pandangan hidup, maka tidak mustahil
negara akan bisa dikelola oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya
persamaan derajat dan sikap tegang rasa terhadap perbedaan pandangan. Di
samping itu, secara fungsional, misi Islam terhadap perbaikan sosial akan
secara efektif bisa dikendalikan yang pada akhirnya terciptalah budaya
toleransi, keterbukaan sikap, peduli terhadap kemanusiaan dan keprihatinan yang
penuh kearifan akan keterbelakangan umat Islam sendiri.
Dengan demikian, Islam seperti
itulah yang selama ini diperjuangkan Gus Dur. Islam yang ada di tangan Gus Dur,
adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam
menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan
kepada umat agama lain.
Terlepas dari kekurangan buku yang
merupakan kumpulan tulisan dan kerap terjadi pengulangan, sehingga dikatakan
kurang sistematis, buku ini tetaplah layak dan menarik untuk dijadikan bahan
bacaan, referensi, dan penyelamatan "Islam Kita" dari pemaksaan
pemahaman yang selama ini sering menyerang kita semua. Bagi Gus Dur, memahami
Islam tidak hanya dipahami secara tekstual aja, melainkan dengan dengan konteks
yang saat ini terjadi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan
Gus Dur, merupakan tokoh pemikiran islam yang hebat. Salah satu pemikiran
beliau tentang islam yaitu “Islam Kosmopolitan”. Sedangkan ciri-ciri kosmopolitanisme
peradaban islam dapat kita ambil bagian demi bagian yang merupakan
menjadi ciri islam kosmopolitan yaitu umat islam yang
berkehidupan agama secara elektik, watak islam
yang terbuka, toleran, moderat, menghargai keragaman umat manusia, keterbukaan
lintas peradaban, kritis progresif dan visioner.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Muhammad , Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid):
biografi singkat 1940-2009, Yogyakarta: Garasi House of book, 2012.
Sani, Abdul, Lintas Sejarah Pemikiran
Perkebangan Modern Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998.
Wahid, Abdurrahman , Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai
Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Pianda,
Jondra, 2010, http://jondrapianda.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-pemikiran-dan.html
diunduh tanggal 18 Desember 2013 pukul 11:43.
Profil
Abdurrahman Wahid _ merdeka.com.htm
Solopos, di unduh hari
rabu 18 Desember 2013 pukul 10:21.
Wisata buku.com, di unduh 18 Desember 2013 pukul
10:44.
[1] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. Xiii.
[2] Profil Abdurrahman Wahid _
merdeka.com.htm
[3] Muhammad Rifa’i, Gus Dur (KH
Abdurrahman Wahid): biografi singkat 1940-2009, (Yogyakarta: Garasi House of book, 2012), hal. 48.
[4] Profil Abdurrahman Wahid _
merdeka.com.htm
[5]Jondra
Pianda, 2010, http://jondrapianda.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-pemikiran-dan.html
diunduh tanggal 18 Desember 2013 pukul 11:43.
[6]Wahid,
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta:The wahid Instituti, 2007), hal. 3-5.
[10] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. xxi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar