Salah satu metode yang digunakan
al-Qur’an untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan
menggunakan cerita (kisah). Dalam al-Qur’an dijumpai banyak kisah, terutama
yang berkenaan dengan misi kerasulan dan umat masa lampau. Muhammad Qutb
berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dikategorikan ke dalam
tiga bagian; pertama, kisah faktual yang menonjolkan tempat, orang, dan
peristiwa tertentu; kedua, cerita faktual yang menampilkan suatu contoh
kehidupan manusia, agar manusia bisa mencontoh seperti pelaku yang disebutkan
tersebut; ketiga, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya
tetapi bisa diterapkan kapan dan disaat apapun.[1]
Jenis pertama misalnya cerita
tentang nabi-nabi dan orang-orang yang mengingkarinya serta segala hal yang
mereka alami akibat pengingkaran itu. Cerita tersebut menyebutkan nama-nama
pelaku, tempat-tempat kejadian, peristiwa-peristiwa secara jelas, seperti kisah
Musa dan Fir’aun, Isa dan Bani Israil, Salih dan Tsamud, Hud dan ‘Ad, Nuh dan kaumnya,
dsb. Jenis kedua misalnya kisah anak Adam dalam Surat Al Maidah 27-30.
Sedangkan jenis ketiga misalnya Surat Al Kahfi ayat 32-43.
Dalam menyampaikan kisahnya,
Al-Quran terkadang tidak hanya menyebutkan satu kali saja, melainkan
mengulang-ulang kisah tersebut dalam beberapa surat lainnya. Kisah Musa
misalnya, Al-Quran mengulangi kisahnya dalam 124 ayat, dan rangkaian kisahnya
tersebar dalam 30 surat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan Al-Quran
mengulang-ulang kisah tersebut?. Menurut Sayyid Qutub, tujuannya adalah untuk
menancapkan pemikiran yang kuat tentang kisah-kisah tersebut pada manusia,
bahwa kisah tersebut sungguh menyimpan value yang besar untuk diambil
ibrahnya.[2] Sedangkan
menurut M. Khalafullah alasan logis kenapa kisah Nabi Musa diulang-ulang dalam
Al Quran adalah karena Nabi Musa adalah nabi bangsa Yahudi, yang saat itu
kepercayaan agama mereka mendominasi jazirah Arab. Al Quran memilih
materi-materi kisah dengan memprioritaskan unsure-unsur yang telah tumbuh di
lingkungan Arab saat itu. Hal ini dimaksudkan agar kisah tersebut punya daya
pengaruh yang lebih kuat.[3]
Secara garis besar orang atau tokoh
yang dikisahkan dalam al-Quran adalah orang yang sholeh ataupun orang yang
dzalim. Orang yang shaleh misalnya Lukman al- Hakim, sedangkan yang dzalim
misalnya Fir’aun. Kisah dengan menampilkan tokoh yang shaleh bertujuan agar
para pembaca meneladani tokoh tersebut dalam keshalehannya. Dan kisah yang
menampilkan tokoh yang dzalim bertujuan pula agar para pembaca menjauhi sikap
dan perbuatan tokoh tersebut.[4] Hal
ini misalnya dapat kita lihat dalam sebuah ayat yang menggambarkan nilai
pedagogis sekaligus sebagai salah satu landasan metode bercerita dalam al-Quran
sebagai berikut:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ
الْغَافِلِينَ
“Kami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini
kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk
orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf
ayat 3)
Kata yang menggambarkan secara
langsung pada metode bercerita adalah naqushshu yang berarti Kami
menceritakan. Naqushshu berasal dari kata qashsha-yaqhushshu yang
berarti menceritakan. Dalam ayat diatas tampak secara jelas bahwa terdapat guru
yang mengajarkan yaitu Allah SWT sendiri, guru memberikan isi cerita yang
terbaik ‘ahsanal qashash’ sebagai materi pembelajaran. kata al-qashash
menurut Qurais Syihab adalah bentuk jamak dari qishash/kisah. Ia
terambil dari kata qashsha yang pada mulanya berarti mengikuti jejak.
Kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau
imajinatif sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya
satu episode atau episode demi episode.[5]
Kata ahsanal qashshah berarti
kisah yang paling baik. Sebagaimana digambarkan dalam Syamil al-Quran
Miracle The Reference adalah kisah Nabi Yusuf as. Kisah Nabi Yusuf adalah
sebaik-baik kisah dalam perjalanan hidup manusia. Nabi Yusuf adalah salah
seorang nabi yang banyak dikisahkan dalam al-Quran. Nyaris seluruh bagian surat
Yusuf, salah satu yang terpanjang didalam al-Quran, mengisahkan kehidupan dan
keluarganya. Pada awal surat ini Allah mengungkapkan bahwa kisah hidupnya
mengandung tanda-tanda, bukti-bukti, dan hikmah yang penting. “Sesungguhnya
ada tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi
orang-orang yang bertanya” (QS. Yusuf ayat 7). Sebagaimana halnya dengan
nabi-nabi lainnya, orang yang beriman yang membaca kisah nabi Yusuf akan
menemukan banyak hal yang menentramkan dan mendapatkan banyak pelajaran.[6]
Pada akhir ayat tersebut menggunakan
kata al-ghafiliin. Menurut Quraisy Shihab, kata al-ghafiliin
terambil dari kata ghafala yang makna dasarnya berkisar pada
ketertutupan. Tanah yang tidak dikenal karena tanpa tanda-tanda disebut ghulf,
dan karena ketiadaan tanda itulah maka
orang tidak mengetahuinya. Kata ghafil biasanya juga diartikan lengah,
yang tidak mngetahui bukan karena kepicikan akal, akan tetapi karena kurangnya
perhatian.[7]
Apabila kata naqushshu dikaitkan dengan kata al-ghafilin artinya
orang-orang yang belum mengetahui, hal itu menggambarkan adanya proses
pembelajaran untuk mengajari manusia yang belum mengetahui dengan materi
kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Quran menggunakan metode cerita. Kata al-ghafiliin
diujung ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia sebelum mendapatkan cerita
yang bersumber dari apa yang diwahyukan oleh Allah tidak memiliki pengetahuan.
Dari ayat tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa cerita mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap manusia.
Secara sifat alamiah manusia juga mempunyai kesenangan terhadap cerita. Oleh
sebab itu sangat wajar jika cerita dijadikan salah satu metode dalam pendidikan
Islam. Metode cerita ini sangat penting dalam pendidikan karena ia bersifat
mengasah intelektualitas dan amat berpengaruh dalam menanamkan nilai-nilai
moralitas serta humanisme yang benar.[8]
Dalam dunia pendidikan, metode
cerita ini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Dalam
usia anak-anak misalnya, guru bisa memberikan cerita dengan mendongeng. Materi
dongeng bisa mengambil cerita-cerita faktual para nabi dan rasul ataupun
orang-orang shaleh. Selain itu guru juga bisa membuat cerita fiktif sendiri
dengan mempertimbangan perkembangan keagamaan anak. Sesuai hasil penelitian
Ernest Harms, pada usia anak-anak konsep mengenai sesuatu lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Kehidupan pada masa ini banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun masih menggunakan konsep
fantastis yang meliputi dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.[9]
Metode cerita dalam dunia pendidikan
harus memperhatikan situasi kapan metode ini cocok digunakan, tentunya juga
dengan memperhatikan tujuan pembelajaran tersebut. Hal tersebut untuk
menjadikan metode cerita yang digunakan tepat sasaan dan dapat menjadikan
materi pembelajaran tersampaikan dengan baik. Situasi penggunaan metode cerita
dalam pendidikan daintaranya:[10]
1.
Mendidik keteladanan
Guru harus jeli
melihat materi yang akan diajarkan pada peserta didik. Apabila materi yang akan
diajarkan memang untuk menggiring peserta didik pada penguasaan akhlak dan
moral, maka metode ini sangat tepat digunakan. Sebab dengan menceritakan sebuah
kisah peserta didik biasanya akan lebih terikat dan mengikuti ide cerita
sembari membandingkan dengan dirinya hari ini. Bila demikian halnya, maka
keteladanan yang ada dalam cerita diharapkan dapat diresapi oleh peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Menarik perhatian dan merangsang otak
Kisah-kisah
yang mengandung hikmah sangat efektif untuk menarik perhatian dan merangsang otak.
Dengan mendengarkan cerita peserta didik akan merasa senang sekaligus menyerap
nilai-nilai pendidikan islam tanpa merasa dipaksakan. Hal ini juga telah
dicontohkan Rasulullah, beliau sering bercerita tentang kaum-kaum terdahulu
agar mengambil hikmah dan pelajaran darinya.
3.
Menanamkan nilai akhlak dan emosional
Metode
bercerita dapat mengungkapkan peristiwa yang mengandung nilai-nilai pendidikan
moral, rohani, dan social untuk peserta didik, baik cerita bersifat kebaikan,
kedzaliman, atau cerita tentang ketimpangan jasmani-rohani, material-spiritual
yang dapat melumpuhkan semangat manusia. Dengan mendengarkan suatu cerita,
kepekaan jiwa dan perasaan anak didik dapat tergugah pe,berian stimulus pada
peserta didik dengan bercerita secara otomatis mendorong anak didik untuk
berbuat kebaikan, dan dapat membentuk akhlak mulia serta membina rohani.
4.
Anak usia pra sekolah
Orang tua
memberikan cerita dari hal-hal yang sederhana. Menurut Muhammad Quthb dengan
cerita, anak mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan dan mempunyai
pengaruh terhadap jiwa anak.
5.
Peserta didik yang mempunyai kecerdasan verbal-linguistik
Peserta didik
yang memiliki kecerdasan verbal linguistic cenderung mempunyai kemampuan
retoris bahasa atau kemampuan untuk meyakinkan orang lain dari serangkaian
tindakan, potensi dalam mengingat bahasa, atau kemampuan untuk mengingat
bahasa. Oleh karena kecerdasan linguistik ada pada pengolahan kata-kata atau
berbicara, maka dengan mendengarkan cerita peserta didik akan memiliki banyak
perbendaharaan kata dan dapat mengambil hikmah dari isi cerita tersebut.
