Selasa, 18 Oktober 2016

Metode Pendidikan Dalam Perspektif Al-Quran (Telaah QS. Al-Maidah Ayat 67 dan QS. An-Nahl Ayat 125)


A.    Latar Belakang
Al-Quran merupakan pedoman hidup yang didalamnya terkandung berbagai petunjuk untuk kehidupan manusia. Petunjuk yang terkandung dalam al-Quran sangat kompleks, meliputi segala bidang dan lini kehidupan manusia, termasuk didalamnya tentang pendidikan. Banyak petunjuk dalam al-Quran tentang komponen-komponen pendidikan, yang salah satunya tentang metode pendidikan.
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun faktanya, masih banyak guru yang kesulitan untuk menggunakan metode yang tepat dalam pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Tafsir tentang kurang tepatnya penggunaan metode ini patut menjadi renungan bersama. Beliau mengatakan pertama, banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu materi pelajaran, kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan mengangap remeh mata pelajaran tertentu.[1]
Hal diatas menunjukan bahwa metode merupakan salah satu faktor dominan dalam kegiatan belajar mengajar. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin lebih jauh meneliti tentang penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berdimensi pendidikan, khususnya QS. Al-Maidah ayat 67 dan QS. An-Nahl ayat 125 tentang metode pendidikan dan relevansinya dengan pendidikan saat ini, dengan harapan semoga metode yang ditawarkan al-Quran mampu memberikan solusi atas permasalahan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, dapat dirumuskan menjadi beberapa rumusan yaitu:
1.      Bagaimana tafsir QS. Al-Maidah ayat 67 dan relevansinya dengan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana tafsir QS. An-Nahl ayat 125 dan relevansinya dengan pendidikan Islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui tafsir QS. Al-Maidah ayat 67 dan relevansinya dengan pendidikan Islam.
2.      Mengetahui tafsir QS. An-Nahl ayat 125 dan relevansinya dengan pendidikan Islam. 


BAB II
PEMBAHASAN

Al-Qur’an dalam mengarahkan pendidikan selalu berorientasi kepada pembentukan dan pengembangan manusia seutuhnya. Karenanya materi-materi yang disajikan dalam al-Qur’an selalu menyentuh jiwa, akal dan raga manusia. Demikian luas dan dalamnya makna yang tersirat pada ayat-ayat pendidikan dalam al-Qur’an, memberi kesan bahwa setiap ayat pendidikan itu memiliki metode tersendiri. Dengan begitu, upaya untuk mencermati metode pendidikan dalam al-Qur’an menjadi suatu keharusan, agar ditemukan rumusan-rumusan metode pendidikan dalam al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan atau dasar metode pendidikan dalam Islam, dan pada akhirnya diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan metode pendidikan yang terus mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan umat manusia.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu tentang definisi metode. Dalam bahasa arab istilah metode disebut dengan thariq atau manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “metode” mengandung pengertian cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud, suatu perangkat dalam mengajar yang mempunyai tujuan dan didasarkan atas teori.[2] Ada beberapa istilah yang terkait dengan metode seperti pendekatan (approach), strategi, metode, teknik dan taktik. Dalam bahasa Arab dikenal pula dengan istilah nahiyah (pendekatan), manhaj (strategi), uslub (metode), thariqah (teknik), dan syahilah (taktik).
Dalam pendidikan Islam, metode pendidikan Islam adalah seperangkat cara, jalan, dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan atau menguasai kopetensi menuju terwujudnya kepribadian muslim.[3]
Dalam al-Quran, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi baik rohaniah maupun jasmaniah. Ada sekian ayat dalam al-Quran yang membahas tentang metode pendidikan, diantaranya adalah Surat al-Maidah ayat 67 dan Surat An-Nahl ayat 125.
A.    Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 67

يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ
Artinya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.[4]

Surat Al-Maidah merupakan surat ke-5 dalam Al-Quran. Terdiri dari 120 ayat. Surat ini termasuk surat Madaniyah (yang diturunkan di Madinah) berdasarkan ijma’. Diriwayatkan bahwa surat ini diturunkan sekembalinya Rasulullah SAW dari Hudaibiyah.[5]
Terdapat beberapa riwayat tentang asbabul nuzul/ turunnya surat al-Maidah ayat 67 ini, diantaranya dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku.”

Maka turunlah ayat tersebut yang mempertegas perintah penyampaian risalah disertai jaminan akan keselamatannya.[6]
Hal tersebut sejalan dengan penafsiran Imam Syafi’i, beliau mengatakan dalam riwayat disebutkan, Jibril datang menemui Rasulullah SAW atas perintah Allah agar beliau menyampaikan wahyu yang telah diterimanya kepada umat manusia, menyeru mereka agar beriman kepada-Nya. Tugas ini begitu berat bagi Nabi. Beliau khawatir umatnya mendustakan dan mencacinya, lalu turunlah ayat tersebut. Jibril menjelaskan Allah akan melindungimu dari upaya pembunuhan, ketika menyampaikan apa yang diperintahkan kepadamu.[7]
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW biasanya mendapat pengawalan, dan tiap-tiap hari Abu Thalib pun mengirimkan pengawal-pengawalnya dari Bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan pengawalnya: “Wahai pamanku, sesungguhnya Allah telah menjamin keselamatan jiwaku dari perbuatan jin dan manusia”.[8]
Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah mengutip pendapat Fakhrudin ar-Razi mengenai ayat tersebut, menurut ar-Razi, ayat tersebut merupakan janji dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW bahwa ia akan dipelihara Allah dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Thahir bin ‘Asyur menambahkan bahwa, ayat ini mengingatkan Rasul agar menyampaikan ajaran agama kepada ahli kitab tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka. Berbagai teguran keras yang disampaikan kepada ahli kitab itulah dihadapkan pada kecenderungan sikap lemah lembut Nabi SAW yang merupakan hal khusus, dan mengantar kepada turunnya peringatan tentang kewajiban menyampaikan risalah disertai jaminan keamanan beliau.[9]
Dalam ayat ini Allah telah memerintahkan kepada nabi-Nya SAW agar menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya. Allah memberikan kesaksian untuknya mengenai pelaksanaan perintah tersebut dalam banyak ayat seperti: QS. Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu”, QS. An-Nur: “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan amanat Allah”, QS. Al-Ahzab ayat 37: “Sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kpada manusia sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.[10]
Dalam ayat tersebut tersirat makna bahwa menyampaikan risalah merupakan perintah Alloh. Alloh memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan risalah kenabiannya kepada umatnya. Jika nabi tidak menyampaikan risalah tersebut maka termasuk orang yang tidak menyampaikan amanat.
Dalam ayat tersebut redaksi yang digunakan adalah kata balligh. Kata balligh dalam bahasa Arab merupakan pernyataan yang sangat jelas apalagi bentuknya fi’il amar. Dalam tafsir Jalalain lafadz baligh terselip kandungan jami’ yang berarti seluruhnya.[11] Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan hal yang sama yaitu menyampaikan seluruh yang diterima dari Allah SWT. Berarti kata balligh dalam ayat tersebut berarti menyampaikan semua risalah yang telah Allah turunkan kepada Rasululloh SAW, nabi tidak boleh menyembunyikan sedikitpun dari risalahnya.
Arti baligh menurut Imam Al-Qurthubi lebih menampakan pada proses penyampaian amanah kepada masyarakat. Karena diawal penyebaran agama Islam nabi khawatir kepada orang-orang musyrik Makah. Kemudian Allah memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya ayat ini. Dan Allah memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga keselamatannya. Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan amanat tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang kadzab, berdusta.[12]
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata baligh berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif.[13] Komunikasi yang efektif dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus.[14] Tidak jarang di sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan yang hadir untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh makna (jawami’ al kalim) sehingga menyentuh dalam setiap sanubari pendengarnya.
Menyampaikan risalah kenabian bagi Rasululloh SAW sangatlah berat, karena hal tersebut menjadi tanggungjawab dunia akherat. Sehingga Nabi menegaskan kembali tentang tugas beliau yang telah dipikulkan kepadanya ketika haji wada’ sebagai sebuah pertanggungjawaban perintah. Ini artinya sebuah perintah harus dipertanggungjawabkan. Bagi seorang guru pada akhir tugas pembelajaran harus ada pertanggungjawaban sehingga hasilnya dapat diketahui oleh wali murid, publik atau masyarakat umum.
Implementasi metode tabligh dalam konteks pendidikan diantaranya adalah bahwa guru harus menyampaikan ilmunya kepada siswa sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak boleh ada materi-materi yang seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru seyogyanya selalu meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari yang pada ujungnya keilmuan tersebut diajarkan atau disampaikan kepada siswa-siswanya.
Untuk dapat mengimplementasikan metode tabligh, guru dituntut untuk mengetahui dan menguasai metode atau strategi dalam menyampaikan materi. Karena sebaik apapun materi kalau disampaikan menggunakan metode yang kurang tepat maka pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan bisa tidak utuh atau bahkan bisa keliru. Penyampaian materi juga harus humanis, artinya guru harus menghargai hak-hak siswanya, memperlakukan siswanya sebagai manusia yang punya potensi untuk dikembangkan. Selain itu guru juga harus punya kesadaran dan komitmen dalam dirinya bahwa ilmu yang mereka miliki adalah sebuah amanah Tuhan untuk disampaikan dan dipertanggungjawabkan kelak.

