BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
pendidikan, pada kegiatan belajar mengajar di sekolah, penyampaian materi
pelajaran kepada siswa tidak terlepas dari teori belajar. Hal ini penting untuk
memberikan pondasi pemahaman siswa dalam mempelajari materi selanjutnya yang
lebih mendalam. Belajar adalah
suatu perubahan dalam diri siswa yang disebabkan oleh pengalaman. Teori belajar
dimunculkan oleh para psikolog pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan
untuk menjelaskan proses belajar secara menyeluruh.[1]
Belajar terjadi
dengan banyak cara. Masalah yang terjadi sekarang ini adalah kesulitan
mengatasi siswa yang tidak mau belajar. Padahal tanggung jawab guru adalah
membantu siswa belajar. Tujuan pendidikan yang dipilih guru, prosedur
pelajaran, pengorganisasian kelas, merupakan proses belajar-mengajar. Pandangan
guru tentang peranan pengajaran mereka dapat berdampak positif terhadap pengajaran.
Melalui sejarah pendidikan, pengajaran telah berubah. Banyakteori belajar yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teori tersebut mempunyai pengaruh
dan implikasi yang berbeda-beda dalam penerapannya. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas tentang teori belajar behavioristik, kognitif,
humanistik, dan aplikasinya dalam pendidikan agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah adalah:
1.
Bagaimana deskripsi teori belajar tingkah laku, kognitif, dan
humanistik?
2.
Bagaimana penerapan teori belajar behavioristik, kognitif, dan
humanistik dalam pembelajaran?
3.
Bagaimana aplikasi teori belajar behavioristik, kognitif, dan
humanistik dalam Pendidikan Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Belajar Pendekatan Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik
Teori belajar
adalah seperangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan
mengenai belajar. Aplikasi teori belajar dalam situasi pembelajaran membutuhkan
kejelian dan kecermatan guru untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam
teori belajar.[2]Ada
tiga teori belajar yaitu teori belajar behavioristik, kognitif, dan humanistik.
1. Teori Belajar Pendekatan Behavioristik
(Tingkah laku)
Pandangan tentang
belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi
antara stimulus dan respons. Belajar yaitu perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respons. Tokohnya antara lain:
a.
Edward Lee
Thorndike (The Law of Effect)
Belajar adalah
hubungan antara stimulus (pikiran, perasaaan, gerakan) dan respons (pikiran,
perasaan, gerakan). Apabila respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan
antara stimulus dan respons semakin kuat dan sebaliknya.[3]Perubahan
tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang dapat dan tidak bisa diamati.[4]
Faktor penting yang mempengaruhi semua belajar adalah pernyataan
kepuasan dari suatu kejadian. Ia menghapuskan bagian negatif yang mengganggu
dari hukum pengaruh (law of effect) karena dia menemukan bahwa hukuman
tidak penting. Hukuman akan memperlemah ikatan dan tidak mempunyai effect
apa-apa berbeda dengan hadiah (reward).
Teori belajarnya mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran
umum bagi guru adalah tahu apa yang hendak diajarkan, respons apa yang
diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat. Ia menunjukan satu
ikatan antara stimulus dan respons yang terjadi dalam matematika. Ulangan yang
tetap dari tabel perkalian dengan memberikan hadiah dari guru akan membentuk
ikatan antara stimulus (berapa 7x7) dan
respons (49) dalam membaca ulangan juga ditekankan dengan menyuruh siswa
belajar menggunakan kata sesering mungkin pada berbagai tingkat kelas.
Hukum pengaruh mengarah pada pemberian hadiah yang konkret, seperti
gambar bintang yang ditempelkan pada papan kelas (untuk siswa siswa TK dan SD)
pada kertas hasil ulangan siswa, pujian verbal. Hukum latihan mengarah pada
banyaknya ulangan, praktik dan dril untuk semua mata pelajaran.
b.
Ivan Pavlow (classic
conditioning: pengkondisian
klasik)
Teori ini adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya refleks tersebut. Belajar adalah perubahan yang ditandai
dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Stimulus yang diadakan
selalu disertai dengan stimulus penguat. Stimulus tadi, cepat atau lambat akan
menimbulkan respons atau perubahan yang dikendaki.[5]
c.
Watson
Menurutnya, stimulus dan respons harus
berbentuk tingkah laku yang bisa diamati. Ia mengabaikan perubahan mental yang
terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu
diketahui. Perubahan mental juga penting bagi siswa tetapi perubahan itu tidak
bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Ia tidak
memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, tetapi mereka tetap mengakui bahwa
semua hal itu penting.[6]
Belajar adalah suatu proses dari respons melalui pergantian dari suatu
stimulus kepada yang lain. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan beberapa
refleks dan reaksi emosi, ketakutan, cinta, dan marah.[7]
Semua tingkah laku dikembangkan oleh pembentukan hubungan stimulus dan respons
baru melalui pengkondisian.
d.
Clark Hull
Ia menganggap bahwa
tingkah laku berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidupnya sehingga kebutuhan
biologis dan pemuasan menempati posisi sentral. Kebutuhan ini dikonsepkan
sebagai dorongan (lapar, haus, tidur, hilang rasa nyeri dll). Stimulus
dikaitkan dengan kebutuhan biologis yang dikaitkan dengan respon yang
bermacam-macam bentuknya.[8]
e.
Edwin Guthrie
Belajar merupakan
kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara
stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar, oleh karena iu diperlukan
pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Suatu
respons akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan apabila respons tersebut
berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Ia menganggap bahwa hukuman pada
saat yang tepat memiliki peran penting dalam proses belajar karena akan mampu
mengubah kebiasaan seseorang.[9]
f.
Burrhus Frederic Skinner1904 (Pembiasaan
Perilaku Respons)
Tingkah laku
terbentuk dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri. Sejumlah
perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang
dekat.[10]
Teori ini menyatakan bahwa anak manusia lahir tanpa warisan (kecerdasan, bakat,
perasaan dll). Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul
setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan.
individu bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana
individu itu dididik.[11]
Skinner
memandang hadiah atau penguatansebagai unsur yang paling penting dalam proses
belajar.[12]
Manusia cenderung untuk belajar suatu respons jika segara diikuti penguatan. Ia
memilih istilah penguatan
daripadahadiah karena hadiah diinterpretasikan sebagai
tingkah laku subjektif yang dihubungkan dengan kesenangan, sedangkan penguatan adalah istilah yang netral.[13]
Ia memusatkan
hubungan antar tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu diikuti
oleh konsekuensi menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu
sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dalam mengubah tingkah laku sering disebut operant
conditioning.[14]
Ia tidak
menggunakan perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku yang
akan membuat masalah menjadi rumit karena alat itu harus dijelaskan lagi. Sebagai
contoh siswa berprestasiburuk karena mengalami frustasi. Hal itu akan
menimbulkan pertanyaan apa itu frustasi yang akan memerlukan penjelasan lain.[15]
Kelemahan dan kekuatan teori behavioristik ini
adalah proses belajar:
a.
“dapat diamati secara langsung padahal belajar adalah
proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian
gejalanya.
b.
bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti
gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki kemampuan mengarahkan
diri dan pengendalian diri yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa
menolak merespons jika ia tidak mengendaki, misal ia lelah dengan kata hati.
c.
manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu
sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis
antara manusia dan hewan”.[16]
d.
“usaha-usaha mengubah perilaku mengabaikan faktor-faktor
kognitif yang potensial mengganggu proses belajar. Untuk siswa yang pengetahuan
atau kemampuan kognitifnya lemah, harus menggunakan strategi belajar mengajar
pada teori kognitif.
e.
penguatan yang diberikan karena menyelesaikan tugas-tugas
akademis yang bisa mendorong siswa untuk melakukannya lebih cepat dan bagus.
f.
penguatan ekstrinsik terhadap sebuah aktivitas yang
dianggap siswa sudah menguatkan secara intrinsik akan mengurangi kesenangan
siswa terhadap kegiatan tersebut. Ketika siswa mengerjakan tugas yang sulit,
guru memberikan dorongan agar siswa mengerjakan dengan baik tetapi siswa akan
merasakan kebosanan”.[17]
2.
Teori Belajar Pendekatan Kognitif
Teori ini lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.Belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Hal ini terpusat pada proses
bagaimana suatu ilmu yang berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah
dikuasai siswa. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang siswa melalui
proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini mengalir,
sambung-menyambung dan menyeluruh. Para ahli teori ini adalah:
a.
Piaget (1975)
Ia menganggap bahwa proses belajar terdiri dari tiga tahapan yaitu:
1)
Asimilasi, proses penyatuan dan
pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak
siswa.
2)
Akomodasi, penyesuaian struktur kognitif dalam
situasi yang baru.
3)
Equilibrasi (penyeimbangan), penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Proses belajar harus
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Ia membaginya
menjadi empat tahap yaitu tahap sensori-motor (1,5 sampai 2 tahun), Tahap
pra-operasional (2,3 dampai 7,8 tahun), tahap operasional konkret (7,8 sampai
12,13,14 tahun), tahap operasional formal (14 tahun atau lebih).Semakin tinggi
tingkat kognitif sesorang, semakin teratur dan semakin abstrak cara
berpikirnya. Guru harus memahami tahap perkembangan siswa serta memberikan
materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahapan itu sehingga
tidak menyulitkan siswa.[18]
b.
Ausubel (1968)
Menurutnya siswa
akan belajar dengan baik apabila pengatur kemajuan belajar didefiniskan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau
informasi umum yang mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan oleh
siswa.
Pengetahuan guru
terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik sehingga guru akan mampu
menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inkusif, untuk diajarkan pada
siswa. Logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin agar tidak kesulitan
memilah materi pelajaran serta mengurutkan materi demi materi kedalam struktur
urutan yang logis dan mudah dipahami.[19]
c.
Bruner (Teori free discovery learning)
Teori ini adalah
proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suau aturan (konsep, teori definisi dll) melalui contoh
yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara
induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
Ia memandang bahwa
teori belajar bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran bersifat
preskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimal anak
untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaiman
cara mengajarkan penjumlahan.[20]
Tingkah laku
seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi.[21]Pandangan
kognitif melihat belajar sebagai suatu yang aktif. Mereka berinisiatif mencari
pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah,
mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk
mencapai belajaran baru.[22]
3.
Teori Belajar Pendekatan Humanistik
Psikologi
humanistik berusaha memahami tingkah laku individu dari sudut pandang pelaku,
bukan dari pengamat. Menurut aliran ini tingkah laku individu ditentukan oleh
individu itu sendiri.[23]
Proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini
menekankan pada isi dan proses belajar dan pada kenyataanya teori ini lebih
banyak berbicara tentang pendidikan dan
proses belajar dalam bentuk yang paling ideal.Teori ini lebih tertarik
pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar apa adanya
yang biasa kita amati dalam dunia keseharian.
Tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa
telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa harus berusaha agar
lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.[24]
Pendidik harus
memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affective)
siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi,
perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.[25]Pendekatan
humanistik pada umumnya mempunyai pandangan yang ideal yang lebih manusiawi,
pribadi, dan berpusat pada siswa yang menolak terhadap pendidikan tradisional
yang lebih berpusat pada guru.Para ahli teori belajar pendekatan ini yaitu:
a. Arthur Combs
Tokoh ini menjelaskan
bagaimana persepsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti
tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat
dari sudut pandangnya. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat
dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir,
merasa tentang dia atau tentang dunianya.[26]
b. Maslow
Tokoh ini berpendapat
bahwa ada hierarki kebutuhan manusia. Kebutuhan untuk tingkat yang paling
rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan
rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting. Jika manusia secara
fisik terpernuhi kebutuhannya dan merasa aman, mereka akan distimuli untuk
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dicintai
dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri. Jika kebutuhan ini
terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi
intelektual, penghargaan estetis, dan akhirnya self-actualization.[27]
c. Rogers
Melalui bukunya
Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80’s, menganjurkan
pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih
manusiawi, lebih personal, dan berarti. Prinsip-prinsip penting belajar
humanistik menurut Rogers[28]
yaitu keinginan untuk belajar (The Desire to Learn),belajar secara signifikan (Significant
Learning), belajar tanpa
ancaman (Learning Without Threat),
belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated Learning), belajar dan berubah (Learning and
Change).
d.
