BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat
Barat. Filsafat Barat
muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-6 SM. Filsafat muncul ketika
orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi
untuk mencari jawaban atas pertanyaan.[1]
Pada awal
perkembangannya, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara
pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Semua hasil
pemikiran manusia disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi pergeseran
paradigma. Filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran
filsafat satu kesatuan dengan agama (dogma gereja). Renaissance pada abad ke-15
dan Aufklaerung pada abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap filsafat,
yaitu filsafat memisahkan diri dari agama. Orang mulai bebas mengeluarkan
pendapatnya tanpa takut dihukum gereja. Sebagai kelanjutan dari zaman
renaissance, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat
ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai
‘anak-anak’ filsafat berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang.
Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai
spesialisasi dan sub-spesialisasi pada abad ke-20.[2]
Untuk
memudahkan memahami perkembangan ilmu di Barat perlu dibuat periodesasi.
Periodesasi ini didasarkan atas ciri pemikiran yang dominan pada waktu itu.
Periodesasi tersebut dikelompokan menjadi empat,[3]
yaitu: Pertama, Zaman Yunani kuno yang corak filsafatnya kosmosentris.
Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad
raya. Kedua, Zaman Abad Pertengahan dengan corak filsafatnya teosentris.
Para filosof pada masa ini memakai pemikiran untuk memperkuat dogma-dogma
gereja. Ketiga, Zaman Abad Modern dengan corak antroposentris. Para
filosof pada zaman ini memusatkan analisis filsafatnya pada manusia. Keempat,
Zaman Kontemporer dengan corak logosentris, artinya teks menjadi tema sentral
diskursus para filosof.
Untuk memahami
lebih lanjut tentang latar belakang kelahiran, ciri-ciri pemikiran dan
tokoh-tokoh filosof pada masing-masing periodesasi tersebut, maka penulis akan
menjelaskan lebih rinci dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan ilmu di Barat dari zaman
Yunani Kuno sampai kontemporer?
2.
Bagaimana perkembangan teori-teori tentang
kebenaran ilmu?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui perkembangan ilmu di Barat
dari zaman Yunani Kuno sampai zaman kontemporer beserta para tokohnya.
2.
Untuk mengetahui perkembangan berbagai teori
tentang kebenaran ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Ilmu Di Barat
1.
Zaman Yunani
Kuno (Abad 6 SM-6 M)
Kelahiran
pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 SM yang ditandai dengan
runtuhnya mitos dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi pembenaran terhadap
setiap gejala alam. Manusia sudah mulai meninggalkan mitos-mitos yang bersifat
irasional menuju pada pemikiran yang rasional, atau dalam bahasa lain disebut
zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa itu sering diceritakan
bahwa alam semesta dan kejadian didalamnya terjadi berkat kuasa-kuasa gaib
adikodrati, atau kuasa dari para dewa-dewi.[4]
Pada periode
Yunani Kuno ilmuwan merangkap sebagai seorang filsuf. Pada saat itu belum ada
batas yang tegas antara ilmu dan filsafat. Berbeda dengan masa Pra-Yunani,
masa Yunani Kuno memiliki ciri-ciri antara lain: Tidak percaya pada
mitos, kebebasan berpendapat, tidak menerima pengalaman secara mutlak, tetapi
menyelidiki sesuatu secara kritis.[5]
Persoalan
filsafat yang diajukan pada zaman ini adalah tentang keberadaan alam semesta,
termasuk apa yang menjadi asal muasal alam raya ini. Tokoh pertama yang
tercatat mempersoalkan adalah Thales (625-545 SM), diikuti oleh Anaximander
(610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM)[6],
dan Phytagoras (580-500 SM). Hasil pemikiran mereka sangat sederhana untuk
ukuran saat ini. Walaupun demikian, untuk sampai pada kesimpulan tersebut
masing-masing filsuf melakukan kontemplasi yang tidak singkat. Dari hasil
perenungan yang mendalam itulah, Thales menyimpulkan bahwa asal muasal (inti)
dari alam ini adalah air, Anaximander menyimpulkan apeiron, yakni suatu
zat yang tidak terbatas sifatnya, Anaximanes menyimpulkan udara, sedangkan
Phytagoras menyimpulkan bahwa
bilangan merupakan intisari dari semua benda maupun dasar pokok dari
sifat-sifat benda.[7]
Zaman keemasan Yunani diawali oleh tokoh pemikir
Socrates (470-399 SM), yang kemudian diikuti Plato (427-347 SM), dan Aristoteles
(384-322 SM). Masa Socrates ini, mulai ada pergeseran fokus penyelidikan. Fokus
penyelidikan tidak lagi pada alam, tetapi fokus kepada manusia. Karena filsafat
alam dirasa tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan.[8]
Socrates tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis, ia langsung menerapkan
metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Metode berfilsafat yang
diuraikannya disebut ‘dialektika’ yang berarti bercakap-cakap, disebut demikian
karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki dalam filsafat Socrates.
Socrates menyebutkan sendiri metode berfilsafatnya itu sebagai ‘maieutike
tekhne’ (seni kebidanan), artinya fungsi filosof hanya membidani lahirnya
pengetahuan.
Socrates tidak meninggalkan tulisan apapun.
Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar darinya hanya dapat
diketahui dari tulisan-tulisan muridnya, yaitu Plato. Dalam dialog-dialog
Plato, Socrates hampir selalu menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah
apakah pandangan yang dinisbatkan kepada Socrates adalah benar-benar
pandangannya atau pandangan Plato sendiri.
Socrates lebih berminat pada masalah manusia dan
tempatnya dalam masyarakat, bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam
raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Socrates menurunkan filsafat dari
langit lalu mengantarkan ke kota-kota, dan kemudian memperkenalkan ke
rumah-rumah. Karena itu dia didakwa ‘memperkenalkan dewa-dewi baru dan merusak
kaum muda’, dan karenanya Socrates dibawa ke pengadilan Athena. Dewan juri
menyatakan bersalah, meskipun sesungguhnya Socrates dapat menyelamatkan
nyawanya dengan meninggalkan Athena. Namun, tetap setia pada hati nuraninya dan
memilih minum racun (sebagai vonis baginya) dihadapan banyak orang untuk
mengakhiri hidupnya.[9]
Yang mau dituju Socrates dalam setiap pembicaraan
dengan partner bicaranya adalah paham-paham atau definisi-definisi
mendalam dan tahan uji tentang keutamaan etis. Untuk itu, ia memulai
pembicaraannya dari hal-hal yang bersifat khusus-partikular tentang suatu
keutamaan. Dari situ kemudian mengupayakan pengertian umum-universal
mengenainya. Metode berfikir tersebut dikenal dengan metode berfikir indukif,
yaitu dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya khusus ke pernyataan-pernyataan
yang sifatnya umum.
Dialog Socrates dimulai dengan contoh-contoh.
Contohnya, ‘tindakan ini’ disini dan ‘tindakan itu’ disana disebut tindakan
keutamaan. Jadi ini dan itu merupakan contoh-contoh khusus dan partikular dari
tindakan keutamaan. Lantas Socrates bertanya, Apa yang merupakan kesamaan dari semua
itu?, Adakah ‘yang umum’ yang merupakan hakikat dari tindakan keutamaan itu?.
Dalam mengajukan pertanyaan ini, dia mengetahui bahwa jawaban final dan tuntas
atas pertanyaan ini sebenarnya tidak dapat ia ketahui. Meskipun demikian, ia
tetap saja melontarkannya untuk mendapatkan tanggapan dari partner-nya.
Kesadaran ketidaktahuan ini disebut Ironi Socrates.[10]
Jasa besar Socrates lainnya bagi pemikiran Barat
adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elenchus, yang banyak
diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, ia dikenal
sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara
umum.[11]
Tokoh besar lainnya pada zaman ini adalah Plato
(428-348 SM), ia merupakan murid dan pengagum Socrates. Maka tidak heran kalau
pandangan filsafat-filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya tersebut.
Kendatipun demikian, ia lebih rajin daripada gurunya dalam segi menulis. Dia
sangat rajin menulis buku dengan gaya sastra yang tinggi. Kebiasaan menulisnya
ini terus dilakukan sampai akhir wafatnya. Terbukti dengan karangannya yang
terahir yaitu Nomoi (undang-undang) yang belum selesai ia tulis sampai
ia menghembusan nafas terakhirnya ketika berumur 80 tahun.
Plato menyumbangkan ajaran tentang ‘idea’. Dengan
ajarannya tersebut Plato tidak hanya berhasil menciptakan suatu sistem filsafat
yang merangkum dan merangkul berbagai persoalan filosofis sebelumnya, melainkan
juga membangun suatu kerangka pemikiran yang pengaruhnya luar biasa besar pada
pemikiran filosofis di Barat berabad abad setelah wafatnya.
Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia
ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia rasional), dan dunia jasmani
yang hanya terbuka bagi panca indera kita (dunia inderawi). Dalam dunia
rasional tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada
dalam dunia inderawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.[12]
Ide-ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata
daripada objek-objek material yang terlihat oleh mata. Keberadan bunga, pohon,
burung, manusia, dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan berahir. Adaun ide
tentang bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya tidak akan berubah dan
kekal adanya. Karena itu, hanya ide yang merupakan realitas yang sesungguhnya
dan abadi. Dunia inderawi adalah suatu realitas yang tidak tetap dan
berubah-ubah. Adapun dunia ide adalah suatu realitas yang tidak bisa dilihat,
dirasa, dan didengar, dunia yang benar-benar objektif dan berada diluar
pengamatan manusia. Apa yang disebut pengetahuan sebenarnya hanya merupakan
ingatan terhadap apa yang telah diketahuinya di dunia ide, konon sebelum berada
di dunia inderawi, manusia pernah berdiam di dunia ide.[13]
Ide tentang dua dunia tersebut membawa Plato pada
pandangannya mengenai pra-eksistensi dan pasca-eksistensi jiwa. Menurutnya,
sebelum berada dalam badan, jiwa sudah mengalami pra-eksistensi dimana ia
menatap ide-ide. Namun kemudia ia mengalami inkarnasi dan masuk kedalam tubuh.
Ia mengungkakan keadaan ini dengan dua kata Yunani yaitu soma-sema,
maksudnya badan (soma) adalah kuburan (sema) bagijiwa. Kerinduan
dan tujuan manusia sesudah kehidupannya didunia adalah terbebas dari penjara
tubuh agar dapat kembali memasuki keadaan aslinya yakni pulang ke kerajaan
ide-ide. Untuk mencapai tujuan itu, rasio mempunyai peranan besar. Kalimat
terakhir ini mengantar kita memasuki ajaran Plato tentang etika, yakni tentang
bagaimana mencapai hidup yang baik.[14]
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada
murid Plato yang bernama Aristoteles.[15]
Ia merupakan filosof pertama yang berhasil menemukan pemecahan
persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem
meliputi: logika, filsafat alam, ilmu jiwa, metafisika (sebab pertama), etika,
dan ilmu politik.[16]
Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari
penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof
sebelumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa
semua penyebab.
Menurutnya tiap kejadian mempunyai empat sebab
yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami segala sesuatu.
Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah:[17]
1.
Penyebab material (material cause): inilah bahan
darimana benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.
2.
Penyebab formal (formal cause): inilah bentuk yang
menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi
sebuah kursi.
3.
Penyebab efisien (efficient cause): inilah sumber
kejadian, factor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat
sendiri sebuah kursi.
4.
Penyebab final (final cause): inilah tujuan yang
menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat supaya orang dapat duduk
diatasnya.
Aristoteles
mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan
demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut
induktif dan deduktif. Induksi ialah menarik konklusi yang bersifat umum dari
hal-hal yang khusus. Sedangkan deduktif ialah cara menarik konklusi berdasarkan
dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum ke
khusus. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang
berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan
dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman itu.[18]
Salah satu dari contoh deduksi adalah silogisme, yakni pengambilan kesimpulan
berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya:
Semua manusia akan mati
Sokrates adalah seorang manusia
Maka: Socrates akan mati
Dalam
silogisme diatas, pernyataan pertama adalah premis umum atau mayor, pernyataan
kedua adalah premis khusus atau minor, dan pernyataan ketiga adalah kesimpulan.
Sama
seperti gurunya, Aristoteles juga senang menulis. Tulisan-tulisan Aristoteles
cenderung lebih kaku, kering, seperti ensiklopedi. Apa yang ditulis pada umumnya
merupakan hasil telaah lapangan. Tulisan-tulisan yang sampai kepada kita
kebanyakan berupa naskah-naskah perkuliahan yang ia pergunakan di sekolahnya.[19]
Dari tulisan-tulisan inilah, berasal apa yang dikenal sebagai Corpus
Aristotelicium, yakni kumpulan karangan Aristoteles mengenai organon (yang
kemudian dikenal dengan istilah logika), tulisan mengenai ilmu pengetahuan
alam, metafisika, berbagai tulisan tentang etika, dan buku-buku mengenai
estetika. Maka tidak heran jika kemudian hari dia dikenal sebagai pelopor,
penemu, atau bapa logika, kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum
ada logika.
Aristoteles
membagi filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi lima, yaitu:
1.
Logika: tentang bentuk susunan pikiran
2.
Filosofia teoritika yang diperinci lagi menjadi:
a.
Fisika : tentang dunia materiil (ilmu alam
dan sebagainya)
b.
Matematika :
tentang barang menurut kualitasnya
c.
Metafisika :
tantang ‘ada’
3.
Filosofia praktika: tentang kehidupan kesusilaan yang
diperinci menjadi:
a.
Etika : tentang kesusilaan dalam hidup
perseorangan.
b.
Ekonomia :
tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan
c.
Politika : tentang kesusilaan dalam hidup
kenegaran
4.
Filosofia poetika/ aktiva (pencipta)
5.
Filsafat kesenian
Sesudah Aristoteles meninggal, ajarannya
diteruskan oleh murid-muridnya yang kemudian termasuk dalam apa yang disebut
sebagai madzhab Paripatetik.[20]
Dilihat dari sudut dampak pemikirannya terhadap sejarah filsafat, Aristoteles
memang bersaing dengan Plato. Pada abad pertengahan, filsafat Aristoteles
menjadi fundamental bagi ajaran Skolastik. Pada zaman ini,karya-karya filsafat
Aristoteles diangap sebagai ‘tidak mungkin sesat’. Namun angapan ini kelak
didobrak pada zaman modern dengan munculnya seorang filosof Jerman yang bernama
Immanuel Kant (1724-1804) yang dijuluki sebagai der Alleszermalmer (sang
penghancur segala sesuatu).
2.
Zaman Pertengahan (Abad 6-16 M)
Abad pertengahan dimulai setelah runtuhnya kerajaan Romawi pada
abad ke 5 M dinyatakan sebagai abad pertengahan karena zaman ini berada di
tengah-tengah antara dua zaman, yaitu zaman kuno dan zaman modern.[21] Zaman
Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad pertengahan
selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama. Filosof Yunani yang berpengaaruh pada abad pertengahan adalah
Plato dan Aristoteles. Plato menampakkan pengaruhnya pada Agustinus, sedangkan
Plato pada Thomas Aquinas.[22]
Namun dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi
kemunduran, bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik
dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak
keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran. Jadi
ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja. Gereja sangat
otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.[23]
Pada zama Kristiani ini mencapai dua kali periode keemasan yaitu
zaman Patristik dan Skolastik,[24]
yaitu :
a.
Zaman
Patristik
Patristik dalam bahasa latin disebut Patres (Bapa bapa
Gereja). Ajaran-ajaran filsafat dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh
Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan
pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Merek berhasil membela ajaran
kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir.
Zaman Patristik dibagi atas Patristik Yunani (Patristik Timur) dan
Patristik Latin (Patristik Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik Yunani antara
lain Clemens dari Alexandria, Origenes, Gregorius dari Nazianze, Basilius,
Gregorius dari Nizza, dan Dionysios Areopagita. Sedangkan tokoh-tokog dari
Patristik Latin yaitu Hilarius, Ambrosius, Hieronymus, dan Augustinus.
b.
Zaman
Skolastik
Skolastik dalam bahasa latin disebut scholasticus yang
berarti guru. Disebut skolastik karena dalam periode ini filsafat diajarkan
dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum
yang tetap dan yang bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajaran meraka
yaitu hubungan antara iman dan akal budi, adanya hakikat Tuhan, antropologi,
etika, dan politik. Tokoh-tokoh dari zaman Skolastik ini antara lain Albertus
Magnus, Thomas Aquino, Bonaventura, dan Yohanes Duns Scotus.
Zaman
Renaissans (14-16 M)
Peralihan
dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai oleh suatu era yang disebut
dengan zaman Renaissans. Periode ini terjadi sekitar tahun 1400-1600 masehi.[25] Renaissans
adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis,
patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad
pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner
dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat.
Zaman
renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam
berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita
lahirnya kembali manusia yang bebas. Pada zaman renaissans manusia Barat mulai
berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas
kekuasaan Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dan mengemukakan
kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.[26]
Pada
zaman ini, manusia disebut sebagai animal rationale, karena pada masa ini
pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan
atas hasil usaha sendiri. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern
sudah mulai dirintis sejak zaman Renaissans. Ilmu pengetahuan yang berkembang
maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal
seperti Copernicus, Johannes Keppler, dan Galileo Galilei.
Copernicus
adalah seorang tokoh gerejani yang ortodoks. Dia mengemukakan bahwa matahari
berada di pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak yaitu perputaran
sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teori ini
disebut “heliosentrisme” dimana matahari adalah pusat jagad raya. Teori
Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta terutama
astronomi.[27]
Pendapat ini berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hipparahus dan
Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (goesentrisme).[28]
Pemikiran
yang revolusioner dari Copernicus ini juga terjadi dalam dunia hukum yakni
terkait dengan hukum internasional dan hukum tata Negara. Tokoh utama yang
terkenal dalam bidang ini adalah Hugo de Groot. Di samping itu, revolusi lebih
lanjut di bidang sains dikemukakan pula oleh Francis Bacon. Sebagai perintis
filsafat ilmu, Bacon memperkenalkan metode baru yang kemudian berkembang dan
diterapkan untuk ilmu-ilmu empiris yaitu
logika induktif. [29]
Gagasan Bacon tentang metode ilmiah terkenal dengan nama induksi Baconian.
Metodenya dijelaskan secara rinci dalam bukunya yang berjudul Novum Organum.
Dalam bukunya ini ia secara positif hendak membengun kembali ilmu yang baru
melalui metode ilmiah. Selain itu, Bacon menolak menggunakan silogisme
berdasarkan pandangan bahwa inudksi harus bertumpu pada observasi tentang
benda-benda, fakta atau peristiwa khusus, dan harus dilaksanakan seluas
mungkin.[30]
Galileo
Galilei membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan
mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menemukan beberapa
peristiwa penting dalam astronomi. Ia melihat bahwa planet Venus dan Merkurius
menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga ia menyimpulkan
bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya
memantulkan cahaya dari matahari.[31]
Langkah-langkah
yang dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti :
pengamatan (observation), penyingkiran (elimination) segala hal yang tidak
termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif
atas peristiwa tersebut, peramalan (prediction), pengukuran (measurement), dan
percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan
matematik.[32]
Sedangkan
Johannes Keppler menemukan tiga buah hukum, yaitu : (1) Bahwa gerak benda
angkasa itu ternyata bukan bergerak mengikuti lintasan cirde, namun gerak itu
mengikuti lintasan elips. Orbit semua planet berbentuk elips. (2) Dalam waktu
yang sama, garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang
yang luasnya sama. (3) Dalam perhitungan matematika terbukti bahwa bila jarak
rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu
untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2 : Q2 , X3 : Y3.[33]
3.
Zaman Modern (Abad 17-19 M)
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal
dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari diri
manusia sendiri.[34]
Dengan demikian, filsafat pada zaman modern memilki corak yang berbeda dengan
periode filsafat zaman pertengahan. Perbedaan tersebut terletak terutama pada
otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan
otoritas kekuasaan dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman
modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh
kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri.
Filsafat zaman modern ini bercorak “antroposentris”, artinya
manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan filsafat. Semua filsuf pada zaman
ini menyelidiki segi-segi subjek manusiawi, “aku” sebagai pusat pemikiran,
pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat
perasaan.[35]
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah.
Eropa sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut Slamet
Santoso sebenarnya mempunyai tiga sumber yaitu :[36]
1.
Hubungan
antara kerajaan Islam di Semenanjungan Iberia dengan negara-negara Prancis.
Para pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol,, kemudian mereka
inilah yang menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu di
lembaga-lembaga pendidikan di Perancis.
2.
Perang
Salib yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang peperangan
fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari
berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka
menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara masing-masing.
3.
Pada
tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa Turki, sehungga para pendeta atau
sarjana mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka ini menjadi
pionir-pionir bagi perkembangan ilmu di
Eropa.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Rennaisans.
Seperti Rene Descrates, tokoh yang terkenal sebagai bapak filsafat modern. Tokoh-tokoh
yang muncul di era modern ini adalah:
1.
Rene
Descrates juga seorang ahli ilmu pasti. Bagi Descrates tidak dapat menerima
apapun sebagai hal yang benar, kecuali
jika diyakini bahwa itu memang benar. Untuk memudahkan penyelesaian masalah,
maka perlu dipilah-pilah menjadi bagian kecil. Berfikir runtut dari hal yang
sederhana menuju hal yang rumit. Pemeriksaan menyeluruh setelah mengerjakan
sesuatu supaya tidak ada yang terlupakan.
2.
Isaac
Newton dengan temuannya teori Gravitasi, Calculus, dan Optika. Munculnya teori
gravitasi kelanjutan dari teori gerak yang dimunculkan oleh Galileo dan
Keppler. Jika Galileo, gerakan itu lurus, Keppler berbentuk elips tanpa
menjelaskan sebabnya, maka Newton membuat teori gravitasi, bahwa keelipsan
lintasan itu karena ada daya tarik antara dua benda yang berdekatan.
3.
Charles
Darwin dengan teorinya yang paling popular adalah struggle for life (perjuangan
untuk hidup), yang kemudian melahirkan teori evolusi bahwa manusia berasal dari
monyet.
4.
J.J.
Thompson dengan temuannya elektron, yang meruntuhkan teori yang mengatakan
bahwa materi yang paling kecil adalah atom. Penemuan ini penting bagi
pengembangan fisika-nuklir yang mampu mengubah atom menjadi energi lain.[37]
Wacana filsafat
yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke 17 adalah
persoalan epistimologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistimologi adalah
bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai
untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran
itu sendiri.[38]
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam filsafat abad 17 ini
muncullah beberapa aliran yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling
bertentangan. Beberapa aliran tersebut adalah :
1.
Rasionalisme
Rasionalisme
adalah faham filsafat yng mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis,
suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.[39]
Tokoh yang mempelopori aliran ini adalah Rene Descrates. Descrates berpendapat
bahwa agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan
suatu metode yang baik, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya atau
keragu-raguan. Menurutnya, suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal adalah corgito
ego sum yang artinya aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang jelas dan tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperoleh hasil
yang sahih dalam metodenya, Descrates mengemukakan empat hal, sebagai berikut:[40]
a.
Tidak
menerima suatu apapun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat hal itu
sungguh-sungguh jelas dan tegas sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang
mempu merobohkannya.
b.
Pecahkan
setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak
ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
c.
Bimbinglah
pikiran dengan teratur, dengan memulai hal-hal yang sederhana dan mudah
diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
d.
Dalam
proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungn-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga kita yankinbahwa tidak ada satupun yang mengabaikan atau
tertinggal dalam penjelajahan itu.
Sebagai aliran dalam
filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengatahuan dan kebenaran,
rasionalisme selalu berpendapat bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam
suatu pengetahuan. Dan menurut rasonalisme, pengalaman tidak mungkin dapat
menguji kebenaran hukum “sebab-akibat” karena peristiwa yang tak terhingga
dalam kejadian ala mini tidak mungkin dapat diobservasi.
Rasionalisme
tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman
digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan
tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan bahan
indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek
yang betul-betul abstrak.[41]
2.
Empirisisme
Istilah empiris
berasal dari kata emperia (Yunani) yang berarti pengalaman inderawi.
Empirisisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi/pengindraan. Karena itu, empirisisme
dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman
bathiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat
bertentangan dengan rasionalisme.[42]
Salah satu
tokoh terkemuka aliran ini adalah David Hume, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Hume yakin bahwa pengenala
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Ada dua
hal yang dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak
menerima substansi sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa
cirri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah
hasil penginderaan langsung, sedangkan gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan.
Sedangkan
tentang kausalitas, Hume berpandangan bahwa jika gejala tertentu diikuti oelh
gejala lainnya, lalu dari berbagai gejala tersebut diambil kesimpulan maka
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya member urutan
gejala, tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya
mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable”
(berpeluang). Karena itulah Hume menolak kausalitas.[43]
Pada hakikatnya
pemikiran Hume bersifat analtis, kritis, dan skeptic. Ia berpangkal pada suatu
keyakinan bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas, dan tidak dapat
diragukan. Berdasarkan pendapatnya, Hume sampai pada kesimpulan bahwa “aku”
termasuk dalam dunia khayalan. Sebab bagi Hume dunia hanya terdiri dari
kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara objektif
sistematis, karena tidak ada hubungan sebab akibat di antara kesan-kesan.[44]
3.
Kritisisme
Seorang filsuf besar Jerman yang bernama Immanuel Kant telah
melakukan usaha untuk menjembatani pendangan-pandangan yang saling
bertentangan, yaitu antara rasionalisme dan empirisisme. Filsafat yang
diintrodusir oleh Immanuel Kant ini adalah filsafat kritisisme. Kant mengadakan
penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas
dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak
rasionalisme dan sepihak empirisisme. Menurut aliran ini, baik rasionalisme
maupun empirisisme keduanya berat sebelah. Pengalaman manusia merupakan paduan
antar sintesa unsure-unsur aspriori (terlepas dari pengalaman) dengan
unsure-unsur aposteriori (berasal dari pengalaman).[45]
Kant mencoba untuk mempersatukan rasionalisme dan empirisisme,
mengatakan bahwa dengan hanya mementingkan salah satu dari kedua aspek sumber
pengetahuan, tidak akan diperoleh pengetahuan yang kebenarannya bersifat
universal sekaligus dapat memberikan informasi baru. Masing-masing mempunyai
kekuatan dan kelemahan. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang bersifat
universal, tetapi tidak memberikan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan
empiris dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal.
Dengan filasafat kritisnya Immanuel Kant telah menunjukkan jasanya
yang besar, karena berdasarkan atas penglihatannya yang begitu jelas mengenai
keadaan yang saling mempengaruhi di antara subyek pengetahuan dan obyek
pengetahuan. Ia telah memberikan pembetulan terhadap sikap berat sebelah yang
dikemukakan oleh penganut rasionalisme dan empirisisme, sehingga ia telah
membuka jalan bagi perkembangan filsafat.[46]
4.
Zaman Kontemporer (Abad ke-20 sampai seterusnya)
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan
dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu
sesungguhnya berjalan seiring dengan
sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa
ke masa adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal
baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan
lainnya di masa berikutnya.
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer dalam konteks ini adalah
era-era tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, sebagai kelanjutan mata rantai sejarah perkembangan
ilmu, beberapa hal baru yang ditemukan dapat kita amati di era kontemporer,
tidak lepas dari berbagai penemuan dan dasar-dasar ilmu yang telah ada dan
diciptakan oleh para penemu, pakar, atau filosof di masa-masa sebelumnya.[47]
Perkembangan ilmu pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat
cepat. masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dengan berbagai
macam penemuan-penemuannya. Dalam bidang kedokteran terjadi perubahan besar.
Dahulu madzhab Hippokrates melihat kedokteran secara holistis: individu diamati
secara utuh dalam lingkungannya, sebagai bagian dari alam. Tetapi sekitar lima
abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia harus menguasai
alam : materi dan jiwa harus dipisahkan.
Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan
guna semakin menajamkan daya analisis terhadap fenomena yang ditelitinya.
Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika dianggap memiliki
perkembangan yang sangat spektakuler. Salah seorang fisikawan termashur abad ke-20
adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak berhingga besarnya
dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat
statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti
bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui
adanya penciptaan alam.
Selain itu, zaman kontemporer ini juga terjadi penemuan-penemuan
teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang
mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit
komunikasi, internet, dan sebagainya. Selanjutnya dalam media komunikasi,
penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang dimanfaatkan
dengan baik pertama kali di Eropa. Penyebaran informasi melonjak dengan luar
biasa. Perkembangan teknologi juga ditandai dengan makin meluasnya penggunaan
teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari dan semakin lama mencapai
skala massal.[48]
Perkembangan filsafat pada zaman kontemporer juga ditandai oleh
munculnya berbagai aliran filsafat yang kebanyakan aliran tersebut merupakan
kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern,
seperti: neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme,
neo-positivisme, dan sebagainya. Namun ada juga aliran filsafat yang baru
dengan ciri dan corak yang lain, seperti: fenomenologi, eksistensialisme,
pragmatisme, strukturalisme, dan postmodernisme.[49]
a.
Fenomenologi
Fenomenologi merupakan suatu aliran filsafat yang lebih
mengedepankan metode. Fenomenologi berasal dari kata fenomenom/fenomena/gejala
dan fenomena tidak hanya ditangkap oleh kemampuan panca indra manusia, tetapi
dapat juga ditangkap melalui intuisi manusia.[50]
Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran “a way of looking at
this”. Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Edmund Husserl. Ia selalu
berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argument-argumen,
konsep-konsep, atau teori umum. Kembali pada benda-benda itu sendiri merupakan
inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa
adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita
jika kira membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi
banyak diterapkan dalam epistimologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi
keagamaan.[51]
b.
Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist
yang berarti keluar. Eksistensialisme adalah faham filsafat yang menekankan
keunikan dan kedudukan pertama eksistensi pengalaman kesadaran yang dalam dan
langsung. Tokohnya adalah Jean Paul Sartre. Ia berpendapat bahwa rasio dialektika berbeda dengan rasio analisis.
Rasio analisis dijalankan dalam ilmu pengetahuan dialektika harus digunakan
jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Karl Jaspewrs
mengtakan bahwa eksistensi adalah ada yang ada di dalam mite disebut jiwa,
yiatu titik pangkal dari mana kita berpikir dan berbuat. Jika keberadaan segala
sesuatu adalah terletak pada eksistensi jiwanya. Jiwa merupakan substansi dari
yang ada.[52]
Ekistensialisme adalah alran filsafat yang menekankan eksistensia.
Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segalah yang
ada. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah
harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala
yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri
dengan pemikiran eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai,
esensia pun akan ikut terpengaruhi.[53]
c.
Pragmatisme
Pragmatism adalah gerakan filsafat Amerika dan merupakan suatu
sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Pragmatisme
merupakan aliran filsafat etika yang menyatakan bahwa yang bernilai adalah yang
bermanfaat saat sekarang ini. Tokohnya yang terkenal adalah dokter ahli
psikologi agama. James membedakan dua bentuk pengetahuan yakni pengetahuan yang
langsung diperoleh dengan jalan pengamatan dan pengetahuan yang tidak langsung
yang diperoleh dengan melalui pengertian.[54]
d.
Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh
banyak semiotisian berbasis model linguistik Saussure. Strukturalisme bertujuan
untuk mendeskripsikan kesluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia
ditentukan secara luas oleh struktur social atau psikologi yang mempunyai
logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan maupun
tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche, bagi Marx
strukturnya adalah ekonomi, dan bagi Saussure strukturnya adalah bahasa.
Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau human agent dan
menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.[55]
Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul
dalam sejarah filsafat. Disini metode struktural dipakai untuk membahas tentang
manusia, sejarah, kebudayaan serta hubungan antara kebudayaan dan alam. Oleh
karena itu strukturalisme juga dianggap sebagai metodologi yang digunakan untuk
mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip
linguistik. Tokoh yang brpengaruh dalam dalam filsafat strukturalisme adalah
Michel Foucault.[56]
e.
Post
Modernism
Post modernisme adalah tren pemikiran abad 20 yang merambah ke
berbagai bidang disiplin filsafat dan dunia ilmu pengetahuan. Post modernisme
lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme atau merupakan koreksi
terhadap paham filsafat modernisme yang dinilai humanis. Era ini juga dikenal
sebagai neo-modernisme, yang dimaksud adalah pembaharuan kembali pemikiran
modern dengan era sebelumnya yang tradisionalisme. Ide yang terpokok adalah
adanya hal-hal yang spiritualis dalam kehidupan materialis. Pola ini juga bisa
dianggap sebagai neo-kritik terhadap perkembangan ilmu. Tokoh yang mempelopori
era ini adalah Francois Lyotarl.[57]
B.
Teori-Teori tentang Kebenaran Ilmu
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah
dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode
dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori
pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus
untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Pendekatan
silogisme adalah satu-satunya metode yang efektif dalam cara berfikir pada
zaman Yunani Romawi hingga zaman renaissance. Pada abad pertengahan banyak
pemikiran secara silogisme, sehingga banyak pemikir yang tanpa memperhatikan
kenyataan atau data empiris yang ada. Mereka tidak mengindahkan pemikiran yang nyata,
yang dapat diobservasi melalui penelitian. Aristoteles pun sepertinya melakukan
kesalahan yang sama. Sampai pada zaman renaissance, ajaran Aristoteles dianggap
benar dan relevan. Hal ini mengakibatkan derajat ilmu kembali pada lubang kesalahan
yang nisbi.
Pada abad ke-17,
Francis Bacon melakukan pemberontakan dari cara berfikir tersebut. Ia berpendapat
bahwa para ilmuan akan setuju pada suatu kesimpulan setelah melakukan tendensi satu
dengan yang lain. Yang dimaksud tendensi disini, ketika para ilmuan menyampaikan
argumennya dan melalui perdebatan maka kesimpulan itu akan diambil dari hal-hal
yang utama, tidak dipungkiri lagi hal-hal yang sebenarnya benar akan terabaikan.
Sehingga logika saja tidak cukup untuk mengambil sebuah kesimpulan ilmu. Hal ini
karena logika merupakan teori ataupun anggapan yang sudah jadi, sehingga terkadang
tidak sesuai dengan realitas.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunnyai nilai kebenaran atau
tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan?. Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan
indra?. Yang jelas bagi seorang skeptis pengetahuan tidaklah mempunyai nilai
kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan
kebenaran.[58]
Definisi kebenaran secara terminology berkembang dalam
sejarah filsafat. Dalam aliran filsafat masing-masing aliran mempunyai
pandangan yang berbeda tentang kebenaran, hal ini tergantung dari sudut mana
mereka memandang. Secara garis besarnya paham-paham tersebut antara lain:
1. Paham idealisme, memberikan pengertian bahwa ‘kebenaran’ adalah
merupakan soal yang hanya mengenai seseorang yang bersangutan. Kebenaran itu
hanya ide, materi itu hanya ide, hanya dalam tanggapan. Demikian dikatakan
Goerge Berkeley (1685-1757).[59]
2. Paham realisme, berpendapat bahwa ‘kebenaran’ adalah kesesuaiaan antara
pengetahuan dan kentaan.[60] Karena pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang
ada dalam alam nyata, gambaran yang ada dalam akal adalah salinan dari yang
asli yang terdapat di luar akal. Aliran ini dipelopori oleh Herbert Spencer
(1820-1903).
3. Kaum pragmatis, memberikan definisi ‘kebenaran’ sebagai sesuatu proporsi itu
berlaku atau memuaskan. Peletak dasar paham ini adalah C.S.Peiree (1839-1914)
William James menambahkannya behwa kebenaran harus merupakan nilai dari suatu
ide.[61]
4. Faham penomenologi, berpendapat bahwa ‘kebenaran’ itu adalah kesesuaian antara
pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat nyata yang
merupakan norma kebenaran. Mereka menganggap bahwa fenomena itu adalah data
dalam kesadaran dan inilah yang harus diselidiki, supaya hakikatnya ditemukan
dan tertangkap oleh kita.[62]
Dari defenisi-defenisi di atas dapat
disimpulkan bahwa yang mereka maksudkan dengan kebenaran adalah segala yang
bersumber dari akal (rasio), pengalaman serta kegunaan yang dapat dibuktikan
dengan realita yang ada. Dengan kata lain sebagai kebenaran ilmiah. Tapi ada
kebenaran yang tak perlu dibuktikan atau dicari pembutiannya, cukup kita
terima dan yakin bahwa itu adalah suatu kebenaran.
Syarat-syarat yang menjadi tolak ukur
kebenaran:
1.
Pernyataan tersebut dapat dikatakan benar jika
kita tahu arti pernyataan, maksudnya dapat dimengerti.
2.
Kita tahu bagaimana menguji kebenarannya.
3.
Mempunyai cukup bukti yang memadai untuk
mempercayai dan menerimanya.
Beberapa macam teori kebenaran
antara lain:[63]
1.
Teori kebenaran Korespondensi
Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan
itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam teori tersebut
berkorespondensi sesuai dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut atau
dengan kata lain sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan materi yang
dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut.
2.
Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini mendasarkan diri pada konsistensi
suatu argumentasi. Apabila ada konsistensi dalam alur berfikir, maka kesimpulan
yang diambil adalah benar. Sebaliknya jika argument yang ada tidak konsisten,
maka kesimpulan yang diambil adalah salah. Secara keseluruhan argument yang
bersifat konsisten tersebut juga harus bersifat koheren untuk dapat disebut
benar.
3.
Teori Kebenaran Pragmatis
Teori ini berpandangan suatu teori dikatakan
benar bila teori keilmuan mampu menjelaskan, menggambarkan, mengontrol dan
menjawab suatu gejala. Pada intinya suatu dikatakan benar jika bermanfaat
memecahkan masalah.
4.
Teori Kebenaran Sintaksis
Menurut teori ini, suatu pernyataan dikatakan
benar apabila pernyataan-pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis
yang berlaku atau syarat yang berlaku.
5.
Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori ini, suatu pernyataan memiliki
kebenaran bila memiliki arti dan makna. Teori ini menguak kesyahan proporsi
dalam referensi. Arti disini menunjukan dengan jelas cirri khas dari sesuatu
yang ada.
6.
Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori ini menyatakan bahwa pernyataan
dikatakan benar apabila pernyataan ini memiliki fungsi yang amat praktis dalam
kehidupan sehari-hari.
7.
Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Menurut teori ini problema kebenaran
hanyamerupakan kekacauan bahasa saja dan dapat mengakibatkan pemborosan, karena
pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logic yang
sama.
Kebenaran ilmiah ada dari hasil dari
penelitian ilmiah. Suatu kebenaran tidak akan muncul tanpa adanya
prosedur-prosedur yang dilalui. Prosedur itu melalui tahap-tahap metode ilmiah
yang berbentuk teori. Kebenaran dalam ilmu bukanlah subjekif, melainkan
objektif yang berarti bahwa kebenaran teori ataupun sebuah paradigma harus
didukung fakta-fakta dan kenyataan yang objektif. Kebenaran ilmiah memiliki struktur yang diskurisif
atau rasional, empiris, dan sekuler.
BAB III
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan tidaklah berlangsung secara mendadak akan tetapi melalui
proses bertahap. Karena itu, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan harus melakukan klasifikasi secara periodik. Dalam setiap periode
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu.
Periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan terbagi menjadi empat periode yaitu
zaman Yunani Kuno, zaman Pertengahan, zaman Modern, dan zaman Kontemporer.
Zaman Yunani Kuno merupakan zaman filsafat karena pada zaman ini
para filsuf tidak menerima pengalaman yang berdasarkan pada sikap. Zaman
Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad pertengahan
selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama.
Zaman Renaissans merupakan peralihan dari zaman pertengahan ke
zaman modern. Zaman renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan
manusia dalam berpikir. Pada zaman renaissans manusia Barat mulai berpikir
secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan
Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dan mengemukakan kebenaran
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pada zaman modern para filsuf menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari penguasa, tetapi dari
diri manusia sendiri. Kemudian pada zaman kontemporer ilmu berkembang dengan
sangat cepat. masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dengan
berbagai macam penemuan-penemuannya.
Teori-teori tentang kebenaran ilmu yang berkembang diantaranya: teori
kebenaran korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis, semantic,
non-deskripsi, dan logic yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Bernadien, Win
Usuludin, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Ermi, Suhasti, Pengantar
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Prajna Media, 2003.
Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat II, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Ghazali,
Bachri, dkk., Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2005.
Gie,
The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Hamersma,
Harry, Pintu Masuk ke DUnia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Hasan, Erliana,
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
Ihsan, Fuad, Filsafat
Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Maksum, Ali, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta : Ar Ruzz
Media, 2012.
Mukhtar, Orientasi
Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Muntasyir,
Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Nasiwan, Filsafat
Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik, Yogyakarta: Prima Print, 2014.
Nasution, Harun,
Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Nur, Muhammad, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Fakutas Syariah dan Hukum Press, 2013.
Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Salam,
Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, Jakarta
: Bumi Aksara, 2011.
Titus, dkk, Living Issues in Philosophy, terj. H.M. Rasyidi,
Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tjahjadi, Simon
Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari
Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
[1]Mukhtar, Orientasi
Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), hlm. 45.
[3]Terdapat
beberapa perbedaan dalam pengelompokan periodesasi ini, baik pengelompokan
zaman ataupun masanya. Dalam beberapa referensi misalnya dalam Win Usuludin
Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
periodesasi ini dibagi menjadi 4 yaitu zaman Yunani (600-400 SM), zaman
Patristik dan skolastik (300-1500 M), zaman modern (1500-1800 M), dan zaman
sekarang (1800 M-sekarang). Dalam Suhasti Ermi, Pengantar Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Prajna Media, 2003) diklasifikasikan menjadi lima periode yaitu:
Yunani (15 SM-2 M), Abad Tengah (2-14 M), Renaisance (14-17 M), Modern
(17-19M), dan Kontemporer (20-sekarang). Dalam Erliana Hasan, Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), diklasifikasikan menjadi empat perode yaitu: periode kuno (600 SM-400
M), Abad Pertengahan (400-1500 M), Zaman Modern (1500-1800 M), dan zaman sekarang
(setelah 1800M). Sedangkan dalam Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) juga diklasifikasikan menjadi
empat yaitu: zaman Yunani kuno (abad 6 SM-6 M), Zaman Pertengahan (6-16 M),
Zaman Renaissance (14-16 M), zaman modern (17-19 M) dan zaman kontemporer (abad
20 dan seterusnya). Dari berbagai versi periodesasi tersebut, penulis mengambil
periodesasi yang terdapat dari buku
Rizal Muntasyir dan Misnal Munir yang menurut hemat penulis lebih mudah
untuk dipahami.
[4] Dalam mitos
penciptaan dari zaman Homeros misalnya, diceritakan terjadinya alam semesta
sebagai berikut: Pada mulanya adalah Eurynome, dewi segala sesuatu. Dengan
telanjang ia muncul dari dalam kekacauan. Namun ia tidak menemukan sesuatu pun
yang mantap sebagai tempat pijakan kakinya. Dia lantas memisahkan laut dari
langit dan menari sendirian diatas gelombang itu. Eurynome bersetubuh dengan
Ophion, sang ular besar, lalu mengambil rupa seekor burung merpati dan hinggap
diatas gelombang lautan dan menghasilkan pada saatnya telur bakal dunia. Atas
perintah Eurynome, Ophion memutari telur bakal dunia ini sebanyak tujuh kali
sampai telur itu menjadi masak tererami dan pecah. Dari telur yang pecah itulah
muncul segala sesuatu yang ada seperti matahari, bulan, planet-planet,
bintang-bintang, bumi dengan pegunungan dan sungai-sungai, pepohonan,
rerumputan dan makhluk hidup. Lihat Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan
Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman
Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17.
[6] Erliana Hasan, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), hlm. 47. Terkait masa hidup para filsuf ini di berbagai sumber terdapat
perbedaan. Dalam Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual:
Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), masa hidup Thales (624-546 SM), Anaximander
(611-546 SM), dan Anximenes (585-525 SM). Sedangkan dalam Muntasyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) masa hidup
Thales (640-550 SM), Anaximander (611-545 SM), dan Anaximenes (588-524 SM).
[9] Win Usuludin
Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 110-111.
[11] Nasiwan, Filsafat
Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik, (Yogyakarta: Prima Print, 2014),
hlm. 11.
[12] Ibid,
hlm. 50.
[14] Simon Petrus
L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual…, hlm. 55.
[15] Aristoteles
dilahirkan di Stagira (sekarang wilayah Yunani utara, daerah Makedonia). Ia
berguru kepada Plato sekitar 20 tahun. Aristoteles juga merupakan guru dari
Alexander Agung. Setelah Alexander Agung wafat, ia dikejar-kejar oleh pihak
yang memusuhi partai Makedonia. Ia nyaris dihukum mati karena tuduhan
penghujatan kepada para dewa. Kemudian ia melarikan diri dari kota tersebut dan
tinggal di Khalkis hingga akhir hayatnya pada usia 62 tahun.
[18] Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat…, hlm. 104.
[19] Aristoteles
mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Lykeion, tempatnya dekat
halaman yang dipersembahkan kepada Dewa Apollo Lykeios.
[20] Paripatetik
berasal dari kata Yunani peripatos yang berarti ruang atau tempat
berjalan-jalan. Ruang ini dipakai Aristoteles semasa hidupnya dan kemudia
dipakai juga oleh para muridnya.
[21]Erliana Hasan, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 51.
[22] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,……hlm. 67.
[23] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN, 2005),
hlm. 27.
[24] Harry
Hamersma, Pintu Masuk ke DUnia Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2008),
hlm. 55.
[25] Ibid.,
hlm. 57.
[26] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 69.
[27] Ibid,
hlm. 70.
[28] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm. 204.
[29] Erliana Hasan,
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian…, hlm. 52.
[30] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 120.
[31] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu…, hlm. 205.
[32] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 63.
[33] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu…, hlm. 205.
[34] Win Usuluddin
Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat…, hlm. 125.
[35] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 72.
[36] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 64.
[37] Muhammad Nur, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta : Fakutas Syariah dan Hukum Press, 2013), hlm. 19.
[38] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu…, hlm. 73.
[39] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu..., hlm. 150.
[40] Susanto, Filsafat
Ilmu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hlm. 37.
[41] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat…, hlm. 359.
[42] Ibid…, hlm.
357.
[43] Win Usuluddin
Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat…, hlm. 128.
[44] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 80.
[45] Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 39.
[46] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 82.
[47] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
69.
[48] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu…, hlm. 210-213
[49] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu…, hlm. 90.
[50] Erliana
Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian…, hlm 56
[51] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat…, hlm. 369.
[52] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 36.
[53] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat..., hlm. 364.
[54] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 37.
[55] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat…, hlm. 380.
[56] Bachri
Ghazali, dkk., Filsafat Ilmu…, hlm. 36.
[57] Ibid, hlm.
37.
[58] Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 57-58.
[59]Titus, dkk, Living
Issues in Philosophy, terj. H.M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 318-319.
[60] Harun
Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 8.
[61] Titus, dkk,
Living Issues in Philosophy…, hlm. 341.
[62] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 30-31.
[63] Nasiwan, Filsafat
Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik…, hlm. 26-28.