Rabu, 01 Mei 2019

MANUSIA DAN RELATIFITAS TAFSIR


Oleh: Khasan Bisri, M.Pd. 
 
Dalam lintasan sejarah, perbedaan pendapat yang terjadi diantara umat Islam tidaklah sampai menimbulkan permusuhan, perpecahan, dan kebencian. Karena umat Islam menyadari bahwa perbedaan adalah rahmat dan keniscayaan. Perbedaan tidaklah otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak pula ia selalu baik dan bermanfaat. Perbedaan menjadi bencana jika mengarah menuju perselisihan sambil masing-masing menganggap diri dan kelompoknya memonopoli kebenaran, sedang selain dirinya dan kelompoknya memonopoli kesalahan.
Perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang baru, semenjak Nabi masih hidup pun perbedaan sudah terjadi dikalangan para sahabatnya. Sangat populer, sebuah kisah yang bersumber dari kitab hadist paling shahih, Bukhari dan Muslim yang menginformasikan bahwa suatu ketika nabi memerintahkan sejumlah sahabatnya ke perkampungan Yahudi, Bani Quraidzah sambil berpesan “Janganlah salah satu diantara kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah”. Tetapi, ketika matahari hampir terbenam, para sahabat belum juga sampai di tempat tujuan. Sebagian sahabat ada yang melakukan shalat Ashar dan sebagaian lainnya tetap melanjutkan perjalanannya. Sahabat yang melakukan shalat Ashar sebelum sampai tujuan beralasan bahwa pesan nabi itu bertujuan memerintahkan bergegas dalam perjalanan agar sampai di Bani Quraidhah sebelum Maghrib, bukan memerintahkan shalat Ashar disana. Sehingga jika waktu Ashar hampir habis, sedang tempat yang dituju belum tercapai, maka shalat Ashar harus dilaksanakan dimanapun. Sedangkan sahabat lainnya memahami hadist nabi tersebut secara tekstual, sehingga mereka benar-benar baru melakukan shalat Ashar setelah sampai di Bani Quraidhah, kendati waktu itu matahari telah terbenam.
Setelah para sahabat kembali, peristiwa ini disampaikan kepada nabi. Ternyata nabi tidak mempermasalahkan dan tidak menyalahkan kedua kelompok sahabat yang berbeda penafsiran tersebut. Para sahabat kendati berbeda, mereka memiliki arah dan tujuan yang sama, yakni melaksanakan apa yang ditetapkan oleh nabi sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa nabi tidak menafikan adanya kemungkinan perbedaan pemahaman atau penafsiran. Dalam peristiwa tersebut, nabi sedang mengajari kita bahwa kebenaran bisa saja beragam dan bertebaran pada berbagai interpretasi dan kelompok, tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu saja.
Para imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dll juga tidak selalu sepakat dalam memahami atau menetapkan suatu hukum, tetapi hal tersebut tidaklah membuat persaudaraan mereka luntur, atau keharmonisan hubungan mereka mendingin. Mereka saling menghormati perbedaan pemahaman dan interpretasi nash, serta tidak merasa memonopoli kebenaran. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, yang menyatakan keharusan berwudhu setelah berbekam atau mimisan. Namun ketika ditanya seseorang, apakah anda akan sholat dibelakang imam yang sedang mimisan?, beliau menjawab "Bagaimana aku tidak sholat dibelakang Imam Malik dan Said bin Al Muayyab?", yang sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Malik dan Said bin Al-Muayyab berpendapat bahwa mimisan tidak membatalkan wudhu. Jangankan ulama yang masih hidup, yang sudah wafatpun tetap mereka hormati pendapatnya. Imam Syafi'i yang berpendapat membaca qunut dalam sholat subuh hukumnya sunnah muakkadah, ketika beliau sholat shubuh di dekat makamnya Imam Abu Hanifah, beliau tidak berqunut karena menghormati Imam Abu Hanifah yang berpendapat membaca qunut bukanlah sunnah.
Sayangnya keteladanan para sahabat dan para ulama masa lalu, akhir-akhir ini tidaklah nampak pada sebagaian kaum Muslim. Hari ini kita dengan mudahnya menjumpai saudara-saudara seiman kita saling rebut dan mengklaim kebenaran, seolah-olah dirinyalah yang diberi mandat oleh Tuhan untuk memonopoli kebenaran. Orang-orang yang tidak mengikuti pendapat atau penafsiran pribadinya dianggap salah, sesat, keliru, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal jika mau bijak, bisa jadi penafsiran pribadinya benar, tetapi juga bisa jadi keliru, bisa jadi penafsiran orang lain benar, tetapi bisa jadi penafsiran tersebut keliru. Karena memang Tuhan tidak memberikan ‘otoritas kebenaran’ pada orang tertentu. Karena tidak ada yang diberikan ‘otoritas kebenaran’, maka seyogyanya tiap Muslim menghormati keragaman pendapat atau penafsiran.
Dalam menilai kebenaran Al Ghazali, Al Muzani, Al Qadhi, dan kelompok mu’tazilah telah mengajari kita bagaimana bersikap bijak dalam menilai kebenaran. Mereka menyatakan bahwa bisa saja kebenaran itu beragam dengan beragamnya pendapat. Sedangkan keempat imam madzhab Sunni yang popular berpendapat bahwa kebenaran hanya satu, namun yang salahpun dalam ijtihadnya ia tetap mendapatkan ganjaran. Tetapi untuk menentukan pendapat mana yang benar diantara beragamnya pendapat, tidaklah mudah. Sehingga para ulama madzhab tidak saling mengklaim kebenaran pendapatnya, mereka hanya berusaha menafsirkan (ijtihad), sedangkan validitas kebenarannya diserahkan kepada Tuhan.
Jika ulama-ulama besar saja tidak berani mengklaim dan meganggap pendapatnya sendiri paling benar dan memvonis yang lain salah, lantas apakah kita pantas untuk menyombongkan diri dengan memonopoli kebenaran, memaksa orang untuk tunduk dengan pemahaman kita, serta menuhankan penafsiran pribadi?. Sejak kapan Tuhan memberi kita mandat untuk memvonis orang lain yang berbeda pendapat dengan kita dengan tuduhan sesat, salah, keliru, munafiq, liberal, dan label-label negatif lainnya?. Wahai saudaraku, berhentilah menjadi Tuhan dan kembalilah menjadi manusia yang menghamba!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar