oleh: Khasan Bisri, M.Pd.
Pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan umumnya masih berkutat pada sudut pandang kalangan dalam (internal), berbicara untuk internal, dan kurang responsif terhadap perubahan sosial, --atau dapat dikatakan pendidikan agama selama ini masih bersifat monoreligius-- sehingga lembaga dan komunitas agama-agama seringkali gagap melihat keanekaragaman atau kebhinekaan dan perubahan. Ditambah lagi dengan banyaknya penemuan buku-buku teks panduan belajar pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan yang berisi konten-konten yang dapat berpotensi mengobarkan semangat kebencian. (Lihat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, 2016: 4).
Pendidikan agama monoreligius --yang
selama ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan-- disadari memiliki beberapa
celah yang perlu dicermati dan membutuhkan suatu pembaharuan. Celah dan
pembaharuan tersebut yaitu: (Listia, 2007)
Pertama, banyak proses pendidikan agama monoreligius yang kurang
atau bahkan sama sekali tidak memberi ruang penerimaan adanya ‘orang lain yang
berbeda’, sehingga tidak menumbuhkan kepekaan pada cara pikir, cara hidup dan
kebutuhan-kebutuhan dari orang lain yang berbeda agama. Banyak juga pendidik
dalam pendidikan agama monoreligius yang mencukupkan diri pada aspek formalitas
agama dan tidak mengangkat substansi agama-agama dalam proses pembelajaran
sehingga pemahaman yang diperoleh peserta didik adalah pemahaman agama yang
‘hitam-putih’, sulit toleran dengan perbedaan dan cenderung menolak berdialog
dengan berbagai perubahan sosial.
Kedua, sistem pendidikan dalam banyak hal menjalankan mekanisme
yang menyederhanakan proses dalam pembelajaran, banyak yang berorientasi pada
hasil kuantitatif. Dalam pendidikan agama, hasil berupa nilai-nilai angka tentu
tidak sepenuhnya mewakili pencapaian proses belajar peserta didik, apalagi
berkaitan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan agama yang berurusan dengan
karakter manusia.
Ketiga adanya kultur dominasi dalam
dunia pendidikan (secara umum), yang mempengaruhi peserta didik sehingga tidak
dibiasakan untuk membangun kesadaran kesetaraan dengan ‘mereka yang berbeda’.
Keempat, adalah faktor pribadi guru dan
dosen. Pada kenyataannya, tidak semua guru dan dosen yang memiliki mentalitas
pendidik, melainkan sekedar mengoperasikan apa yang ada dalam kurikulum, tanpa
hadir dalam kehidupan peserta didik untuk mencermati proses pembelajaran yang
mereka alami dan mau terbuka untuk belajar bersama. Keadaan ini sering
menyebabkan peserta didik tidak tertarik dengan pelajaran agama.
Pendidikan agama yang semacam itu menimbulkan berbagai dampak
pada pola pikir dan sikap keagamaan siswa, salah satunya berpotensi menimbulkan
sikap intoleransi. Barangkali terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa tindakan
intoleransi tersebut disebabkan oleh pendidikan agama yang selama ini
dilakukan. Namun demikian, fenomena maraknya intoleransi agama paling tidak
dapat menjadi indikator kemungkinan adanya masalah dalam pendidikan agama.
Hasil survai yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang
dilakukan pada Oktober 2010 sampai Januari 2011 yang melibatkan responden 590
dari total 2639 guru PAI dan 993 siswa beragama Islam dari total 611.678 siswa
SMP dan SMA di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menunjukan antara lain bahwa
41,8-63,8 % responden mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga
non-muslim. Selain itu 62,7 % responden guru PAI keberatan jika non-Muslim membangun
tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka, sedangkan siswa yang merasa
keberatan 40,7 %. Hasil survai juga menyebutkan bahwa 57,2 % guru dan 45,2 %
siswa tidak setuju jika non-Muslim menjadi kepala sekolah (Suhadi, 2016:75).
Hasil survai lainnya yang dilakukan LKiS tentang fenomena
intoleransi beragama di kalangan siswa SMA Negeri di Yogyakarta juga menunjukan
hasil yang hampir sama. Dari 760 responden dari 20 SMA Negeri di DIY menunjukan
bahwa 6,4 % siswa SMA Negeri memiliki pandangan yang rendah dalam toleransi,
69,2 % memiliki pandangan yang sedang, dan hanya 24,3% siswa yang memiliki
pandangan yang tinggi tentang toleransi. Sedangkan dalam hal tindakan, tercatat
31,6 % siswa memiliki tingkat toleransi beragama yang rendah, 68,2 % siswa memiliki
tingkat toleransi beragama sedang, dan
hanya 0,3% siswa yang memiliki tingkat toleransi beragama tinggi (Suhadi,
2016:76).