Menurut
Abduddin Nata, Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita yang
pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh sebab itu perlu adanya desain metode
cerita ini dalam pembelajaran agar guru dengan mudah menerapkannya hingga
pembelajaran menarik dan sampai pada tujuan maksimal. Langkah-langkah tersebut
adalah sebagai berikut:[11]
1.
Menetapkan tujuan
Agar
pembelajaran dapat terlaksana dan mencapai sasaran maka perlu ditetapkan
tujuannya. Penetapan tujuan dalam pembelajaran tidak lepas dari
indicator-indikator yang telah ditetapkan.
2.
Memilih jenis cerita
Jenis cerita
terkadang memang guru yang menentukan, namun disisi lain bila memang indikator
pembelajaran menceritakan kisah Nabi Ibrahim misalnya, maka tidak dapat tidak
seorang guru harus menyesuaikan dengan indicator tersebut hingga tidak ada
alasan lain untuk memilih jenis cerita yang sesuai.
3.
Menyiapkan alat peraga
Guru harus
mempersiapkan alat peraga yang dibutuhkan dalam bercerita jika memang cerita
tersebut membutuhkan alat peraga, tetapi jika tidak berarti guru hanya
menyiapkan suara yang baik dan stamina yang cukup.
4.
Memperhatikan posisi duduk peserta didik
Posisi yang
baik dalam bercerita adalah siswa mengelilingi guru dengan posisi setengah
lingkaran atau mendekati setengah lingkaran. Untuk mengawali bercerita
sebaiknya guru memulainya dengan berdiri agar menarik perhatian siswa.
5.
Menarik perhatian peserta didik dalam penyimakan
Guru harus
pandai-pandai melihat situasi peserta didiknya agar mereka tetap focus
memperhatikan apa yang sedang disampaikan guru melalui ceritanya.
6.
Menceritakan isi cerita denga lengkap
Guru dalam
menyampaikan cerita harus dengan alur yang jelas dan runtut, dengan tutur kata
serta bahasa sederhana yang mudah diteima oleh peserta didiknya. Gaya
bercerita, intonasi, ekspresi, gerakan, dan pelafalan harus diperhatikan guru
agar siswa tidak bosan dengan cerita yang disampaikan.
7.
Menyimpulkan isi cerita
Guru dan murid
secara bersama-sama membuat kesimpulan dari cerita yang telah disampaikan guru.
Hal ini penting agar siswa diberi kesempatan menyampaikan pemahamannya terhadap
cerita yang disampaikan, selain itu juga agar semua siswa mempunyai pemahaman
yang tidak keliru terhadap cerita tersebut.
8.
Mengadakan evaluasi
Tujuannya untuk
mengetahui seberapa tingkat pemahaman siswa, dan juga seberapa berhasilkah
metode cerita ini digunakan guru. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan dua hal
yaitu bisa langsung secara lisan, atau bias secara tertulis.
9.
Tindak lanjut
Tindak lanjut
ini dapat dilakukan melalui hasil evaluasi dari kedua hal diatas. Bila memang
ada siswa yang kurang dalam penguasaan materi maka guru harus mencai penyebab
dan harus segera dilakukan perbaikan dengan cepat untuk pembelajaran berikutnya
dengan metode bercerita tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Jalaludin, Psikologii
Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Laksana, Indra, Syamil Al-Quran Miracle The Reference,
Bandung: Sygma Publishing, 2010.
M. Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan
Moralitas dalam Kisah, Jakarta: Paramadina, 2002.
Qutbh,
Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1993.
Shihab, Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2012.
Tambak, Syahraini, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Qutb, Sayyid, Al-Tashwir
al-Fanni Fil Quran, Kairo, Darul Ma’arif.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang
Pendidikan, Jakarta: Amzah, 2013.
[1] Muhammad Qutb,
Sistem Pendidikan Islam , (Bandung: Al Ma’arif, 1993), hlm. 348.
[2] Sayyid Qutub, Al-Tashwir
al-Fanni Fil Quran, (Kairo, Darul Ma’arif, tt), hlm. 122.
[3] M.
Khalafullah, Al Quran Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam
Kisah, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 343.
[4] Kadar M.
Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan,
(Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 122.
[5] Quraisy
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 12.
[6] Indra Laksana,
Syamil Al-Quran Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing,
2010), hlm. 468.
[7] Quraisy
Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 12.
[8] Ismail SM, Paradigma
Pendidikan Islam: Teoritis dan Praktis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 48.
[9] Dalam
penelitiannya Ernest Harms menyimpulkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak
melalui tiga tingkatan. Pertama the fairy tale stage (tingkat dongeng),
kemudian the realistic stage (tingkat kenyataan), dan terakhir the
individual stage (tingkat individu).
Lihat Jalaludin, Psikologii Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 66.
[10] Syahraini
Tambak, 6 Metode Komunikatif Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2014), hlm. 163-165.
[11] Ibid,
hlm. 172-184.