BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Usia anak-anak adalah
masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan
bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa
pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan
melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya
akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi
khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai
pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala
persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus
kita kelak.
Dapat dikatakan
bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman,
dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada
masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap
hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap
sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di
lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya
nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private). Metode
pendidikan pada usia ini ditekankan pada permainan yang dapat merangsang
kecerdasan anak dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. Pada masa
kanak-kanak, orang yang paling berperan pada pendidikan adalah orang tua
terutama seorang ibu, sehingga harus mempersiapkan metode yang tepat dalam mendidik
amalnya sesuai dengan perkembangan psikisnya dan perkembangan keberagamaan pada
usia anak tersebut.
Pendidikan
agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk
tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah
dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik.
Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama
anak dan remaja yang baik juga.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian
dari anak-anak?
2. Bagaimana
perkembangan keberagamaan pada usia anak?
3. Bagaimana sifat-sifat
agama pada anak?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui penfertian atau definisi usia anak
2.
Mengetahui perkembangan keberagamaan pada usia anak
3.
Mengetahui sifat-sifat agama pada anak
D.
TEORI-TEORI PERTUMBUHAN AGAMA PADA ANAK
Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukan sebagai makhluk yang
religious, ia tak ubahnya seperti makhluk lainnya. Selain itu juga terdapat
pendapat para ahli yang mengatakan bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah
keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan
sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Pendapat pertama lebih memandang
manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan.[1]
Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
1. Rasa ketergantungan
(Sense of Depende)
Teori ini
dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia
dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience),
keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal
(recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu,
maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui
pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian
terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.
Instink Keagamaan
Menurut Woodworth,
bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink
keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa
fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum
sempurna. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai
makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang
untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi
lainnya. Demikian pula instink keagamaan.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ANAK-ANAK
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan.
Menurut Elizabeth B. Hurlock tahap perkembangan manusia dibagi menjadi beberapa
periode, yaitu:
1.
Masa prenatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.
Masa neonates, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.
Masa bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.
Masa kanak-kanak awal, umur 2-6 tahun.
5.
Masa kanak-kanak akhir, umur 6-10 atau 11 tahun.
6.
Masa pubertas (pra adolescence), umur 11-13 tahun.
7.
Masa remaja awal, umur 13-17 tahun.
8.
Masa remaja akhir, umur 17-21 tahun.
9.
Masa dewasa awal, umur 21-40 tahun.
10.
Masa setengah baya, umur 40-60 tahun.
11.
Masa tua, umur 60 tahun keatas.[3]
Dalam makalah ini hanya akan membahas masa anak-anak. Anak adalah
makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk
dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala
kelemahan segingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf
kemanusiaan yang normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah
pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal
dari lingkungan. Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai
pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala
keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak
merupakan makhluk yang memerlukan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
perkembangannya.[4]
Semua uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak-anak adalah
masa perkembangan manusia sebelum berumur 12 tahun. Anak merupakan makhluk
social yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
perkembangannya, Anak juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang
kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang
berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).
B.
PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN PADA USIA ANAK
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu
melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of
Religious on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada
anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Konsep mengenai tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh
emosi dan fantasi. Seorang anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan
tingkat perkembangan intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak
dipengaruhi oleh konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang
masuk akal. Fase ini biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun.
2.
The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia
(masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini
timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang
dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan atas
dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan
mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya
dengan penuh minat.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis
ini terbagi atas tiga golongan: Pertama konsep ke Tuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh luas. Kedua, Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan
dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, Konsep Ke Tuhanan
yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka
dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh
factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar
yang dialaminya.[5]
Nilai-nilai
ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelun bersekolah, akan memberikan
pengaruh yang positif dalam tabiat anak, pada masa kecil hingga ia menjadi
dewasa. Mengapa banyak terjadi gejala negative misalnya, dalam kehidupan anak
dan orang muda tidak berdisiplin, sikap menentang orang tua menimbulkan
berbagai kesulitan disekolah dan sebagainya. Para ahli berpendapat bahwa yang
menjadi sumber utama ialah karena orang tua telah melalaikan pendidikan rohani
bagi kehidupan anak itu. Pada masa kecil mereka tidak diberi pendidikan supaya mengenal
Tuhan.[6]
Pengalaman anak tentang Tuhan, pertama kali
melalui orangtua dan lingkungan keluarganya. Kata-kata, sikap dan tindakan
orangtua, sangat mempengaruhi perkembangan pada anak. Uswatun Hasanah yang
ditampilkan orangtua berpengaruh signifikan pada kesadaran perkembangan anak,
yang selanjutnya berimplikasi pada sikapnya dalam beragama. Dalam fase ini si
anak hanya menstransfer dalam dirinya, apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Proses pemasukan data pengalaman ini, meraka lakukan secara alami,
tanpa ada reserve sama sekali si anak tidak memiliki kemampuan untuk
memikirkannya.
Pengalamana
empiris tersebut selanjutnya akan berpengaruh pada sikap keagamannya, apakah
anak akan menjadi penganut agama yang taat atau tidak. Asumsi ini diperkuat
oleh James, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkah laku
keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Berdasarkan
gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan keberagaman anak
adalah bagian dari proses perkembangan anak untuk bertuhan. Perkembangan
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pengalaman-pengalaman yang
dilalui terutama pada terutama pada masa-masa pertumbuhan. Pengalaman yang
telah mengendap dalam bawah sadar tersebut, membentuk pola pikir yang
selanjutnya teraktualisasikan dalam tindakan keberagamannya.
Perkembangan agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena
pengaruh lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi
perkembangan agama kepada anak. Prof. Dr. Zakiah Darajat dalam buku Ilmu
Jiwa Agama menjelaskan, guru agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang
tidak ringan dalam pengembangan agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu
kelas membawa sikap sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman
agama yang diajarkan di rumah.
Selanjutnya guru disekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa
keagamaan kepada anak secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan
agamanya baik menjadi lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai
dengan yang diharapkan.
Sedangkan menurut Imam Bawani, perkembangan keagamaan pada anak-anak
beliau membagi menjadi empat bagian (fase), yaitu:
1. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi
yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa
perkembangan agama bermula sejak Alloh meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika
terjadinya perjanjian manusia atas Tuhannya, sebagaimana firman Alloh:
واد اخد ربك من بنى
ادم من ظهور هم ذريتهم واشهد هم على انفسهم الست بربكم قا لوا بلى شهدنا ان تقولوا
يوم القيامة انا كنا عن هذا غا فلين
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka, dan Alloh mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka
menjawab: “Betul” (Engkau Tuhan Kami), “kami menjadi saksi (kami melakukan
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan. QS.Al-A’raf: 172.
2.
Fase Bayi
Pada fase kedua ini juga
belum banyak diketahui perkembangan agama seorang anak. Namun isyarat
pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti memperdengarkan
adzan dan iqomah saat kelahiran anak.
3.
Fase Kanak-Kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai
keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal
yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang disekelilingnya. Ia
melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada
usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam,
akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak
dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
Tindakan demikian sangat penting guna perkembangan agama pada masa selanjutnya.
4.
Masa Anak Sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnnya perkembangan agama
juga menunjukan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan
perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.[7]
Masa sekolah yaitu dimana anak sudah mulai dianggap matang untuk
mengikuti pelajaran di sekolah dasar, kalau anak tersebut perkembangannya
normal. Adapun tanda-tanda kematangan itu antara lain:
a.
Ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan dan berkesanggupan untuk
menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh orang lain kepadanya walaupun
sebenarnya dia tidak menyukainya.
b.
Perasaan social kemasyarakatan sudah mulai tumbuh dan berkembang, dimana
hal ini dapat dilihat dalam pergaulan anak dengan teman-temannya dan saling
bekerja sama.
c.
Telah memiliki perkembangan jasmani yang cukup kuat didalam rangka
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
d.
Telah memiliki perkembangan intelek yang cukup besar, hingga memiliki
minat, kecekatan serta pengetahuan.[8]
C.
SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK
Agama masa kanak-kanak
membawa cirri masa kanak-kanak dan menampakan pasang surut kognitif, afektif,
dan volisional, khas pada pergulatan awal yang tercakup dalam proses pemisahan
dari rahim ibu dan pembebasan menjadi pribadi mandiri. Dengan kelahiran, bayi
direnggut dari keberadaan yang aman dan memulai perjalanan hidup yang panjang
dan tidak selalu aman. Perkembangan religious dalam diri anak merupakan bagian
dari paket perjuangan untuk memperkembangkan pribadi nyata dengan namanya dan
wataknya sendiri di tengah-tengah lingkungan yang kerap mengancam untuk menelan
dan menghancurkan identitas personal.[9]
Memahami konsep keagamaan
pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sifat agama anak
mengikuti pola ideas concept on authority, artinya konsep keagamaan pada
diri mereka dipengaruhi oleh factor luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip
eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran
dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran
tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak
sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Unreflective ( Tiak
mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak
73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah
bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk
membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja
mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu
mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan
keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa
orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran untuk
menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan contoh tentang hal itu :
“Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan
sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak
itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di
daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak
itu ia tak mau berdoa lagi.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya.
Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh
keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya.
Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan
kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang
dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan
selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki
sifat ego yang rendah. Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan.
Melalui konsep yang
berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama
dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat
di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak
menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke
rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6
tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah bahwa
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan
tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan
fantasi masing-masing.
4. Verbalis dan
Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak
sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara
verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada
mereka. Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan
agama pada anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat
besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti
menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan
praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya
belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesuburan.
5. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan
sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa
menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru
ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di
salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat
pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik
kematangan agama yang kekal.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang
terakhir pada anak. Berbeda dengan
rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka
hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan
penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam
hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
Ringkasnya penjelasan diatas, masa kanak-kanak merupakan periode
yang dinamis secara psikologis bagi perkembangan religius. Anak-anak mempunyai kemampuan yang luar biasa
untuk meniru perilaku orang dewasa, dan agama beserta lembaga-lembaganya
seyogyanya menyediakan model-model cara hidup dan perilaku yang anak-anak dapat
menirunya. Peniruan anak atas gagasan dan perbuatan orang dewasa berharha.
Tetapi pengalaman religious anak yang lebih penting dan bertahan lama terjadi
pada tingkat yang lebih mendalam dan personal, dan mempunyai cirri masa
kanak-kanak sendiri yaitu egosentrisitas, antropomorfisme konkret, dan
eksperimentasi atau percobaan yang dapat aneh.[10]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Anak-anak adalah masa perkembangan
manusia sebelum berumur 12 tahun. Anak merupakan makhluk social yang
membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, Anak
juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu
merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada
tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).
Perkembangan keberagamaan anak melalui beberapa fase (tingkatan),
menurut Ernest Harms: the fairy tale stage (tingkat dongeng), the
realistic stage (tingkat kenyataan), dan the individual stage
(tingkat individu). Sedangkan menurut Imam Bawami adalah: fase dalam kandungan,
fase bayi, fase kanak-kanak, dan fase masa anak sekolah.
Sifat-sifat keagamaan pada anak yaitu: unreflective (tidak
mendalam), egosentris, antromorphis, verbalis dan ritualis, serta
imitative.
DAFTAR PUSTAKA
Sururin, 2004.
Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Jalaluddin, 2012.
Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Robbert W.
Crapps, 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Kanisius.
Hafi Anshari,
1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya: Usaha Nasional.