B.     Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”[15]
                                    
Surat An-Nahl merupakan surat ke-16 dalam Al-Quran. Terdiri dari 128 ayat dan merupakan surat Makiyyah, kecuali tiga ayat yang terakhir merupakan surat Madaniyyah. Surat ini diturunkan setelah surat Al Kahfi.[16]
Asbabun nuzul ayat ini menurut Imam Jalalain yaitu, “Ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang. Ketika Nabi SAW melihat, lalu beliau bersumpah dengan sabdanya: “Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.”[17]
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasululloh SAW, sehingga dalam ayat tersebut kalimat yang digunakan menggunakan fiil amar ud’u (asal kata dari da’a, yad’u, da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil.[18]
Ayat ini punya hubungan (munasabat) dengan ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah SWT menjelaskan tentang Nabi Ibrahim sebagai pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia, penganut agama tauhid dan penegak ketauhidan. Kemudian Allah menjelaskan perintah kepada Nabi Muhammad SAW agar mengikuti agama Ibrahim dengan perantaraan wahyu-Nya. Maka dalam ayat-ayat lain, Allah SWT memberikan tuntutan kepada nbi untuk mengajak manusia kepada agama tauhid, agama Nabi Ibrahim, yang pribadinya diakui oleh penduduk jazirah Arab, Yahudi, dan Nashrani.[19]
Maksud ayat diatas adalah Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, “Serulah Wahai Muhammad, orang yang kepada mereka Tuhanmu mengutusmu, untuk mengajaknya menaati Allah. الى سبيل ربك “kepada jalan Tuhanmu” adalah kepada syariat Tuhanmu yang ditetapkannya bagi makhluk-Nya, yaitu Islam. با لحكمة “dengan hikmah” adalah dengan wahyu Allah yang disampaikan-Nya kepadamu, dan dengan kitab-Nya yang diturunkan kepadamu. والموعظة الحسنه  “dan pelajaran yang baik” adalah dengan pelajaran yang baik, yang dijadikan Allah sebagai argumen terhadap mereka didalam kitab-Nya, dan peringatan bagi mereka didalam wahyu-Nya. وجد لهم با التى هي احسن “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” adalah bantahla dengan bantahan yang lebih baik dari selainnya, yaitu memanfaatkan tindakan mereka yang menodai kehormatanmu, dan jangan menentang Allah dalam menjalankan kewajibanmu untuk menyampaikan risalah Tuhanmu kepada mereka.[20]
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm). Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَب yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan makna.
Sedangkan Jalaluddin Asy-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli menafsirkan ayat ini dengan:

ادع} الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم {إلى سَبِيلِ رَبّكَ} دينه {بالحكمة} بالقرآن {والموعظة الحسنة} مواعظة أو القول الرقيق {وجادلهم بالتى} أي المجادلة التي {هِىَ أَحْسَنُ}  كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه {إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ} أي عالم {بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين} فيجازيهم، وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة

Artinya: “(Serulah) manusia, wahai Muhammad (ke jalan Tuhanmu) yaitu, agama-Nya (dengan hikmah) dengan al-Quran dan (nasihat yang baik) yakni nasihat-nasihat atau perkataan yang halus (dan debatlah mereka dengan) debat (yang terbaik) seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah.[21]

Ayat ini mengajak Rasulullah SAW dan seluruh pendidikan dan ilmuwan Islam agar menggunakan cara yang tepat dalam mengajak manusia menuju kebenaran.  Karena semua orang tidak dapat diajak lewat satu cara saja. Artinya, hendaknya berbicara kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dan informasi yang dimilikinya. Oleh karenanya, ketika menghadapi ilmuwan dan orang yang berpendidikan hendaknya menggunakan argumentasi yang kuat. Menghadapi orang awam atau masyarakat kebanyakan hendaknya memberikan pelajaran atau nasihat yang baik. Sementara membantah atau berdialog dua arah dengan mereka yang keras kepala harus dilakukan dengan cara yang baik dan berpengaruh.[22]
Karena ayat tersebut sejatinya membahas tentang dakwah bukan tentang pendidikan, maka agar tidak terjadi salah persepsi dalam mengkontekstualisasikan makna yang tersirat dalam Surat An-Nahl ayat 125 dengan konteks pendidikan, maka perlu terlebih dahulu untuk memahami dan mempertemukan makna dakwah dan pendidikan berdasarkan definisinya.
Taufiq al-Wa’i menjelaskan, dakwah ialah mengumpulkan manusia dalam kebaikan, menunjukkan mereka jalan yang benar dengan cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan amalan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, membimbing mereka kepada siratal mustaqim dan bersabar menghadapi ujian yang menghadang diperjalanan.[23] Dakwah menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah, dengan mengajak kepada kebaikan (amru bil ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar), dan mengajak untuk beriman (tu’minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaik-baiknya.[24]
Al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan mayarakat dan kehidupan alam sekitarnya.[25]
Dari beberapa definisi mengenai dakwah dan pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses dakwah dan pendidikan terdapat kesamaan dalam masing-masing komponennya. Sehingga metode yang menjadi sarana dakwah ini juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan.
Kesamaan tersebut yang pertama, yaitu adanya subjek. Dalam konteks dakwah disebut da’i, sedangkan dalam konteks pendidikan disebut pendidik atau guru.
Kedua, adanya objek. Dalam perspektif dakwah disebut mad’u, sedangkan dalam perspektif pendidikan disebut siswa/ murid.
Ketiga adalah adanya materi. Hanya saja materi dakwah lebih terfokus pada ilmu agama. Sedangkan materi pendidikan lebih luas dari itu, tidak hanya menyangkut ilmu agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain, seperti ekonomi, kewarganegaraan, fisika dan lain sebagainya.
Adapun komponen keempat, yaitu adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu perubahan ke arah yang positif (perubahan jasmani maupun rohani) terhadap objek (mad’u atau peserta didik) sasarannya, melalui transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang disampaikan melalui aktifitas dan prosesnya masing-masing. Sehingga objek (mad’u atau peserta didik) tersebut menjadi manusia yang lebih baik dan sempurna serta bertakwa kepada Allah.
Adanya kesamaan komponen dakwah dan komponen pendidikan tersebut, maka ayat ini dapat dijadikan referensi dalam dunia pendidikan, diantaranya adalah referensi tentang metode pendidikan. Diantara metode pendidikan yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah: al-Hikmah, Mau’idah Hasanah, dan mujadalah. Untuk lebih jelaskan akan penulis jabarkan dibawah ini.
1.      Al-Hikmah
Dalam Kamus Al Munawwir, hikmah berasal dari kata hakama, yang berarti hikmah, kebijaksanaan.[26] Menurut Quraish Shihab, kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.[27]
Menurut Ibnu Manzur hikmah ialah ungkapan tentang pengetahuan sesuatu yang paling utama. Dinamakan  ahli hikmah (seorang ‘arif bijaksana) bagi orang yang memahami secara bagus dan mahir  tentang seluk beluk pekerjaan).[28] Sedangkan menurut Muhammad Abduh, Hikmah ialah mengetahui rahasia dan faidah didalam tiap- tiap hal, juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadz akan tetapi banyak maknanya atau diartikan meletakkan sesuatu pada tempat semestinya.”[29]
Hikmah kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal ia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Sedangkan hikmah dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan juga termasuk dengan tindakan dan sikap hidup. Terkadang lebih berhikmat “diam” daripada “berkata”.[30]
Untuk memudahkan memahami berbagai pendapat mufassir tentang kata hikmah, lihat matrik berikut:
No
KitabTafsir
Metode Hikmah
1.
Tafsir Ibnu Katsir
Apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.
Al Mannar
Mengetahui rahasia dan faidah didalam tiap- tiap hal, juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadz akan tetapi banyak maknanya atau diartikan meletakkan sesuatu pada tempat semestinya
3.
Tafsir At-Thabari
Al-Qur’an
4.
Tafsir Al-Azhar
Metode yang dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Hikmah juga bukan sekedar ucapan dari mulut, tetapi juga termasuk tindakan dan sikap hidup.
5.
Tafsir Fi Zhilālil Qur’ān
Menguasai keadaan dan kondisi peserta didik serta batasan-batasan dalam menyampaikan materi sehingga tidak memberatkan atau menyulitkannya.
6.
Ibnu Manzur
Ungkapan tentang pengetahuan sesuatu yang paling utama.
7.
Tafsir al-Qurthuby
Menggunakan perkataan yang lembut, (talathuf) serta layyin.
8.
Tafsir Al-Misbah
Sesuatu yang jika digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharatan atau kesulitan yang besar atau lebih besar kepadanya.

Dengan demikian bila diaplikasikan ke dalam pendidikan Islam, maka hikmah dapat digunakan sebagai salah satu metode pendidikan agama Islam. Dari penafsiran mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa hikmah mengandung arti pengetahuan yang dalam yang menjelaskan kebenaran serta menghilangkan kesalahpahaman melalui tutur kata yang tegas dan benar serta mempengaruhi jiwa, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih.
Aplikasi metode hikmah dalam pendidikan Islam mengindikasikan adanya tanggung jawab pendidik. Dengan pengetahuan yang dalam, akal budi yang mulia, perkataan yang tepat dan benar, serta sikap yang proporsional dari pendidik, maka tujuan pendidikan dapat terwujudkan.
Metode hikmah mewujudkan suasana kondusif yang memungkinkan terjadinya interaksi edukatif yang menyentuh siswa untuk dapat menerima dan memahami serta mendorong semangat belajar, melalui terwujudnya komunikasi baik antara pendidik dan peserta didik. Dimana pembinaan karakter peserta didik dan kewibawaan pendidik tetap terjaga.
Implikasi dari metode hikmah dalam pendidikan islam diantaranya adalah seorang guru harus bijak dalam menyikapi perbedaan potensi atau kemampuan siswanya. Guru tidak boleh menganggap sama dan memperlakukan sama terhadap semua murid. Misalnya ketika guru menerangkan materi zakat yang didalamnya banyak ketentuan dan perhitungannya, sangat mungkin daya tangkap siswa terhadap penjelasan guru berbeda. Ada siswa yang sekali dijelaskan langsung paham, dan ada juga yang harus beberapa kali baru paham. Dalam kaitannya dengan pernyataan di atas, pendidik harus mampu menciptakan suatu interaksi yang kondusif dalam proses pendidikan sehingga tercipta suatu komunikasi yang arif dan bijaksana yang tentunya akan memberikan kesan mendalam kepada peserta didik sehingga teacher oriented akan berubah menjadi student oriented. Karena pendidik yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada peserta didikya untuk berkembang.
2.      Mau’idhah Hasanah
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi terdapat perbedaan makna antara istilah ‘ibrah dan mau’idhah hasanah. ‘Ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun kata mau’idhah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala dan ancamannya.[31]
Menurut Quraish Shihab mau’izhah adalah memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan objeknya yang sederhana. Kata al-mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Mau’izhah hendaknya disampaikan dengan hasanah/ baik. Adapun mau’izhah menurut Quraish Shihab maka akan mengenai hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah.[32]
Untuk memudahkan memahami bebagai pendapat para mufassir tentang makna mau’idzah, lihat kolom berikut:
No
KitabTafsir
Metode Mau’idzah
1.
Abdurrahman An Nahlawi
Nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala dan ancamannya
2.
Tafsir Al-Azhar
Pendidikan yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan dengan nasihat.
3.
Tafsir Ibnu Katsir
Memberikan nasihat yang baik yaitu yang terkandung dalam al-Qur’an yang berupa peringatan dan realitas-realitas manusia.
4.
Tafsir Fi Zhilālil Qur’ān
Nasihat atau perkataan yang baik yang dapat menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani yang halus.
5.
TafsirAl-Qurthuby
Tidak bersikap kasar (muhasanah) dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif)
6.
Tafsir Al-Misbah
Memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuanpeserta didik yang sederhana.
7.
Tafsir At-Thabari
Peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujjah atas mereka di dalam al-Qur’an.

Berkaitan dengan metode mau’idzah, al-Quran menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada jalan yang benar, inilah yang kemudian dikenal dengan nama nasehat. Tetapi nasehat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan atau teladan dari si pemberi nasihat itu. Hal ini menunjukan bahwa antara satu metode (yakni nasehat) dengan metode lain (ketelaanan) bersifat saling melengkapi.
Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Dalam menggunakan metode pendidikan Islam perlu diperhatikan dasar-dasar sebagai beikut:
a.       Dasar Agamis
Pelaksanaan metode pendidikan Islam harus memperhatikan nilai-nilai yang berasal dari sumber utama Islam, yakni al-Quran dan al-Hadis. Setiap metode yang digunakan, proses pelaksanaan metode dan teknik-teknik pembelajaran yang diterapkan harus mencerminkan nilai-nilai Islam.
b.      Dasar biologis
Dalam penggunaan metode, pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik, kebutuhan-kebutuhan jasmani, dan tahap kematangan peserta didiknya. Seperti peserta didik yang cacat dan normal tentunya perlakuaanya berbeda.
c.       Dasar psikologis
Setiap manusia memiliki kondisi psikologi yang berbeda-beda. Seperti motif, rohani, kecerdasan, emosi, minat, keinginan, bakat-bakat, kematangan, perbedaan, dll. Oleh karena itu pendidik dala menggunakan metode, harus memperhatikan kondisi psokologis peserta didiknya sehingga dapat menempatkannya secara tepat dan bermakna. Diantara kebutuhan-kebutuhan jiwa yang layak diperhatikan ialah kebutuhan kepada kenyamanan, kecintaan, penghargaan, keamanan, aktualisasi diri (self ectualization), dan kebebasan.
d.      Dasar Sosial
Setiap peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pada hakikatnya manusia itu dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi. Maka interaksi yang terjadi antara sesama peserta didik dan interaksi antara pendidik dan peserta didik merupakan interaksi timbal balik yang kedua belah pihak akan saling memberikan dampak positif atau negative. Oleh karena itu dalam memilih metode pendidikan Islam, harus memperhatikan kondisi sosial, nilai-nilai masyarakat yang berkembang, dan tradisi-tradisi yang baik yang dialami peserta didiknya.[33]
Mau’idzah hasanah diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:[34]
a.       Nasihat atau petuah
b.      Bimbingan, pengajaran (pendidikan)
c.       Kisah-kisah
d.      Kabar gembira dan peringatan
e.       Wasiat (pesan-pesan positif)
Aplikasi dari metode mau’idhah hasanah dalam konteks pendidkan adalah guru dalam menyampaikan materi harus dengan kata-kata yang sopan, halus, dan tidak melukai hati siswanya. Guru juga dituntut untuk menjadi teladan bagi siswa-siswanya, sesuai dengan falsafah jawa “digugu lan ditiru”, karena bagaimanapun juga secara psikis siswa akan mencontoh apapun dari gurunya.
Implementasinya misalnya guru memberikan kisah kepada siswa tentang tokoh-tokoh hebat baik tokoh islam ataupun barat dengan menggunakan kata-kata yang mampu menyentuh hati mereka dan akhirnya mereka terinspirasi serta termotivasi dengan kisah tersebut. Guru dalam menyampaikan tidak boeh sedikitpun menggunakan bahasa yang kasar, menyakitkan hati siswa. Jika hati siswa sudah tersakiti ia menjadi tidak senang dengan gurunya, dan juga pada akhirnya tidak senang dengan pelajaran yang disampaikan. Kalau sudah begitu dapat dipastikan siswa tidak akan paham dengan pelajaran yang disampaikan.
3.      Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata jadala yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan. Dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi. Menurut al Baidhowi mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Alloh SWT.[35]
Berkenaan dengan pengertian jadala, para ulama mengartikan  jadala dengan bertukar pikiran (berdialog), termasuk dengan cara saling mengalahkan argumentasi lawan. Dengan demikian asumsi sementara bila di dalam Al-Qur'an terdapat dialog dan ada usaha saling mematahkan lawan dan bersifat keras, maka dialog tersebut sebagai jadal atau mujadalah. Jadal juga bermakna sampaikan argumentasi kepada mereka dengan argumentasi yang sifatnya baik, meyakinkan dan dengan lembut, serta santun, dan berbicara dengan kata-kata yang sejuk, memaafkan orang yang berbuat buruk, dan tanggapilah keburukan dengan kebaikan, dan perdebatan harus dimaksudkan untuk mencapai kebenaran, tanpa mengeraskan suara, mencaci, mencela, atau meremehkan dan melecehkan.[36]
Mengenai mujadalah atau jidal, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa jidal terdiri dari tiga macam. Pertama, jidal buruk yakni yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Kedua, jidal baik yakni yang disampaikan dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan. Ketiga,  jidal terbaik yakni yang disampaikan dengan baik dan dengan argumen yang benar lagi membungkam lawan.”[37]
Dalam membantah harus memperhatikan orang yang diajak berdebat, misalnya seorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya ia mengeluarkan celaan dan cacian kepada Islam karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan cara yang sevaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar sehingga ia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakiti karena cara kita membantah yang salah, mungkin ia enggan menerima kebenaran meskipun hati keilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.[38]
Dalam penyebutan urutan ketiga macam metode itu menurut beliau sungguh serasi. Dimulai dengan hikmah yang dalam penyampaiannya tanpa adanya syarat, kemudian disusul dengan mau’izhah dengan syarat hasanah karena memang ia terdiri dari dua macam, yakni; mau’izhah yang baik dan mau’izhah yang buruk dan yang terakhir adalah jidal yang terdiri dari tiga macam, yakni: buruk, baik, dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.[39]
Untuk memudahkan pendapat para mufassir tentang makna mujadalah/jidal, lihat matrik berikut:
No
KitabTafsir
Metode Mujadalah
1.
Tafsir Fî Zhilālil Qur’ān
Berdebat dengan cara terbaik, tanpa bertindak dzalim, meremehkan atau melecehkan lawan bicara yang dapat menjatuhkan wibawa, kehormatan dan eksistensi lawan bicara.
2.
Al Baidhawi
Menggunakan metode diskusi ilmiah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Alloh SWT
3.
Tafsir At-Thabari
Perdebatan atau bantahan yang terbaik sebagai upaya untuk menghindari prilaku yang tidak baik dari lawan debat.
4.
Tafsir Al-Azhar
Bantahan yang baik yakni bantahan yang tetap objektif, yaitu tidak memandang siapa yang diajak berdebat tetapi tetap fokus pada pokok permasalahan
5.
Tafsir Al Wasith
sampaikan argumentasi kepada mereka dengan argumentasi yang sifatnya baik, meyakinkan dan dengan lembut, serta santun, dan berbicara dengan kata-kata yang sejuk, memaafkan orang yang berbuat buruk, dan tanggapilah keburukan dengan kebaikan, dan perdebatan harus dimaksudkan untuk mencapai kebenaran, tanpa mengeraskan suara, mencaci, mencela, atau meremehkan dan melecehkan
6.
Tafsir Ibnu Katsir
Perdebatan dengan cara yang terbaik, yaitu dengan bantahan yang tetap bersahabat, lembut dan perkataan yang baik.
7.
Tafsir al-Qurthuby
Berdebat tanpa menggunakan kekerasan (ta’nif).
8.
Tafsir Al-Misbah
Perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan  logika  dan retorika  yang halus,  lepas dari kekerasan dan umpatan.
Diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasanatau dalih mitra diskusi (peserta didik) dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yangdipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara (peserta didik)

Berdasarkan penafsiran para mufassir, dapat diketahui bahwa mujadalah bi al-lati hiya ahsan, mengandung arti sebagai berikut:
a.       Bantahan yang lebih baik, dengan memberi manfaat, bersikap lemah lembut, perkataan yang baik, bersikap tenang dan hati-hati, menahan amarah serta lapang dada.
b.      Percakapan dan perdebatan untuk memuaskan penantang.
c.       Perdebatan yang baik, yaitu membawa mereka berpikir untuk menemukan kebenaran, menciptakan suasana yang nyaman dan santai serta saling menghormati
d.      Perbantahan atau pertukaran pikiran dengan baik yaitu tidak menyakiti hati dan menggunakan akal yang sehat.
Dalam proses pendidikan,  jidal/ mujadalah bi al-lati hiya ahsan secara esensial adalah metode diskusi/ dialog yang dilaksanakan dengan baik sesuai dengan nilai Islami. Proses diskusi bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok permasalahan. Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang lain, memahami tema pembahasan, antusias, mengungkapkan dengan baik, dengan santun, dapat mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai kebenaran serta memuaskan semua pihak.
Contoh penerapan konkritnya, ketika guru menjelaskan materi tentang poligami. Guru membagi kelas menjadi dua kelompok, kelompok A pro dengan poligami, sedangkan kelompok B kontra. Guru mendampingi debat kedua kelompok tersebut agar tetap kondusif. Kedua kelompok dipersilahkan untuk menyampaikan pendapat dan argumennya secara sopan, dan tidak menyakiti perasaan kelompok lawannya. Konsep mujadalah tidak harus berdebat melalui lisan saja, tetapi bisa menggunakan media lain, misalnya buku, media elektronik, dsb. Yang terpenting tulisan-tulisan tersebut harus sopan, bahasanya tidak mencaci, dan tetap menghormati hasil karya atau pendapat orang lain.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mujadalah di sini mengandung makna sebagai proses penyampaian materi melalui diskusi atau perdebatan, bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan santun, saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan.
Diskusi memberikan sumbangan yang berharga pada siswa dalam rangka belajar, diantaranya:[40]
a.       Membantu siswa untuk mengambil keputusan yang lebih baik daripada memutuskan sendiri.
b.      Siswa tidak terjebak jalan pemikiran sendiri, yang kadang-kadang salah,  penuh prasangka dan ssempit.
c.       Member motivasi terhadap berfikir dan meningkatkan perhatian kelas terhadap apa yang sedang dipelajari.
d.      Membantu mengerahkan atau mendekatkan hubungan antara kegiatan kelas dengan tingkat perhatian dan derajat pengertian dari anggota kelas.
e.       Mencari keputusan suatu masalah.
f.       Melatih siswa untuk merumuskan pikirannya secara sistematis sehingga dapat diterima orang lain.
g.      Membiasakan siswa mendengarkan pendapat orang lain, walaupun berbeda dengan pendapatnya, hal ini akan membangun toleransi yang baik.
Apabila diskusi dilaksanakan dengan cermat, maka metode belajar ini akan menyenangkan dan merangsang pengalaman siswa. Karena dengan diskusi ini siswa dapat menyampaikan ide-ide, uneg-uneg, dan pendalaman wawasan mengenai sesuatu sehingga dapat mengurangi ketegangan-ketegangan batin dan mencairkan atau membentuk iklim kelas yang kondusif.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:
QS. Al-Maidah ayat 67 berisi tentang perintah Allah kepada Muhammad untuk tabligh/ menyampaikan semua risalah kepada ummatnya. Implementasi metode tabligh dalam konteks pendidikan diantaranya adalah bahwa guru harus menyampaikan ilmunya kepada siswa sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak boleh ada materi-materi yang seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru seyogyanya selalu meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari yang pada ujungnya keilmuan tersebut diajarkan atau disampaikan kepada siswa-siswanya.
QS. An-Nahl ayat 125 berisi tentang metode dakwah Rasululloh. Ada kesamaan komponen-komponen dakwah dengan komponen-komponen dalam pendidikan, sehingga ayat tersebut dapat dijadikan referensi oleh penggiat pendidikan.
Ada tiga metode pendidikan islam yang dapat diambil dari QS. An-Nahl ayat 125 yaitu: al-hikmah, mau’idzal hasanah, dan mujadah.
Aplikasi metode hikmah dalam pendidikan Islam, mengindikasikan adanya tanggung jawab pendidik. Dengan pengetahuan yang dalam, akal budi yang mulia, perkataan yang tepat dan benar, serta sikap yang proporsional dari pendidik, maka tujuan pendidikan dapat terwujudkan.
Aplikasi dari metode mau’idhah hasanah dalam konteks pendidkan adalah guru dalam menyampaikan materi harus dengan kata-kata yang sopan, halus, dan tidak melukai hati siswanya. Guru juga dituntut untuk menjadi teladan bagi siswa-siswanya, sesuai dengan falsafah jawa “digugu lan ditiru”.
Sedangkan aplikasi dari metode mujadalah adalah diskusi kritis yang sopan, menghormati pendapat orang lain, bersikap dingin dalam berdebat, dan tidak menyakiti lawan yang didebat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, Surabaya: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah Indonesia, 1414.