Bloom dan Krathwohl
Mereka membagi penguasaan siswa dalam belajar
menjadi tiga:
1)
Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan,
yaitu: pengetahuan (mengingat dan menghafal), pemahaman (menginterpretasikan),
aplikasi (penggunaan konsep untuk memecahkan masalah), analisis (menjabarkan
suatu konsep), sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu
kesatuan yang utuh), evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan lain-lain).
2)
Afektif yang terdiri dari lima tingkatan,
yaitu pengenalan (ingin menerima dan sadar akan adanya sesuatu), merespons
(aktif berpartisipasi), penghargaan (menerima nilai-nilai dan setia kepada
nilai-nilai tertentu), mengorganisasian yaitu menghubungkan nilai yang
dipercaya), pengamalan (menjadikan nilai sebagai bagian pola hidupnya).
3)
Psikomotor yaitu peniruan(menirukan gerak),
penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), ketepatan (melakukan
gerak dengan benar), perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus),
naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
Taksonomi Bloom ini
berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar untuk mengembangkan teori
belajar dan pembelajaran. Taksonomi ini banyak membantu praktisi pendidikan
untuk memformulasikan tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami,
operasional, serta dapat diukur. Teori ini dijadikan pedoman untuk membuat
butir soal ujian.[29]
e.
Kolb
Iamembagi tahapan
belajar menjadi empat tahapan yaitu:
1)
Pengalaman konkret. Pada tahap pertama dan
paling dini ini, siswa hanya mampu mengalami suatu kejadian.
2)
Pengamatan aktif dan reflektif. Pada tahap
kedua ini, siswa mampu mengadakan observasi aktif dan memahami terhadap
kejadian itu.
3)
Konseptualisasi. Tahap ketiga ini, siswa
mulai belajar membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal yang pernah
diamatinya.
4)
Eksperimentasi aktif. Pada tahap akhir ini,
siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Siklus belajar semacam ini terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa sehingga sulit
ditentukan kapan beralihnya, tetapi ada garis tegas antara tahap satu dengan
tahap lain.[30]
f.
Honey dan Mumford
Mereka membagi tipe
siswa menjadi empat macam:
1)
Siswa tipe aktivis adalah yang suka
melibatkan diri pada pengalaman baru dan cenderung berpikiran terbuka serta
mudah diajak berdialog.
2)
Siswa dengan tipe reflektor sangat
berhati-hati mengambil langkah.
3)
Siswa dengan tipe teoris sangat kritis,
senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subjektif.
4)
Siswa tipe pragmatis menaruh perhatian besar
pada aspek praktis. Siswa tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas
aspek teoritis filosofis karena lebih baik praktiknya.[31]
g.
Habermas (tokoh yang dipengaruhi oleh
interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia)
Tipe belajar dibagi menjadi:
1)
Tipe belajar teknis, belajar berinteraksi
dengan alam sekelilingnya.
2)
Tipe belajar praktis,belajar berinteraksi
dengan orang disekelilingnya.
3)
Tipe belajar emansipatoris berusaha mencapai
pemahaman dan kesadaran tentang perubahan kultural suatu lingkungan. Pemahaman
kesadaran terhadap perubahan kultural menjadi tahapan terpenting karena
dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.[32]
B. Penerapan Teori
Belajar Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik dalam Pembelajaran
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah
terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif, sedangkan perilaku yang kurang sesuai mendapatkan
penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasarkan pada perilaku yang
tampak.[33]
2.
Penerapan Teori Belajar Kognitif dalam Pembelajaran
Ada sejumlah cara untuk menggunakan
model belajar kognitif dalam kelas. Pertama kita akan melihat strategi mengajar
pada umumnya, terutama yang menyangkut rencana pembelajaran, kemudian yang
kedua kita akan memusatkan perhatian untuk membantu siswa dalam mengingat informasi
baru.
Strategi belajar sangatlah penting
dalam mencapai suatu keberhasilan pengajaran, dalam hal ini ada beberapa faktor
yang mendasari strategi mengajar yaitu; memusatkan perhatian, banyak faktor
yang mempengaruhi perhatian siswa. Dalam permulaan pelajaran, guru dapat
membuat kontak mata atau berbuat sesuatu yang mengejutkan siswa dengan maksud
untuk menarik perhatian siswa.mengidentifikasi apa yang penting, sulit, dan
tidak bisa, belajar dapat dipertinggi jika guru membantu siswa merasa betapa
pentingnya informasi baru,
Suatu strategi untuk melakukan ini
adalah membuat tujuan pembelajaran sejelas mungkin. membantu siswa mengingat
kembali informasi yang telah dipelajari sebelumnya, membantu siswa memahami dan
menggabungkan informasi. Mungkin satu-satunya metode terbaik untuk membantu
siswa memahami pelajaran dan mengombinasikan informasi yang telah ada dengan
informasi baru adalah membuat setiap pelajaran sedapat mungkin bermakna.
Strategi selanjutnya yaitu, strategi untuk membantu siswa dalam
mengingat informasi baru. Lindsy dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk
memperbaiki ingatan, pertama,
menghafal memerlukan usaha. kedua; materi
yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal lain. Ketiga; materi dapat dibagi dalam
kelompok atau bagian-bagian kecil dan kemudian diletakkan kembali bersama-sama
pola yang berarti.[34]
3.
Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran
Implikasi
pengajaran dari sudut pandang Rogersyaitutidak begitu memperhatikan metodologi
pengajaran. Nilai dari perencanaan kurikulum, keahlian ilmiah guru, atau
penggunaan teknologi tidak sepenting dalam memudahkan belajar, seperti respons
perasaan siswa atau mutu dari interaksi antara siswa dan guru. Satu strategi
yang disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang
dapat mendukung dan membimbing pengalaman mereka. Strategi lain yang disarankan
Rogers adalah peer-tutoring (siswa mengajar siswa yang lain). Rogers
adalah penganjur yang kuat pada penemuannya, di mana siswa mencari jawaban
terhadap pertanyaan yang riil, membuat penemuan autonomus (bebas), dan
menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.Pengajaran dalam
Psikologi Humanistik meliputi:
a. Pendidikan Setara (Confluent Education)
George Brown
mengembangkan Pusat Pendidikan Humanistik di Universitas California, Sania
Barbara, dimana guru belajar mengintegrasikan pengalaman afektif dengan belajar
kognitif di kelas.[35]
Contohnya adalah pengajaran Bahasa Inggris pada siswa umur 12 tahun tentang
buku yang berjudul Red Badge of Courage. Guru yang ingin mengembangkan
latihan ini, ingin siswanya tidak hanya mendapatkan pengertian yang lebih dalam
tentang novel itu, tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih
besar dengan mendiskusikan konsep tentang keberanian, keteguhan hati, dan
kekuatan mereka sendiri.
b. Pendidikan Terbuka (Open Education)
1) Syarat-syarat
belajar (Provisions for Learning). Memanipulasi persediaan bahan
pelajaran untuk memenuhi keanekaragaman dan luasnya mata pelajaran. Anak-anak
bergerak bebas di kelas, mendorong untuk bercakap-cakap dan tidak dipisahkan ke
dalam kelompok dengan menggunakan skor tes.
2) Manusiawi,
hormat, terbuka, dan hangat (Humannes, Respect, Opennes, and Warmth). Menggunakan
bahan pelajaran yang dibuat siswa. Guru berhadapan dengan tingkah laku siswa
yang bermasalah dengan berkomunikasi dengan anak tanpa melibatkan kelompok.
3) Mendiagnosis
kejadian selama pelajaran (Diagnosis of Learning Events). Siswa
mengoreksi pekerjaan mereka sendiri. Guru mengobservasi dan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan.
4) Pengajaran (Instruction).
Secara individual tidak ada tes/ buku tugas.
5) Penilaian (evaluation).
Guru mengambil catatan beberapa tes formal.
6) Mencari
kesempatan untuk menumbuhkan profesionaliisme (Search for Opportunities for
Professional Growth). Guru menggunakan bantuan orang lain. Guru bekerja
dengan teman sejawat.
7) Persepsi guru
tentang dirinya (Self-Perception of Teacher). Guru mencoba untuk
menyimpan semua persepsi tentang anak-anak di dalam pengamatannya dan memonitor
pekerjaan mereka.
8) Mengasumsikan
anak-anak dan proses belajar (Assumption about Children and the Learning
Process). Suasana kelas hangat dan diterima. Anak-anak terlibat dengan apa
yang mereka kerjakan.[36]
Slavin
menyimpulkan bahwa hasil penelitian kelas terbuka mengatakan,
pengalaman-pengalaman dari gerakan kelas terbuka menyarankan bahwa ada
keterbatasan terhadap belajar yang diarahkan pada diri sendiri oleh siswa,
terutama ketika mereka belajar keterampilan dasar dimana begitu banyak kegiatan
belajar yang tergantung dari guru.[37]
C.
Aplikasi Teori Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik dalam
Pendidikan Agama Islam
1.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam PAI
Teori behavioristik ini sangat sesuai apabila diterapkan dalam
pembelajaran PAI, karena PAI adalah mata pelajaran yang orientasinya untuk
pembentukan habituasi atau pembiasaan dalam mengamalkan agama yang telah
dipelajari oleh siswa. Maka dengan teori ini diharapkan siswa dapat menerapkan
tingkah laku sesuai amalan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi seorang
guru PAI, mempergunakan teori tingkah laku ini akan mempermudah guru untuk
mencapai indikator yang diinginkan oleh guru karena siswa secara tidak langsung
telah melakukan apa yang diharapkan guru tanpa mereka merasa dipaksa. Prinsip behaviorisme dan implikasinya dalam
pendidikan:
Asumsi
|
Implikasinya
dalam Pendidikan
|
Contoh
|
Pengaruh
lingkungan
|
Kembangkan
lingkungan kelas yang mendukung perilaku siswa yang diinginkan
|
Memuji siswa
yang mengerjakan tugas secara mandiri saat tidak ada yang memperhatikan
|
Fokus pada
peristiwa yang dapat diamati (stimulus dan respons)
|
Identifikasi
stimulus khusus termasuk tindakan anda sebagai guru yang dapat mempengaruhi
siswa
|
Memberikan
perhatian kepada siswa yang berperilaku tidak pantas
|
Belajar
sebagai perubahan perilaku
|
Simpulkan
bahwa belajar terjadi hanya ketika siswa menampilkan perubahan dalam performa
|
Memasukkan
kegiatan yang menyenangkan dan mendidik sebagai cara membantu siswa
mengasosiasikan setiap materi pelajaran dengan perasaan menyenangkan
|
Kontiguitas
kejadian
|
Menghubungkan
dua kejadian antara stimulus dan respons dalam waktu yang berdekatan
|
|
Kesamaan
prinsip pembelajaran di semua spesies
|
Penelitian
dengan spesies memiliki relevansi bagi praktik di dalam kelas
|
Memberikan
penguatan pada siswa hiperaktif apabila ia duduk dengan tenang dalam waktu
yang lama dengan penelitian tikus dan merpati.[38]
|
2.
Aplikasi Teori Kognitif dalam PAI
Teori kognitif
merupakan suatu teori yang diman bertumpu pada perkembangan daya serap otak
atas inforasi yang telah diterimanya. Oleh karena itu teori ini lebih sesuai
digunakan dalam mata pelajaran Fiqih, Al-Quran dan Al-Hadis, walaupun tidak
menutup kemungkinan bahwa teori ini dapat digunakan disetiap bidang pengetahuan
apapun. Dalam kaitannya dengan materi Fiqih dan Al-Quran dan Al-Hadis penerapan
teori kognitif ini menurut penulis sangat cocok digunakan dalam proses
pembelajaran teori ini, memusatkan perhatian,
banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Dalam permulaan pelajaran,
guru dapat membuat kontak mata atau berbuat sesuatu yang mengejutkan sisiwa
dengan maksud untuk menarik perhatian siswa.mengidentifikasi apa yang penting,
sulit, dan tidak bisa, belajar dapat dipertinggi jika guru membantu siswa
merasa betapa pentingnya informasi baru.
Suatu strategi
untuk melakukan ini adalah membuat tujuan pembelajaran sejelas mungkin.membantu siswa mengingat kembali informasi
yang telah dipelajari sebelumnya, membantu siswa memahami dan menggabungkan
informasi. Mungkin
satu-satunya metode terbaik untuk membantu siswa memahami pelajaran dan
mengombinasikan informasi yang telah ada dengan informasi baru adalah membuat
setiap pelajaran sedapat mungkin bermakna.
Dengan adanya
langkah tersebut diharapkan materi tentang Fiqih dan Al-Quran dan Al-Hadis
dapat mudah dipahami sisiwa dan titik akhir siswa mampu mempraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dan strategi yang dipake atau digunakan dalam
pembelajaran ini dengan Discovery Learning. Dengan hal itu diharapkan
para siswa mudah dalam mengkap suatu informasi baru dan selalu diingat jangka
panjangnya.
3.
Aplikasi Teori Humanistik dalam PAI
Pengalaman emosional dan karateristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan
oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Seseorang akan dapat belajar dengan
baik apabila mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat
pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian
teori belajar humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan ideal tersebut
dapat dicapai.
Teori belajar humanistik dapat diterapkan dalam pembelajaran tauhid,
akhlak, akan sangat membantu para pendidik dalam memahani arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Contoh
pembelajaran kooperatif dari teori humanistik ini ialah mengemas materi
pembelajaran akhlak, fiqh atau tauhid dengan strategi pemebelajaran jigsaw. Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen,
kemudian tim diberi bahan pelajaran.
Murid
mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang
mendapat bahan serupa. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing
untuk mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan anggota tim
lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota
tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat
ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang
digunakan untuk membuat skor tim.
Meskipun teori ini masih sulit diterapkan ke dalam langkah-langkah
pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangannya begitu besar.
Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya
dapat membantu para pendidik dan guru dalam memahami hakekat manusia. Hal ini
akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran
seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran,
serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang
dicita-citakan tersebut.
BAB III
PENUTUP
Teori belajar
behavioristik memandang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai
akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respon dengan penekanan pada
hasil proses belajar. Belajar menurut teori belajar kognitif selalu didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah
laku itu terjadi dengan penekanan pada hasil belajar. Sedangkan, menurut teori
humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia dengan penekanan
pada isi atau apa yang dipelajari.
Teori-teori
tersebut mempunyai pengaruh dan implikasi yang berbeda-beda dalam penerapannya.
PAI adalah mata pelajaran yang orientasinya untuk pembentukan habituasi atau
pembiasaan dalam mengamalkan agama yang telah dipelajari oleh siswa. Dengan
menyesuaikan teori belajar kepada kondisi peserta didik, diharapkan siswa dapat
menerapkan hal yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi
seorang guru PAI, mempergunakan berbagai teori belajar ini akan mempermudah
guru untuk mencapai indikator yang diinginkan oleh guru, karena siswa secara
tidak langsung telah melakukan apa yang diharapkan guru tanpa mereka merasa
dipaksa.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustaqim. 2001. Psikologi
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
B.Uno, Hamzah. 2005. Orientasi
Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Atmaja Prawira, Purwa. 2011. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Ormrod, Jeanne Ellis. Psikologi
Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Edisi keenam.
Jakarta: Erlangga.
Dalyono. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Esti Wuryani Djiwandono, Sri. 2006. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Grasindo
Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Sugihartono,
dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
[1] Mahmud, Psikologi
Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hlm. 73.
[2]Sugihartono, dkk, Psikologi
Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2007.), hlm. 89-90.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: Rosda, 1995), hlm. 105-106.
[4] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm., 7.
[7] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 129.
[8]Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,...,
hlm., 8.
[10]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,..., hlm. 109.
[12] Dalyono, Psikologi
Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 32.
[13] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 131.
[14] Ibid.,
[17]Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh
dan Berkembang
Edisi
keenam,
(Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 466.
[21] Dalyono, Psikologi
Pendidikan..., hlm. 35.
[22] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm.149.
[23]Mustaqin, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm., 61
[24] Sugihartono, dkk, Psikologi
Pendidikan...,hlm. 116.
[25] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 181.
[33] Sugihartono, dkk, Psikologi
Pendidikan...,hlm. 103.
[34] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan..., hlm. 163.
[38] Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa... hlm., 423.