Oleh: Khasan Bisri, M.Pd.
Dalam
lintasan sejarah, perbedaan pendapat yang terjadi diantara umat Islam tidaklah
sampai menimbulkan permusuhan, perpecahan, dan kebencian. Karena umat Islam
menyadari bahwa perbedaan adalah rahmat dan keniscayaan. Perbedaan tidaklah
otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak pula ia selalu baik dan
bermanfaat. Perbedaan menjadi bencana jika mengarah menuju perselisihan sambil
masing-masing menganggap diri dan kelompoknya memonopoli kebenaran, sedang
selain dirinya dan kelompoknya memonopoli kesalahan.
Perbedaan
pendapat bukanlah sesuatu yang baru, semenjak Nabi masih hidup pun perbedaan
sudah terjadi dikalangan para sahabatnya. Sangat populer, sebuah kisah yang
bersumber dari kitab hadist paling shahih, Bukhari dan Muslim yang
menginformasikan bahwa suatu ketika nabi memerintahkan sejumlah sahabatnya ke
perkampungan Yahudi, Bani Quraidzah sambil berpesan “Janganlah salah satu
diantara kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah”.
Tetapi, ketika matahari hampir terbenam, para sahabat belum juga sampai di
tempat tujuan. Sebagian sahabat ada yang melakukan shalat Ashar dan sebagaian
lainnya tetap melanjutkan perjalanannya. Sahabat yang melakukan shalat Ashar
sebelum sampai tujuan beralasan bahwa pesan nabi itu bertujuan memerintahkan
bergegas dalam perjalanan agar sampai di Bani Quraidhah sebelum Maghrib, bukan
memerintahkan shalat Ashar disana. Sehingga jika waktu Ashar hampir habis,
sedang tempat yang dituju belum tercapai, maka shalat Ashar harus dilaksanakan
dimanapun. Sedangkan sahabat lainnya memahami hadist nabi tersebut secara
tekstual, sehingga mereka benar-benar baru melakukan shalat Ashar setelah sampai
di Bani Quraidhah, kendati waktu itu matahari telah terbenam.
Setelah
para sahabat kembali, peristiwa ini disampaikan kepada nabi. Ternyata nabi
tidak mempermasalahkan dan tidak menyalahkan kedua kelompok sahabat yang
berbeda penafsiran tersebut. Para sahabat kendati berbeda, mereka memiliki arah
dan tujuan yang sama, yakni melaksanakan apa yang ditetapkan oleh nabi sesuai
dengan pemahamannya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa nabi tidak
menafikan adanya kemungkinan perbedaan pemahaman atau penafsiran. Dalam
peristiwa tersebut, nabi sedang mengajari kita bahwa kebenaran bisa saja
beragam dan bertebaran pada berbagai interpretasi dan kelompok, tidak
dimonopoli oleh kelompok tertentu saja.
Para
imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dll juga tidak
selalu sepakat dalam memahami atau menetapkan suatu hukum, tetapi hal tersebut
tidaklah membuat persaudaraan mereka luntur, atau keharmonisan hubungan mereka
mendingin. Mereka saling menghormati perbedaan pemahaman dan interpretasi nash,
serta tidak merasa memonopoli kebenaran. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, yang
menyatakan keharusan berwudhu setelah berbekam atau mimisan. Namun ketika
ditanya seseorang, apakah anda akan sholat dibelakang imam yang sedang
mimisan?, beliau menjawab "Bagaimana aku tidak sholat dibelakang Imam
Malik dan Said bin Al Muayyab?", yang sebagaimana kita ketahui bahwa
Imam Malik dan Said bin Al-Muayyab berpendapat bahwa mimisan tidak membatalkan
wudhu. Jangankan ulama yang masih hidup, yang sudah wafatpun tetap mereka
hormati pendapatnya. Imam Syafi'i yang berpendapat membaca qunut dalam sholat
subuh hukumnya sunnah muakkadah, ketika beliau sholat shubuh di dekat makamnya
Imam Abu Hanifah, beliau tidak berqunut karena menghormati Imam Abu Hanifah
yang berpendapat membaca qunut bukanlah sunnah.
Sayangnya
keteladanan para sahabat dan para ulama masa lalu, akhir-akhir ini tidaklah
nampak pada sebagaian kaum Muslim. Hari ini kita dengan mudahnya menjumpai
saudara-saudara seiman kita saling rebut dan mengklaim kebenaran, seolah-olah
dirinyalah yang diberi mandat oleh Tuhan untuk memonopoli kebenaran. Orang-orang
yang tidak mengikuti pendapat atau penafsiran pribadinya dianggap salah, sesat,
keliru, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal jika mau bijak, bisa jadi
penafsiran pribadinya benar, tetapi juga bisa jadi keliru, bisa jadi penafsiran
orang lain benar, tetapi bisa jadi penafsiran tersebut keliru. Karena memang
Tuhan tidak memberikan ‘otoritas kebenaran’ pada orang tertentu. Karena tidak
ada yang diberikan ‘otoritas kebenaran’, maka seyogyanya tiap Muslim
menghormati keragaman pendapat atau penafsiran.
Dalam
menilai kebenaran Al Ghazali, Al Muzani, Al Qadhi, dan kelompok mu’tazilah telah
mengajari kita bagaimana bersikap bijak dalam menilai kebenaran. Mereka menyatakan
bahwa bisa saja kebenaran itu beragam dengan beragamnya pendapat. Sedangkan
keempat imam madzhab Sunni yang popular berpendapat bahwa kebenaran hanya satu,
namun yang salahpun dalam ijtihadnya ia tetap mendapatkan ganjaran. Tetapi
untuk menentukan pendapat mana yang benar diantara beragamnya pendapat,
tidaklah mudah. Sehingga para ulama madzhab tidak saling mengklaim kebenaran
pendapatnya, mereka hanya berusaha menafsirkan (ijtihad), sedangkan validitas
kebenarannya diserahkan kepada Tuhan.
Jika
ulama-ulama besar saja tidak berani mengklaim dan meganggap pendapatnya sendiri
paling benar dan memvonis yang lain salah, lantas apakah kita pantas untuk
menyombongkan diri dengan memonopoli kebenaran, memaksa orang untuk tunduk
dengan pemahaman kita, serta menuhankan penafsiran pribadi?. Sejak kapan Tuhan
memberi kita mandat untuk memvonis orang lain yang berbeda pendapat dengan kita
dengan tuduhan sesat, salah, keliru, munafiq, liberal, dan label-label negatif
lainnya?. Wahai saudaraku, berhentilah menjadi Tuhan dan kembalilah menjadi
manusia yang menghamba!