Al Quran al-Karim, Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010.

Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Ar Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan: Tafsir Al-Quan dengan Al-Quran, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Amin, Masyhur, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.

An-Nabhani, Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, Jakarta: Amzah, 2008.

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al Wasith, Jakarta: Gema Insani, 2012.

Baharuddin, Pendidikan Humanistik Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan), Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011.

Gunawan, Heri, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Rosdakarya, 2014.

HAMKA, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Panjimas, 1986.

Indonesia, Departemen Agama Republik, Al-Quran dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Ismail, Faisal, Dakwah Pembangunan: Metodologi Dakwah, Yogyakarta: Prop. DIY, 1992.

Izzan, Ahmad, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan. Banten: Pustaka Aufa Media, 2012.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016.

Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Munir, M, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2003.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003.

Shaleh, Qamarudin, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, Bandung: CV. Diponegoro, 1982.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.

Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, Solo: Ramadhan, 1983.



[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 131.
[2] Baharuddin, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan), (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011), hlm 196.
[3] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 223.
[4] Al Quran al-Karim, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010), hlm. 119.
[5] Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 72.
[6] Qamarudin Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung: Diponegoro, 1982), hlm. 189.
[7] Ahmad Mustafa Al Farran, Tafsir al-Imam Asy Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2007), hlm. 383.
[8] Lebih lengkapnya baca Qamarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 189-191. Dalam buku tersebut dijelaskan berbagai riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul ayat tersebut beserta versinya. Termasuk diantaranya dikemukakan bahwa para sahabat pernah meningalkan Rasulullah SAW berhenti didalam perjalanan, dan dan berteduh dibawah pohon yang besar. Ketika itu beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata, “Siapa yang menghalangi engkau daripadaku Wahai Muhammad?”, sabda Rasulullah SAW: “Allah yang akan melindungiku daripadamu, letakkanlah pedang itu!”. Ketika itu pedang dletakkan kembali, maka turunlah ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan usil manusia.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 152.
[10] Asy Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan: Tafsir Al-Quan dengan Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 172.
[11] Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan. (Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm. 220.
[12] Ibid, hlm. 222.
[13] Ada beberapa istilah komunikasi dalam al-Quran sebagai salah satu metode pembelajaran, diantaranya: Qaulan syadiidan (QS. 4: 9), Qaulan Masyruran (QS. 17:28), Qaulan Layinan (QS. 20: 44), Qaulan Kariman (QS. 17: 23), Qaulan Ma’rufan (QS. 4: 5), dan Qaulan Balighan (QS. 4: 63).
[14] Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan. (Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm 223.
[15]Al Quran al-Karim, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010), hlm 281.
[16]Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 1009.
[17]Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2000), hlm. 1117.
[18]Faisal Ismail, Dakwah Pembangunan: Metodologi Dakwah, (Yogyakarta: Prop. DIY, 1992), hlm. 199.
[19]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 500.
[20] Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 389.
[21] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, (Surabaya: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1414 H), hlm. 226.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., hlm. 774-745.
[23]Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 21.
[24]Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), hlm. 9-10.
[25]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 8.
[26] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 287.
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., hlm. 775.
[28] Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997). hlm. 21.
[29] M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2003). hlm. 9.
[30] HAMKA, Tafsir AlAzhar, (Jakarta: Panjimas, 1986), hlm. 321.
[31] Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Rosdakarya, 2014), hlm. 270.
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., hlm. 776.
[33] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global…, hlm. 225-226.
[34] M, Munir, Metode Dakwah…, hlm. 17.
[35] Imam al Baidhowi dalam Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat Berdimensi Pendidikan. (Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm. 229.
[36] Wahbah Az Zuhaili, Tafsir Al Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012), hlm. 348.
[37] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., hlm. 776
[38] HAMKA, Tafsir Al Azhar…, hlm. 322.
[39] Ibid, hlm. 777.
[40] Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhan, 1983), hlm. 89-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar