Rabu, 01 Mei 2019

MODEL PENDIDIKAN AGAMA INTERRELIGIUS: PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUTUR


oleh: Khasan Bisri, M.Pd.

Pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan umumnya masih berkutat pada sudut pandang kalangan dalam (internal), berbicara untuk internal, dan kurang responsif terhadap perubahan sosial, --atau dapat dikatakan pendidikan agama selama ini masih bersifat monoreligius-- sehingga lembaga dan komunitas agama-agama seringkali gagap melihat keanekaragaman atau kebhinekaan dan perubahan. Ditambah lagi dengan banyaknya penemuan buku-buku teks panduan belajar pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan yang berisi konten-konten yang dapat berpotensi mengobarkan semangat kebencian. (Lihat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, 2016: 4).
Pendidikan agama monoreligius --yang selama ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan-- disadari memiliki beberapa celah yang perlu dicermati dan membutuhkan suatu pembaharuan. Celah dan pembaharuan tersebut yaitu: (Listia, 2007)
Pertama, banyak proses pendidikan agama monoreligius yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memberi ruang penerimaan adanya ‘orang lain yang berbeda’, sehingga tidak menumbuhkan kepekaan pada cara pikir, cara hidup dan kebutuhan-kebutuhan dari orang lain yang berbeda agama. Banyak juga pendidik dalam pendidikan agama monoreligius yang mencukupkan diri pada aspek formalitas agama dan tidak mengangkat substansi agama-agama dalam proses pembelajaran sehingga pemahaman yang diperoleh peserta didik adalah pemahaman agama yang ‘hitam-putih’, sulit toleran dengan perbedaan dan cenderung menolak berdialog dengan berbagai perubahan sosial. 
Kedua, sistem pendidikan dalam banyak hal menjalankan mekanisme yang menyederhanakan proses dalam pembelajaran, banyak yang berorientasi pada hasil kuantitatif. Dalam pendidikan agama, hasil berupa nilai-nilai angka tentu tidak sepenuhnya mewakili pencapaian proses belajar peserta didik, apalagi berkaitan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan agama yang berurusan dengan karakter manusia. 
Ketiga adanya kultur dominasi dalam dunia pendidikan (secara umum), yang mempengaruhi peserta didik sehingga tidak dibiasakan untuk membangun kesadaran kesetaraan dengan ‘mereka yang berbeda’.
Keempat, adalah faktor pribadi guru dan dosen. Pada kenyataannya, tidak semua guru dan dosen yang memiliki mentalitas pendidik, melainkan sekedar mengoperasikan apa yang ada dalam kurikulum, tanpa hadir dalam kehidupan peserta didik untuk mencermati proses pembelajaran yang mereka alami dan mau terbuka untuk belajar bersama. Keadaan ini sering menyebabkan peserta didik tidak tertarik dengan pelajaran agama.
Pendidikan agama yang semacam itu menimbulkan berbagai dampak pada pola pikir dan sikap keagamaan siswa, salah satunya berpotensi menimbulkan sikap intoleransi. Barangkali terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa tindakan intoleransi tersebut disebabkan oleh pendidikan agama yang selama ini dilakukan. Namun demikian, fenomena maraknya intoleransi agama paling tidak dapat menjadi indikator kemungkinan adanya masalah dalam pendidikan agama. Hasil survai yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dilakukan pada Oktober 2010 sampai Januari 2011 yang melibatkan responden 590 dari total 2639 guru PAI dan 993 siswa beragama Islam dari total 611.678 siswa SMP dan SMA di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menunjukan antara lain bahwa 41,8-63,8 % responden mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non-muslim. Selain itu 62,7 % responden guru PAI keberatan jika non-Muslim membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka, sedangkan siswa yang merasa keberatan 40,7 %. Hasil survai juga menyebutkan bahwa 57,2 % guru dan 45,2 % siswa tidak setuju jika non-Muslim menjadi kepala sekolah (Suhadi, 2016:75).
Hasil survai lainnya yang dilakukan LKiS tentang fenomena intoleransi beragama di kalangan siswa SMA Negeri di Yogyakarta juga menunjukan hasil yang hampir sama. Dari 760 responden dari 20 SMA Negeri di DIY menunjukan bahwa 6,4 % siswa SMA Negeri memiliki pandangan yang rendah dalam toleransi, 69,2 % memiliki pandangan yang sedang, dan hanya 24,3% siswa yang memiliki pandangan yang tinggi tentang toleransi. Sedangkan dalam hal tindakan, tercatat 31,6 % siswa memiliki tingkat toleransi beragama yang rendah, 68,2 % siswa memiliki tingkat  toleransi beragama sedang, dan hanya 0,3% siswa yang memiliki tingkat toleransi beragama tinggi (Suhadi, 2016:76).
Menurut survai The Wahid Institute -sebuah lembaga penerus gagasan dan perjuangan Gus Dur- merilis data dari 306 murid sekolah menengah di Jabodetabek, yang tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain sebesar 27% dan ragu-ragu 28%. Murid yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15% dan ragu-ragu 27%. Ada pula 3% murid yang tak mau dan ragu-ragu menjenguk teman sakit yang beda agama. Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) juga pernah mempublikasikan hasil survainya, bahwa pandangan intoleransi juga menguat diantara para guru. Ini tampak dari dukungan terhadap tindakan pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (24,5%), pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (22,7%), pengrusakan tempat hiburan malam (28,1%), pembelaan dengan senjata terhadap ancaman dari agama lain (32,4%), dan pernyataan bahwa Pancasila tidak relevan lagi (21%) (R. Arifin Nugroho, “Sekolah Kebhinekaan”, dalam Kedaulatan Rakyat, Rabu 19 April 2017, hlm. 12).
Hasil beberapa survai diatas menunjukkan tingginya angka intoleransi di kalangan siswa. Hal tersebut menunjukkan adanya permasalahan/ kurang berhasilnya pendidikan agama selama ini, maka perlu adanya reformulasi baru pembelajaran agama di sekolah yang mendukung terwujudnya toleransi siswa, baik sesama agamanya ataupun antar agama. Reformulasi pembelajaran agama dapat dimulai dari penerjemahan kembali UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1).
Dalam UU tersebut, pendidikan nasional dimaknai sebagai pendidikan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan. Kata ‘nilai-nilai keagamaan’ tersebut belum diterjemahkan pada keluhuran nilai-nilai universal dari beragam agama. Pendidikan agama selama ini masih bersifat eksklusif, belum inklusif yang memandang positif adanya perbedaan. Materinya pun terbelenggu dalam pengajaran ritus, simbol, ritual, dan normatif. Paradigma pendidikan agama Islam yang masih terbatas pada to know, to do dan to be, harus diarahkan kepada to live together. Artinya, bahwa kemampuan anak didik untuk dapat hidup bersama orang lain yang berbeda etnis, budaya dan agama, semestinya menjadi nilai yang melekat dalam tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam. Tujuan untuk menjadikan anak didik memiliki pemahaman dan perilaku religius yang berjalan paralel dengan kemampuan mereka untuk dapat hidup bersama orang lain yang berbeda etnik, budaya dan agama (Suyatno, 2003: 86-87).
Melihat situasi tersebut, strategi yang bisa digunakan adalah pluralisme de jure. Menurut Edward Schillebeeckx pola ini mengedepankan hubungan antar agama dari keinginan tulus, bukan keterpaksaan. Milton K Munitz mengungkapkan pula bahwa pendekatan yang digunakan tidak lagi memisahkan secara diametris antara subjek dan objek, normatifitas dan historisitas, universalitas dan partikularitas. Pendidikan agama di sekolah selayaknya menggunakan pendekatan yang mengedepankan dialog kritis, kreatif, sistematis, dan ekstensif antara keduanya. Pendekatan semacam itu hanya bisa diperoleh manakala ada interaksi antar murid beda keyakinan. Murid sadar bahwa Tuhan mencipta keindahan melalui keberagaman, bukan keseragaman (R. Arifin Nugroho, “Sekolah Kebhinekaan”, dalam Kedaulatan Rakyat, Rabu 19 April 2017, hlm. 12).
Sebagai respon dari berbagai problem pendidikan agama yang kompleks tersebut, beberapa sekolah berusaha untuk membuat dan menawarkan model baru pendidikan agama, diantaranya SMA BOPKRI 1 Yogyakarta. Sekolah tersebut menerapkan model baru pendidikan agama yang disebut pendidikan interreligius.
Dinamakan Pendidikan Interreligius karena proses pendidikan yang berlangsung bersumber dari nilai-nilai kebaikan yang ada dalam berbagai ajaran dan pengalaman beragama. Dalam upaya ini, dengan sadar menjadikan segala keragaman sebagai sumber sekaligus tujuan untuk menyukuri kehidupan. Dalam rasa syukur ini, berbagai keindahan dalam segala sumber yang dimuliakan, nilai-nilai kebaikan untuk kehidupan bersama dihadirkan sebagai semangat untuk saling memperkuat dan mendewasakan. Dari sisi sumber belajar ini juga menjadi ciri yang membedakan dengan praktek pendidikan multikulturalisme maupun pendidikan perdamaian (Listia, 2016:5). 


Selengkapnya dilahkan download link dibawah ini
Model Pendidikan Interreligius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar