BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam perspektif
sosiologi, kelas merupakan bagian
dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan
keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya.
Di dalam kelas terdapat kumpulan individu-individu yang membentuk suatu
kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam
kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial
karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan
saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984).
Di dalam ruang
kelas, terdapat individu-individu yang menempatinya dengan karakteristik yang
berbeda. Banyak yang beranggapan bahwa ruang kelas hanya sebatas sebagai tempat
belajar saja, namun sebenarnya disana terdapat system social serta interaksi
yang lambat laun, sadar ataupun tidak akan berpengaruh terhadap pembentukan
karakter individu tersebut. Oleh sebab itu, Ruang kelas sebagai tempat mereka bernaung
hendaknya harus mampu berperan dalam pembentukan karakter yang tentu akan
berguna untuk kehidupannya mendatang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Ruang Kelas itu?
2.
Apakah Pengertian Sistem itu?
3.
Bagaimana Peran Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial?
4. Bagaimana Peran Ruang Kelas dalam Pemeliharaan
Ketertiban Serta Disiplin?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian ruang kelas
2.
Mengetahui pengertian system
3.
Mengetahui peran ruang kelas sebagai system.
4.
Mengetahui peran ruang kelas dalam pemeliharaan ketertiban
serta disiplin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kelas
Ada
dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang
tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama
menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada
pengertian pertama, kelas merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu
juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti
proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada
tingkatan tertentu.[1]
Menurut
Damsar, ruang kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini,
yaitu mencakup juga ruang sosial dan budaya. Dalam ruang kelas terdapat
dinamika yang terjadi di dalamnya yang merupakan gabungan dari individu-individu
yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi serta
peran yang kompleks dalam pendidikan.[2]
Namun,
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelas pada pengertian pertama, yakni
ruang tempat berjalannya proses pendidikan.
B.
Pengertian Sistem
Sistem
sosial terdiri dari dua suku kata yaitu sistem dan sosial, dimana secara
etimologis sistem merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani systema/systematos
yang berasal dari kata synistani yang berarti menempatkan bersama.
Secara
terminologis sistem dapat diartikan sebagai suatu kelompok elemen-elemen yang
saling berhubungan secara saling ketergantungan (interdependen) dan konstan.
Sedangkan kata sosial secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu socio yang
artinya menjadikan teman dan secara terminologis sosial dapat dimengerti
sebagai sesuatu yang dihubungkan, diakitkan dengan teman, atau masyarakat. Dan
sistem sosial itu sendiri dapat dipahami sebagai saling keterkaitan yang
teratur antar individu sehingga membentuk totalitas.[3]
C.
Peran
Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Ruang kelas sebagai system terdiri
dari 3 sistem yaitu:
1.
Ruang Kelas Sebagai Sistem Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa
unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah.
Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi
teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian
status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta
pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku
sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran.
Dalam suatu ruang kelas, antara guru
dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing mementuk suatu jaringan
hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan
berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan budaya.
2.
Ruang Kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu tindakan
timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih melalui suatu
kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan
merupakan suatu keseluruhan.[4]
Hal ini berarti hubungan guru dan
murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena
hubungan guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan
guru dan murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan
komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara
teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan
murid dapat disebut sebagai sistem interaksi sosial.
Guru dan murid
akan mengadakan interaksi sesuai dengan status dan perannya. Dalam aktivitas
kelas, guru berperan sebagai orang tua dan murid sebagai anak yang menjadi
penghuni kelas permanen.[5]
Didalam suatu
interaksi antara guru dan murid terdiri dari dua pihak yang terikat pada suatu ikatan
moral dan etika profesi kependidikan. Sebelum mereka membentuk hubungan guru-murid,
sebagai individu masing-masing memiliki motif, keinginan, kebutuhan dan
orientasi sendiri tentang berbagai hal berkaitan dengan pendidikan.
Dalam pola
hubungan ini berisi berbagai kesepakatan-kesepakatan, misalnya kedisiplinan,
dan kebersihan. Pola hubungan
ini menjadi pengontrol masing-masing dan juga hubungan ini disebut sebagai
system interaksi.
Ruang kelas
sebagai system interaksi meletakkan actor yang terlibat, baik guru maupun murid
sebagai mahluk yang aktif dan kreatif dalam membangun dunianya dalam hal ini
berhubungan dengan ruang kelas. Ruang kelas sebagai system interaksi dipenuhi
oleh fenomena situasi, interpretasi realitas, dan pemaknaan terhadap kenyataan
yang dihadapi.
3.
Ruang Kelas Sebagai Sistem Pertukaran
Ruang kelas
dipandang terdiri dari bagian-bagian (individu atau kelompok) yang saling ketergantungan
dalam suatu pertukaran yang terpola. Atau dengan kata lain bagian atau unsur
memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus-menerus dan ajeg.
Didalam system
pertukaran kelas manusia dipandang sebagai mahluk yang rasional, apabila
memberikan keuntungan dia akan mengulanginya lagi perbuatannya, dan jika rugi
dia akan meninggalkannya. Teori pertukaran George Caspar-Homans menjelaskan
ruang kelas sebagai suatu system pertukaran. Homans mengembangkan beberapa
proporsi untuk memahami kenyataan social dari sudut pandang teori pertukaran:[6]
a.
Proporsi Sukses
“Dalam setiap tindakan, semakin
sering suatu tindakan tertentu memperoleh hadiah, semakin besar kemungkinan
orang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh, misalnya seorang anak dipuji
karena penampilannya yag menarik, maka ia akan cenderung berpenampilan menarik
lagi diwaktu-waktu berikutnya.
b.
Proporsi Stimulus
“Bila kejadian dimasa lalu stimulus
tertentu atau seperangkat stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi
hadiah, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli dimasa
lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.” Sebagai contoh,
seorang pemancing yang melemparkan kalinya kedalam kolam yang keruh dan selalu
berhasil menangkap ikan, maka pemancing tersebut akan lebih sering memncing
dikolam yang keruh kembali.
c.
Proporsi Nilai
“Semakin tinggi nilai suatu tindakan,
maka besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh
misalnya, mana yang lebih berharga menonton konser grup band favorit yang telah
lama diimpikan atau untuk belajar demi menghadapi ujian mid keesokan paginya?
Jadi, seseorang harus memilih nonton konser yang berarti mengabaikan belajar,
atau memilih belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang seumur hidup
belum mungkin akan bertemu lagi. Hal itu berarti orang tersebut melakukan
tindakan berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.
d.
Proporsi Deprivasi-Situasi
“Semakin sering seseorang menerima
hadiah tertentu dimasa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya
setiap ahdiah berikutnya.” Proporsi mengingatkan kemungkinan terjadinya
kejenuhan sesuatu.
e.
Proporsi Agresi-Persetujuan
Proporsi A: “bila tindakan seseorang
tidak memperoleh hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia
harapkan, ia akan marah, besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku agresif
dan akibatnya perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi B: “Bila tindakan seseorang
memperoleh hadiah yang diharapkannya, terutama hadiah yang lebih besar dari
yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan
merasa senang, ia makin besar kemungkinannya melaksanakan perilaku yang
disetujui dan hasil dari tindakan seperti ini akan menjadi lebih bernilai
baginya.”
Proporsi berlapis dua ini berkaitan
dengan keadaan mental-emosional manusia. Sebagai contoh, seseorang yang tadi
ingin menonton konser, ternyata tiketnya sudah habis, maka ia akan sangat
merasa kecewa dan marah. Sebaliknya, jika ternyata dia bisa mendapatkan tiket,
maka dia akan merasa senang.
f.
Proporsi Rasionalitas
“Dalam memilih diantara berbagai
tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya yang dianggap saat
itu memiliki nilai, sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas untuk
mendapatkan hasil yang lebih besar.”
D. Ruang
Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban Serta Disiplin
Belajar
dan masalah ketertiban saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan satu sama
lain. Hammersley berpendapat, “Kemampuan member jawaban atas
pertanyaan guru memerlukan pengetahuan tentang konvensi-konvensi yang mengatur
suatu jenis cara mengajar tertentu dan kemampuan untuk membaca tanda-tanda
dalam cara guru menyusun pelajaran yang diberikannya” (1971, hlm 82)[7]
Pemeliharaan
ketertiban dan disiplin memiliki keterkaitan yang sangat erat, yang berkaitan
dengan kemampuan diri untuk menjadi tertib sesuai dengan kontruksi social dan
hokum yang ada, dan juga kemampuan diri untuk taat, patuh dan berkomitmen untuk
sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh masyarakat.
Oleh sebab itu orang yang memiliki disiplin akan
cenderung memelihara ketertiban, misalnya murid yang disiplin akan terlihat
dari usahanya untuk cenderung menciptakan ruangan kelas yang tertib. Disiplin
merupakan sebuah proses internalisasi nilai pada diri individu, yang dilakukan
secara sadar untuk taat pada aturan yang berlaku.
Ketika ruang kelas
tidak tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin
dapat ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan
perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah
dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak
seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep
disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan
memainkan peran guru yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam
mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat dialami oleh guru.
Ketidakmampuan ini dapat disebabkan karena persiapan peran sebagai guru
yang tidak memadai.
Kegagalan
memahami konsep disiplin tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi
juga kebanyakan anggota masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan
konsep disiplin dengan kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam
komunitas militer. Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer
sama-sama memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit
terhadap rencana dan tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode,
penghargaan, dan hukuman.[8]
Sementara
pada sisi mahasiswa, terjadi karena persiapan peran yang tidak memadai dan
tarikan kelompok rujukan, sehingga terdapat tarik menarik antara nilai yang
diajarkan dengan yang tidak diajarkan. Ketidaktertiban ini tercipta karena
adanya perbenturan antara kebutuhan subkultur siswa dengan nilai budaya ideal
dalam masyarakat. Misalnya “anak gaul itu identik dengan dugem” memunculkan
perilaku bebas dan kehidupan postmodern.[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada dua
pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat
berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh
suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sistem
adalah suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara
interdependen (saling ketergantungan dan konstan). Ruang kelas sebagai system
di kelompokan menjadi tiga yaitu system social, system interaksi dan system
pertukaran. George Caspar Homans menjelaskan ruang kelas sebagai suatu system
pertukaran dan membaginya menjadi beberapa proporsi untuk memahami kenyataan
social dari sudut pandang teori pertukaran, yaitu: proporsi sukses, proporsi
stimulus, proporsi nilai, proporsi deprivasi-satiasi, proporsi
agresi-persetujuan, dan proporsi rasionalitas.
Pemeliharaan ketertiban dan
kedisiplinan merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban
berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan aturan yang ada,
sedangkan disiplin merupakan kemampuan diri untuk patuh, taat, dan berkomitmen
untuk sesuai dengan apa yang dipandang baik dan benar dalam kehidupan social.
Sikap tertib dan disiplin yang
terdapat dalam diri seorang individu bukanlah suatu sikap yang dibawa dari
lahir, melainkan melalui proses internalisasi. Jika terdapat suatu kelas yang
memiliki kebiasaan tidak tertib dan disiplin, ada dua pihak yang terkait dengan
kondisi tersebut, yaitu guru dan peserta didik. Dalam hal ini guru dianggap
dalam sosialisasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kegagalan
memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau tidak adanya dukungan dari
lembaga sekolah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta:
Kencana, 2011.
Mahmud, Sosiologi Pendidikan, Bandung:
Pustaka Setia, 2012.
Padil, Muhammad dan Triyo Supriyanto, Sosiologi
Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Robinson,
Philips, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Grafikatama
Offset, 1986.
[2] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (
Jakarta: Kencana, 2011), hal 93.
[3] Ibid,
hal 96.
[4] Ibid
[5] Mohammad Padil dan Triyo Supriyanto, Sosiologi
Pendidikan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 163.
[6] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (
Jakarta: Kencana, 2011), hal 101-103.
[7] Philip
Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta:
Grafikatama Offset, 1986), hlm. 155.
[8]
http://blogchichiaisya.blogspot.com/2013/05/sosiologi-pendidikan-ruang-kelas.html, diakses tanggal
8 Oktober 2014, pukul 19.15 WIB.
[9] http://materikuliahevi5.blogspot.com/2013/10/pemahamanmengenai-ruang-kelas-1.html, diakses
tanggal 8 Oktober 2014 pukul 19.00 WIB.