Menurut survai The Wahid Institute -sebuah lembaga penerus
gagasan dan perjuangan Gus Dur- merilis data dari 306 murid sekolah menengah di
Jabodetabek, yang tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain sebesar
27% dan ragu-ragu 28%. Murid yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah
mereka sebanyak 15% dan ragu-ragu 27%. Ada pula 3% murid yang tak mau dan ragu-ragu
menjenguk teman sakit yang beda agama. Lembaga Kajian
Islam dan Perdamaian (LaKIP) juga pernah mempublikasikan hasil survainya, bahwa
pandangan intoleransi juga menguat diantara para guru. Ini tampak dari dukungan
terhadap tindakan pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (24,5%), pengrusakan
rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (22,7%), pengrusakan
tempat hiburan malam (28,1%), pembelaan dengan senjata terhadap ancaman dari
agama lain (32,4%), dan pernyataan bahwa Pancasila tidak relevan lagi (21%) (R.
Arifin Nugroho, “Sekolah Kebhinekaan”, dalam Kedaulatan Rakyat, Rabu 19 April
2017, hlm. 12).
Hasil beberapa survai diatas menunjukkan tingginya angka
intoleransi di kalangan siswa. Hal tersebut menunjukkan adanya permasalahan/
kurang berhasilnya pendidikan agama selama ini, maka perlu adanya reformulasi
baru pembelajaran agama di sekolah yang mendukung terwujudnya toleransi siswa,
baik sesama agamanya ataupun antar agama. Reformulasi pembelajaran agama dapat
dimulai dari penerjemahan kembali UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1).
Dalam UU tersebut, pendidikan nasional dimaknai sebagai
pendidikan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan. Kata ‘nilai-nilai
keagamaan’ tersebut belum diterjemahkan pada keluhuran nilai-nilai universal
dari beragam agama. Pendidikan agama selama ini masih bersifat eksklusif, belum
inklusif yang memandang positif adanya perbedaan. Materinya pun terbelenggu
dalam pengajaran ritus, simbol, ritual, dan normatif. Paradigma
pendidikan agama Islam yang masih terbatas pada to know, to do dan to
be, harus diarahkan kepada to live together. Artinya, bahwa
kemampuan anak didik untuk dapat hidup bersama orang lain yang berbeda etnis,
budaya dan agama, semestinya menjadi nilai yang melekat dalam tujuan
pembelajaran pendidikan agama Islam. Tujuan untuk menjadikan anak didik
memiliki pemahaman dan perilaku religius yang berjalan paralel dengan kemampuan
mereka untuk dapat hidup bersama orang lain yang berbeda etnik, budaya dan
agama (Suyatno, 2003: 86-87).
Melihat situasi tersebut, strategi yang bisa digunakan adalah
pluralisme de jure. Menurut Edward Schillebeeckx pola ini
mengedepankan hubungan antar agama dari keinginan tulus, bukan keterpaksaan.
Milton K Munitz mengungkapkan pula bahwa pendekatan yang digunakan tidak lagi
memisahkan secara diametris antara subjek dan objek, normatifitas dan
historisitas, universalitas dan partikularitas. Pendidikan agama di sekolah
selayaknya menggunakan pendekatan yang mengedepankan dialog kritis, kreatif,
sistematis, dan ekstensif antara keduanya. Pendekatan semacam itu hanya bisa
diperoleh manakala ada interaksi antar murid beda keyakinan. Murid sadar bahwa
Tuhan mencipta keindahan melalui keberagaman, bukan keseragaman (R.
Arifin Nugroho, “Sekolah Kebhinekaan”, dalam Kedaulatan Rakyat, Rabu 19 April
2017, hlm. 12).
Sebagai respon dari berbagai problem pendidikan agama yang
kompleks tersebut, beberapa sekolah berusaha untuk membuat dan menawarkan model
baru pendidikan agama, diantaranya SMA BOPKRI 1 Yogyakarta. Sekolah tersebut
menerapkan model baru pendidikan agama yang disebut pendidikan interreligius.
Dinamakan
Pendidikan Interreligius karena proses pendidikan yang berlangsung bersumber
dari nilai-nilai kebaikan yang ada dalam berbagai ajaran dan pengalaman
beragama. Dalam upaya ini, dengan sadar menjadikan segala keragaman sebagai
sumber sekaligus tujuan untuk menyukuri kehidupan. Dalam rasa syukur ini,
berbagai keindahan dalam segala sumber yang dimuliakan, nilai-nilai kebaikan untuk
kehidupan bersama dihadirkan sebagai semangat untuk saling memperkuat dan
mendewasakan. Dari sisi sumber belajar ini juga menjadi ciri yang membedakan
dengan praktek pendidikan multikulturalisme maupun pendidikan perdamaian
(Listia, 2016:5).
Selengkapnya dilahkan download link dibawah ini
Model Pendidikan Interreligius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar